PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

1.31.2011

BAB BAB MENJELANG MIMPI


BAB I: KAMAR

ubin kamarku malam ini penuh dengan salju, lalu aku menyusun tungku

terbuat dari bara kutub utara yang mencair. aku mendekatkan diri seraya

mengatupkan telapak tangan tempat bermunculan anjing anjing laut

sebelum masuk ke rongga mulut paus pembunuh. anehnya, ada kau di

sana bersama seorang pemuda menanam pohon limau. dan aku ingat

limau di kamarku yang sedemikian getir bagi lidah. bertahun tahun

pohon itu tetap saja tak tumbuh buah, sebab di kamar ini telah genang

bekuan airmata rusuk yang tak ingin berbuah di masa kegigilan tempat

semua tungku dinyalakan dan orang orang tekun menghangatkan diri

memeluk ingatan dirinya yang berada di musim panas kamar masing

masing. membunuh raung anjing anjing getir di setiap lubang dada

melalui jalan jalan telapak kaki.


BAB II: LEMARI

aku memasrahkan segala waktu kepada pakaian pakaian. sebab, mereka

yang lebih tahu tentang penanda umur dan lagu api gomora. di dalam

lemari memanggil derit pintu pesakitan sodom tempat aku berjanji takkan

menengok masa kanak kanakku dan kekasih lama lagi. aku mengambil

baju tidur di lemari. memakaikannya erat erat di tubuh, hingga kulitku

adalah kain. aku menutup lemari dan pergi jauh jauh darinya sebelum

kepalaku menggelantung di gantungan pakaian dan mataku menjadi

koyak karena umur.


BAB III: RANJANG

sepanjang tubuhku nyaman di ranjang ini, aku takkan berani membiarkannya.

bunga ilalang liar begitu lebat tumbuh di sana sini dan ranjangku tak pernah

mengeluh untuk memuat untuk mewarnai hijau pada spreinya. aku bahagia

bisa punya ranjang penuh sayap kupu pagi hari, suara jangkrik malam hari.

menatap langit seperti laut dekat bibir pantai yang biru muda, aku seakan

semakin dekat dengan fotomu yang dulu. bahwa di ranjang ini pun, aku

berharap melihatmu memakai gaun putih rebah di hijau tubuhku. dan kita

mulai membicarakan tentang rumah berkelebat angin rumput bunga

bunga lavender dan ranjang di langit yang mulai menatap tanah kering

menjelang segala sesuatu beruban ungu, pada rambutku juga kau.


BAB IV: SELIMUT

aku menuliskan tentang selimut bukan karena aku melulu kedinginan,

melainkan karena sebenarnya aku telanjang. dan mungkin hanya

selimut yang paham benar bahwa manusia itu makhluk paling telanjang

di muka bumi. alih alih, selimut bisa meramal kegigilanku menerjemahkan

ketelanjanganku. dan aku mendukung selimut untuk menjadi seorang

psikolog bagi setiap kecemasan yang merayakan bahasa persembunyian

kepribadian tubuhku. maka, aku tak henti henti mengenakan selimut

untuk mengetahui betapa jujurnya aku.


BAB V: BANTAL

mengadu adalah mengaduh. ke atas bantal di balik baunya yang lekat

rambutku, mimpi siap kurancang bahwasanya di dunia ini tak terlalu

sempit untuk surga yang sebentar lagi tidur dari liur airmata juga

harapan ke mana diri ini membawa pulang.



2011


1.30.2011

Discere Discendo [2]

Mengutak-atik tentang ilmu menulis, tiba-tiba saya ingat sebuah nasihat dari seorang penyair (TS Pinang) yang patut diperhitungkan, seperti berikut:

