PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

1.04.2015

CATATAN “EKSPERIMENTASI” HUBUNGAN JARAK JAUH


Sebuah upaya refleksi kecil


Di antara pucuk tahun lama dengan tahun baru, saya tiba-tiba ingin mempublikasikan jenis tulisan lain (selain fiksi, terjemahan dan esai sastra) di blog yang sudah saya kelola selama hampir 5 tahun ini. Tulisan semacam testimoni kecil tanpa kandungan referensi buku (dalam konteks ilmiah). Di sela hari-hari payah saya, ketika saya merasa bahwa segala hal yang tadinya dekat dengan saya ternyata menjadi potensi untuk berjarak. Tentu saja, hanya saya yang merasakannya, merasakan keterjauhan itu. Nah, saya mencoba  untuk menarasikan deskripsi hubungan saya berkenaan dengan jarak. Ada tiga macam hal terkait dengan hubungan jarak jauh (bahasa remajanya: long distance relationship disingkat ldr) yang sedang saya alami kini. Pertama, hubungan saya dengan kekasih saya. Kedua, hubungan saya dengan Tuhan. Ketiga, hubungan saya dengan tingkat kesadaran masa kini.

Perihal pertama bukanlah sesuatu yang baru sebenarnya. Saya sudah sedemikian rupa lebih dari empat tahun menjalani hubungan ini. Empat tahun lebih barangkali bukan jangka waktu yang lama bagi pasangan-pasangan yang sudah berpengalaman dalam menjalin asmara dengan memilih hubungan jarak jauh. Bagi saya, pun ini bukan suatu permasalahan yang terlalu berarti untuk diputuskan bahwa menjalin asmara jarak jauh adalah sebuah omong kosong dalam mengarungi bab-bab percintaan. Dengan kata lain, sama saja tidak punya kekasih. Anekdot semacam ini sangat sensitif bagi pasangan-pasangan yang sudah akrab dengan jalinan asmara jarak jauh. Saya dapat memaklumi, barangkali mereka yang mengatakan ini sedang mengalami fobia jarak atau level pemahaman atas cinta yang terbagi antara ruang dan waktu. Apapun itu, anekdot yang dibuat untuk menjatuhkan jalinan asmara jarak jauh sebenarnya tidak bisa melemahkan saya (barangkali juga pasangan saya).

Perjalanan asmara hubungan jarak jauh memiliki kekhasan yang menitikkan begitu banyak memori (jatuh-bangun dalam rangka memperbaikki hubungan). Memori-memori itulah yang mengajarkan saya bagaimana saya terus menerus memperbarui tafsiran atas jarak yang terbentuk melalui dimensi waktu.  Jarak, pada esensinya (ketika saya sedang berupaya melewati ini) bisa bertambah membahayakan pun bisa bertambah memesrakan. Membahayakan, sejauh jarak itu tidak dirawat dan merawat hubungan sebuah pasangan, pun sejauh diri yang satu ikut menjauh dari “diri yang lain”. Jarak dalam hal ini menjadi semacam pesakitan yang harus dihindari. Memesrakan, sejauh jarak itu semakin menjadi suatu perekat, bahwasanya hanya “ia” seorang (dari kedua belah pihak).  Lalu jarak, tak lain adalah sebuah sarana perindu untuk kembali bertemu dengan ikatan kasih sayang yang lebih segar yang jauh dari pikiran-pikiran buruk. Dengan kata lain, jarak hanya kilasan kesementaraan menuju pertemuan yang tepat.

Soal asmara yang seperti ini telah dilewati oleh banyak pasangan. Banyak yang bertahan hingga ke peristiwa puncak, banyak yang kemudian berpisah hingga memutuskan untuk menjauhi perkara jarak. Saya sadar, bahwa ini bukan kali pertama saya memutuskan untuk menjalin hubungan semacam ini. Tapi saya berusaha belajar untuk kesekian kalinya, barangkali ada sesuatu yang direncanakan yang tak saya ketahui tentang jarak. Peristiwa-peristiwa yang pernah mencemaskan emosi tentu berkali-kali muncul dan bahkan berulang. Bilamana seorang tidak menyadari akan peristiwa-peristiwa ini dan membuat semacam refleksi kecil-kecilan maka akan memunculkan bosan yang kemudian tinggal menunggu detik hubungan yang pecah. Saya sebenarnya tidak hendak menjadi mahaguru bahkan guru dalam berbicara soal ini. Namun saya berupaya mengambil sedikit panenan dari pekarangan saya.  Dengan demikian, jarak bagi saya bukan menjadi sesuatu yang pantas dicemaskan secara berlebihan.

