PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

12.28.2012

REKAMAN MUSIKALISASI PUISI DARI BUKU PUISI PERTAMA SAYA


Rekaman-rekaman tersebut dapat didengarkan melalui media youtube. Silakan klik di tiap judul di bawah ini untuk menyimaknya (special thanks to Lalu Arman Rozika) :

HANA
JENAR
BENTENG PORTUGIS, BAHU KITA


Atas apresiasinya saya mengucapkan terima kasih.

12.24.2012

SION


ada yang terlupa terbaca di sini;
sion...sion...malam selalu mustahil untuk mengerti
bagaimana kita mesti menerjemahkan langit
di sini orang-orang sedang senang bermadah
tapi barangkali di kotamu itu, sion
sejumlah bintang akan turun
lalu jelma menjadi seorang ibu;
sebuah malam ada yang terlahir
di antara puisi-puisi dan riuh
mimpi-mimpi para anak jalanan

siapa ibu kita sebenarnya?
tanya mereka

kota ini
adalah yang sempat kita lalukan

sion...sion
naiklah sebagai dunia


2012

12.22.2012

MEMBAYANGKAN KEMATIAN


1. kamu simpan di mana aduhku, ini siang yang lagi-lagi lupa
hujan kapan mendarat lebih cepat. kamu hapalkan bagaimana
kesepian yang sarat ini. di luar tadi aku makan di warung pecel
membayangkan kita…pahamkanlah, pahamkanlah. ada sesuatu
yang mesti kita tunda untuk dirayakan, sebelum yang kita percayai
sekarang benar-benar berbalik dan terasa serba salah

2. di sini aku tak bisa menyatakan mimpi, tempat tidur yang sempit
memaksa mataku ini berbohong. di luar hujan reda segera.
daun-daun kuyup, aku serasa menginjak tanah yang becek
sembari ingin lekas memeluk kamu;
kitaku, jujurkah  kita bilamana degup kencang di dada kita
adalah tanda bahwa ada yang pulang sebentar lagi?

3. oh, hai, bukankah ruang ini menampung segala sunyi bunyi
beserta ramalan-ramalan tentang kekalahan: kematian itu
telah kita bayangkan sebagai duka paling mesra. maka jarak ini
adalah perantaraan kita:
kamu bersikeras memaknai angin. aku ingin melamun saja


2012

12.09.2012

DUA PUISI DI BALI POST


Dua puisi saya ini dimuat di surat kabar Bali Post pada Hari Minggu, 9 Desember 2012:

PENGHUJAN
SEHABIS LOMBA CIPTA PUISI





12.08.2012

FOTOGRAFI KENANGAN ( I )


sebuah rumah kosong, sebuah kursi panjang di teras;
aku, lalu sebuah pohon yang sedang merayakan
buah-buah jatuh

sebuah kursi panjang di teras, sebuah rumah yang kosong;
kamu, lalu sebuah pot keramik tua yang retak
dan bunga-bunga tak ingin menamai tanah di dalamnya

sebuah alamat di sebuah gang buntu
orang-orang bersegera mematikan televisi lalu pergi
menanggalkan rumahnya


2012

11.30.2012

SEBELUM SUBUH



suara itu seperti kidung ibu yang meninabobokan anaknya;
lalu ada seseorang yang menggambar rumah
dengan banyak pohon perdu di sekitarnya,
ada jendela dan pintu berumur seribu kesedihan,
lalu sebuah taman kecil muncul tersembunyi
di dalamnya.

tanpa dirimu lagi, dunia membikin perasaan ini kembali kesemutan,
kitaku. sebuah cahaya telah menuntunku menuju suara itu;
aku keluar kamar, menghirup udara di sekeliling asbes
yang basah, mengusir tikus-tikus, membuka kulkas,
minum coca-cola, mematikan televisi.

kini aku berdiri tanpa cahaya, tapi suara itu masih ada
bukan siapa-siapa. tapi aku seperti pernah mendengarnya
di sebuah pertunjukkan; "rumahku, cintakan aku kepada
alamatmu....rumahku, hujan tadi bukankah milik kita hanya?"

sebuah rumah menjadi dingin dan gaduh, tiba-tiba. aku tahu
itu bukan dirimu, sebab dirimu tak pernah menjelma rumah.

inilah kita, aku yang berangan diam di rumah itu
kamu yang tidak ingin kita terus-terusan begadang
atau mengobrol tak penting, seperti kata ibu

sebelum subuh, di dekat taman kecil itu
aku bersimpuh pada nyeri kata-kata:
tabahku, atas nama suara yang dipersalinkan
ajarilah kami menjangkau jarak
bayangan-bayangan seluruh diri ini kepada rumah


