10.16.2015

REALISME PROCEEDING DALAM PERSONOLOGI TRAUMATIS SEJARAH ‘65






(catatan pendek untuk buku kumpulan cerpen “Penjagal itu Telah Mati”)



Saya menemui dia atas rekomendasi Badrun, yang bertahun-tahun bersama beberapa kawan muda NU, mendampingi mereka, para eks tahanan politik (tapol) 65. Ya, anak-anak muda itu dengan segala keterbatasan, dan bukan tanpa cemoohan dan risiko berhadapan dengan aparat keamanan dan aparat pemerintahan yang masih bercuriga terhadap segala yang berbau 65, melakukan gerakan nguwongke uwong, memanusiakan manusia. Mereka menyapa, bertandang, dan mendengarkan kisah atau keluhan para eks tapol, yang sebagian pernah diasingkan ke Pulau Buru itu. Lalu, jika mungkin, mengembalikan rasa percaya diri mereka sebagai manusia, sama seperti manusia lain. (Penjagal itu Telah Mati, hal.8-9)

Sudah relatif lama saya tidak membaca cerpen. Terakhir, belakangan ketika saya “dipaksa” menjadi juri lomba cerpen di Undip. Jauh sebelum itu, membaca buku kumpulan cerpen karya Kang Putu (Gunawan Budi Susanto) butuh waktu yang panjang setelah saya membelinya ketika bertemu dengan beliau di acara seni. Panjang dalam arti bahwa butuh tenaga untuk meresapi, mencerna,dan kemudian menafsir.

Pandangan pertama saya tertuju pada cerpen berjudul “Penjagal itu Telah Mati” (hal. 5-12) yang dijadikan judul dalam buku ini. Saya penasaran, dengan subjek yang diberi predikat sebagai penjagal. Memang seberapa penting dengan “penjagal” sehingga mesti dikabarkan mati? Sekilas saya membaca, saya paham tentang apa yang ingin disampaikan pada cerpen ini. Tema-tema yang diangkat dalam cerpen ini sama sekali rapi, tidak banyak keluar dari rancang-bangun si cerpenisnya. Masih tentang korban sejarah yang menjadikan bangsa ini membawa aib besar. Cerpen berjudul “Penjagal itu Telah Mati” jelas-jelas ingin menunjukkan tentang aib tersebut. Aib sebagai seorang penjagal. Aib yang memang benar ada di suatu bangsa. Demikian, saya berpandangan bahwa cerpen bertemakan seperti ini (yang mengangkat hal-hal tabu) selalu mempunyai daya pikat tersendiri.    

Dalam pandangan psikologi holistik, Henry Alexander Murray (seorang praktisi psikologi klinis yang memiliki minat terhadap kesusastraan) menawarkan tentang bentuk personologi manusia tidak terlepas dari faktor-faktor lingkungan dan daya representasi lingkungan. Masa lampau atau sejarah individu benar-benar sama pentingnya seperti keadaan individu beserta lingkungannya di masa kini. Hal ini tidak terlalu jauh dengan pandangan psikoanalisis. Murray memiliki konsepsi bahwa satuan dasar dalam ranah psikologi, yaitu proceeding merupakan cerminan tingkah laku yang tidak mungkin terlepas dari dimensi waktu. Proceeding berkaitan dengan interaksi antara subjek dan objek, atau antara subjek dan subjek dalam jangka waktu cukup lama sehingga mencakup unsur-unsur penting dalam sekuens tingkah laku tertentu.

Saya mengasosiasikan bahwa cerpen-cerpen yang terkumpul dalam buku “Penjagal itu Telah Mati” merupakan sekuens yang dimaksud Murray. Sekuens yang berisi serial-serial atau jadwal-jadwal yang merupakan sarana untuk mereduksi konflik di antara kebutuhan-kebutuhan dan objek-objek. Tentu semua ini bermuara pada teknik-teknik dalam menyampaikan cerita serta alur-alur yang telah dirancang.

Adapun pembentukan para tokoh dalam kumpulan cerpen ini tidak lepas dengan diri si penulis, yang kemudian direpresentasikan sebagai diri yang sedang berbicara kepada pembaca. Superego dalam pandangan Murray, adalah hasil dari penanaman kebudayaan. Superego sebagai subsistem dalam diri manusia bertindak dalam internalisasi dan pengatur tingkah laku. Rangkaian ini bercermin pada yang pernah dilakukan oleh pelaku-pelaku yang berada di luar individu. Dalam konteks buku ini, para pelaku adalah tokoh-tokoh seperti Mei Hwa, Om Bandrio, Mbah Reso, Moetiah, Lestari, si kakek, nenek, ibu, bapak, mertua, si “saya” atau si “aku” dalam cerpen-cerpen tersebut. 

