PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

Tampilkan postingan dengan label Esai. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Esai. Tampilkan semua postingan

12.26.2016

BAGAIMANA MEMBACA NOVEL “KIAT-KIAT TAK JELAS”



Ganjar Sudibyo*


Kiat Sukses Hancur Lebur adalah novel, sebagaimana label yang tertera di pojok kanan atas kover depan. Para pembaca harus paham itu terlebih dahulu sebelum memasuki halaman demi halaman. Mengapa demikian? Saya sempat takjub hendak mengatakan bahwa ini sungguh novel? Beberapa hari minggu setelah saya membaca novel ini, saya mencoba mencari alternatif bagaimana para pembaca novel (lewat resensi atau reviu buku) bercerita tentang proses baca mereka. Dan... Usai saya menulis kata kunci “Kiat Sukses Hancur Lebur”, berikut saya pilih 8 besar nukilan komentar yang bersinar versi saya (tidak menunjukkan peringkat):

1.
“Catatan ini adalah kemungkinan dan kebingungan seorang pembaca. Mungkin Kiat Sukses Hancur Lebur Martin Suryajaya adalah sebuah karya yang dinatkan dan dikerjakan dengan serius dan berhasil, bisa pula sekedar karya main-main dan tidak sepenuhnya berhasil. Lebih sering saya meyakini yang terakhir ini.”

2.
“Akan tetapi setelah membaca dan mendengarkan langsung penjelasan penulis perihal proses penulisannya, saya berpendapat bahwa novel ini memang betul-betul prematur, kelahirannya terlalu dini di tahun 2016. Tiga setengah abad lagi mungkin novel ini menjadi rujukan pelajaran sastra di ruang-ruang kelas.”

3.
“Buku ini, bagi saya telah memperkenalkan genre yang masih ganjil dalam dunia fiksi Indonesia. Kebanyakan dari pembaca fiksi hanya ditawarkan model eksperimen penulisan yang sekalipun kreatif, tak jarang berada pada jalur semiotika formal, yang pada akhirnya membenci humor, dan secara berlebihan menggandrungi balutan kosakata satir. Persis dalam konteks inilah, Kiat Sukses Hancur Lebur menjadi penting.

4.
“Acara selesai sangat singkat. Benar-benar terasa sangat singkat. Tak tahu lagi harus membicarakan apa. Sebuah novel yang benar-benar sialan. Membuat semua orang yang hadir di dalamnya, terasa tak tahu lagi harus mendiskusikan apa. Acara pun ditutup. Dengan tanda tanya.”

5.
Dekonstruksi seperti ini bisa jadi bermanfaat bagi orang-orang yang mabuk akut dalam hidup ini. Mabuk jabatan, mabuk cerita motivasi, mabuk agama, dan mabuk-mabuk lain yang menenggelamkan akal sehat. Resep yang ditawarkan buku ini adalah menggemburkan“mabuk” dengan kegilaan-kegilaan yang tidak kalah akutnya. Jadi, hancur lebur dan sukses sebenarnya merupakan dua wajah dalam sekeping koin.

6.
“Sulit menyebut Kiat Sukses Hancur Lebur ini buku jenis apa. Mungkin sejenis lele dumbo yang bisa terbang dan mendarat di depan kelas, nemplok di antara yang mulia presiden dan wakil presiden. Buku yang ngelanturnya sungguh keterlaluan. Membuat saya berpikir lagi tentang kesia-siaan membaca berbagai macam buku yang menawarkan ilmu pengetahuan. Seperti sindiran bagi pembaca yang menelan mentah-mentah apa yang ia baca tanpa perlu mengunyah atau mencari petunjuk informasi lebih lanjut. Melakukan apa yang ia baca tanpa berpikir, berjalan saja seperti primata gagal berevolusi menjadi manusia. Mengutip pendapat-pendapat orang orang penting agar dianggap penting tanpa menelusuri kenapa orang-orang itu menjadi penting dan pantas dikutip.”

7.
“Terus terang saya menghadapi kesulitan yang hakiki ketika hendak mengulas novel ini. Bukan karena ia sulit dimengerti, tetapi karena Kiat Sukses Hancur Lebur ditulis dalam bentuk yang unik dan tidak konvensional. Novel ini ditulis selayaknya sebuah buku nonfiksi bertema pengembangan diri atau self-help.”

8.
“Meskipun kalau bukunya dibuka-buka sekilas kelihatan seperti buku nonfiksi serius, sangat disarankan untuk tidak serius membaca buku yang sangat melantur ini. Dari halaman-halaman awal sampai daftar pustakanya benar-benar konsisten ngawur seperti benar-benar ditulis oleh filsuf stress.” --Indah Threez Lestari (bintang 3)

“Harap diingat dalam memori cinta kita: pertama-tama, buku ini bukanlah novel. Novel adalah cerita yang memiliki plot dan tokoh utama. Buku ini tidak memiliki semuanya. Tak ada cerita, plot ataupun tokoh utama. Yang ada hanyalah kematian yang akan datang kepada siapapun juga yang telah berolah raga aerobik di halaman depan rumah sakit jiwa. Buku ini adalah racauan orang stres. Yang menakjubkan adalah racauan orang stres ini sampai menghabiskan 211 halaman! Sungguh-sungguh hanya menghabiskan kertas dan waktu saja.” --J. Garammyigan (bintang 2)

“DNF. WTF did I just read. Berhenti di bab kedua. Ga ngerti maunya apa ini buku. Ngelantur ga jelas (in a bad and messy way). Yang kaya gini cocoknya di twitter aja 140 karakter, nge-post jam 1 malem. Mirip2 sama captionnya geboymujaer di instagram, tapi lebih mending sih video nya menghibur.” --Dedi Setiadi (bintang 1)

Tentu saya tidak akan membahas satu per satu nukilan komentar tersebut, Kedelapan sumber tersebut memberikan penilaian yang berbeda-beda tentang Kiat Sukses Hancur Lebur, namun sedikit-banyak dari mereka mengungkapkan bahwa novel ini sarat racauan yang membingungkan pembaca. Benang merah komentar inilah yang menjadikan saya semakin gelisah, seolah novel semacam ini baru saja menembus kebaruan dalam dunia tulis-menulis di Indonesia: apakah mereka kehabisan bahan literatur untuk mengulas novel model beginian? Dengan demikian memang dalam sejarah literatur novel sejenis belum tercatat?

Martin mengemas novel ini dengan sistematika seperti halnya buku panduan atau pedoman dari daftar isi sampai dengan daftar pustaka. Ia membuat unsur-unsur yang terkandung dalam sistematika ini dikemas sefiksi mungkin. Lantas, fiksi yang bagaimana? Tengoklah judul-judul yang ada di daftar isi berikut: Menjadi Pribadi Sukses Berkepala Tiga, Tujuh Kurcaci Manajemen Bisnis, Dasar-dasar Akuntansi Avant-Garde, Pemrograman Komputer Menggunakan Sepuluh Jari, Resep Sukses Tes Calon Pegawai Negeri Sipil, Arahan Seputar Budi Daya Lele, Etika Hidup di Apartemen, Cara Gampang Memakai Baju. Martin mengamil tema-tema seperti psikologi, teknik, ekonomi, yang alih-alih menjabarkan kebutuhan masyarakat di antaranya pangan, papan, sandang. Tema-tema ini diambil yang kemudian jika dibaca secara lebih dalam terdapat lelucon-lelucon atau plesetan yang membuat pembaca perlu memikirkan ulang tentang pesan yang ingin disampaikan tiap bab-nya. Namun, Martin tidak menggurui, dan tidak memakai cara yang semacam itu dalam novel ini. Tak ada tokoh utama, plot, konflik, tak seperti novel pada umumnya. Novel ini bahkan bisa dibaca terbalik dari belakang ke depan, dari tengah ke belakang atau ke depan, atau random. Tak ada panduan khusus membaca novel ini. Martin membiarkan imajinasi pembaca yang bekerja untuk menghayati setiap lelucon yang dimunculkan di tiap halamannya. Pertanyaannya kemudian adalah, apakah Martin sengaja memberikan lelucon tersebut? Kesengajaan yang bagaimana?