2012

11.27.2012

CERPEN KATHERINE ANNE PORTER




THE GRAVE

The Grandfather, dead for more than thirty years, had been twice disturbed in his long repose by the constancy and possessiveness of his widow. She removed his bones first to Louisiana and then to Texas as if she had set out to find her own burial place, knowing well she would never  return to the places she had left. In texas she set up a small cemetery in a corner of his farm, and as the family connection grew, and oddments of relations came over from Kentucky to settle, it contained at last about twenty graves. After the Grandmother`s death, part of her land was to be sold for the benefit of certain of her children, and the cemetery happened to lie in the part set aside for sale. It was necessary to take up the bodies and bury them again in the family plot in the big new public cemetery, where the Grandmother had been buried. At last her husband was to lie beside her for eternity, as she had planned.
The family cemetery had been a pleasant small neglected garden of tangled rose bushes and ragged cedar trees and cypress, the simple flat stones rising out of uncropped sweet-smelling wild grass. The graves were lying open and empty one burning day when Miranda and her brother Paul, who often went together to hunt rabbits and doves, propped their twenty-two Winchester rifles carefully againts the rail fence, climbed over and explored among the graves. She was nine years old and he was twelve.
They peered into the pits all shaped alike with such purposeful accuracy, and looking at each other with pleased adventurous eyes, they said in solemn tones: “These were graves!” trying by words to shape a special, suitable emotion in their minds, but they felt nothing except an agreeable thrill of wonder: they were seeing a new sight, doing something they had not done before. In them both there was also a small disappointment at the entire commonplaceness of the actual spectacle. Even if it had once contained a coffin for years upon years, when the coffin was gone a grave was just a hole in the ground. Miranda leaped into the pit that had held her grandfather`s bones. Scratching around aimlessly and pleasurably as any young animal, she scooped up a lump of earth and weighed it in her palm. It had a pleasantly sweet, corrupt smell, being mixed with cedar needles and small leaves, and as the crumbs fell apart, she saw a silver dove no larger than a hazel nut, with spread wings and a neat fan-shaped tail. The breast had a deep round hollow in it. Turning it up to the fierce sunlight, she saw that the inside of the hollow was cut in little whorls. She scrambled out, over the pile of loose earth that had fallen back into one end of the grave, calling to Paul that she had found something, he must guess what. . . His head appeared smiling over the rim of another grave. He waved a closed hand at her . “I’ve got something too!” They ran to compare treasures, making a game of it, so many guesses each, all wrong, and a final showdown with opened palms. Paul had found a thin wide gold ring carved with intricate flowers and leaves. Miranda was smitten at sight of the ring and wished to have it. Paul seemed more impressed by the dove. They made a trade, with some little bickering. After he had got the dove in his hand, Paul said, “Don`t you know what this is? This is a screw head for a coffin! . . . I`ll bet nobody else in the world has one like this!”
Miranda glanced at it without covetousness. She had the gold ring on her thumb; it fitted perfectly. “Maybe we ought to gp now,” she said, “maybe one of the niggers`ll see us and tell somebody.” They knew the land had been sold, the cemetery was no longer theirs, and they felt like trespasser. They climbed back over the fence, slung their rifles loosely under their arms—they had been shooting at targets with various kinds of firearms since they were seven years old – and set out to look for the rabbits and doves or whatever small game might happen along. On these expeditions Miranda always followed at Paul`s heels along the path, obeying instructions about handling her gun when going through fences; learning how to stand it up properly so it would not slip and fire unexpectedly; how to wait her time for a shot and not just bang away in the air without looking, spoiling shots for Paul, who really could hit things if given a chance. Now and then, in her excitement at seeing birds whizz up suddenly before her face, or a rabbit leap across her very toes, she lost her head, and almost without sighting she flung her rifle up and pulled the trigger. She hardly ever hit any sort of mark. She had no proper sense of hunying at all. Her brother would be often completely disgusted with her. “You don`t care wheter you get your bird or not,” he said. “That`s no way to hunt.” Miranda could not understand his indignation. She had seen him smash his hat and yell with fury when he had missed his aim. “What I like about shooting,” said Miranda, with exasperating incnsequence, “is pulling the trigger and hearing the noise.”
“Then, by golly,” said Paul, “whyn`t you go back to the range and shoot at bulls-eyes?”
“I`d just as soon,” said Miranda, “only like this, we walk around more.”
“Well, you just stay behind and stop spoiling my shots,” said Paul, who, when he made a kill, wanted to be certain he had made it. Miranda, who alone brought down a bird once in twenty rounds, always claimed as her own any game they got when they fired at the same moment. It was tiresome and unfair and her brother was sick of it.
“Now, the first dove we see, or the first rabbit, is mine,” he told her. “And the next will be yours. Remember that and don`t get smarty.”
“What about snakes?” asked Miranda idly. “Can I have the first snake?”
Waving her thumb gently and watching her gold ring glitter, Miranda lost interest in shooting. She was wearing her summer roughing outfit: dark blue overalls, a light blue shirt, a hired-man`s straw hat, and thick brown sandals. Her brother had the same outfit except his was a sober hickory-nut color. Ordinarily Miranda preferred her overalls to any other dress, though it was making rather a scandal in the countryside, for the year was 1903, and in the back country the law of female decorum had teeth in it. Her father had been criticized for letting his girls dress like boys and go careering around astride barebacked horses. Big sister Maria, the really independent and fearless one in spite of her rather affected ways, rode at a dead run with only a rope knotted around her horse`s nose. It was said the motherless family was running down, with the Grandmother no longer there to hold it together. It was known that she had discriminated againts her son Harry in her will, and that he was in straits about money. Some of his old neighbors reflected with vicious satisfaction that now he would probably not be so stiffnecked , nor have any more high-stepping horses either. Miranda knew this, though she could not say how.  She had met along the road old women of the kind who smoked corn-cob pipes, who had treated her grandmother with most sincere respect. They slanted their gummy old eyes side-ways at the granddaughter and said, “Ain`t you ashamed of yoself, Missy?  It`s agints the Scriptures to dress like that. Whut yo Pappy thinkin about?” Miranda, with her powerful social sense, which was like a fine set of antennae radiating from every pore of her skin, would feel ashamed because she knew well it was rude and ill-bred to shock anybody, even bad-tempered old crones, though she had faith in her father`s judgement and was perfectly comfortable in the clothes. Her father had said, “They`re just what you need, and they`ll save your dresses for school....” This sounded quite simple and natural to her. She had been brought up in rigorous economy. Wastefulness was vulgar. It was also a sin. These were thruths; she had heard them repeated many times and never once disputed.
Now the ring, shining with the serene purity of fine gold on her rather grubby thumb, turned her feelings against her overalls and sockless feet, toes sticking through the thick brown leather straps. She wanted to go back to the farmhouse, take a good cold bath, dust herself with plenty of Maria`s violet talcum powder—provided Maria was not present to object, of course—put on the thinnest, most becoming dress owned, with a big sash, and sit in a wicker chair under trees.... These things were not all she wanted, of course; she had vague stirrings of desire for luxury and a grand way of living which could not take precise form in her imagination but were founded on family legend of past wealth and leisure. These immediate comforts were what she could have, and she wanted them at once. She lagged rather far behind Paul, and once she thought of just turning back without a word and going home. She stopped, thinking that Paul would never do that to her, and so she would have to tell him. When a rabbit leaped, she let Paul have it without dispute. He killed it with one shot.       
When she came upwith him, he was already kneeling, examining the wound, the rabbit trailing from his hands. “Right through the head, “ he said complacently, as if he had aimed for it. He took out his sharp, competent bowie knife and started to skin the body. He did it very cleanly and quickly. Uncle Jimbilly knew how to prepare the skins so that Miranda always had fur coats for her dolls, for though she never cared much for her dolls she liked seeing them in  fur coats. The children knelt facing each other over the dead animal. Miranda watched admiringly while her brother stripped the skin away as if he were taking off a glove. The flayed flesh emerged dark scarlet, sleek, firm; Miranda with thumb and finger felt the long fine muscles with the silvery flat strips binding them to the joints. Brother lifted the oddly bloated belly. “Look.” He said, in a low amazed voice. “It was going to have young ones.”
Very carefully he slit the thin flesh from teh center ribs to the flanks, and a scarlet bag appeared. He slit again and pulled the bag open, and there lay a bundle of tiny rabbits, each wrapped in a thin scarlet veil. The brother pulled tehse off and there they were, dark gray, their sleek wet down lying in minute even ripples, like a baby`s head just washed, their unbelievably small delicate ears folded close, their little blind faces almost featureless.
Miranda said, “Oh, I want to see,” under her breath. She looked adn looked—excited but not frightened, for she was accustomed to the sight of animals killed in hunting—filled with pity and astonishment and a kind of shocked delight in the wonderful little creatures for their own sakes, they were so pretty. She touched one of them ever so carefully. “Ah, there`s blood running over them,” she said and began to tremble without knowing why. Yet she wanted most deeply to see and to know. Having seen, she felt at once as if she had known all along. They very memory of her former ignorance faded, she had always known just this. No one had ever told her anything outright, she had been rather unobservant of the animal life around her because she was so accustomed to animals. They seemed simply disorderly and unaccountably rude in their habits, but together natural and not very interesting. Her brother had spoken as if had known about everything all along. He may have seen all this before. He had never said a word to her, but she knew now a part at least of what he knew. She understood a little of the secret, formless intuitions in her own mind and body, which had been clearing up, taking form, so gradually and so steadily she had not realized that she was learning what she had to know. Paul said cautiously, as if he were talking aboout something forbidden: “They were just about ready to be born.” His voice dropped on the last word. “I know,” said Miranda, “like kittens. I know, like babies.” She was quitely and terribly agitated, standing again with her rifle under her arm, looking down at the bloody heap. “I don`t want the skin,” she said, “I won`t have it.” Paul buried the young rabbits again in their mother`s body, wrapped the skin around her, carried her to a clump of sage bushes, and  hid her away. He came out again at once and said to Miranda, with an eager friendliness,, a confidential tone quite unsual in him, as if he were taking her into an important secret on equal terms: “Listen now. Now you listen to me, and don`t ever forget. Don`t you ever tell Dad because I`ll get into trouble. He`ll say I`m leading you into things you ought not to do. He`s always saying that. So now don`t you go and forget and blab out sometime the way you`re always doing. . . . Now, that`s a secret. Don`t you tell.”
Miranda never told, she did not even wish to tell anybody. She thought about the whole worrisome affair with confused unhappiness for a few days. Then it sank quitely into her mind and was heaped over by accumulated thousands of impressions, for nearly twenty years. One day she was picking her path among the puddles and crushed refuse of a market street in a strange city of a strange country, when without warning, plain and clear in its true colors as if she looked through a frame upon a scene that had not stirred nor change since the moment it happened, the episode of that far-off day leaped from its burial place before her mind`s eye. She was so reasonlessly horrified she halted suddenly staring, the scene before her eyes dimmed by the vision back of them. An Indian vendor had held up before her a tray of dyed sugar sweets, in the shapes of all kinds of small creatures: b irds, baby chicks, baby rabbits, lambs, baby pigs. They were in gay colors and smelled of vanilla, maybe. . . . it was a very hot day and the smell in the market, with its piles of raw flesh and wilting flowers, was like the mingled sweetness and corruption she had smelled hat other day in the empty cemetery at home: the day she had remembered always until now vaguely as the time she and her brother had found treasure in the opened graves. Instantly upon this thought the dreadful vision faded, and she saw clearly her brother, whose childhood face she had forgotten, standing again in the blazing sunshine, again twelve years old, a pleased sober smile in his eyes, turning the silver dove over and over in his hands.    


