PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

1.08.2015

BAIT PENGANTAR “ESKAPIS”*


Pembacaan Bagian I



Seiring garapan-garapan yang tak kunjung selesai karena berbagai macam hal, maka saya putuskan untuk membagi pembacaan atas buku kumpulan puisi karya Arif Fitra Kurniawan. Pembacaan bagian I ini semacam pengantar atas pembacaan sekilas puisi-puisi AFK (Arif Fitra Kurniawan).

"Eskapis" merupakan sebuah judul yang diambil dari judul puisi pada halaman 78. Apa dan bagaimana alasan AFK mengambil judul puisi ini sebagai judul buku tidak dijelaskan pada buku tersebut. Namun saya mencoba mereka-reka kaitan puisi "Eskapis" dengan beberapa puisi lainnya dalam buku ini supaya pembaca tidak terlalu terlantar oleh tanya tentang istilah yang jarang diunggah ini.

Ada dua sisi yang ingin ditunjukkan puisi “Eskapis” melalui dua bait pertama:

Di luar dirimu, cuma ada lingkaran kesalahan dan kekesalan
yang berputar. Tak bisa menghalau diri. Sementara kegelapan
datar menyerupai wajah lantai. Sebelum cahaya kota
dibangun dari mata air kemarahan yang menyeruak tumbuh
dari retakan cangkang kuku-kuku kuning busukmu. Telur-telur
yang ternyata berperangai demikian buruk. Kau tetap yakin
di dunia yang nyaris tak nyata ini orang-orang akan pulang
membawa diri mereka berjalan membungkuk memikul kepala
berisi padat—kaku penyesalan milikku.

Di dalam diriku sudah aku ciptakan ribuan pasang mata
yang menangis,bangsal-bangsal rumah sakit bersalin, jarum
suntik, kapsul penenang dan, rumit rumusan demi menebus
kehilangan.Masa depan orang-orang terlanjur bibit penyakit
menunggu waktu tepat sembari memeluk pertanyaan kapan
dirimu akan berulang-ulang bangkit. Mereka terlanjur getir
menyimpan ucapan selamat.


Dua hal yang dipertautkan tersebut tidak secara eksplisit ingin memberikan nuansa paradoks. “Di luar dirimu...” dan “Di dalam diriku...” tiga kata pembuka tersebut seolah ingin mengecoh pembaca tentang pembacaan paradoksal terhadap puisi ini. Adapun upaya-upaya AFK dalam mencari-cari celah dua sisi tertera di puisi lainnya. Pada puisi “Menukar Kau, Menakar Aku” berbeda dengan dua sisi yang ingin ditunjukkan pada dua bait pertama pada puisi “Eskapis”. Berikut potongannya: 

batu itu, kaukah?
air ini, akukah?
....

Pada puisi tersebut terasa lebih jelas dan tidak begitu rumit ketika mencernanya. Dengan pemberian penekanan melalui tanda tanya, dua larik puisi tersebut memiliki keterkaitan dan keterikatan secara utuh. Antara kata dan bunyi, yang kemudian mengerucut pada korelasi antarlarik (enjambemen). Pun kesan yang ditinggalkan dari puisi tersebut terasa lebih memiliki gesekan yang kuat di antara kedua kata benda “batu” dan “air”. Dalam kelanjutannya, batu dan air menjadi kekuatan untuk bersitegang. Saya mencoba menengok bait terakhirnya:


 agar engkau tahu
sekeras apa dirimu,
ketika leleh secair aku
--dan sebaliknya--

Kata “batu” sudah barang tentu menjadi asosiasi dari suatu benda yang keras, pemilihan kata “batu” memudahkan daya imajinasi pembaca untuk sampai pada bayangan ‘keras’ yang dituju. Begitu pula “air”, yang kemudian adalah suatu wujud yang mudah dicerna untuk mewakili cairan. Kedua kata ini dihubungkan untuk menimbulkan pertentangan dalam benak pembaca. Pertentangan semacam ini yang kemudian berusaha diujicoba oleh AFK untuk menarik adrenalin membaca. Tapi, apakah berhenti hanya sampai pertentangan ini? Dalam kasus teks puisi ini, kiranya AFK tidak memberikan kejutan apapun untuk pembaca yang menanti.

Kembali pada puisi “Eskapis”, yang mana puisi ini ditulis sekitar dua tahun setelah puisi “Menukar Kau, Menakar Aku”. Barangkali penggalan berikut cukup memperjelas kisi-kisi deskripsi dari dua bait awal puisi tersebut:
1. Di luar dirimu, cuma ada lingkaran kesalahan dan kekesalan yang berputar.
2. Di dalam diriku sudah aku ciptakan ribuan pasang mata yang menangis,bangsal-bangsal rumah sakit bersalin, jarum suntik, kapsul penenang dan, rumit rumusan demi menebus kehilangan.