Ada klasifikasi menarik yang pernah diulas oleh seorang kritikus sastra. Jakob Sumardjo (1979) mengklasifikasikan novel menjadi dua, novel hiburan dan novel sastra. Artinya bahwa tidak semua novel adalah sastra. Novel bisa semata adalah hiburan. Novel sastra adalah novel yang berupaya memecahkan persoalan artifisial. Apa yang diupayakan Martin berada di tengah-tengah jenis novel tersebut. Namun, sekali lagi, ini bukanlah suatu persoalan yang genting untuk mengetahui genre novel yang ditulis oleh Martin. Kiat Sukses Hancur Lebur bilamana dilihat secara seksama sarat dengan kritik sosial. Persoalan yang terjadi di masyarakat dialih-bahasakan dengan menggunakan majas-majas sinisme, satire, metonimia, totem pro parte, dan sebagainya. Semuanya dicampur-adukkan sehingga terlalu riuh bilamana pembaca bersegera untuk memperoleh manfaat dari bacaan ini selain untuk menghibur diri.

Kembali pada pertanyaan, bagaimana membaca novel “Kiat-kiat Tak Jelas”? (saya sebut tak jelas karena memang sepertinya ini bukan kiat yang berpola pada umumnya) Berangkatlah dari bab yang Anda senangi, bisa dibarengi juga dengan kesesuaian mood Anda. Saya sendiri memilih membaca dari halaman belakang ke halaman depan. Nikmati saja kata per kata, kalimat per kalimat, paragraf per paragraf, ilustrasi per ilustrasi, halaman per halaman. Martin barangkali seperti sedang bermain-main membuat karya seni, bukan karya sastra.

*Pegiat Lacikata dan pengelola Majalah Kanal, tulisan dibuat untuk keperluan acara Kelab Buku#11
  




10.16.2015

REALISME PROCEEDING DALAM PERSONOLOGI TRAUMATIS SEJARAH ‘65






(catatan pendek untuk buku kumpulan cerpen “Penjagal itu Telah Mati”)



Saya menemui dia atas rekomendasi Badrun, yang bertahun-tahun bersama beberapa kawan muda NU, mendampingi mereka, para eks tahanan politik (tapol) 65. Ya, anak-anak muda itu dengan segala keterbatasan, dan bukan tanpa cemoohan dan risiko berhadapan dengan aparat keamanan dan aparat pemerintahan yang masih bercuriga terhadap segala yang berbau 65, melakukan gerakan nguwongke uwong, memanusiakan manusia. Mereka menyapa, bertandang, dan mendengarkan kisah atau keluhan para eks tapol, yang sebagian pernah diasingkan ke Pulau Buru itu. Lalu, jika mungkin, mengembalikan rasa percaya diri mereka sebagai manusia, sama seperti manusia lain. (Penjagal itu Telah Mati, hal.8-9)

Sudah relatif lama saya tidak membaca cerpen. Terakhir, belakangan ketika saya “dipaksa” menjadi juri lomba cerpen di Undip. Jauh sebelum itu, membaca buku kumpulan cerpen karya Kang Putu (Gunawan Budi Susanto) butuh waktu yang panjang setelah saya membelinya ketika bertemu dengan beliau di acara seni. Panjang dalam arti bahwa butuh tenaga untuk meresapi, mencerna,dan kemudian menafsir.

Pandangan pertama saya tertuju pada cerpen berjudul “Penjagal itu Telah Mati” (hal. 5-12) yang dijadikan judul dalam buku ini. Saya penasaran, dengan subjek yang diberi predikat sebagai penjagal. Memang seberapa penting dengan “penjagal” sehingga mesti dikabarkan mati? Sekilas saya membaca, saya paham tentang apa yang ingin disampaikan pada cerpen ini. Tema-tema yang diangkat dalam cerpen ini sama sekali rapi, tidak banyak keluar dari rancang-bangun si cerpenisnya. Masih tentang korban sejarah yang menjadikan bangsa ini membawa aib besar. Cerpen berjudul “Penjagal itu Telah Mati” jelas-jelas ingin menunjukkan tentang aib tersebut. Aib sebagai seorang penjagal. Aib yang memang benar ada di suatu bangsa. Demikian, saya berpandangan bahwa cerpen bertemakan seperti ini (yang mengangkat hal-hal tabu) selalu mempunyai daya pikat tersendiri.    

Dalam pandangan psikologi holistik, Henry Alexander Murray (seorang praktisi psikologi klinis yang memiliki minat terhadap kesusastraan) menawarkan tentang bentuk personologi manusia tidak terlepas dari faktor-faktor lingkungan dan daya representasi lingkungan. Masa lampau atau sejarah individu benar-benar sama pentingnya seperti keadaan individu beserta lingkungannya di masa kini. Hal ini tidak terlalu jauh dengan pandangan psikoanalisis. Murray memiliki konsepsi bahwa satuan dasar dalam ranah psikologi, yaitu proceeding merupakan cerminan tingkah laku yang tidak mungkin terlepas dari dimensi waktu. Proceeding berkaitan dengan interaksi antara subjek dan objek, atau antara subjek dan subjek dalam jangka waktu cukup lama sehingga mencakup unsur-unsur penting dalam sekuens tingkah laku tertentu.

Saya mengasosiasikan bahwa cerpen-cerpen yang terkumpul dalam buku “Penjagal itu Telah Mati” merupakan sekuens yang dimaksud Murray. Sekuens yang berisi serial-serial atau jadwal-jadwal yang merupakan sarana untuk mereduksi konflik di antara kebutuhan-kebutuhan dan objek-objek. Tentu semua ini bermuara pada teknik-teknik dalam menyampaikan cerita serta alur-alur yang telah dirancang.

Adapun pembentukan para tokoh dalam kumpulan cerpen ini tidak lepas dengan diri si penulis, yang kemudian direpresentasikan sebagai diri yang sedang berbicara kepada pembaca. Superego dalam pandangan Murray, adalah hasil dari penanaman kebudayaan. Superego sebagai subsistem dalam diri manusia bertindak dalam internalisasi dan pengatur tingkah laku. Rangkaian ini bercermin pada yang pernah dilakukan oleh pelaku-pelaku yang berada di luar individu. Dalam konteks buku ini, para pelaku adalah tokoh-tokoh seperti Mei Hwa, Om Bandrio, Mbah Reso, Moetiah, Lestari, si kakek, nenek, ibu, bapak, mertua, si “saya” atau si “aku” dalam cerpen-cerpen tersebut. 

Tokoh-tokoh rekaan yang coba diperkenalkan oleh si penulis, selain membawa luapan superego, erat kaitannya dengan ego-ideal. Ego-ideal ini merupakan citra yang diangan-angankan atau diambisikan oleh individu sebagai seorang pejuang. Dengan demikian, tokoh-tokoh yang diliputi oleh peristiwa-peristiwa di dalamnya merupakan pergerakan yang tidak bisa dipisahkan dari stigma masyarakat. Adanya internalisasi budaya yang sedang diciptakan lewat konflik-konflik dan tradisi berkisah membuat tokoh-tokoh itu menjadi semakin hidup, bahkan penamaan tokoh yang tidak jauh dari ruang lingkup kolega menjadi bukti bahwa cerpen-cerpen yang hendak ditunjukkan kepada pembaca merupakan bentukan dari agresi. Agresi menurut Murray bukan sebuah mekanisme pembelaan diri, tetapi sebuah kebutuhan. Selain itu, konsep cerita yang mengambil tema sejarah ’65 ini hendak menggali peristiwa-peristiwa traumatis yang barangkali sebagian masyarakat pun tidak ingin peduli. Artinya bahwa ada kebutuhan lain yang kemudian saya asosiasikan dengan istilah kebutuhan menurut Murray yaitu “counteraction”. Bahwa peristiwa-peristiwa traumatis itu dimunculkan dengan dasar bahwa ada yang salah dengan masa lalu, dan sepertinya kesalahan itu menciptakan ruang-ruang bagi si penulis. Ruang yang tidak lagi gelap.

Suara Merdeka, 17 Februari 2013 pernah memuat cerpen “Penjagal itu Telah Mati” yang ditulis pada awal tahun 2013. (Rentang tahun pada buku kumpulan cerpen ini memuat rentang tahun penulisan 2011-2015.) Saya sebenarnya belum membaca buku kumpulan cerpen Kang Putu sebelumnya: “Nyanyian Penggali Kubur”, namun terlepas dari riwayat pembacaan tersebut, saya hendak menduga bahwa kumpulan cerpen kali ini dipenuhi dengan penggunaan bahasa yang bisa dikatakan berkobar-kobar dan tak banyak metafora, yang mana tokoh-tokoh dimaksud untuk menyuarakan masa lalu. Masa di mana terdapat peristiwa yang masih menjadi “hal yang masih layak dijauhi” di kalangan sebagian besar masyarakat Indonesia.