*) cerpen ini saya ketik ulang

MENERKAMU


pagi-pagi ini aku ingin seaku kamu
kita lupakan sudah waktu, tapi dengan cara
seperti cahaya menumbuhkan biji kacang ijo
di atas kapas. betapa sulit bukan?
ah....kekasih, kekasih,
panjangkanlah lenganmu, aku ingin
mencintaimu. lebih tepatnya memelukmu,
bersama penantian akhir tahun kita putar
jam dinding sebalik-baliknya, secepat-cepatnya.
kita tempelkan foto-foto di dinding kamar
serapat-rapatnya;
tapi sebenarnya aku ingin cium pipimu
dengan degup cepat jantung ini
ya, agar kita tahu lagi. siapa yang berulang tahun
hari ini atau berapa lama sudah aku-kamu
menjadi kalender berangka merah

oh, hai, kamu belum bangun ya jam segini


2012

11.23.2012

DUA SAJAK DI JURNAL SAJAK 4


Dua sajak saya yang kebetulan dimuat di JURNAL SAJAK edisi 4 ini antara lain:
PENANGGALAN KALENDER DI BULAN MARET
PUISI TENTANG ANAK-ANAK BULAN

11.19.2012

PENGHUJAN




dengan daun talas di atas kepala kami,
kami mengucap syukur setinggi-tingginya;
kepada tanah yang sabar menampung doa,
kepada kalian yang memberi sungai-sungai
beroleh nafas kembali.

langitkah itu, yang membikin kami bisa
menggigil lagi? setidaknya angkasa
yang basah telah berhasil kami teropong
menggunakan gulungan daun pisang
yang menyimpan banjir kenangan.

dengan daun talas di atas kepala kami,
matakami tak kuasa  menjatuhkan
doa dan amin sepanjang-panjangnya


2012 

11.16.2012

MATA KITA HIJAU BUKAN KARENA BLUES




i.
sekali lagi kita berulang-ulang menyimpan kenangan
sekaligus kerinduan sebagai sebuah lagu. bunyi guntur
sore hari adalah pertanda, kita tak bisa bertemu nanti
malam. tapi tenang saja, kekasih, aku akan tetap
menelpon kamu. baiklah jika kita lagukan lengan-lengan
yang semakin gatal untuk merasakan berapa kecepatan
detak jantung kita....oke, kita tidak akan membikin
lagu blues untuk itu. blues terlampau mahal untuk kita
mengerti sebagai bahasa sehari-hari. sebuah pernyataan
bahwasanya kita lebih suka memakai nada secara wajar
seperti ibu kita dahulu sekali; mengantar tidur kita tanpa
dipura-purakan.

ii.
suara cicak, suara tokek, jangkrik, dan burung-burung
yang berpulang, gerimis, kaca jendela yang basah, lalu
radio yang tak henti-hentinya membacakan berita. kita,
kekasih yang jauh--mari bersitatap. mereka semua telah
menyusun foto-foto paling mesra untuk kita peringati
setiap sebelum tidur. mereka membuat pandangan
kita yang berjarak tampak hijau, sampai kita tak mampu
menamakan itu siapa atau apa. mereka adalah perihal-
perihal yang pernah dibisikkan oleh sejumlah peristiwa
kepada kita:

selamat datang semua, bersama mendung sore hari 
tanpa blues, diri kita juga cinta pada kalian


2012 


DARI SEORANG PEMETIK GITAR




ada pesan tanpa kata-kata untuk kita, huruf-huruf
yang tidak akan pernah dijadikan pengecualian olehnya;
barangkali hanya suara-suara senar dan gambar-gambar,
mereka jatuh satu per satu, lalu berangkat kembali
menuju alamat diri kita di bulan november.
kitaku,percayalah, tidak ada bahasa yang asing
di dalamnya; seseorang memberitahu kita supaya
pertama-tama menyalakan obat nyamuk, lalu tidur
melebarkan telinga



2012

COMPLETORIUM SELANJUTNYA




(pergilah dan jadikanlah semua bangsa muridku)

di pedalaman selanjutnya, dan beberapa jesuit;
mereka bergerak dengan matahari di masing-masing
salib pada dada mereka. di tanah cadas adalah
setimbun doa lebih daripada soal bagaimana menghapus
dosa-dosa demi masuk surga. mereka ini, yang tak mengenal
negeri, seperti sajak-sajak hopkins. di pedalaman selanjutnya,
seorang di antara mereka menitahkan kaul-kaul sebagai urapan
bahwa tak ada dewa-dewa di sini. kematian bukanlah sesuatu
yang mesti dipercayai sebagai kutukan nenek moyang;
beberapa jesuit itu berjalan terus. di gelap, di terang.
di bahasa lain, sebab tidak ada sesuatu yang asing;
pada akhirnya, segala perbuatan dan tujuan
adalah semestinya cinta itu ada dalam diri orang-orang;
di sebuah tempat, beberapa jesuit bersepakat:
di jalan yang konon sesat, kita tidak akan pernah
berkali-kali bunuh diri dan bersikeras untuk pulang


