PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

9.04.2015

REPERTOAR OBROLAN 24 JAM


Malam hari di suatu Kota, seorang kawan mengajak saya berkunjung ke kediaman Pak Iman. Ke rumah kecilnya yang bermukim di antara orang-orang kos. Dekat pusat kota.Obrolan telah berlangsung ketika saya dan seorang kawan baru saja datang. Pak Iman memang sudah berumur, tapi semangatnya untuk menularkan ilmu yang ia miliki tidaklah putus. Beliau semakin dikenal sebagai seorang budayawan, sastrawan, penyair, penulis cerita anak (kalau yang satu ini saya baru tahu setelah berkunjung malam itu). Pak Iman biasa menyambut para tamu di teras kosnya. Duduk ngopi, udud bersama.

Saya tidak baru pertama kali datang ke kediaman Pak Iman. Ini kali kedua, hanya saja malam ini lebih ramai dengan orang-orang yang ingin bersua. Saya dan seorang kawan yang saya ajak kemudian turut duduk bersama di teras itu. Dan saya pun mencoba mulai mencatat dalam otak, ucapan-ucapan yang disampaikan oleh beliau.

Waktu itu pembicaraan Pak Iman seputar makna konotasi dan denotasi. Tema yang pernah diangkat di sebuah forum di PKKH UGM. Adapun konotasi semakin bertebaran di bahasa manusia sehari-hari kini, khususnya Indonesia. Kosa kata yang kerap kali dipakai dalam bahasa prokem sehari-hari setelah ditelisik lebih lanjut ternyata bukan merupakan makna yang sebenarnya (dalam arti denotasi) melainkan konotasi (makna kias). Fenomena seperti yang kemudian membuat orang-orang bahasa mesti memperhatikan lebih dalam bukan sekedar membuat revisi kamus bahasa. Tidak hanya berhenti pada bahasa sehari-hari lewat komunikasi verbal, adanya iklan di baliho yang sekarang semakin marak, juga menjadi bahan perhatian. Demikian perihal bahasa konotasi menjadi masalah yang krusial manusia sekarang. Kata semakin jauh dari makna yang sebenarnya, kata semakin kental dengan kiasannya. Seperti misalnya berdandan. Makna berdandan menjadi semakin menjauh dari makna sebenarnya, berdandan menjadi semakin bias karena perilaku orang-orang dalam berdandan yang menjurus ke idealisme boneka maniken. Orientasi-orientasi yang demikian menjadi makna semula menjauh dari kata itu sendiri. Persoalan seputar memaknai kata menjadi semakin rumit karena hampir sebagian orang berkomunikasi dengan demikian. Ya, seperti lingkaran setan. Ini baru contoh kosa kata pertama, belum yang lain. Seperti misalnya bertemu. Pertemuan menjadi makna denotasi bilamana ada tatap muka, bukan lewat perangkat media. Memang di satu sisi, saya menyetujui apa yang dikatakan beliau, namun di satu sisi bisa juga menjadi koreksi bahwasanya di pelajaran bahasa Indonesia terdapat peliyorasi dan ameliorasi. Penyempitan dan perluasan makna (dalam konteks tertentu). Kedua istilah tersebut yang kemudian bisa menjadi batas konotasi dan denotasi yang dibicarakan.

Tidak hanya melulu berbicara soal konotasi dan denotasi, pun tidak disebut Pak Iman jika tidak ada pepatah yang dilumerkan dalam obrolan. Beliau sempat mengisahkan tentang adegan ramayana. Kira-kira begini jika saya kisahkan ulang: Ketika Anoman menjaga Rahwana yang sedang dihukum. Anoman berucap kepada Rahwana, tidurlah rahwana kau tidak akan bisa lepas dari hukuman abadi ini. Selang kemudian Rahwana berucap, Anoman, Anoman, tidurlah, kau tidak akan memiliki keturunan karena kau hanya seorang diri, tapi dunia akan dipenuhi oleh rahwana-rahwana lain. Demikian kisah itu dimaksudkan untuk menggambarkan keadaan dunia sekarang. Tema tersebut kemudian mengarahkan pembicaraan menuju zaman kalathida. Beliau kemudian menceritakan tulisannya yang pernah dimuat di Suara Merdeka, terkhusus, beliau merujuk kepada warga Semarang. Tulisan tersebut menyoal rasa malu yang kini semakin tipis di dalam diri manusia. Rasa malu yang dimaksud adalah malu terhadap perilaku yang buruk. Beliau mengungkapkan bahwa lemahnya rasa malu tersebut mulai dicontohkan oleh para aparatur negara. Perilaku yang buruk itu pun kemudian dianggap biasa dan dibiarkan terus menerus muncul. Ini semua menjadi pertanyaan, kemudian kita mesti bagaimana?

Ada perihal-perihal yang kemudian diceritakan oleh Pak Iman. Beliau orangnya gampang bercerita panjang-lebar. Sampai suatu ketika saya bersama beliau hampir 12 jam. Namun, di kesempatan yang agaknya merdeka ini saya ingin mencoba 'membaca' apa yang diucapkan beliau ketika membalas sms teman Beliau. Begini kira-kira: "Belajarlah dari tumbuhan yang tabah dan tetap tumbuh ketika dipangkas, belajarlah kejujuran dari hewan, dan kecerdasan dari manusia."

Sampai jumpa di lain kesempatan, Romo.
"Ngelmu iku kelakone kanthi laku"


Yogyakarta, 2015