Pada awal paragraf, pembaca akan langsung dalam hanyutan kalimat-kalimat ketegangan yang dingin:

“Dia mati. Kematian yang wajar. Kata orang, lantaran sakit menahun. Namun kabar kematian itu baru saya dengar setelah sekian lama. Kabar kematian yang diam-diam saya syukuri” (hal.6)

Kata “mati” seolah membuat resepsi pembaca diantar ke salah satu ruang, memasuki pintu, kemudian pintu itu menutup sendiri. Tapi ruang itu tidak gelap. Ruang itu terang yang dipenuhi oleh percakapan-percakapan. Kata “mati” yang kemudian diimbuhkan pada kata “syukuri” menjadikan nuansa dingin bagi keteganganan pertama terhadap pembacaan. Tidak banyak metafora dalam cerpen ini, bahkan mungkin tidak ada. Alih-alih, cerpen ini mengandung konflik yang bermuatan daftar tekanan. Secara singkat, Murray mendaftar tekanan-tekanan yang dialami oleh manusia. Tekanan yang tidak hanya bermakna negatif. Yang terjadi dalam cerpen “Penjagal itu Telah Mati” adalah upaya untuk mengarahkan pembaca menuju borok sejarah ’65 melalui repetisi kata “mati” dan “syukur”. Berikut potongan pada akhir cerpen tersebut: “Dia mati. Dan saya bersyukur. Kini, saya berharap bisa lebih tenteram momong cucu. Itulah keinginan saya, Gus. Cuma itu.” (hal.11)

Kompleks klaustral yang didefinisikan oleh Murray berkenaan dengan sisa-sisa pengalaman selama berada dalam kandungan individu. Analis seperti Freud dan Rank pernah membahasnya, tapi Murray mencoba untuk menyatukan ide mereka. Pertama, kompleks itu berkisar tentang keinginan untuk mengembalikan kondisi-kondisi serupa. Kedua, kompleks yang berkisar tentang kecemasan karena ketidakberdayaan. Ketiga, kompleks yang dengan penuh kecemasan ditunjukkan untuk melawan keterpenjaraan. Cerpen “Penjagal itu Telah Mati”, mengindikasikan pendaman kompleks di antara tokoh dan peristiwa. Dan, pokok kompleks klaustral tersebut ada di sini: “Lalu, jika mungkin, mengembalikan rasa percaya diri mereka sebagai manusia, sama seperti manusia lain. (hal.9)

Realisme (menurut seorang akademisi) berusaha menggambarkan hidup dengan sejujur-jujurnya tanpa prasangka dan tanpa usaha memperindahnya. Realisme selalu memasukkan moral, dengan demikian sastra bagi realisme adalah sarana untuk mengkritik dan menyampaikan pesan moral. Realisme menginginkan representasi dari realitas (menggambarkan realitas/kenyataan dalam kehidupan sehari-hari). Oleh sebab itu, realisme membahas kehidupan yang sedang berlangsung dan tingkah laku manusia temporal (yang berpikir, bertindak, dan berperilaku dalam dunia sekarang ini). George Lukacs, merupakan salah satu kritikus sastra Hungaria yang memegang teguh teori Marxis. Lukacs memandang estetika sastra dalam butir-butir prinsip sebagai berikut: (1) Tugas kesenian (termasuk sastra) adalah menampilkan kenyataan sebagai totalitas. (2) Karya sastra menyajikan yang khas dan yang universal. (3) Karya sastra memiliki kekuatan membongkar kesadaran palsu dalam pola pikir sehari-hari masyarakat. (4) Seorang sastrawan mempunyai tanggung jawab dan karenanya harus terlibat dalam masalah yang sedang dihadapi masyarakatnya; seorang sastrawan, kata Lukacs, hendaknya adalah seorang realis, dan seorang realis hendaknya seorang sosialis, dan sebagai seorang sosialis, sastrawan harus tahu dan terlibat dalam masalah sosial masyarakatnya. (5) Dalam setiap karya sastra, kepedulian sosial menjadi ukuran standar keindahan dan satu-satunya ukuran kebenaran.    

Realisme menjadi semacam panggung utama dalam buku kumpulan cerpen tersebut, yang sebenarnya adalah timpalan dari pokok-pokok kompleks setelah melalui gunung-gunung es. Pembaca mungkin saja suntuk dengan sajian tema-tema yang melulu sama. Tapi di sinilah ada upaya penulis untuk membuat unik dalam mengolah tema per judul cerpen. Ujian pembacaan belumlah selesai. Cerpen-cerpen ini masih banyak mengandung hal-hal yang belum “dimengerti” masyarakat secara umum. Dimengerti dalam tanda kutip sebab seperti yang ditulis Wijaya Herlambang dalam risetnya bahwa masyarakat banyak yang terkecoh dengan normalisasi (justifikasi) kekerasan melalui karya sastra yang mana telah beredar di banyak media cetak waktu itu (orde baru). Di sini, dalam konteks ini, proceeding ekternal bisa memunculkan polemik klasik. Murray menganggap proceeding eksternal memiliki dua aspek, pengalaman subjektif dan aspek tingkah laku subjektif. Kedua aspek tersebut terpantul melalui cerpen-cerpen yang kental dengan peristiwa-peristiwa traumatis sejarah ’65. Lebih lagi, trauma tersebut tak kunjung sembuh, meski ada celah-celah rekonsiliasi yang mulai tumbuh. Lewat fungsi sastra, misalnya seperti yang pernah diungkapkan Sapardi.

Kemanusiaan adalah tema besar yang merangsang penulis berjiwa besar manapun pasti hendak menggarapnya. Kemanusiaan yang dibawakan dalam cerpen-cerpen Kang Putu bernilai empiris. Sangat empiris. Pribadi penulis pasti turut menyumbangkan percakapan-percakapan tersebut, sebab keduanya tidak bisa dipisahkan seperti yang diutarakan Andries Teeuw. Mengulas kumpulan cerpen ini bakal tidak ada habisnya, sebab kekuatan situasi yang semakin karut marut ditambah distorsi-distorsi historis yang masih mengental. Pertanyaan tentang kemanusiaan yang ditawarkan oleh cerpen-cerpen Kang Putu adalah semacam lampiran proceeding dari percik renungan Murray dan Kluckhohn (1953):

“Setiap proceeding akan meninggalkan bekas – suatu fakta baru, benih untuk sebuah ide, penilaian kembali tentang sesuatu, persatuan yang lebih mesra dengan seseorang, sedikit perbaikan pemahaman, pembaharuan harapan, alasan lain untuk bersedih...”

Dan akhirnya saya mesti mengucapkan salam kepada tokoh rekaan satu ini: Selamat malam, Moetiah...


Semarang, 2015
*Ditulis oleh seorang mantan akademisi: Ganjar Sudibyo.

9.28.2015

MITOS AESOP BESERTA FABEL-FABELNYA




ALKISAH, saya sedang hendak berusaha mempunyai pikiran seperti anak-anak pada masanya. Pikiran yang selalu diawali dengan rasa ingin tahu. Saya kemudian teringat seorang tokoh psikoanalisis sosial, Erik Erikson pernah bertutur dalam bukunya "Childhood and Society", tentang ketidakmauannya untuk berhenti berpikir seperti anak-anak. Sebagian penulis pun pernah bilang demikian. Berpikir seperti anak-anak berbeda dengan berperilaku seperti anak-anak. Berpikir seperti anak-anak dimaksudkan bahwa ada sisi-sisi yang dapat diambil dari perangainya.  Selain keluguan, kejujuran, wajah-wajah yang nampak selalu menggemaskan, ada satu hal yang tak kalah pening, yaitu sisi keingintahuannya menghadapi realita. Keingintahuan bukanlah segalanya untuk mencapai segalanya, tapi keingintahuan adalah pemantik yang mujarab. Dalam komparasi yang pasaran, keingintahuan lebih baik daripada sok tahu. Nah, saya sudah lama hendak membangkitkan gairah keingintahuan itu dalam kepala saya. Setelah beberapa waktu, saya disadarkan dengan sebuah lintasan pikiran: membaca buku cerita anak. Saya berputar-putar mencari buku itu di dalam internet. Hingga kemudian saya memperoleh beberapa ebook berbahasa Yunani, eh maaf, berbahasa Inggris. Ada nama-nama pengarang seperti Hans C Andersen, Grimm bersaudara, Joseph Jacobs, Ignacz Kunos, Robert Luis Stevenson, dan masih banyak yang lainnya. Tapi saya menemukan seorang pengarang cerita anak yang namanya hampir sama seperti tokoh dalam kartun One Piece: Aesop (eh Usop maksud saya).