2012

11.03.2012

SEHABIS PERJAMUAN ARWAH, LALU SUARA KEDASIH




"if only you'd see us. because when we think of you..."

rapatkanlah tangan kalian, sebab yang kalian doakan
telah mendengar entah di tempat kesunyian atau keramaian;
di sana tidak ada lagi desa yang dikepung sulut api, parang,
atau orang-orang yang melempari sesamanya dengan batu

rapatkanlah tangan kalian, dupa dan lonceng sedang
membikin jalinan menuju suatu tempat. nama-nama
sedang berhenti di depan sebuah gerbang
yang mengeluarkan suara: orang-orang pergi
orang-orang pulang....amin amin amin;
di sana kehidupan lain ada sebagai ruang tunggu
bagi kematian yang berulang kali

maka, setelah mereka, jagailah pintu rumah masing-masing


2012

11.01.2012

SIMEON




“...perkenankanlah hambamu berpulang”

seseorang seperti baru saja datang dari perjalanan jauh
lalu tubuhnya diketemukan seperti terbuat dari kaca;

--tuhanku, tuhanku, tuhanku... sepanjang tengah malam
aku berjaga—

seseorang itu menjadi teramat tua dan tak lagi gelisah
sebab tubuhnya tidak lagi dapat dipisahkan
kecuali oleh maut yang dipecahkan bapanya


2012

10.31.2012

MENYIMAK ESAI ARIF FITRA KURNIAWAN


KAMERA GHAIB DI SAJAK-SAJAK A GANJAR SUDIBYO

Seandainya kita katakan, sebuah sajak adalah bentuk mimesis dari apa yang dihadapinya di luar sebuah wujud penciptaan, tentu ia kita perkenankan mengambil, menyerobot, dan mendaur ulang semua itu sebagai sebuah representasi kejadian-kejadian yang pernah dialami.  Dan bagi pembaca,  menikmati sebuah sajak  tak lain memberikan pelajaran pada –ketubuhan- kita, untuk  menerima, setelah upaya mempertanyakan  serta mempernyatakan terkadang mesti gagal, kita diminta menabahkan diri ketika  tidak mendapatkan apapun  yang kita inginkan.  ... terbang/mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat/--the only possible non-stop flight.//tidak mendapat. Penggalan dari Chairil Anwar  itu kiranya yang akan mewakili kita ketika berhadapan dengan sebuah teks sastra. Kita seperti diminta untuk menerima sesuatu yang  transenden dalam pemahaman yang temporal.

Adalah camera obscura, bahasa Latin untuk "ruang gelap", mekanisme awal untuk memproyeksikan tampilan, menangkap gambar maupun bayangan. Yang muncul pada abad 16, dan kita mencatat nama Girolamo Cardano, sebelum pada akhirnya pada tahun 1829 Joseph Nicepore dan Louis Daguerre—dua orang perancis,  membuat kamera Daguerreotype, cikal bakal kamera yang digunakan banyak orang sekarang.  Jadi di wilayah inilah  penciptaan sajak-sajak Ganjar saya curigai; dia berupaya memotret (baca: mengabadikan) peristiwa-peristiwa yang melintas dan berlalu lalang melalui mata dan telinganya, melalui media elektronik headphone-nya,  komputernya, pemutar musik telepon genggamnya.


...pasanglah headphone, lalu nikmatkanlah dirimu rapat-rapat,
nikmatkanlah. sebuah kaset tak habis-habisnya untuk diputar;
sembari kita tahu, ini minggu yang sibuk:
--aku yang menerjemahkan bibirmu
--kamu yang mengisyaratkan bibirku.

dalam sajak “Nota Perjanjian”



Betapa memang, kita tiap hari, bahkan tiap sepersekian menit, telinga kita, mata kita, nalar kita  diserang oleh sesuatu yang masif dan bertubi-tubi. Lagu-lagu, suara pengamen, teriakan demonstrasi, orasi-orasi politik, tayangan iklan dari televisi, radio, arus informasi  internet yang  sesak berjubelan memaksakan diri mereka untuk kita dengar kita baca. Sebuah arus kebudayaan membawa kecanggihan yang membuat  telinga-mata-nalar- kita niscaya akan  “berdarah” sebelum sempat menangkapnya utuh lantaran semuanya melintas sedemikan cepat setelah seenaknya mengiris keberadaan  kita.

...jurang-jurang itu 
adalah doa-doa kita dulu yang terlampau tinggi. memohon
tuhan untuk melarang manusia mendirikan gedung-gedung
bertingkat, perumahan-perumahan mewah, dan menciptakan
internet...

dalam sajak  “Glosoli”


ini barangkali yang, mengulang kembali apa yang telah dikatakan Terrence Francis  Eagleton,  pada prinsipnya, estetika adalah discourse of the body, wacana tubuh, yang dalam konteks  ini menjadi antonim bagi penciptaan wacana konseptual. Wacana tubuh berurusan dengan segala sesuatu  yang bersifat inderawi (sensuous), konkret, bersifat nisbi, terbatas,  kesementaraan.

...
kami sedang ada di atas, melukis kalian, kata mereka
.....

maka berkatalah seorang di antara yang lain:
dunia ini akan lekas penuh angin
dan kata-kata akan lekas kembali dibutuhkan
untuk membikin kalian abadi 

dari sajak “Hoppipolla”

dan Ganjar memotret yang menghantui inderawinya, agar dalam keniscayaan,  yang berkelebat dengan sangat cepat bisa diabadikan, kita diajak untuk membekukan ingatan demi kita yang merasa labil akibat kehilangan. Kita diingatkan pada penggalan sajak Goenawan Mohamad: ... separuh ilusi//sesuatu yang kelak retak// dan kita membikinnya abadi// .


...ah, kita selalu saja risau pada ingatan. apapun itu.
tak ada doraemon di sini. tapi di masa lalu, diam-diam
kita seringkali adalah nobita dan terkadang sinchan;
waktu telah diuji, kita berulang-ulang ingin saja
pun khusyuk membayangkan: dunia ini
mudah sekali berubah, bukan?

aku ingin sekali punya sayap, kitaku
sebelum ingatan menamakan dirinya hantu.

 dalam Sajak  Glosoli



Peristiwa, kejadian yang membahagiakan dan bahkan tragedi berkemungkinan melintasi kita saling sengkarut dan bergantian. Selalu ada yang berubah sebab kita terus menerus tak bisa dengan mudah  keluar dari lajur perwaktuan. kita akan sangat sulit sekali lepas dari elemen-elemen waktu—masa lalu-masa sekarang-dan masa depan.  Sementara  kita memerlukan media sebagai representasi dari yang bergerak cepat itu.  Maka di wilayah kegelisahan ini Ganjar mencoba mengabadikan itu semua. Sebab tiap orang sejatinya merasa cemas, dan berusaha mengabadikan apapun yang pernah dan sedang dimiliki, betapa kecemasan itu menjadi  pilihan-pilihan yang ditawarkan oleh sajak Ganjar,


Gelang

terima kasih, dik. katamu. yang putus telah kembali;
kamu telah susah payah mencari di toko ini-itu
sampai ke toko mainan anak-anak.