Perihal kedua, saya mencoba untuk membuka keintiman yang selama ini saya tutup rapat-rapat. Keintiman saya dengan Sang Maha Pencipta. Saya berikan sedikit gambaran latar belakang diri. Saya dilahirkan di keluarga yang taat beragama. Saya sendiri memperoleh pendidikan agama yang cukup memperkaya sisi religiusitas saya. Pendidikan yang paling membuat saya semakin kaya adalah ketika berada di asrama (pada masa ketika saya menuruti kehendak bebas untuk menjadi seorang rohaniwan).  Di sana, saya belajar banyak hal, mengenai refleksi, mengenai penyembuhan luka batin, mengenai kemandirian beragama, mengenai orasi, dan tentunya mengenai menulis. Dalam konteks ini, saya akan jelaskan ringkas mengenai kemandirian beragama. Pendidikan yang saya peroleh di masa-masa itu menitikberatkan pada pengembangan iman beragama. Para seminaris (dan novis), diajak untuk tidak bermalas-malasan dalam menyelami kedalaman pengetahuan, dan relasi antara manusia dengan manusia, pun manusia dengan Sang Maha Pencipta. Yang menarik dari sini adalah proses menemukan hubungan yang intim antara diri personal dengan Tuhan. Setiap individu berbeda dengan yang lainnnya. Di sinilah awalnya saya menemui keunikan, saya menemui jalan saya sendiri untuk membentuk suatu peradaban beragama, yaitu relasi intim saya dengan Sang Maha Pencipta.

Saya merasa bahwa setiap individu mempunyai gambaran Tuhannya masing-masing. Citra kehadiranNya yang berbeda satu sama lain. Tentu dengan landasang pengalaman masing-masing ketika menafsirkan suatu tanda selama berada dalam arus putaran waktu. Dan waktu, sekali lagi menjadi orang tua. Ia (waktu) sejatinya adalah yang mengasuh apa yang tumpul dalam diri kita. Sadar atau tidak, ia melakukan pembenahan secara perlahan. Dengan catatan, manusia yang ikut di dalamnya mempunyai rasa peka dan terbuka terhadap segala sesuatu yang dijumpainya. Kedewasaan bukanlah menjadi tujuan utama menurut saya. Sebab kedewasaan bisa melemahkan ‘pikiran kanak-kanak’ dalam diri manusia. Pikiran yang bisa mengajak terus menerus berkelana. Kedewasaan hanyalah sebuah omong kosong fase perkembangan, tidak lain adalah hasil dari mereka yang mengejar pola-pola hidup mapan dan monoton. Lahir-hidup-sakit-mati. Saya lebih ingin menyebut bahwa kemurnian adalah tujuan pokoknya. Semakin memurnikan diri, semakin juga mengeksistensikan diri di hadapan Yang Maha Pencipta. Waktulah yang akan memurnikan diri dengan kapasitas perkembangan manusia yang berbeda tiap individunya.

Dalam persoalan yang saya geluti, agama bukan lagi perihal taat - tidak taat, dosa – pahala, surga – neraka, melainkan sebuah jalan yang mengantarkan manusia pada peristiwa-peristiwa. Peristiwa di mana manusia bisa merasa sangat dekat, dan bisa merasa sangat, sangat jauh. Apa arti jauh – dekat di sini? Bagi saya, iman bermain di sini, sebab iman adalah pokok dari semua orang yang beragama. Ia menjadi sangat dekat, sebab manusia berani menggerakkan iman akunya menuju Sang Maha Pencipta. Ia menjadi sangat jauh, sebab manusia terbentur oleh gerakan-gerakan praktis, yang mana dipikir sesimpel ini, atau sesimpel itu untuk mendekatkan diri padaNya. Oke, saya malah membuat rumit di sini. Sekali lagi ini hasil dari hubungan pribadi saya denganNya. Bahwa apa yang dimiliki oleh segala pikiran dan perasaanNya tidak sesimpel apa yang dipikir dan dirasakan oleh manusia. Mana mungkin sebuah robot tau apa yang sedang dipikirkan atau dirasakan oleh Penciptanya secara tepat? Secanggih-canggihnya robot, tetap saja ia tidak bisa melebihi penciptanya. Ini analogi kecil yang sebenarnya tak bisa langsung diasosiasikan bahwa robot adalah manusia, bahwa pencipta adalah Tuhan. Saya ingin berbicara bahwa fenomena manusia yang kemudian meniadakan kehendak manusia lain dalam perilaku, sikap, ungkapan  berhubungan dengan Sang Maha Pencipta adalah sesuatu yang sangat keliru. Fenomena tersebut menyatakan bahwa pembodohan dan pemalasan dalam berketuhanan semakin ramai.