Waktu itu saya putuskan untuk pergi ke rumah kawan yang akan belajar bahasa asing di pulau seberang. Dia mencetak banyak ebook dalam bentuk fotokopian atau stensilan. Di situ saya menemukan beberapa pengarang cerita anak. Kemudian kawan saya itu menyodorkan satu buku kumpulan cerita anak hasil unduhan di situs sebuah perguruan tinggi di Amerika. Singkat cerita, Aesop menjadi nama pengarang yang hendak saya telusuri kitab cerita anak yang telah ditulisnya. Selang beberapa waktu, saya mendapatkan ebook classics yang berisi kumpulan berbagai cerita anak milik Aesop. Saya langsung membuang waktu yang tersedia untuk membacanya. Dan, mencoba mengalihbahasakannya ke dalam Bahasa Indonesia. Tak lama, saya menerjemahkan 7 judul cerita anak karya Aesop.

Aesop menurut berbagai sumber pustaka, konon lahir di Asia kemudian menjadi budak di Yunani. Ada yang mengatakan 550 Sebelum Masehi. Yang lain mengatakan 650 Sebelum Masehi. Tapi saya tidak ingin dibikin bingung oleh almanak kelahirannya. Aesop berwajah degil, dan adalah seorang budak. Ya, budak. Budak yang cerdas dalam menangkap suatu perisitiwa yang kemudian dibahasakan melalui cerita-cerita. Ketekunannya, kejeliannya, ketajamannya dalam melihat sesuatu, terutama tingkah polah manusia menjadi modal ketika menuliskan ke dalam bentuk asosiasi manusia dengan binatang. Maka, tak jarang cerita-ceritanya mengandung amanah moral yang luar biasa kuat dan melampaui zaman. Beberapa sumber pustaka bahkan menyebutkan bahwa kisah-kisah cerita anak yang ditulis Aesop telah diterjemahkan ke berbagai bahasa seperti Arab dan juga Bahasa Indonesia. Ya meskipun sudah ada banyak kisah Aesop yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, saya pribadi malah merasa ingin-tahu bagaimana proses penerjemahan kisah-kisah cerita anak yang ditulis oleh Aesop. Toh, ini baru kali pertama saya menerjemahkan cerita anak. 7 judul cerita anak karya Aesop yang coba saya terjemahkan bukan serta merta saya ingin memunculkan tendensi sesuatu bahwa cerita ini lebih penting dari cerita-cerita lainnya. Tidak. Saya hanya ingin menerjemahkan saja, maksud saya mengalihbahasakan.

Saya punya kepercayaan bahwasanya Aesop pernah lahir, hidup, dan menulis kisah-kisah anak itu. Meskipun beberapa sumber pustaka juga menyebutkan bahwa Aesop hanyalah pengganti nama anonim. Dia tidak pernah lahir, hidup, dan menulis. Dia hanya mitos. Mitos yang kemudian digunakan untuk menutupi mitos-mitos kecil di dalam judul-judul cerita anak. Terlepas dari risalah fabel-fabel yang tentu sarat dengan fantasi dan imaji, dengan membaca fabel-fabel tersebut saya menjadi semakin yakin saya bisa mencapai kebangkitan atas pikiran anak-anak lagi. Merasakan bahwa binatang bisa berbicara, bertingkah, berperasaan, berbahasa dengan karakter manusia. Merasakan bahwa tumbuhan dan benda-benda bisa bergerak dan tertawa, mengajarkan perilaku-perilaku tercela atau sebaliknya, berbisik di telinga anak-anak posmo bahwa suatu waktu mereka pernah Ada!


2015
Sumber gambar: www.jssgallery.com

9.16.2015

GELOMBANG PERTANYAAN DALAM SPIRITUALITAS PERAHU


“Kita merasa sangat tidak nyaman dalam dunia yang telah terinterpretasi ini”.
(Rilke dalam Duino Elegy)


Mula-mula saya memperoleh buku ini, saya berpikir, seorang Rabu menulis tentang perahu? Adapun dugaan-dugaan interteks saya begini: apakah Rabu adalah seorang yang familiar dengan kehidupan sungai? Rabu Pagisyahbana alias Lukman Asri Alisyahbana adalah pria kelahiran Purwokerto yang kini memilih tinggal di Kota Pelajar. Dalam buku “Perahu Napas” terdapat puisi-puisinya di rentang tahun 2011-2014, yang mana cetakan buku pertama ini tercatat pada Bulan Mei 2015. Pertanyaan teknis yang muncul kemudian adalah bagaimana pemilahan teks puisi yang dilakukan Rabu? Dan, seberapa pentingkah penyair ini memandang waktu sebagai tanda proses menulis puisinya?

Oke, berlanjut pada pemilihan judul dalam buku yang mana terdapat kata “perahu” dan “napas”. Perahu (kata benda) seperti pada definisi mulanya adalah kendaraan air yang dibuat sederhana daripada kapal. Sedangkan pada kata “napas” (kata benda) yaitu proses  udara yang dihisap melalui hidung atau mulut dan dikeluarkan kembali dari paru-paru. Adapun kedua kata tersebut, “perahu” dan “napas” merupakan sama-sama kata benda. Dugaan pertama saya, penyair berupaya memberikan pengertian yang berbeda antara perahu dan napas namun mempunyai saling keterkaitan, seperti misalnya kata meja kursi. Dugaan kedua saya, perahu napas adalah perahu yang bernapas. Bernapas melalui apa, sebab perahu adalah benda mati? -- dengan kata lain penyair sedang berupaya membikin frase konotatif.

“Di Tepi Dermaga Kertas” merupakan sajian puisi pertama di buku ini. Dalam bait pertama penyair memberikan sentuhan suasana yang tidak jauh dari judul buku, berikut penggalannya:

“kau lingkari angka-angka di almanakku
saat sebagian bertelungkup di luar sana
kau malah terbangun dan berjaga, melipat
kertas-kertas putih menjadi perahu

seakan malam baginya adalah samudra
sedang mimpi seolah pulau tak berpenghuni
...”

Namun, tema besar apakah yang sedang hendak diarungi oleh penyair, yang ingin disajikan kepada para pembaca? Memandang sisi struktural yang ditunjukkan dalam puisi pertama, penyair hendak mengangkat definisi keterangan waktu dan tempat. Di puisi pertama secara utuh, menceritakan tentang malam dan dari pulau yang tak berpenghuni menjadi berpenghuni. Perahu memberikan semacam solusi yang menjadikan pulau tersebut berpenghuni: “kau bujuk angin bawa perahu/sehingga pulau pun jadi berpenghuni”. Ada imaji yang dimunculkan pada sosok “perahu”. “Perahu” menjadi semacam perantara untuk menjadikan yang kosong menjadi isi. Di sini ada semacam logika bahasa yang sedang dimainkan oleh penyair tentang pulau dan mimpi, yang barangkali sebenarnya soal “mimpi” yang menjadi hal penting untuk dimasuki oleh siapapun. Pertanyaan selanjutnya mimpi semacam apa sehingga siapapun itu bisa menjadi penghuni? Apakah mimpi yang dimaksud adalah sebentuk wadah pelarian dari realitas, malam itu sendiri (karena biasanya kata “malam” bergandengan dengan “mimpi”). Puisi ini menawarkan tentang imaji lain tentang perahu.

Mari tengok sajak lain yang berbincang soal perahu. Pada halaman 52, puisi yang berjudul “Di Sepertiga Malam” berikut:

“bulan putih di pangkuan musim
dingin kemarau hampir berakhir
saat angin menjelma perahu di ketinggian
dalam lubuk kau menjelma bintang layang-layang
dan kita berlayar ke selatan

berpeluk ombak
menempuh ujung gelap
di bawah jemari waktu
yang bangkit memainkan benang
berdua kita berenang di sepertiga malam
menyelami laguna bawah sadar
menjelma sunyi di kedalaman”

“Perahu” lagi-lagi menjadi perantara untuk menuju ke “selatan”. Lantas ada apa dengan selatan sehingga memerlukan perahu dan lewat jalur air untuk menuju ke sana? Apakah selatan adalah suatu tempat yang memberikan romantisme kebahagiaan sepasang manusia? Apakah penyair ingin memberi tanda bahasa yang lain tentang selatan? Terlepas itu, nuansa “perahu” seolah tidak terasa kental di sini, melainkan hablur, terutama ketika penyair mencoba menyajikan bahasa dalam bait kedua. Dua Bait seolah menjadi kurang sinambung. Demikian kedudukan perahu seolah menjadi hanya sebagai semacam pelengkap dalam teks puisi tersebut.