bagaimana tidak...kita memang selalu
dihadapkan pada kemungkinan-kemungkinan:
mencari untuk melengkapi atas apa
yang kita rindukan, atau
menerima diri kita yang sebenarnya
telah tuntas

mengenakan atau melepas

2012 


Mencatat  proses kreatif sajak-sajak Ganjar adalah menimbang lagi bagaimana secara   terbuka Afrizal Malna dalam tulisan panjangnya di akhir kumpulan sajak Kalung Dari teman,  ia  juga  merasa pernah dihantui oleh bayangan sajak Amir Hamzah-Chairil anwar-Rendra kemudian merasa bersamaan juga  dikerubungi oleh teks-teks  Goenawan Mohamad- Sapardi Djoko Damono- Sutardji Calzoum Bachri  dalam proses kreatif penciptaan sajak-sajaknya, Bukankah seperti  yang ditulis di sajak Ganjar, Kesepian sebenarnya tidak pernah ada. Kita adalah tubuh yang mengalami aktivitas tarik menarik dengan apa yang ada di sekitar kita. Sajak Ganjar juga barangkali mau tidak mau terkontaminasi dengan teks-teks yang pernah ada dan berkeliaran di sekujur perangkat inderawinya. Tidak ada sebuah teks  yang lahir sendirian. Namun bergeser  dari itu, sajak-sajak yang selama ini diciptakan  Ganjar, terutama  beberapa sajak yang terlihat di sini, begitu terasa  kerapianya, bagaimanaenjambment  menciptakan ayunan yang dialektis, konstruksi suasana yang hampir menyergap di sana-sini, simbolik-simbolik dan personasifikasi yang timbul-tenggelam-merayap-merandai dalam lingkaran romantisme melankolis. kita jadi melulu merasa menjadi kekasih atau seseorang yang memliki kekasih dan didorong untuk berterima kasih kepada jarak, kepada kepenatan  lantaran dari sanalah kita bisa membahagiakan kerinduan. Dari proses rajut kepengrajinan sajak penyair ini yang membekas adalah bagaimana kegigihan dalam mempertahankan upaya-upaya eksplorasi-intelektualitas, memanfaatkan benturan maupun sergapan sesuatu yang asing dan membawa unsur ensklopedis. Seperti membiarkan pintu sajaknya terbuka begitu saja agar bahkan sesuatu yang barangkali kita anggap asing, baik itu berupa bahasa, film, lagu, gaya hidup dari nun jauh yang bahkan awalnya tidak kita kenal masuk, masuk begitu saja. Itu barangkali yang menjadikan sajak-sajak Ganjar kaya penafsiran, kaya pengucapan.  Seperti di beberapa sajak yang saya tangkap di sini, ada GlosoliHoppipolla, dan Olsen, yang  pada akhirnya, sajak  tersebut  saya tangkap sebagai  potret tertulis yang mekar dari lagu-lagu milik Sigur Ros, sebuah ambient-post rock  band dari  Reykjavik, kota di negara Iceland. Barangkali kita memang tidak perlu mencari sumber deviasi antara  sajak-sajak Ganjar dengan lagu-lagu tersebut. Seseorang bisa saja dan boleh menulis sajak dari  medium televisi, memperhatikan selokan di depan rumahnya, menjerat lukisan dari sebuah pameran, mengintip orang-orang yang berjalan dari jendela kamar, menciptakan sajak dari kemacetan, perjalanan dari kota satu ke kota lain.Mengais sajak dari kutipan-kutipan bijak orang-orang, dari buku-buku atau dari apapun.

Saya rasa keberhasilan sajak Ganjar adalah, ketika pembaca justru tidak memerlukan kondisi korelasi dengan lagu-lagu  milik Sigur Ros....., keadaan  a-historis yang menciptakan interpretasi diskursif  terhadap sajak-sajaknya, justru menjadi serangkaian pemaknaan yang merdeka di hadapan pembaca. Ya, sekali lagi, kitalah pembaca itu,

... terbang/mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat/--the only possible non-stop flight.//tidak mendapat.

________________________________________________________________

Semarang, 1 november 2012.
Arif Fitra Kurniawan. Bergiat serius di Komunitas Lacikata-Semarang



Sementara, sajak-sajak yang dibahas oleh penyair muda yang esais--Arif Fitra Kurniawan dapat disimak di sini: https://www.facebook.com/notes/a-ganjar-sudibyo/sajak-sajak-ini-sengaja-saya-bagikan-khusus-bagi-kawan-sekalian/272501569519099

CORETAN KANVAS: THE EGO AND LETTERS




2012

CORETAN KANVAS: PERCEPTION CYCLE




2012

MONOCRHOME



setelah kita berada dalam buku-buku, lalu apa
yang sebenarnya ia percayai?

sudahlah, mari kita lupakan kemungkinan-kemungkinan
itu. dalam benak, kita telah menjadi tabu oleh segala
perasaan. ini bukan soal bagaimana kepastian atau
bagaimana kemungkinan. sesuatu yang lain menghendaki
kita untuk berada di antara warna yang belum pernah
dinamai. sedangkan ia itu semacam angin dingin
tengah malam.

sekarang, mari perhatikan saja, bukankah
kita tidak pernah membikin garis tepi
untuk setiap kenangan


2012 

PERTANYAAN DAN JAWABAN



kamu bertanya-tanya, kenapa istrimu suka keluar rumah
malam-malam, akhir-akhir ini pula

aku menjawab, sudahlah, ia pasti kembali;
kamu meragukannya.

kamu bertanya-tanya, kenapa anak-anak sampai
tak tidur larut malam begini

aku menjawab, sudahlah, mereka pasti tahu waktu.
anak-anak zaman sekarang cepat dewasa, tambahku;
tetap saja kamu meragukannya.

singkirkanlah semua itu, aku
ingin pergi lewat sebuah pintu
berdua saja. hanya aku dan keraguan;
sebentar kok, katamu

lalu aku?

tunggu saja di situ, sampai aku menjadi kepastian
dari semua jawabanmu. anak-anak dan istriku
barangkali telah mengenal risau lebih dari
semua jawabanmu