Lima Langkah Sederhana Menjadi Penulis

  1. Pertama-tama, menulislah karena cinta. Berikutnya baru menulis untuk tujuan yang lain, entah untuk bersenang-senang belaka, mencari nafkah atau ketenaran, memengaruhi orang, atau apapun. Ketika tujuan-tujuan yang lain itu gagal atau tak tercapai, minimal kau tidak berhenti menulis karena masih ada kecintaan.
  2. Menjadi dikenal adalah bagian dari proses, bukan tujuan menulis. Mengirim karya ke media, syukur jika dimuat (dan dapat honor sebagai bonus), adalah proses untuk menguji karya itu sendiri secara nyata, bukan sekedar menguji dengan pendapat kawan sendiri. Sekali lagi, ini adalah bagian dari proses kreatif, bukan tujuan.
  3. Karena kau menulis sebab cinta, sampai di manapun kau tak akan mudah lena oleh pencapaian-pencapaianmu sendiri. Sebab kau tahu sedari awal, itu semua bukanlah tujuanmu menulis.
  4. Tujuanmu menulis semestinya adalah untuk memuliakan kemanusiaanmu, menjadikanmu lebih bersyukur dan berbahagia dengan hidupmu. Dan tujuan itu hanya tercapai jika kau tenagai tulisanmu dengan kecintaan, bukan dengan beban tujuan-tujuan jangka pendek yang hanya untuk memuaskan ego saja.
  5. Bersyukurlah kau tidak buta aksara. Ujudkan rasa syukurmu itu dengan memelihara kesukaanmu pada bahasa, salah satunya dengan menulis. Jika kau memang memutuskan untuk menulis, bacalah kembali pernyataan nomor 1 di atas.

[dapat ditemukan di: http://titiknol.com/ ]

semoga bermanfaat.....terimakasih Mas TS Pinang



2011

Discere Discendo [1]

Untuk pembelajaran kali ini, saya mengangkat esai tentang belajar menulis puisi yang ditulis oleh Handoko F.Zainsam:


Bagian 1

BERMAIN DENGAN PUISI*


*Untuk disampaikan dalam pelatihan menulis puisi di “Rumah Pena”.


Sahabat dan saudaraku,

Menulis puisi, pada dasarnya, tak beda jauh menulis surat, catatan, atau diari. Di sana banyak sekali renungan, kisah, tanggapan, gambaran, dan banyak lagi hal-hal yang bisa diungkapkan. Namun, tidak serta-merta menulis surat, catatan, atau diari bisa langsung disebut puisi. Kenapa?

Seperti halnya bentuk-bentuk tulis lainnya, puisi juga memiliki tata aturan atau struktur yang menjadi tulang penyangga pembangunannya. Hal inilah, akhirnya, menjadikan tulisan tersebut dikenal atau disebut sebagai puisi. Karakteristik struktur pembangunannya inilah yang membedakan puisi dengan bentuk karya tulis yang lainnya.


Lantas apa itu puisi?

Banyak sekali pakar yang membahas atau mencoba memberikan definisi pada puisi. Kalau menggunakan pendekatan asal kata dan bahasa, maka puisi berasal dari bahasa Latin (Yunani) dari kata poesis yang artinya ‘penciptaan’. Selanjutnya, banyak para pakar yang berusaha memberikan definisi pada puisi. Diantaranya adalah Carlyle yang menyatakan puisi merupakan pemikiran yang dituangkan dalam bentuktulisan yang bersifat musikal; Samuel Taylor Coleridge mengemukakan bahwa puisi itu merupakan kata-kata yang terindah dalam susunan terindah; dan Dunton berpendapat bahwa puisi itu merupakan pemikiran manusia secara konkret dan artistik dalam bahasa emosional serta berirama.


Dari definisi-definisi para pakar tersebut, semuanya merujuk pada ungkapan perasaan atau emosi, pemilihan kata dan rasa bahasa, aspek keindahan, imaji, asonansi bunyi, bentuk (typografi), makna, dan pesan.


Mari kita membongkar kembali puisi untuk kembali menyusunnya.

Dari berbagai definisi, struktur, dan karekaternya, puisi sendiri memiliki kekhasan yang ‘banyak’ pembaca sepakat menyebutnya puisi. Meskipun begitu, banyak pula terjadi perbedaan pendapat atas beberapa bentuk puisi. Hal ini lantaran puisi memiliki kelenturan dalam pembangunan penulisannya. Lepas dari haru-biru atau perdebatan panjang mengenai puisi, dalam kepentingan pembelajaran penciptaan puisi, saya akan kemukakan beberapa unsur-unsur penting dalam puisi.