Selanjutnya keberadaan imaji perahu dapat ditemui dalam puisi “Perahu Napas” pada halaman 54:

“lelaki duduk memangku laut tiada
selain menyeberangi nasib di kejauhan
bersama angin. angin utara yang berhasil turun
membawa perasan jantung perempuan bukit
menuju arah pantai

sendiri ia berbisik
merangkum masalalu
melipat bangku kosong dan cerita hantu
sementara waktu perlahan karam
merapikan angan-angan

bersamanya perahu napas berlayar
melampaui tubuh dan pikiran
batas diam antara lubuk dan jantung laut
yang pecah membawa ia pulang
ke tugur masadepan”

Kata “perahu” yang digandengkan dengan kata “napas” ini menjadi semakin jelas bahwasanya perahu yang dimaksud adalah kata benda yang dihidupkan menjadi subjek. Pada bait yang terakhir tampak jelas penyair hendak menunjukkan bahwa perahu merupakan kendaraan hidup menuju masa depan. Pertanyaan yang lagi-lagi menggoda saya adalah kenapa penyair hendak memakai "perahu" sebagai kendaraan yang dihidupkan itu? Ya barangkali penyair ingin mengangkat spiritualitas tentang perahu. Spiritualitas yang merupakan kehidupan ruh, sesuatu yang berpikir, kata Descartes. Yakni yang meragukan, menegaskan, menolak, mengetahui sedikit hal, tidak mengetahui banyak hal, yang berkemauan, berhasrat juga berimajinasi, dan merasa. Di dalamnya ada semangat. Perahu dalam buku puisi ini menjadi simbol yang membawa spritualitas tertentu.

"Perahu" dalam buku puisi ini tidak hanya dimunculkan dalam ketiga puisi yang saya perlihatkan. Adapun penyair melesapkan subjek: perahu ke dalam bentuk-bentuk lain, selain memberi alternatif penamaan dengan kata "kapal" (hal.21 & 27). Tema-tema yang coba ditawarkan oleh penyair dalam buku ini yang saya tangkap adalah wujud pelipuran diri atas gejala keputusasaan terhadap ingatan, kenangan, kisah historis, masa lalu, masa depan, roman-roman kesunyian, dan terhadap ketidaknyamanan masa kini. Keputusasaan itu memunculkan subjek-subjek sebagai asosiasinya untuk memandang dari sisi lain, sebagaimana Sartre melalui tokohnya Orestes yang berkata kepada Zeus: kehidupan manusia dimulai pada sisi lain keputusasaan. Dalam konteks ini, gejala keputusasaan atas bentangan diri imaji yang dihadapi penyair; "dan ini nasibku biar saja, biar aku pilih jejak sendiri" (Pada Rautan Pensil, hal.36)  

Dalam catatannya di antologi "Manusia Utama", Arif Budiman mengungkapkan agaknya memang terlalu berbau heroik untuk penyair masa kini di negeri kita. Dibutuhkan perumusan yang lebih halus untuk tidak terlalu heroik, tetapi juga tidak terlalu bermartabat untuk membujuk penyair kembali menjadi saksi zamannya. Untuk ini diperlukan kepekaan sejarah yang tinggi yang menyebabkan suatu karya puisi bukan sekedar endapan pengalaman sejenak, atau bahkan seumur penyairnya, tetapi sepanjang umur tradisinya, bangsanya. Seperti yang dinyatakan kritikus pada Robert Lowell dan T.S. Elliot. Satu keterlibatan sejarah, satu pergumulan, yang bukan sekadar mampu menjadikan sejarah sebagai sumber ilham bagi sajak-sajaknya, tetapi sekaligus mampu mempengaruhi sejarah itu sendiri. 

Demikian perahu napas menjadi sebentuk hero lain yang adalah saksi peristiwa si penyair menyelami dirinya dan realitas yang diramaikan sebagian orang. Yehuda Amichai mengabarkan bahwa memang harus selalu ada yang bersedia untuk menyatakannya lagi, menyatakannya berulang-ulang, bahwa kedua kutub itu memang ada dan sama sahnya, seperti pemain bola di lapangan.

Alih-alih si penyair menyunting spiritualitas perahu pada inti kemudi seperti celupan untingan puisi berjudul "Waktu" (hal.47):
"di luar sana manusia
saling sibuk menerjemahkan waktu
hanya saja aku masih penasaran dengan batu
..."


Semarang, 2015
*Ditulis oleh Ganjar Sudibyo untuk kepentingan perayaan NgoPi komunitas LACIKATA yang ke-19.

9.04.2015

REPERTOAR OBROLAN 24 JAM


Malam hari di suatu Kota, seorang kawan mengajak saya berkunjung ke kediaman Pak Iman. Ke rumah kecilnya yang bermukim di antara orang-orang kos. Dekat pusat kota.Obrolan telah berlangsung ketika saya dan seorang kawan baru saja datang. Pak Iman memang sudah berumur, tapi semangatnya untuk menularkan ilmu yang ia miliki tidaklah putus. Beliau semakin dikenal sebagai seorang budayawan, sastrawan, penyair, penulis cerita anak (kalau yang satu ini saya baru tahu setelah berkunjung malam itu). Pak Iman biasa menyambut para tamu di teras kosnya. Duduk ngopi, udud bersama.

Saya tidak baru pertama kali datang ke kediaman Pak Iman. Ini kali kedua, hanya saja malam ini lebih ramai dengan orang-orang yang ingin bersua. Saya dan seorang kawan yang saya ajak kemudian turut duduk bersama di teras itu. Dan saya pun mencoba mulai mencatat dalam otak, ucapan-ucapan yang disampaikan oleh beliau.

Waktu itu pembicaraan Pak Iman seputar makna konotasi dan denotasi. Tema yang pernah diangkat di sebuah forum di PKKH UGM. Adapun konotasi semakin bertebaran di bahasa manusia sehari-hari kini, khususnya Indonesia. Kosa kata yang kerap kali dipakai dalam bahasa prokem sehari-hari setelah ditelisik lebih lanjut ternyata bukan merupakan makna yang sebenarnya (dalam arti denotasi) melainkan konotasi (makna kias). Fenomena seperti yang kemudian membuat orang-orang bahasa mesti memperhatikan lebih dalam bukan sekedar membuat revisi kamus bahasa. Tidak hanya berhenti pada bahasa sehari-hari lewat komunikasi verbal, adanya iklan di baliho yang sekarang semakin marak, juga menjadi bahan perhatian. Demikian perihal bahasa konotasi menjadi masalah yang krusial manusia sekarang. Kata semakin jauh dari makna yang sebenarnya, kata semakin kental dengan kiasannya. Seperti misalnya berdandan. Makna berdandan menjadi semakin menjauh dari makna sebenarnya, berdandan menjadi semakin bias karena perilaku orang-orang dalam berdandan yang menjurus ke idealisme boneka maniken. Orientasi-orientasi yang demikian menjadi makna semula menjauh dari kata itu sendiri. Persoalan seputar memaknai kata menjadi semakin rumit karena hampir sebagian orang berkomunikasi dengan demikian. Ya, seperti lingkaran setan. Ini baru contoh kosa kata pertama, belum yang lain. Seperti misalnya bertemu. Pertemuan menjadi makna denotasi bilamana ada tatap muka, bukan lewat perangkat media. Memang di satu sisi, saya menyetujui apa yang dikatakan beliau, namun di satu sisi bisa juga menjadi koreksi bahwasanya di pelajaran bahasa Indonesia terdapat peliyorasi dan ameliorasi. Penyempitan dan perluasan makna (dalam konteks tertentu). Kedua istilah tersebut yang kemudian bisa menjadi batas konotasi dan denotasi yang dibicarakan.