kawanku, lihatlah di luar,
ada yang tak bisa dipersalahkan atas semua ini


2012

10.26.2012

(PARAUNYA) DERING REPETISI DAN INTERPERSONALITAS DALAM BAHASA


DERING
Oleh: Fitriyani

--November 2011
Pukul 00.00. Handphone saya berdering.  Bergetar sebentar. Lalu diam. Saya tahu itu pertanda SMS masuk. Dada saya berdebar, tangan teramat gemetar. Mungkinkah itu  pesan darimu? Saya raih handphone, dan menekan salah satu tombol...
Bukan namamu. Saya kembali berbaring.
Pukul 05.30. Handphone saya berdering.  Bergetar sebentar. Lalu diam. Saya tahu itu pertanda SMS masuk. Dada saya berdebar, tangan teramat gemetar. Mungkinkah itu  pesan darimu? Saya raih handphone, dan menekan salah satu tombol...
Entah sejak kapan saya tak menganggap penting oranglain.
Pukul 05.51. Handphone saya berdering.  Bergetar sebentar. Lalu diam. Saya tahu itu pertanda SMS masuk. Dada saya berdebar, tangan teramat gemetar. Mungkinkah itu  pesan darimu? Saya raih handphone, dan menekan salah satu tombol...
Saya berdoa kau sehat dan baik-baik saja.
Pukul 11.15. Handphone saya berdering.  Bergetar sebentar. Lalu diam. Saya tahu itu pertanda SMS masuk. Dada saya berdebar, tangan teramat gemetar. Mungkinkah itu  pesan darimu? Saya raih handphone, dan menekan salah satu tombol...
Saya menarik napas. Panjang.
Pukul 11.22. Handphone saya berdering.  Bergetar sebentar. Lalu diam. Saya tahu itu pertanda SMS masuk. Dada saya berdebar, tangan teramat gemetar. Mungkinkah itu  pesan darimu? Saya raih handphone, dan menekan salah satu tombol...
Saya benci karena mereka sok perhatian.
Pukul 18.58. Handphone saya berdering.  Bergetar sebentar. Lalu diam. Saya tahu itu pertanda SMS masuk. Dada saya berdebar, tangan teramat gemetar. Mungkinkah itu  pesan darimu? Saya raih handphone, dan menekan salah satu tombol...
Tuhan, berapa jam lagi saya harus menunggu?
Pukul 21.05.  Handphone saya berdering.  Bergetar sebentar. Lalu diam. Saya tahu itu pertanda SMS masuk. Dada saya berdebar, tangan teramat gemetar. Mungkinkah itu  pesan darimu? Saya raih handphone, dan menekan salah satu tombol...
Dada saya mulai berdenyut. Nyeri.
Pukul 12.00.  Handphone saya berdering.  Bergetar sebentar. Lalu diam. Saya tahu itu pertanda SMS masuk. Dada saya berdebar, tangan teramat gemetar. Mungkinkah itu  pesan darimu? Saya raih handphone, dan menekan salah satu tombol...
Saya baru ingat, saya meninggalkan banyak sekali pekerjaan.
Pukul 17.55.  Handphone saya berdering.  Bergetar sebentar. Lalu diam. Saya tahu itu pertanda SMS masuk. Dada saya berdebar, tangan teramat gemetar. Mungkinkah itu  pesan darimu? Saya raih handphone, dan menekan salah satu tombol...
Positif thingking, positif thingking...
Pukul 20.10.  Handphone saya berdering.  Bergetar sebentar. Lalu diam. Saya tahu itu pertanda SMS masuk. Dada saya berdebar, tangan teramat gemetar. Mungkinkah itu  pesan darimu? Saya raih handphone, dan menekan salah satu tombol...
Kenapa saya tak punya nyali menghubungimu terlebih dahulu? Atau handphonemu hilang?
Pukul 22.11.  Handphone saya berdering.  Bergetar sebentar. Lalu diam. Saya tahu itu pertanda SMS masuk. Dada saya berdebar, tangan teramat gemetar. Mungkinkah itu  pesan darimu? Saya raih handphone, dan menekan salah satu tombol...
Saya teramat takut ada oranglain bersamamu, saya cemburu...
Pukul 01.01.  Handphone saya berdering.  Bergetar sebentar. Lalu diam. Saya tahu itu pertanda SMS masuk. Dada saya berdebar, tangan teramat gemetar. Mungkinkah itu  pesan darimu? Saya raih handphone, dan menekan salah satu tombol...
Tuhan, apakah Kau melambatkan waktu?
Pukul 04.00.  Handphone saya berdering.  Bergetar sebentar. Lalu diam. Saya tahu itu pertanda SMS masuk. Dada saya berdebar, tangan teramat gemetar. Mungkinkah itu  pesan darimu? Saya raih handphone, dan menekan salah satu tombol...
Den? Ah, saya pikir itu kau...
Saya kembali tidur. Dan entah, rasanya tak ingin bangun.

--Desember 2011
Pukul 06.10.  Handphone saya berdering.  Kali ini dengan dering lain, bergetar lama. Saya tahu itu pertanda telepon. Dada saya berdebar, tangan gemetar. Mungkinkah itu  telepon darimu? Saya raih handphone, dan buru-buru menekan salah satu tombol...
“Halo?”
“Renata?”
“Ya?”
“Ah, kamu, sulit sekali dihubungi. SMS saya masuk?”
“Maaf, ini siapa, ya?”
Orang diseberang sepertinya bingung, suara perempuan. Apakah saya mengenalnya? Rasanya tidak. Nomornya disembunyikan.
“Renata?”
“Ya?”
“Kamu kok aneh. Ini Mbak Rita. Bukannya kamu sendiri yang meminta saya untuk menghubungi nomor ini?”
“Oh, masak?”
“Gimana sih, Ren? Ini pesanan buku sudah datang. Kapan kamu mau ambil?”
Saya terhenyak, mengingat, hal-hal yang sebentar-sebentar hilang dari kepala saya. Beberapa hari ini memang tidak banyak yang saya lakukan. Hanya di dalam kos-kosan. Nonton televisi, tidur, menatap handphone, menjauhi handphone,  jarang makan, dan malas mengingat apapun.
“Ren?”
“Ya, Mbak?”
“Jangan bilang kamu lupa dengan saya. Ya sudah, nanti hubungi saya lagi jika sudah ingat.”
Telepon dimatikan. Agak kasar. Tentu saya kaget, namun masih bengong. Buku? Rasanya saya perlu minum banyak vitamin. Sebab sulit mengingat apapun selain kau.
Pukul 07.05. Ah, Handphone saya berdering lagi.  Dering yang sama, bergetar cukup lama. Saya tahu itu pertanda telepon. Dada saya berdebar, tangan gemetar. Mungkinkah itu  telepon darimu? Saya raih handphone, dan malas menerimanya...
“Halo?”
“Kamu di mana?”
“Kenapa memangnya?”
“Dicari Pak Handri.”
“Ah, kenapa dia mencariku?”
“Ren, kamu sakit??”
Suara di seberang hilang, telepon ditutup. Ia Tantri, kawan kerja saya di sekolah swasta di kota kecil ini. Ia kerap memberi perhatian pada saya. Tak hanya itu, ia pun sering menjadi kambing hitam atas kekacauan yang saya perbuat. Dimarahi Waka Kurikulum, ditegur Kepala Sekolah, dan lainnya. Seperti saat ini.
Pukul 09.20. Handphone saya berdering lagi. Ah, dering yang sama, bergetar lama. Saya tahu itu pertanda telepon. Dada saya berdebar, tangan teramat gemetar. Mungkinkah itu  telepon darimu? Saya raih handphone, dan gugup menekan tombol...
“Halo?”
“Ren? Ya Tuhan, kemarin-kemarin kamu pingsan? Berulangkali ibu telepon, yang ada hanya talilut talilut. Tidak tau ibu kuatir?”
Saya menghela napas.
“Oh, ya? Masak sih, Bu? Tidak ada telepon ibu.”
“Mengigau kamu. ”
“Nyatanya memang tidak ada.”
“Kamu benar-benar membuat ibu kuatir. ”
“Tidak perlu kuatir, Bu. Saya sehat.”
“Apa? Seperti ini sehat? Barangkali psikismu perlu dirawat.”
“Untuk apa, Bu? Saya kan sehat. Sudah ya, Bu. Pokoknya ibu percaya saya sehat. Mau mengajar dulu. Muah.”
“Hei, Ren..!!”
Telepon saya tutup.  Ibu memang sering telepon. Tapi apa benar kemarin juga telepon? Saya lupa. Yang pasti saya memang tak mau menerima telepon beberapa minggu terakhir ini. Oh ya, hmm, saya harus berbohong pagi begini, saya kan bolos mengajar.
Pukul 10.30. Handphone saya berdering lagi. Ah, dering yang sama, bergetar agak lama. Saya tahu itu pertanda telepon. Dada saya berdebar, tangan gemetar. Saya tahu itu bukan telepon darimu. Maka saya beranjak. Membiarkannya terus berdering.