Pertama, Puisi hendaknya memiliki rasa kata dan bahasa. Artinya, puisi mampu memberikan kekuatan pada tiap kata dalam bahasanya. Hal ini berkait erat dengan karakter puisi yang merupakan kristalisasi pemikiran. Ini yang membedakan puisi dengan karya bentuk narasi lainnya.


Rasa kata maksudnya adalah kekuatan dari pemilihan diksi yang kata-katanya harus dipilih secermat mungkin. Pemilihan kata-kata dalam puisi erat kaitannya dengan makna, keselarasan bunyi, dan urutan kata. Pemilihan ini pula yang kerap memunculkan banyak sekali penyimpangan-penyimpangan dalam puisi. Namun, penyimpangan ini justru menjadi kekuatan bagi puisi itu sendiri.


Rasa kata ini juga memiliki keterkaitan dalam pencapaian makna. Artinya, tiap kata yang dimunculkan dan bergandengan dengan kata lain menghasilkan sebuah makna yang baru atau terjadi penguatan rasa. Hal ini yang menjadikan puisi sebagai bahasa tulis yang memiliki tafsir makna beraneka ragam. Hal ini lantaran tidak ada aturan atau keharusan untuk menangkap dalam satu makna.


Rasa bahasa juga memiliki peran penting dalam pembangunan puisi. Rasa bahasa ini terkait dengan pemilihan bahasa yang digunakan dalam penulisannya. Aksen, dialek, dan berbagai kekhasan bahasa menjadi kekuatan yang cukup baik untuk pencapaian puitika.


Rasa bahasa juga memiliki cakupan pada majas dan gaya bahasa yang digunakan atau dipilih dalam penyusunan puisi. Penggunaan unsur-unsur terkecil bahasa dan pencapaian perkembangan makna bahasa juga menjadi kekuatan utamanya.

(Catatan: majas-majas tersebut antara lain, metafora, simile, personifikasi, litotes, ironi, sinekdoke, eufemisme, repetisi, anafora, pleonasme, antitesis, alusio, klimaks, antiklimaks, satire, pars pro toto, totem pro parte, hingga paradoks).


Kedua, puisi hendaknya memiliki pencapaian estetika atau keindahan. Hal ini yang menyebabkan puisi menjadi karya tulis yang memiliki berbagai konsep keindahan yang bersifat abstrak atau konkret. Maksud dari keindahan yang bersifat abstak yakni keindahan dalam pikir dan rasa. Artinya, pembaca akan memperoleh ‘sesuatu’ setelah membaca puisi tersebut. ‘Sesuatu’ ini yang merupakan sisi batiniah atau spiritual, imaji, dan rasa pesona.


Keindahan abstrak ini mengaju pada kekuatan imaji yang dibentuk dari teks puisi. Di sisi lain keindahan abstrak juga mengacu pada pertarungan pemikiran dari apa yang hendak disampaikan dalam puisi.

Keindahan rasa atau citra rasa dan rasa pensona menjadi tulangpunggung dari puisi. Hal ini yang akhirnya menjadikan puisi sebagai kekuatan yang luar biasa untuk mempengaruhi perasaan pembaca. Di sinilah, nilai keakuan muncul secara kuat. Keakuan di sini, artinya, dari keakuan penulis lantas bergerak ke keakuan pembaca. Pembaca seperti menemukan sesuatu untuk ditolak atau diterima.


Keindahan konkret dijumpai dalam efek bunyi yang dihasilkan dan juga bentuk dari tulisan puisi tersebut. Keindahan konkret di sini juga mengacu pada keindahan bunyi yang menyangkut rima, ritme, dan metrum. Rima adalah persamaan bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi.Rima mencakup:Onomatope atau tiruan terhadap bunyi, bentuk intern pola bunyi (aliterasi, asonansi, persamaan akhir, persamaan awal, sajak berselang, sajak berparuh, sajak penuh, repetisi bunyi atau kata, dan sebagainya. Ritme merupakan tinggi rendah, panjang pendek, keras lemahnya bunyi. Ritme sangat menonjol dalam pembacaan puisi. Metrum di sini merupakan ukuran irama yang ditentukan oleh jumlah dan panjang tekanan suku kata dalam setiap baris; atau pergantian naik turun suara secara teratur, dengan pembagian suku kata yang ditentukan oleh golongan sintaksis.