Tidak hanya melulu berbicara soal konotasi dan denotasi, pun tidak disebut Pak Iman jika tidak ada pepatah yang dilumerkan dalam obrolan. Beliau sempat mengisahkan tentang adegan ramayana. Kira-kira begini jika saya kisahkan ulang: Ketika Anoman menjaga Rahwana yang sedang dihukum. Anoman berucap kepada Rahwana, tidurlah rahwana kau tidak akan bisa lepas dari hukuman abadi ini. Selang kemudian Rahwana berucap, Anoman, Anoman, tidurlah, kau tidak akan memiliki keturunan karena kau hanya seorang diri, tapi dunia akan dipenuhi oleh rahwana-rahwana lain. Demikian kisah itu dimaksudkan untuk menggambarkan keadaan dunia sekarang. Tema tersebut kemudian mengarahkan pembicaraan menuju zaman kalathida. Beliau kemudian menceritakan tulisannya yang pernah dimuat di Suara Merdeka, terkhusus, beliau merujuk kepada warga Semarang. Tulisan tersebut menyoal rasa malu yang kini semakin tipis di dalam diri manusia. Rasa malu yang dimaksud adalah malu terhadap perilaku yang buruk. Beliau mengungkapkan bahwa lemahnya rasa malu tersebut mulai dicontohkan oleh para aparatur negara. Perilaku yang buruk itu pun kemudian dianggap biasa dan dibiarkan terus menerus muncul. Ini semua menjadi pertanyaan, kemudian kita mesti bagaimana?

Ada perihal-perihal yang kemudian diceritakan oleh Pak Iman. Beliau orangnya gampang bercerita panjang-lebar. Sampai suatu ketika saya bersama beliau hampir 12 jam. Namun, di kesempatan yang agaknya merdeka ini saya ingin mencoba 'membaca' apa yang diucapkan beliau ketika membalas sms teman Beliau. Begini kira-kira: "Belajarlah dari tumbuhan yang tabah dan tetap tumbuh ketika dipangkas, belajarlah kejujuran dari hewan, dan kecerdasan dari manusia."

Sampai jumpa di lain kesempatan, Romo.
"Ngelmu iku kelakone kanthi laku"


Yogyakarta, 2015




1.08.2015

BAIT PENGANTAR “ESKAPIS”*


Pembacaan Bagian I



Seiring garapan-garapan yang tak kunjung selesai karena berbagai macam hal, maka saya putuskan untuk membagi pembacaan atas buku kumpulan puisi karya Arif Fitra Kurniawan. Pembacaan bagian I ini semacam pengantar atas pembacaan sekilas puisi-puisi AFK (Arif Fitra Kurniawan).

"Eskapis" merupakan sebuah judul yang diambil dari judul puisi pada halaman 78. Apa dan bagaimana alasan AFK mengambil judul puisi ini sebagai judul buku tidak dijelaskan pada buku tersebut. Namun saya mencoba mereka-reka kaitan puisi "Eskapis" dengan beberapa puisi lainnya dalam buku ini supaya pembaca tidak terlalu terlantar oleh tanya tentang istilah yang jarang diunggah ini.

Ada dua sisi yang ingin ditunjukkan puisi “Eskapis” melalui dua bait pertama:

Di luar dirimu, cuma ada lingkaran kesalahan dan kekesalan
yang berputar. Tak bisa menghalau diri. Sementara kegelapan
datar menyerupai wajah lantai. Sebelum cahaya kota
dibangun dari mata air kemarahan yang menyeruak tumbuh
dari retakan cangkang kuku-kuku kuning busukmu. Telur-telur
yang ternyata berperangai demikian buruk. Kau tetap yakin
di dunia yang nyaris tak nyata ini orang-orang akan pulang
membawa diri mereka berjalan membungkuk memikul kepala
berisi padat—kaku penyesalan milikku.

Di dalam diriku sudah aku ciptakan ribuan pasang mata
yang menangis,bangsal-bangsal rumah sakit bersalin, jarum
suntik, kapsul penenang dan, rumit rumusan demi menebus
kehilangan.Masa depan orang-orang terlanjur bibit penyakit
menunggu waktu tepat sembari memeluk pertanyaan kapan
dirimu akan berulang-ulang bangkit. Mereka terlanjur getir
menyimpan ucapan selamat.


Dua hal yang dipertautkan tersebut tidak secara eksplisit ingin memberikan nuansa paradoks. “Di luar dirimu...” dan “Di dalam diriku...” tiga kata pembuka tersebut seolah ingin mengecoh pembaca tentang pembacaan paradoksal terhadap puisi ini. Adapun upaya-upaya AFK dalam mencari-cari celah dua sisi tertera di puisi lainnya. Pada puisi “Menukar Kau, Menakar Aku” berbeda dengan dua sisi yang ingin ditunjukkan pada dua bait pertama pada puisi “Eskapis”. Berikut potongannya: 

batu itu, kaukah?
air ini, akukah?
....

Pada puisi tersebut terasa lebih jelas dan tidak begitu rumit ketika mencernanya. Dengan pemberian penekanan melalui tanda tanya, dua larik puisi tersebut memiliki keterkaitan dan keterikatan secara utuh. Antara kata dan bunyi, yang kemudian mengerucut pada korelasi antarlarik (enjambemen). Pun kesan yang ditinggalkan dari puisi tersebut terasa lebih memiliki gesekan yang kuat di antara kedua kata benda “batu” dan “air”. Dalam kelanjutannya, batu dan air menjadi kekuatan untuk bersitegang. Saya mencoba menengok bait terakhirnya:


 agar engkau tahu
sekeras apa dirimu,
ketika leleh secair aku
--dan sebaliknya--

Kata “batu” sudah barang tentu menjadi asosiasi dari suatu benda yang keras, pemilihan kata “batu” memudahkan daya imajinasi pembaca untuk sampai pada bayangan ‘keras’ yang dituju. Begitu pula “air”, yang kemudian adalah suatu wujud yang mudah dicerna untuk mewakili cairan. Kedua kata ini dihubungkan untuk menimbulkan pertentangan dalam benak pembaca. Pertentangan semacam ini yang kemudian berusaha diujicoba oleh AFK untuk menarik adrenalin membaca. Tapi, apakah berhenti hanya sampai pertentangan ini? Dalam kasus teks puisi ini, kiranya AFK tidak memberikan kejutan apapun untuk pembaca yang menanti.

Kembali pada puisi “Eskapis”, yang mana puisi ini ditulis sekitar dua tahun setelah puisi “Menukar Kau, Menakar Aku”. Barangkali penggalan berikut cukup memperjelas kisi-kisi deskripsi dari dua bait awal puisi tersebut:
1. Di luar dirimu, cuma ada lingkaran kesalahan dan kekesalan yang berputar.
2. Di dalam diriku sudah aku ciptakan ribuan pasang mata yang menangis,bangsal-bangsal rumah sakit bersalin, jarum suntik, kapsul penenang dan, rumit rumusan demi menebus kehilangan.

Penggalan kalimat awal dari puisi tersebut ingin menunjukkan wajah yang berbeda. Pada teks nomor 1, didapati perpanjangan dari “di luar dirimu” yang memberikan gambaran bahwa persepsi diri atas di luar diri milik “mu” berisikan “kesalahan” dan “kekesalan”. Persepsi yang muncul di sini adalah persepsi negatif atau prasangka buruk. Pada teks nomor 2, dimunculkan bahwa diri milik “ku” adaah seorang pencipta yang melahirkan suasana-suasana ngeri. Kengerian tersebut diciptakan berupa ruang-ruang medis yang kemudian memiliki tujuan menitikberatkan pada yang bernama kehilangan. Bilamana kedua paragraf tersebut ingin didekatkan, kenapa AFK tidak memberi kata “di dalam dirimu”, sehingga pertentangan dapat terlihat jelas. Rupanya ada reaksi-reaksi ketakpuasan terhadap apa yang sedang digali oleh AFK sebelumnya sehingga menumbuhkan upaya untuk memberi penekanan berbeda. Kebiasaan-kebiasaan silogisme yang menyertai sebuah pembacaan dijadikan semacam uji coba untuk memberi ruang resepsi lain.

Penegasan pada teks nomor 2 dilakukan dengan memperpanjang narasi itu ke bentuk paragaraf baru:

Wabah yang berhasil membelah diri itu seperti air susu langit
memaku-maku batu, tabah meneteki mayatmu yang kekar
bercabang di liang kering angan-anganku.

Kata “wabah” memberi tambahan nilai negatif terhadap penceritaan “di dalam diriku”. Kondisi ini yang kemudian diimajinasikan dengan tingkap-tingkap kata mulai dari “air susu langit” sampai “liang kering angan-anganku”. Pada intinya, teks pada bait lanjutan tersebut berbicara seolah "wabah"  si-aku berujung pada "liang kering angan-angan".