Penggalan kalimat awal dari puisi tersebut ingin menunjukkan wajah yang berbeda. Pada teks nomor 1, didapati perpanjangan dari “di luar dirimu” yang memberikan gambaran bahwa persepsi diri atas di luar diri milik “mu” berisikan “kesalahan” dan “kekesalan”. Persepsi yang muncul di sini adalah persepsi negatif atau prasangka buruk. Pada teks nomor 2, dimunculkan bahwa diri milik “ku” adaah seorang pencipta yang melahirkan suasana-suasana ngeri. Kengerian tersebut diciptakan berupa ruang-ruang medis yang kemudian memiliki tujuan menitikberatkan pada yang bernama kehilangan. Bilamana kedua paragraf tersebut ingin didekatkan, kenapa AFK tidak memberi kata “di dalam dirimu”, sehingga pertentangan dapat terlihat jelas. Rupanya ada reaksi-reaksi ketakpuasan terhadap apa yang sedang digali oleh AFK sebelumnya sehingga menumbuhkan upaya untuk memberi penekanan berbeda. Kebiasaan-kebiasaan silogisme yang menyertai sebuah pembacaan dijadikan semacam uji coba untuk memberi ruang resepsi lain.

Penegasan pada teks nomor 2 dilakukan dengan memperpanjang narasi itu ke bentuk paragaraf baru:

Wabah yang berhasil membelah diri itu seperti air susu langit
memaku-maku batu, tabah meneteki mayatmu yang kekar
bercabang di liang kering angan-anganku.

Kata “wabah” memberi tambahan nilai negatif terhadap penceritaan “di dalam diriku”. Kondisi ini yang kemudian diimajinasikan dengan tingkap-tingkap kata mulai dari “air susu langit” sampai “liang kering angan-anganku”. Pada intinya, teks pada bait lanjutan tersebut berbicara seolah "wabah"  si-aku berujung pada "liang kering angan-angan".

Pada tiga bait terakhir, teks tidak jauh-jauh dengan deskripsi-deskripsi "di luar dirimu" dan "di dalam diriku". Dua hal yang ingin dipertautkan sampai teks puisi ini selesai.   
Di luar dirimu, dunia jadi kubus-kubus besar menyerupai
kekuatan sihir dan teka-teki raksasa. Pertanyaan yang cuma
membuat kita bersedih. Tidak ada musim. Cuma ada prasangka
dan kota yang berkelip-berkelip, sebentar naik ke atas,
mengambang, kemudian mencair. Menyusun siasat bagaimana
menggenangi jam-jam tidurku yang sempit. Cuaca benarbenar
membuat kita jadi mata si pencuriga. Terusan-terusan
salah menuduh bayangan seseorang menanamkan bencana.

Aku sengaja terpejam, membukakan pintu bagi benda-benda
sudah lama letih mengetuk diriku dari dalam; ingin berenang-renang 
menikmati kekalahan.

Di dalam diriku mimpi terbuat dari berjuta-juta kelahiran
bayi binatang purba. Aku satu-satunya manusia yang membenci
diri sendiri dan sering menangis. Kenapa tidak punah
dan diganti dengan perumpamaan baru agar bisa tertukar
denganmu.


Pengulangan-pengulangan yang dilakukan seperti bermaksud untuk menumbuhkan penegasan sekaligus kehibukan bagi pembaca. Dengan gambaran lain yang dimunculkan sebagai bentuk rangsangan bahwasanya ada permasalahan yang pelik antara dua hal yang ingin ditunjukkan oleh teks tersebut. 

Di luar konflik yang ingin disajikan dalam teks puisi "Eskapis" ini, bait yang saya beri warna kuning merupakan bait usaha untuk 'penghelaan nafas'. Hal itu dimaksudkan untuk mengarahkan pembaca pada klimaks yang ingin diucapkan bait terakhir. Semacam kesadaran 'aku' (terlepas sisi di dalam maupun di luar diri). Kesadaran yang ingin ditempatkan pada posisi di mana konflik tersebut tetap berporos pada 'aku'. "Eskapis" merupakan salah satu puisi yang hendak memberi nuansa ekstase bahasa pada pembaca, ditambah dengan bonus imajinasi puitik yang mewah. 

Jika "Eskapis" merupakan usaha untuk pembebasan 'aku' dari suasana yang memerangkap dalam ketidakberdayaan, tema yang hampir sama juga muncul pada puisi  "Jilatan Air".
air akan menjilat kampung-kampung kami 
kami ternyata sudah cukup lama jadi ikan 
mustahil bercita-cita jatuh dari bawah.

Potongan puisi tersebut tidak berbicara tentang 'aku' personal lagi, melainkan kami yang dibawakan oleh 'aku' kolektif. Kami yang kemudian ingin lepas dari perangkap suasana "cita-cita"Segala dugaan ini, membuat saya meyakini bahwa tidak sekedar tawar-menawar teknik penulisan puisi oleh AFK. Sebuah kesaksian majas 'kita' berusaha ditampilkan dari formasi pertentangan dalam bahasa puisi “Bekas Taman Bungamu”:
adakah sisa jarak yang masih bisa kita selamatkan. aku kesakitan
dan ingin menjauh dan ingin berpaling dari pertanyaanmu
yang meruncing. seperti kau, sebenarnya akupun tahu yang
selama ini dikehendaki dan yang tak dikehendaki.

Alih-alih, puisi-puisi yang dikemas dalam buku ini mengandung berbagai macam tema, maka biarlah teks-teks dalam judul buku yang tampak jarang didengar ini yang berkehendak bebas menyetubuhi masing-masing pembaca. Dan semoga pembaca diberkati supaya terbebas dari suasana biasa ketika membaca sebuah buku kumpulan puisi.



*) Adalah judul buku kumpulan puisi Arif Fitra Kurniawan yang dapat dilihat secara sekilas di foto di atas,di mana penulis sedang menunjukkan bukunya. 

Semarang, 2014