Ketiga puisi hendaknya menyapaikan suatu ungkapan rasa, pesan, pemikiran, kenangan, dan juga harapan. Penyampaian ungkapan yang tersebut di atas inilah yang menjadikan puisi sebagai karya yang bersifat personal atau menjadi karya yang bersifat universal. Artinya, segala ungkapan yang merupakan langkah lekaku penulis dalam menyampaikan segala perasaan, pemikiran, kenangan, dan harapannya.


Sahabat dan Saudaraku,

Menulis puisi memang merupakan kebebasan tiap personal untuk memilih dan memilah seperti apa yang menjadi tujuan yang ingin disampaikan dalam bentuk teks. Namun, perlu disadari bahwa puisi memiliki kaidah-kaidah tersendiri dalam penulisannya. Artinya, Ya, tidak diharamkan untuk melakukan pemberontakan. Namun, harus disadari bahwa pemberontakan hendaknya memiliki pondasi dasar atas apa yang hendak diberontak. Dan, puisi memiliki pondasi dasar pembentukannya.

Selamat Berkarya!


Salam Hangat

Handoko F Zainsam


2011

1.26.2011

POHON MATA SECANGKIR TEH

: wanita teh


aku mengenal matamu yang setiap senja

keluar akar akar serabut, dan bulu bulu

mata yang lain tumbuh setelah berjatuhan

di selembar kain ungu. kali ini, aku mencoba

masuk ke dalam matamu yang tunggang.

menempatkan sebatang pohon sakura

yang sebentar lagi gugur

sembari kita mengadakan jamuan teh.

kita mengaduk perlahan.

per la han. p e r l a h a n.

sampai mata kita saling temu,

mengubur perjumpaan yang sekarat

jatuh dari tali gantung pohon mata

masing masing.



2011


1.24.2011

CORETAN KECIL PSIKOLOGI 7

CORETAN KECIL PSIKOLOGI 7: MENELAAH SISI AKTUALISASI DIRI DI BALIK EKSPLORASI KATA DAN MAKNA DALAM BUKU PUISI “Selamat Datang Hujan” KARYA PENYAIR ULLYL CH DENGAN APLIKASI TEORINEEDS MASLOW


Oleh: Ganz (A. Ganjar Sudibyo)*



Sepintas ketika saya membaca puisi-puisi yang ada di halaman-halaman buku berjudul “Selamat Datang Hujan”, saya berpikir bahwa Ullyl Ch termasuk orang yang berani menerbitkan buku kumpulan puisi. Saya membaca banyak puisi yang secara tekstual belum begitu “dingin” untuk menjadi “gigil” di balik hujan. Entahlah, apa karena saya terlalu banyak membaca karya-karya penyair yang sudah memiliki jam terbang tinggi dalam dunia puisi, sehingga terkadang saya berpikir bahwa saya tidak perlu berpanjang lebar untuk membaca apalagi mengulas puisi-puisi dalam buku ini. Namun di sisi lain, saya merasa bahwa penyair yang masih saya anggap sederhana dan muda dalam berkarya seperti Ullyl Ch ini, perlu mendapat apresiasi yang lebih. Perilaku apresiatif lebih inilah yang dapat menjadi stimulus di benak si penyair untuk menilik puisinya lebih dalam dan konstruktif pada proses kreatif selanjutnya. Lalu, apresiasi seperti apakah? Ya, salah satunya adalah dengan mengangkat proses kreatif si penyair untuk dibawakan pada bentuk-bentuk ulasan seperti ini. Tentunya dalam ruang ini: ruang apresiasi, saya akan mengupas dari sisi psikologi sastra yang kali ini bertema psikologi kreativitas dalam menciptakan karya sastra berupa puisi. Pun, saya berharap bahwa saya dan pembaca di ruang ini mendapat sesuatu yang berharga untuk diambil sebagai bagian dari proses pembelajaran manusia yang sejatinya tak pernah berhenti belajar.