Pada tiga bait terakhir, teks tidak jauh-jauh dengan deskripsi-deskripsi "di luar dirimu" dan "di dalam diriku". Dua hal yang ingin dipertautkan sampai teks puisi ini selesai.   
Di luar dirimu, dunia jadi kubus-kubus besar menyerupai
kekuatan sihir dan teka-teki raksasa. Pertanyaan yang cuma
membuat kita bersedih. Tidak ada musim. Cuma ada prasangka
dan kota yang berkelip-berkelip, sebentar naik ke atas,
mengambang, kemudian mencair. Menyusun siasat bagaimana
menggenangi jam-jam tidurku yang sempit. Cuaca benarbenar
membuat kita jadi mata si pencuriga. Terusan-terusan
salah menuduh bayangan seseorang menanamkan bencana.

Aku sengaja terpejam, membukakan pintu bagi benda-benda
sudah lama letih mengetuk diriku dari dalam; ingin berenang-renang 
menikmati kekalahan.

Di dalam diriku mimpi terbuat dari berjuta-juta kelahiran
bayi binatang purba. Aku satu-satunya manusia yang membenci
diri sendiri dan sering menangis. Kenapa tidak punah
dan diganti dengan perumpamaan baru agar bisa tertukar
denganmu.


Pengulangan-pengulangan yang dilakukan seperti bermaksud untuk menumbuhkan penegasan sekaligus kehibukan bagi pembaca. Dengan gambaran lain yang dimunculkan sebagai bentuk rangsangan bahwasanya ada permasalahan yang pelik antara dua hal yang ingin ditunjukkan oleh teks tersebut. 

Di luar konflik yang ingin disajikan dalam teks puisi "Eskapis" ini, bait yang saya beri warna kuning merupakan bait usaha untuk 'penghelaan nafas'. Hal itu dimaksudkan untuk mengarahkan pembaca pada klimaks yang ingin diucapkan bait terakhir. Semacam kesadaran 'aku' (terlepas sisi di dalam maupun di luar diri). Kesadaran yang ingin ditempatkan pada posisi di mana konflik tersebut tetap berporos pada 'aku'. "Eskapis" merupakan salah satu puisi yang hendak memberi nuansa ekstase bahasa pada pembaca, ditambah dengan bonus imajinasi puitik yang mewah. 

Jika "Eskapis" merupakan usaha untuk pembebasan 'aku' dari suasana yang memerangkap dalam ketidakberdayaan, tema yang hampir sama juga muncul pada puisi  "Jilatan Air".
air akan menjilat kampung-kampung kami 
kami ternyata sudah cukup lama jadi ikan 
mustahil bercita-cita jatuh dari bawah.

Potongan puisi tersebut tidak berbicara tentang 'aku' personal lagi, melainkan kami yang dibawakan oleh 'aku' kolektif. Kami yang kemudian ingin lepas dari perangkap suasana "cita-cita"Segala dugaan ini, membuat saya meyakini bahwa tidak sekedar tawar-menawar teknik penulisan puisi oleh AFK. Sebuah kesaksian majas 'kita' berusaha ditampilkan dari formasi pertentangan dalam bahasa puisi “Bekas Taman Bungamu”:
adakah sisa jarak yang masih bisa kita selamatkan. aku kesakitan
dan ingin menjauh dan ingin berpaling dari pertanyaanmu
yang meruncing. seperti kau, sebenarnya akupun tahu yang
selama ini dikehendaki dan yang tak dikehendaki.

Alih-alih, puisi-puisi yang dikemas dalam buku ini mengandung berbagai macam tema, maka biarlah teks-teks dalam judul buku yang tampak jarang didengar ini yang berkehendak bebas menyetubuhi masing-masing pembaca. Dan semoga pembaca diberkati supaya terbebas dari suasana biasa ketika membaca sebuah buku kumpulan puisi.



*) Adalah judul buku kumpulan puisi Arif Fitra Kurniawan yang dapat dilihat secara sekilas di foto di atas,di mana penulis sedang menunjukkan bukunya. 

Semarang, 2014

1.04.2015

CATATAN “EKSPERIMENTASI” HUBUNGAN JARAK JAUH


Sebuah upaya refleksi kecil


Di antara pucuk tahun lama dengan tahun baru, saya tiba-tiba ingin mempublikasikan jenis tulisan lain (selain fiksi, terjemahan dan esai sastra) di blog yang sudah saya kelola selama hampir 5 tahun ini. Tulisan semacam testimoni kecil tanpa kandungan referensi buku (dalam konteks ilmiah). Di sela hari-hari payah saya, ketika saya merasa bahwa segala hal yang tadinya dekat dengan saya ternyata menjadi potensi untuk berjarak. Tentu saja, hanya saya yang merasakannya, merasakan keterjauhan itu. Nah, saya mencoba  untuk menarasikan deskripsi hubungan saya berkenaan dengan jarak. Ada tiga macam hal terkait dengan hubungan jarak jauh (bahasa remajanya: long distance relationship disingkat ldr) yang sedang saya alami kini. Pertama, hubungan saya dengan kekasih saya. Kedua, hubungan saya dengan Tuhan. Ketiga, hubungan saya dengan tingkat kesadaran masa kini.

Perihal pertama bukanlah sesuatu yang baru sebenarnya. Saya sudah sedemikian rupa lebih dari empat tahun menjalani hubungan ini. Empat tahun lebih barangkali bukan jangka waktu yang lama bagi pasangan-pasangan yang sudah berpengalaman dalam menjalin asmara dengan memilih hubungan jarak jauh. Bagi saya, pun ini bukan suatu permasalahan yang terlalu berarti untuk diputuskan bahwa menjalin asmara jarak jauh adalah sebuah omong kosong dalam mengarungi bab-bab percintaan. Dengan kata lain, sama saja tidak punya kekasih. Anekdot semacam ini sangat sensitif bagi pasangan-pasangan yang sudah akrab dengan jalinan asmara jarak jauh. Saya dapat memaklumi, barangkali mereka yang mengatakan ini sedang mengalami fobia jarak atau level pemahaman atas cinta yang terbagi antara ruang dan waktu. Apapun itu, anekdot yang dibuat untuk menjatuhkan jalinan asmara jarak jauh sebenarnya tidak bisa melemahkan saya (barangkali juga pasangan saya).

Perjalanan asmara hubungan jarak jauh memiliki kekhasan yang menitikkan begitu banyak memori (jatuh-bangun dalam rangka memperbaikki hubungan). Memori-memori itulah yang mengajarkan saya bagaimana saya terus menerus memperbarui tafsiran atas jarak yang terbentuk melalui dimensi waktu.  Jarak, pada esensinya (ketika saya sedang berupaya melewati ini) bisa bertambah membahayakan pun bisa bertambah memesrakan. Membahayakan, sejauh jarak itu tidak dirawat dan merawat hubungan sebuah pasangan, pun sejauh diri yang satu ikut menjauh dari “diri yang lain”. Jarak dalam hal ini menjadi semacam pesakitan yang harus dihindari. Memesrakan, sejauh jarak itu semakin menjadi suatu perekat, bahwasanya hanya “ia” seorang (dari kedua belah pihak).  Lalu jarak, tak lain adalah sebuah sarana perindu untuk kembali bertemu dengan ikatan kasih sayang yang lebih segar yang jauh dari pikiran-pikiran buruk. Dengan kata lain, jarak hanya kilasan kesementaraan menuju pertemuan yang tepat.

Soal asmara yang seperti ini telah dilewati oleh banyak pasangan. Banyak yang bertahan hingga ke peristiwa puncak, banyak yang kemudian berpisah hingga memutuskan untuk menjauhi perkara jarak. Saya sadar, bahwa ini bukan kali pertama saya memutuskan untuk menjalin hubungan semacam ini. Tapi saya berusaha belajar untuk kesekian kalinya, barangkali ada sesuatu yang direncanakan yang tak saya ketahui tentang jarak. Peristiwa-peristiwa yang pernah mencemaskan emosi tentu berkali-kali muncul dan bahkan berulang. Bilamana seorang tidak menyadari akan peristiwa-peristiwa ini dan membuat semacam refleksi kecil-kecilan maka akan memunculkan bosan yang kemudian tinggal menunggu detik hubungan yang pecah. Saya sebenarnya tidak hendak menjadi mahaguru bahkan guru dalam berbicara soal ini. Namun saya berupaya mengambil sedikit panenan dari pekarangan saya.  Dengan demikian, jarak bagi saya bukan menjadi sesuatu yang pantas dicemaskan secara berlebihan.