--Januari 2012
Di halte. Handphone gadis itu berdering.  Bergetar sebentar. Lalu diam. Saya tahu itu pertanda SMS masuk. Ia memencet tombol dan mengetik huruf berulang-ulang, tersenyum, mengetik huruf lagi, dan tersenyum lagi. Dada saya berdebar, sedikit gemetar, dan nanar.
Di dalam bus. Handphone lelaki tua itu berdering.  Bergetar agak lama. Saya tahu itu pertanda telepon. Ia memencet tombol, mendekatkan ke telinga, lalu cemberut. Makin cemberut. Dada saya berdebar, sedikit gemetar.
Di tepian jalan. Handphone anak SMP itu berdering.  Bergetar agak lama. Saya tahu itu pertanda telepon. Ia memencet tombol, mendekatkan ke telinga, lalu tersenyum, tertawa, tersenyum lagi, tertawa lagi. Dada saya berdebar, gemetar, nanar.
Di pintu gerbang. Handphone satpam itu berdering.  Bergetar sebentar. Lalu diam. Saya tahu itu pertanda SMS masuk. Ia memencet tombol dan mengetik huruf berulang-ulang, tersenyum, lalu murung. Dada saya berdebar, sedikit gemetar.
Di depan kelas. Handphone  cleaning service itu berdering.  Bergetar sebentar. Lalu diam. Saya tahu itu pertanda SMS masuk. Ia memencet tombol dan mengetik huruf berulang-ulang, cemberut, murung. Dada saya berdebar, sedikit gemetar, dan nanar.
Di kantor. Handphone seorang guru berdering.  Bergetar agak lama. Saya tahu itu pertanda telepon. Ia memencet tombol, mendekatkan ke telinga, lalu tersenyum, tertawa, tersenyum lagi, tertawa lagi. Dada saya berdebar, lalu gemetar, sangat gemetar.

--Februari 2012
From     : w_tantri@yahoo.com
Subject : Renata??
Ren, sulit sekali dihubungi? Handphonemu kenapa? Kamu pikir aku tidak kuatir? Segera SMS atau telepon balik jika handphonemu sudah sehat.

From     : gerimisluna@yahoo.com
Subject : Les..
Renata.. Ya, ampun.. kamu kemana saja? Adikku keteteran ni, kapan mulai ngelesi lagi? HPmu kenapa sih? Ganti nomor? bales

From     : lenindasurya@yahoo.co.id
Subject : dicari ibu!
Renata........ ibu marah-marah. Mbakmu ini selalu jadi korban. Nomormu kenapa? Aktifkan dong Hpnya... senang sekali membuat orang repot.

From     : handry_hutomo@yahoo.com
Subject : Soal Mid Semester
Selamat siang, maaf Bu Renata, mohon soal untuk mid semester segera dikumpulkan. Minggu depan sudah harus cetak. Ibu sakit? Sejak kemarin saya cari di sekolah tidak ada, nomornya saya hubungi juga tidak bisa. Mohon perhatiannya ya, Bu. Terimaksih. Salam

Subject : mana tulisannya??
Ren, saya setres menghubungimu, kalau ganti nomor ngasih tau dong. Mana tulisannya? Segera kirim. Hampir deadline. Awas kalau alasan lagi. Mas Jakfar

From     : w_tantri@yahoo.com
Subject : REEENNNNN..............
Bu guru ini bingungin amat sih. Heeiii, kemana kamu, Non? Fb ga pernah update, tweeter ga pernah update, nomor mati, email gak dibales. Masih idup kan? Inget, kerjaan di sekolah numpuk. Hpmu kenapa??? Bales donggg....

From     : langitbiru88@gmail.com
Subject : soal kemaren..
Mbak Renata, maaf baru menghubungi. Soalnya kemarin sibuk sekali. Ini handphone sudah terjual. Uang sudah saya kirim ke rekening Mbak. Lain kali kalau mau beli atau jual lagi bilang aja. Makasih. Rendi

***
“Mana Renata?”
“Tidak tahu.”
Boja, 2012

*Tulisan ini digunakan untuk Ngopi Komunitas Lacikata.


(PARAUNYA) DERING REPETISI DAN INTERPERSONALITAS DALAM BAHASA
- Sebuah catatan singkat dalam pembacaan cerpen “Dering” di acara Ngopi komunitas LACIKATA -

Oleh: Ganz

(Kepada Herman Pratikto
20 Desember 1952

Saudara Pratikto,
Mengenai cerita pendek Saudara, “Rosita”, yang saya paksa baca sampai habis atas permintaan Saudara, saya cuma punya satu perkataan: jelek.
Meskipun begitu saya akan coba juga menunjukkan di mana letak kejelekannya......

- Surat-Surat 1943 – 1983, H.B. Jassin -)

 Dimensi repetisi psikologis pembaca
Pembacaan cerpen naratif yang berkisah tentang ‘kronologis’ keberadaan seseorang ini tiba-tiba menyeret saya untuk masuk kembali ke dalam sebuah tema repetisi. Kehadiran yang konon menjadi sebuah kebutuhan adalah cakupan makna yang semestinya punya nilai bagi keutuhan cerpen ini. Kemudi selanjutnya, resepsi pembaca seolah diarahkan menuju sesuatu yang bias. Barangkali, pengarang ingin memberi kesempatan selebar-lebarnya kepada pembaca untuk berpikir berulang-ulang, memastikan bahwa cerpen ini membawa pada suatu makna yang dipercayai adalah perantara menuju maksud pengarang. Ya. Pada awalnya, ‘pembaca awam’ sepertinya akan diajak merasakan kegaduhan di benak mereka untuk mengerti pada sisi teks. Kegaduhan yang dimaksud adalah lingkaran-lingkaran repetisi. Skema inilah yang mengantarkan bahasa komunikasi antara teks dan naluri pembaca.  