Tentang Psikologi Kreativitas Eksplorasi Kata-Makna dan Adrenalin si Penyair

Suwardi Endraswara dalam bukunya “Metodologi Penelitian Psikologi Sastra” mengeksplorasi penggolongan keadaan jiwa yang termanifestasikan dalam proses kreatif (proses daya cipta)dalam tiga konsep. Pertama, jiwa sedang trenyuh (iba), yaitu keadaan psikis sastrawan merasa kasihan terhadap sebuah fenomena. Letupan jiwa yang iba dapat terlihat pada salah satu bait puisi berikut:

pada hidup tak ada lagi harapan

bersandar di pengungsian

seraya menengadahkan tangan

tuan…beri kami bantuan


(Selamat Datang Hujan, hal.45)


Kedua, jiwa sastrawan sedang geram, artinya dalam keadaan marah atau tidak menentu. Suasana seperti ini memungkinkan luapan emosi marah, atau pun kekecewaan ke dalam puisi. Fenomena tersebut terjadi pada bait puisi ini yang mengekspresikan kekecewaan akan situasi negeri:

di negeri ini

tak ada lagi Bhineka Tunggal Ika

karena Tunggal Ika terpecah belah oleh budaya

di negeri ini

tak ada lagi Indonesia

karena Indonesia dimonopoli penguasa

negaraku…nerakaku….bunuhlah aku

(Di negeri ini, hal.10)


Ketiga, jiwa merasa kagum, yang mengandung arti adanya rasa heran, penuh tanda tanya, dan rasa keagungan. Selain itu, kekaguman juga dapat diimplementasikan dalam mengangkat harapan. Seperti yang hadir pada bait berikut, pengharapan ada di peletakkan kata “cinta”:

bila cinta itu sejuk

sejukkanlah dalam

hati yang gundah

hingga menjadi indah

seperti pelangi cintamu


(Yang sejati, hal.34)


Jika mengamati tentang jiwa yang diklasifikasikan dalam tiga golongan, maka di balik itu ada daya dorong yang memiliki peranan kuat. Di mana daya dorong ini menjadikan sebuah stimulus bagi si penyair untuk berekspresi. Daya dorong ini sering disebut inspirasi. Inspirasi sangat dibutuhkan dalam penciptaan karya. Groce dalam teorinya menegaskan bahwa intuisi estetis itu hadir dalam inspirasi yang diterima baik oleh pengarang maupun kritikus. Dengan demikian, faktor inspirasi perlu diasah oleh intuisi masing-masing penyair dalam mencipta karya. Permasalahannya adalah setiap penyair mempunyai perkembangan kognitif sendiri-sendiri, sehingga untuk disebut karya itu baik atau kurang dalam konteks psikologi sastra itu sangat relatif. Maka dalam membangun proses kreatif yang ingin berlangsung konstruktif bagi penyair, si penyair harus menciptakan adrenalin[1] dalam tubuhnya sendiri. Adrenalin ini berfungsi sebagai daya ledak yang besar bagi perkembangan teks dan ketajaman mengintuisi. Adrenalin ini dapat diciptakan atau terciptakan salah satunya melalui seringnya keikutsertaan penyair dalam perlombaan atau mempublikasikan di surat kabar. Pendek kata, adrenalin mesti dipelihara oleh setiap penyair yang ingin benar-benar penyair untuk mendorong adanya konsistensi dalam mengembangkan sisi kreativitas penciptaan karya melalui letupan-letupan jiwa di setiap kata dan makna yang dibangun si penyair.


Kebutuhan-kebutuhan yang Melekukkan Puisi-puisi “Selamat Datang Hujan”

Proses kreativitas yang dipandang mempunyai latar belakang psikologis di sini, dapat memberikan suatu analisis tentang gejala-gejala kejiwaan terhadap karya si penyair. Menurut Abraham Maslow (salah seorang tokoh psikologi aliran humanistik), kebutuhan tertinggi dalam piramida kebutuhan adalah aktualisasi diri. Aktualisasi diri ini merujuk pada dorongan-dorongan kebutuhan dasar manusia. Kebutuhan-kebutuhan dasar manusia dalam piramida kebutuhan Maslow dibagi menjadi lima, secara berurutan dari bawah yaitu kebutuhan fisiologis, kasih sayang, rasa aman, harga diri (empat kebutuhan ini disebut sebagai basic needs) dan aktualisasi diri (kebutuhan tertinggi ini disebut sebagai meta needs).