Tokoh-tokoh rekaan yang coba diperkenalkan oleh si penulis, selain membawa luapan superego, erat kaitannya dengan ego-ideal. Ego-ideal ini merupakan citra yang diangan-angankan atau diambisikan oleh individu sebagai seorang pejuang. Dengan demikian, tokoh-tokoh yang diliputi oleh peristiwa-peristiwa di dalamnya merupakan pergerakan yang tidak bisa dipisahkan dari stigma masyarakat. Adanya internalisasi budaya yang sedang diciptakan lewat konflik-konflik dan tradisi berkisah membuat tokoh-tokoh itu menjadi semakin hidup, bahkan penamaan tokoh yang tidak jauh dari ruang lingkup kolega menjadi bukti bahwa cerpen-cerpen yang hendak ditunjukkan kepada pembaca merupakan bentukan dari agresi. Agresi menurut Murray bukan sebuah mekanisme pembelaan diri, tetapi sebuah kebutuhan. Selain itu, konsep cerita yang mengambil tema sejarah ’65 ini hendak menggali peristiwa-peristiwa traumatis yang barangkali sebagian masyarakat pun tidak ingin peduli. Artinya bahwa ada kebutuhan lain yang kemudian saya asosiasikan dengan istilah kebutuhan menurut Murray yaitu “counteraction”. Bahwa peristiwa-peristiwa traumatis itu dimunculkan dengan dasar bahwa ada yang salah dengan masa lalu, dan sepertinya kesalahan itu menciptakan ruang-ruang bagi si penulis. Ruang yang tidak lagi gelap.

Suara Merdeka, 17 Februari 2013 pernah memuat cerpen “Penjagal itu Telah Mati” yang ditulis pada awal tahun 2013. (Rentang tahun pada buku kumpulan cerpen ini memuat rentang tahun penulisan 2011-2015.) Saya sebenarnya belum membaca buku kumpulan cerpen Kang Putu sebelumnya: “Nyanyian Penggali Kubur”, namun terlepas dari riwayat pembacaan tersebut, saya hendak menduga bahwa kumpulan cerpen kali ini dipenuhi dengan penggunaan bahasa yang bisa dikatakan berkobar-kobar dan tak banyak metafora, yang mana tokoh-tokoh dimaksud untuk menyuarakan masa lalu. Masa di mana terdapat peristiwa yang masih menjadi “hal yang masih layak dijauhi” di kalangan sebagian besar masyarakat Indonesia.

Pada awal paragraf, pembaca akan langsung dalam hanyutan kalimat-kalimat ketegangan yang dingin:

“Dia mati. Kematian yang wajar. Kata orang, lantaran sakit menahun. Namun kabar kematian itu baru saya dengar setelah sekian lama. Kabar kematian yang diam-diam saya syukuri” (hal.6)

Kata “mati” seolah membuat resepsi pembaca diantar ke salah satu ruang, memasuki pintu, kemudian pintu itu menutup sendiri. Tapi ruang itu tidak gelap. Ruang itu terang yang dipenuhi oleh percakapan-percakapan. Kata “mati” yang kemudian diimbuhkan pada kata “syukuri” menjadikan nuansa dingin bagi keteganganan pertama terhadap pembacaan. Tidak banyak metafora dalam cerpen ini, bahkan mungkin tidak ada. Alih-alih, cerpen ini mengandung konflik yang bermuatan daftar tekanan. Secara singkat, Murray mendaftar tekanan-tekanan yang dialami oleh manusia. Tekanan yang tidak hanya bermakna negatif. Yang terjadi dalam cerpen “Penjagal itu Telah Mati” adalah upaya untuk mengarahkan pembaca menuju borok sejarah ’65 melalui repetisi kata “mati” dan “syukur”. Berikut potongan pada akhir cerpen tersebut: “Dia mati. Dan saya bersyukur. Kini, saya berharap bisa lebih tenteram momong cucu. Itulah keinginan saya, Gus. Cuma itu.” (hal.11)

Kompleks klaustral yang didefinisikan oleh Murray berkenaan dengan sisa-sisa pengalaman selama berada dalam kandungan individu. Analis seperti Freud dan Rank pernah membahasnya, tapi Murray mencoba untuk menyatukan ide mereka. Pertama, kompleks itu berkisar tentang keinginan untuk mengembalikan kondisi-kondisi serupa. Kedua, kompleks yang berkisar tentang kecemasan karena ketidakberdayaan. Ketiga, kompleks yang dengan penuh kecemasan ditunjukkan untuk melawan keterpenjaraan. Cerpen “Penjagal itu Telah Mati”, mengindikasikan pendaman kompleks di antara tokoh dan peristiwa. Dan, pokok kompleks klaustral tersebut ada di sini: “Lalu, jika mungkin, mengembalikan rasa percaya diri mereka sebagai manusia, sama seperti manusia lain. (hal.9)