Perihal kedua, saya mencoba untuk membuka keintiman yang selama ini saya tutup rapat-rapat. Keintiman saya dengan Sang Maha Pencipta. Saya berikan sedikit gambaran latar belakang diri. Saya dilahirkan di keluarga yang taat beragama. Saya sendiri memperoleh pendidikan agama yang cukup memperkaya sisi religiusitas saya. Pendidikan yang paling membuat saya semakin kaya adalah ketika berada di asrama (pada masa ketika saya menuruti kehendak bebas untuk menjadi seorang rohaniwan).  Di sana, saya belajar banyak hal, mengenai refleksi, mengenai penyembuhan luka batin, mengenai kemandirian beragama, mengenai orasi, dan tentunya mengenai menulis. Dalam konteks ini, saya akan jelaskan ringkas mengenai kemandirian beragama. Pendidikan yang saya peroleh di masa-masa itu menitikberatkan pada pengembangan iman beragama. Para seminaris (dan novis), diajak untuk tidak bermalas-malasan dalam menyelami kedalaman pengetahuan, dan relasi antara manusia dengan manusia, pun manusia dengan Sang Maha Pencipta. Yang menarik dari sini adalah proses menemukan hubungan yang intim antara diri personal dengan Tuhan. Setiap individu berbeda dengan yang lainnnya. Di sinilah awalnya saya menemui keunikan, saya menemui jalan saya sendiri untuk membentuk suatu peradaban beragama, yaitu relasi intim saya dengan Sang Maha Pencipta.

Saya merasa bahwa setiap individu mempunyai gambaran Tuhannya masing-masing. Citra kehadiranNya yang berbeda satu sama lain. Tentu dengan landasang pengalaman masing-masing ketika menafsirkan suatu tanda selama berada dalam arus putaran waktu. Dan waktu, sekali lagi menjadi orang tua. Ia (waktu) sejatinya adalah yang mengasuh apa yang tumpul dalam diri kita. Sadar atau tidak, ia melakukan pembenahan secara perlahan. Dengan catatan, manusia yang ikut di dalamnya mempunyai rasa peka dan terbuka terhadap segala sesuatu yang dijumpainya. Kedewasaan bukanlah menjadi tujuan utama menurut saya. Sebab kedewasaan bisa melemahkan ‘pikiran kanak-kanak’ dalam diri manusia. Pikiran yang bisa mengajak terus menerus berkelana. Kedewasaan hanyalah sebuah omong kosong fase perkembangan, tidak lain adalah hasil dari mereka yang mengejar pola-pola hidup mapan dan monoton. Lahir-hidup-sakit-mati. Saya lebih ingin menyebut bahwa kemurnian adalah tujuan pokoknya. Semakin memurnikan diri, semakin juga mengeksistensikan diri di hadapan Yang Maha Pencipta. Waktulah yang akan memurnikan diri dengan kapasitas perkembangan manusia yang berbeda tiap individunya.

Dalam persoalan yang saya geluti, agama bukan lagi perihal taat - tidak taat, dosa – pahala, surga – neraka, melainkan sebuah jalan yang mengantarkan manusia pada peristiwa-peristiwa. Peristiwa di mana manusia bisa merasa sangat dekat, dan bisa merasa sangat, sangat jauh. Apa arti jauh – dekat di sini? Bagi saya, iman bermain di sini, sebab iman adalah pokok dari semua orang yang beragama. Ia menjadi sangat dekat, sebab manusia berani menggerakkan iman akunya menuju Sang Maha Pencipta. Ia menjadi sangat jauh, sebab manusia terbentur oleh gerakan-gerakan praktis, yang mana dipikir sesimpel ini, atau sesimpel itu untuk mendekatkan diri padaNya. Oke, saya malah membuat rumit di sini. Sekali lagi ini hasil dari hubungan pribadi saya denganNya. Bahwa apa yang dimiliki oleh segala pikiran dan perasaanNya tidak sesimpel apa yang dipikir dan dirasakan oleh manusia. Mana mungkin sebuah robot tau apa yang sedang dipikirkan atau dirasakan oleh Penciptanya secara tepat? Secanggih-canggihnya robot, tetap saja ia tidak bisa melebihi penciptanya. Ini analogi kecil yang sebenarnya tak bisa langsung diasosiasikan bahwa robot adalah manusia, bahwa pencipta adalah Tuhan. Saya ingin berbicara bahwa fenomena manusia yang kemudian meniadakan kehendak manusia lain dalam perilaku, sikap, ungkapan  berhubungan dengan Sang Maha Pencipta adalah sesuatu yang sangat keliru. Fenomena tersebut menyatakan bahwa pembodohan dan pemalasan dalam berketuhanan semakin ramai.

Dalam pengalaman pribadi, saya mencoba untuk mengeksplorasi segenap pikiran dan perasaan terhadap Sang Maha Pencipta. Menjauhi diri dari ritual-ritual, menjauhi diri dari aktivitas kelompok-kelompok tertentu. Memang hujan tak ke mana jatuhnya, ke tanah, laut manapun, ke benda-benda apapun, ke makhluk siapapun. Ini menggambarkan suasana basah yang ada dalam diri saya. Suasana di mana saya tidak bisa menjauhkan diri dari Air. Pertemuan-pertemuan dengan berbagai macam individu, kejadian-kejadian yang tidak bisa saya duga, kemewahan hidup yang katanya absurd oleh sebagian orang. Semakin saya menjauhkan diri, saya malah semakin menemukan tanda-tanda lain. Bahwa Ia sangat bisa dan lihai bersemayam di manapun, pada siapa dan apapun. Di satu sisi, saya malah merasakan seperti merebahkan tubuh di kesejukan padang rumput hijau berembun dengan langit biru cerah ketika saya memasuki ruang-ruang keagamaan. Dengan kata lain, saya tidak menemukan kewajiban dan hak bagi saya yang beragama. Ya, alhasil latihan spiritual atas diri religiusitas saya ini masih mencapai hal yang demikian. Pasti namun perlahan, saya terus melatih daya-daya yang ada dalam diri saya karena masih banyak yang belum tersentuh. Dan sekali lagi, waktu. Ialah yang akan meneruskan Ia dalam memurnikan diri saya di antara periode-periode manusia.  

Perihal ketiga, adalah bagian yang sebenarnya tidak jauh dari masa kekinian saya. Apakah ini tanda semacam krisis dalam perkembangan? Saya tidak sepenuhnya mengamini.  Masa depan bilamana itu diasosiasikan dengan warna, adalah hitam legam. Ia gelap, bahkan sangat gelap. Bukan berarti saya antiharapan terhadap masa depan saya sendiri. Saya malah semakin menyadari bahwa sikap atau lebih tepatnya prinsip lepas bebas yang saya terapkan dalam diri saya mengerucutkan saya pada jalan ini. Masa depan hanya sebuah hasil tekanan dari alam manusia sendiri atas rasa cemas. Manusia malah melakukan kredit terhadap hidupnya sendiri dengan memberi nama masa depan.
Ringkasnya, upaya saya ini malah mengerucut pada redefinisi tentang masa depan. Saya tidak mempunyai obsesi cita-cita atau mimpi yang dikata orang setinggi langit itu. Saya yang kemudian tidak lantas melulu menaruh harap bahwa kamu atau kalian semoga selalu baik-baik saja. Sebab yang mulai bertumbuh dalam benak adalah upaya dan upaya. Bagaimanapun juga, harapan adalah sebuah godaan untuk melemahkan diri kini dan melalaikan jalan-jalan kecil masa lalu. Oleh karena itu, masa depan adalah gelap. Saya mesti menjaga jarak dengan masa itu. saya tidak ingin memberi noda pada masa kini. Lalu bukankah jalan masa kini dipancangkan oleh masa depan? Sedia payung sebelum hujan, misalnya? Oh, hei tahukah diriku sayang, bahwa alam telah benar-benar mempunyai perhitungannya sendiri, dan peristiwa-peristiwa yang manusia alami? Saya tetap saja tidak bisa merasakan dahaga dan lapar tanpa jarak. Tiba-tiba saya malah merasa kerdil dan dangkal jika terlalu dekat berdampingan dengan segalanya. Inilah hubungan jarak jauh. Inilah "laku puasa dan matiraga" yang sedang saya olah terus menerus. Refleksi ini telah menjadi semacam morfin kebahagiaan bagi sepanjang pandangan yang telah saya lalui.

Dalam nama waktu, menulis seperti ini telah memberi kesempatan pada catatan jarak untuk terus menumbuhkan padang-padang hijau-biru rindu yang tak lekang oleh upaya-upaya "aku".


Foto oleh Ganjar Sudibyo (2011)

Semarang, 2014 - 2015