Kebutuhan fisiologis tampak pada pelesapan belahan bait puisi yang berjudul “Uang” berikut ini:

...

semua tergila-gila padaku

ya, mungkin karena aku cantik

dan mempesona

karena aku selalu ada di sakumu


(Uang, hal.42)

Kebutuhan fisiologis yang ditujukan di sini adalah kebutuhan akan uang yang memiliki harga mati dalam memenuhi kebutuhan dasar hidup menurut Maslow. Kalimat “karena aku selalu ada di sakumu” memiliki interpretasi tentang aku (direpresentasikan dengan kata “uang”) yang tak bisa dipisahkan dari kelekatan kebutuhan hidup (direpresentasikan dengan kata “saku”).

Selanjutnya, bait puisi di bawah ini mencerminkan sarat kebutuhan akan kasih sayang:

...

aku ingin menjadi cinta

ingin menjadi kasih

ingin menjadi segala-galanya

dalam hatimu


(Ingin, hal.50)

Kata-kata “aku ingin menjadi cinta”, “ingin menjadi kasih”, merupakan kata-kata yang dapat dimaksudkan sebagai penggambaran fenomena kebutuhan si penyair akan kasih sayang. Kasih sayang dari siapa dan berupa apa? Hanya si penyair dan pembaca yang dituju dapat memahaminya. Dengan sarat kebutuhan yang sama, namun kali ini si penyair berusaha untuk melesapkan atau menyembunyikan kebenaran perasaannya. Kata “ di hati”, menjadi juru kunci untuk menguak lesapan yang dimaksud. Pelesapan tersebut terdapat dalam puisi berikut:


bulan mati,

angin mati,

rasa mati,

bintang pun mati,


di hati


Kudus, 050309


(Sepi, hal.40)


Banyak puisi-puisi Ullyl yang mengandung sarat kebutuhan akan kasih sayang baik yang dilesapkan atau dibeberkan melalui kata-kata yang erat dengan realita pembaca. “Pada”, “Kuburan Puisi”,”Nyanyian Asa”, “Pintu”, hingga “Di balik senyummu” merupakan puisi-puisi dengan tingkat kebutuhan cinta yang lekat. Dan rata-rata puisi-puisi Ullyl merujuk pada kebutuhan tersebut.

Di lain kebutuhan, yakni kebutuhan akan rasa aman sekaligus harga diri (atau sebuah penerimaan dari lingkungan maupun diri si penyair) terlihat bergelantung di potongan bait puisi di bawah ini:

aku adalah tulang-belulang tak berdaya

aku adalah segenggam tanah liat yang diperkosa

aku adalah setitik embun bening

yang keluar dari lubang-lubang kenistaan

aku selalu dipenjara

dikurung

dicekik

....


(Aku, hal.26)

Kata-kata seperti “tak berdaya”, “tanah liat yang diperkosa”, memperkuat dugaan akan kebutuhan rasa penerimaan diri, pengesampingan harga diri. Di sisi lain kata “aku selalu dipenjara”, seolah mengungkapkan bahwa adanya kebutuhan untuk berada di tempat yang aman. Dengan kata lain dalam konteks ini,’tempat’ dapat disinonimkan dengan ‘rasa’.

...

perempuan selalu jadi gunjingan

perempuan lemah,

perempuan tak berdaya,

perempuan penuh dosa.

tapi ibu adalah perempuan


(Perempuan, hal.13)

Penggalan Puisi berjudul “Perempuan” di atas juga masih berkutat pada kebutuhan harga diri. Peletakkan kata “selalu jadi gunjingan”, “lemah”, “tak berdaya”, adalah isyarat bahwa puisi ini ingin membicarakan atau menegaskan kata “perempuan” yang dipandang sebagai ibu yang butuh untuk dihargai.

Dalam memahami aktualisasi diri di sini, saya tidak mengkotakkan bahwa kebutuhan beraktualisasi diri lepas dari kebutuhan-kebutuhan dasar sebelumnya. Kebutuhan aktualisasi diri itu selalu ada dalam diri penyair dalam rupa puisi. Puisi inilah yang kemudian memproyeksikan basic needs si penyair seperti yang telah saya uraikan di paragraf-paragraf sebelumnya.