Realisme (menurut seorang akademisi) berusaha menggambarkan hidup dengan sejujur-jujurnya tanpa prasangka dan tanpa usaha memperindahnya. Realisme selalu memasukkan moral, dengan demikian sastra bagi realisme adalah sarana untuk mengkritik dan menyampaikan pesan moral. Realisme menginginkan representasi dari realitas (menggambarkan realitas/kenyataan dalam kehidupan sehari-hari). Oleh sebab itu, realisme membahas kehidupan yang sedang berlangsung dan tingkah laku manusia temporal (yang berpikir, bertindak, dan berperilaku dalam dunia sekarang ini). George Lukacs, merupakan salah satu kritikus sastra Hungaria yang memegang teguh teori Marxis. Lukacs memandang estetika sastra dalam butir-butir prinsip sebagai berikut: (1) Tugas kesenian (termasuk sastra) adalah menampilkan kenyataan sebagai totalitas. (2) Karya sastra menyajikan yang khas dan yang universal. (3) Karya sastra memiliki kekuatan membongkar kesadaran palsu dalam pola pikir sehari-hari masyarakat. (4) Seorang sastrawan mempunyai tanggung jawab dan karenanya harus terlibat dalam masalah yang sedang dihadapi masyarakatnya; seorang sastrawan, kata Lukacs, hendaknya adalah seorang realis, dan seorang realis hendaknya seorang sosialis, dan sebagai seorang sosialis, sastrawan harus tahu dan terlibat dalam masalah sosial masyarakatnya. (5) Dalam setiap karya sastra, kepedulian sosial menjadi ukuran standar keindahan dan satu-satunya ukuran kebenaran.    

Realisme menjadi semacam panggung utama dalam buku kumpulan cerpen tersebut, yang sebenarnya adalah timpalan dari pokok-pokok kompleks setelah melalui gunung-gunung es. Pembaca mungkin saja suntuk dengan sajian tema-tema yang melulu sama. Tapi di sinilah ada upaya penulis untuk membuat unik dalam mengolah tema per judul cerpen. Ujian pembacaan belumlah selesai. Cerpen-cerpen ini masih banyak mengandung hal-hal yang belum “dimengerti” masyarakat secara umum. Dimengerti dalam tanda kutip sebab seperti yang ditulis Wijaya Herlambang dalam risetnya bahwa masyarakat banyak yang terkecoh dengan normalisasi (justifikasi) kekerasan melalui karya sastra yang mana telah beredar di banyak media cetak waktu itu (orde baru). Di sini, dalam konteks ini, proceeding ekternal bisa memunculkan polemik klasik. Murray menganggap proceeding eksternal memiliki dua aspek, pengalaman subjektif dan aspek tingkah laku subjektif. Kedua aspek tersebut terpantul melalui cerpen-cerpen yang kental dengan peristiwa-peristiwa traumatis sejarah ’65. Lebih lagi, trauma tersebut tak kunjung sembuh, meski ada celah-celah rekonsiliasi yang mulai tumbuh. Lewat fungsi sastra, misalnya seperti yang pernah diungkapkan Sapardi.

Kemanusiaan adalah tema besar yang merangsang penulis berjiwa besar manapun pasti hendak menggarapnya. Kemanusiaan yang dibawakan dalam cerpen-cerpen Kang Putu bernilai empiris. Sangat empiris. Pribadi penulis pasti turut menyumbangkan percakapan-percakapan tersebut, sebab keduanya tidak bisa dipisahkan seperti yang diutarakan Andries Teeuw. Mengulas kumpulan cerpen ini bakal tidak ada habisnya, sebab kekuatan situasi yang semakin karut marut ditambah distorsi-distorsi historis yang masih mengental. Pertanyaan tentang kemanusiaan yang ditawarkan oleh cerpen-cerpen Kang Putu adalah semacam lampiran proceeding dari percik renungan Murray dan Kluckhohn (1953):

“Setiap proceeding akan meninggalkan bekas – suatu fakta baru, benih untuk sebuah ide, penilaian kembali tentang sesuatu, persatuan yang lebih mesra dengan seseorang, sedikit perbaikan pemahaman, pembaharuan harapan, alasan lain untuk bersedih...”

Dan akhirnya saya mesti mengucapkan salam kepada tokoh rekaan satu ini: Selamat malam, Moetiah...


Semarang, 2015
*Ditulis oleh seorang mantan akademisi: Ganjar Sudibyo.

0 pembaca kata berbicara:

Posting Komentar

silakan rawat benih ini