Di satu sisi, apa yang diuraikan oleh Prof. Groys Keraf dalam bukunya “Komposisi” sepertinya tidak dapat dinafikan untuk dipertautkan pada ruang pembacaan cerpen “Dering”. Bilamana dipandang secara stilistika yang utuh, cerpen ini tidak dapat dipisahkan dari bahasa pengulangan. Gorys Keraf mengemukakan bahwa repetisi adalah pengulangan sebuah kata yang dianggap penting. Dalam konteks ini, penggunaan repetisi pada cerpen “Dering”, tentu memerlukan kehati-hatian terutama dalam penempatannya. Apa yang  telah disajikan oleh pengarang sejak awal, tampak berberondong pola-pola pengulangan bahasa. Keadaan ini memformat pembaca untuk berpikir ulang. Lagi dan lagi. Artinya bahwa apa yang sedang dibuat pengarang, bisa dikatakan semacam labirin, bukan pola repetisi visual seperti gaya tarian gangnam. Sementara itu, Halliday dan Hasan, memperlebar teknis gaya repetisi dalam tulisan. Jenis gaya repetisi yang dimiliki oleh cerpen ini adalah gaya kohesivitas. Kekohesifan yang dimaksud oleh Halliday dan Hasan  merupakan keterikatan antarunsur dalam struktur wacana yang ditandai melalui pola-pola pengulangan. Pengulangan inilah yang dinamakan dengan repetisi. Di antaranya, terdapat kohesi leksikal dan kohesi gramatikal.

“Pukul 00.00. Handphone saya berdering.  Bergetar sebentar. Lalu diam. Saya tahu itu pertanda SMS masuk. Dada saya berdebar, tangan teramat gemetar. Mungkinkah itu  pesan darimu? Saya raih handphone, dan menekan salah satu tombol...
Bukan namamu. Saya kembali berbaring.

Pukul 05.30. Handphone saya berdering.  Bergetar sebentar. Lalu diam. Saya tahu itu pertanda SMS masuk. Dada saya berdebar, tangan teramat gemetar. Mungkinkah itu  pesan darimu? Saya raih handphone, dan menekan salah satu tombol...
Entah sejak kapan saya tak menganggap penting orang lain.”

Kedua paragraf tersebut merupakan paragraf yang berkohesi, begitu pula dengan paragraf-paragraf selanjutnya. Sejumlah 13 paragraf sejak dari awal ingin merepresentasikan sesuatu yang berbau kronologis. Adapun terdapat gaya pengungkapan tambahan di setiap paragraf. Hal ini tetntunya yang memberikan pengaruh pada daya repetisi yang diperoleh pembaca. Dalam gaya penulisan lain tentunya hal ini bertujuan untuk memberi daya letup teks dan daya tarik bagi pembaca. Maka sah-sah saja apabila gaya pengungkapan tersebut dilakukan oleh pengarang untuk mengkonstruksi cerpen ini. Hanya saja, bentuk-bentuk eksperimentasi yang ingin diolah mesti ditimbang kembali, mengingat bahwa seringkali repetisi bisa menimbulkan titik kebosanan, bilamana pada muaranya tidak dibubuhkan sesuatu yang memuat daya letup bagi pembaca. Di sinilah pengarang belajar memainkan sentuhan yang pas untuk dimensi psikologis pembaca.

Antara subjek, objek, dan kohesivitas
Dalam suatu wacana sastra, Maman S. Mahayana pernah mengungkapkan bahwa sebuah cipta sastra adalah hasil perenungan yang intens dari subjek pengarang yang pasti berbeda dengan subjek pengarang lain. Oleh karena itu, satu peristiwa atau masalah yang sama akan ditanggapi dan menghasilkan pandangan yang berbeda jika diungkapkan oleh dua pengarang atau lebih. Dalam penyajian cerpen ini, pengarang seperti tidak memperhatikan alur, media dalam meletakkan peristiwa, dan bagaimana mencari titik klimaks-antiklimaks. Subjek yang bernama Renata menjadi semacam teror bagi pembaca. Namun, di wacana yang lain, objek menjadi samar. Sesuatu yang bersifat gradasi terjadi pada setiap selang pergantian waktu (bulan dalam cerpen tersebut). Sebagai sub-chapter, itu cukup meyakinkan alur pembahasaan. Tapi, gradasi peristiwa agaknya berseberangan (mungkin juga bertolak agak jauh) sehingga kohesivitas dalam keutuhan cerpen ini menjadi pecah. Kehadiran tokoh-tokoh, seperti tokoh-tokoh dalam sub-chapter bulan januari maupun tokoh-tokoh yang berada dalam subject email tampak menghanyutkan subjek utama; yang adalah saya, yang adalah Renata. Ada upaya pembungkaman subjek di tengah hingga akhir cerita. Distorsi semacam ini merupakan distorsi yang agaknya (lagi-lagi) kurang matang, karena selain adanya gradasi yang jauh dan mencolok (lihat saja pergantian dari media handphone menjadi media email), pengarang sepertinya telah masuk dalam keterjebakan estetika amanah yang akan dibawanya. Hal itu terlalu khusyuk sehingga meninggalkan resepsi pembaca akan apa yang sedang ditawarkan dalam cerita ini. Demikianlah, keterpaduan antarsub-chapter mesti diperhatikan kembali, mengingat gradasi, mengingat subjek-objek, mengingat pembaca. Tanpa perlu mengurangi cerita yang telah dituliskan, pengarang malah bisa mengembangkan lagi dengan cara meninggalkan gaya penceritaan yang minim akan sudut pandang. Pada akhirnya, kohesivitas akan terjaga.

Interpersonalitas dan akhir dari repetisi
Disclosure menjadi istilah yang lekat dengan interpersonalitas. Bagaimanapun tentang istilah, bahasa tetap akan terus dierami. Seperti kata Umar Kayam tentang gaya bertutur. Kembali pada persoalan interpersonalitas yang muncul mencolok dalam cerpen ini, saya mengamati bahwa keseriusan pengarang menampilkan percakapan Renata dengan subjek lain kurang diimbangi dengan pengembangan tampilan dialog. Dialog-dialog yang ter-eksplore di sini barangkali terlalu singkat atau cepat untuk diakhiri dengan jalan menutup telpon. Keadaan ini bisa menggagalkan konflik yang sedang terbangun dalam diri pembaca. Tak pelak, seakan-akan ada sesuatu yang putus di jalan, lantas menganggu itikad baik pembaca. Berkaitan dengan interpersonalitas, seorang ahli komunikasi (Luft) pernah mengemukakan bahwa orang memiliki atribut yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri dan orang lain (orang terdekat), dan tidak diketahui oleh siapa pun. Sejauh pengarang berlari dalam alur, dapat juga pembaca terengah-engah mengejar. Eksperimentasi yang sedang dibangun pengarang seakan hanya memberi ruang sempit dan kode-kode yang monoton. Maka, di sisi interpersonalitas, komunikasi subjek dengan teks yang menciptakan subjek harus benar-benar mengenal akumulasi percakapan serta pemantik emosi. Dengan harapan, agar menutup kemungkinan penggunaan batasan-batasan kronologis yang berlebihan dan tidak memperoleh tempat.

Repetisi yang memberi warna pink di tengah ruang hitam cerpen ini rupanya perlu ditelaah kembali untuk dikembangkan. Akhirnya, pengarang tidak harus meyakini bahwa cerita pendek ini sampai di sini. Adakalanya, ia mesti masuk-menjabarkan letak celah-celah bahasa pengulangan ke dalam kertas coretan hingga tahu di mana mereka berada dan dihadirkan, penguasaan ruang setidaknya dipertimbangkan tanpa membeberkan bahasa perulangan tentang bayangan persoalan dirinya. Masuklah pada dering, pada parau.



Hari Cium Sedunia,
2012