Menyair: Proses Memahami Metapologi Diri

Menurut Maslow yang pernah meneliti penyair sekelas Walt Whitman, ia yakin bahwa jika para psikolog hanya mempelajari orang-orang yang lumpuh. Untuk mengembangkan suatu ilmu pengetahuan yang lebih lengkap dan luas tentang manusia maka para psikolog harus juga mempelajari orang-orang yang telah merealisasikan potensi-potensinya sampai sepenuh-penuhnya. Beranjak dari pernyataan Maslow tentang realisasi potensi sampai sepenuh-penuhnya, maka Ullyl dirasa perlu dan masih mempunyai banyak kesempatan dalam mengembangkan proses kreatifnya, memacu adrenalin menuju puisi-puisi yang secara teks dan kreativitas lebih dewasa seturut perkembangan diri serta pemahaman kebutuhan dirinya. Hal ini perlu dilakukan jika ingin lebih diterima di kalangan publik yang sekarang perlahan diinjeksi oleh kualitas puisi-puisi pendatang maupun sudah mapan (yang kini giat dibukukan). Dan yang lebih penting adalah bagaimana memahami sejauh mana kekurangan kebutuhan-kebutuhan dalam dirinya dapat terpenuhi. Dengan memahami bagaimana cara memenuhi yang tepat bagi kebutuhan dirinya dan tidak mengesampingkan daya pikat pembaca, maka saya yakin lamat-lamat akan terbentuk puisi yang tak sekedar puisi. Aktualisasi diri yang tak sekedar beraktualisasi. Eksplorasi kata dan makna yang tak sekedar bereksplorasi. Oleh karena itu, ketelatenan dalam “menyair” sekaligus bisa dijadikan proses memahami sejauh mana diri membangun aktualisasi yang lebih “sehat” dengan syarat adanya pemenuhan basic needs. Jika pembelajaran ini bisa dikonstruksikan dalam diri si penyair, maka keterikatan metapologi diri dapat terlepas dengan sendirinya.



Salam.

Semarang, 2011


*Esai ini dibuat untuk keperluan bedah buku puisi karya Ullyl Ch.

**Penulis seorang penyair muda dan mahasiswa Psikologi Undip Semarang.



Footnote:

[1] Dalam konteks ini, dapat ditafsirkan sebagai rasa antusiasme



1.19.2011

MELANKOLIA MELANKOLIA YANG KUSUSUN UNTUKMU, MI


[1]

di rinduku. kini, kau adalah hujan

dan aku detak jam yang redam

pada dadamu. tisu


[2]

kucari kau malam malam. kucari

di sebalik kertas buku harianku,

tapi kata kata telah begitu luruh

menyembunyikanmu. dan puisi

tak henti membunyikan rindu

pada setiap katanya.


[3]

aku payungmu, sayang. ucapku

suatu ketika di hadapan kaca,

matarinduku sendiri. aku paham,

percintaan ini hanya milik

sebagian mata kita saja

sebagian dari hujan.


[4]

barangkali, kaulah laut itu:

ombak. aku yang memecah

kedatanganmu berulang kali.

mengaramkan kepergian,

dengan arus di karang karang.


[5]

biar kuwarnai sketsa wajahmu dengan jingga,

hingga kau tampak begitu senja. tampak

begitu ingin mencintaiku. tanpa gambar.


[6]

bila kau tanyakan

tentang harga pertemuan,

maka takkan kau temukan

jawaban di mata uang

manapun.


[7]

wajahmu perca, perlahan

tersusun di jantungku.


[8]

kutiup harmonika dengan oktaf oktaf tinggi

sebagai bahasaku yang terlanjur kamus

di perjumpaan: kau sebagai penonton semata wayang,

dan panggung ini adalah hadiah bagimu seorang.


[9]

angin itu. angin itu adalah pemecah bisu

sewaktu kalender beramai-ramai

membuat sarang yang masai

: bibir, ibumu.


-- maka kunamakan angin itu

pulang


[10]

genapilah nas ini,

tulislah sayang tulislah ingatan

sampai habis ibubatumu


mi!



2011