Dalam pengalaman pribadi, saya mencoba untuk mengeksplorasi segenap pikiran dan perasaan terhadap Sang Maha Pencipta. Menjauhi diri dari ritual-ritual, menjauhi diri dari aktivitas kelompok-kelompok tertentu. Memang hujan tak ke mana jatuhnya, ke tanah, laut manapun, ke benda-benda apapun, ke makhluk siapapun. Ini menggambarkan suasana basah yang ada dalam diri saya. Suasana di mana saya tidak bisa menjauhkan diri dari Air. Pertemuan-pertemuan dengan berbagai macam individu, kejadian-kejadian yang tidak bisa saya duga, kemewahan hidup yang katanya absurd oleh sebagian orang. Semakin saya menjauhkan diri, saya malah semakin menemukan tanda-tanda lain. Bahwa Ia sangat bisa dan lihai bersemayam di manapun, pada siapa dan apapun. Di satu sisi, saya malah merasakan seperti merebahkan tubuh di kesejukan padang rumput hijau berembun dengan langit biru cerah ketika saya memasuki ruang-ruang keagamaan. Dengan kata lain, saya tidak menemukan kewajiban dan hak bagi saya yang beragama. Ya, alhasil latihan spiritual atas diri religiusitas saya ini masih mencapai hal yang demikian. Pasti namun perlahan, saya terus melatih daya-daya yang ada dalam diri saya karena masih banyak yang belum tersentuh. Dan sekali lagi, waktu. Ialah yang akan meneruskan Ia dalam memurnikan diri saya di antara periode-periode manusia.  

Perihal ketiga, adalah bagian yang sebenarnya tidak jauh dari masa kekinian saya. Apakah ini tanda semacam krisis dalam perkembangan? Saya tidak sepenuhnya mengamini.  Masa depan bilamana itu diasosiasikan dengan warna, adalah hitam legam. Ia gelap, bahkan sangat gelap. Bukan berarti saya antiharapan terhadap masa depan saya sendiri. Saya malah semakin menyadari bahwa sikap atau lebih tepatnya prinsip lepas bebas yang saya terapkan dalam diri saya mengerucutkan saya pada jalan ini. Masa depan hanya sebuah hasil tekanan dari alam manusia sendiri atas rasa cemas. Manusia malah melakukan kredit terhadap hidupnya sendiri dengan memberi nama masa depan.
Ringkasnya, upaya saya ini malah mengerucut pada redefinisi tentang masa depan. Saya tidak mempunyai obsesi cita-cita atau mimpi yang dikata orang setinggi langit itu. Saya yang kemudian tidak lantas melulu menaruh harap bahwa kamu atau kalian semoga selalu baik-baik saja. Sebab yang mulai bertumbuh dalam benak adalah upaya dan upaya. Bagaimanapun juga, harapan adalah sebuah godaan untuk melemahkan diri kini dan melalaikan jalan-jalan kecil masa lalu. Oleh karena itu, masa depan adalah gelap. Saya mesti menjaga jarak dengan masa itu. saya tidak ingin memberi noda pada masa kini. Lalu bukankah jalan masa kini dipancangkan oleh masa depan? Sedia payung sebelum hujan, misalnya? Oh, hei tahukah diriku sayang, bahwa alam telah benar-benar mempunyai perhitungannya sendiri, dan peristiwa-peristiwa yang manusia alami? Saya tetap saja tidak bisa merasakan dahaga dan lapar tanpa jarak. Tiba-tiba saya malah merasa kerdil dan dangkal jika terlalu dekat berdampingan dengan segalanya. Inilah hubungan jarak jauh. Inilah "laku puasa dan matiraga" yang sedang saya olah terus menerus. Refleksi ini telah menjadi semacam morfin kebahagiaan bagi sepanjang pandangan yang telah saya lalui.

Dalam nama waktu, menulis seperti ini telah memberi kesempatan pada catatan jarak untuk terus menumbuhkan padang-padang hijau-biru rindu yang tak lekang oleh upaya-upaya "aku".


Foto oleh Ganjar Sudibyo (2011)

Semarang, 2014 - 2015