PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

11.29.2011

MEMBURU PERTANDA

gerimis adalah perjalanan muda yang menerangkan
air serupa pasir-pasir yang dari jauh ke kaki
menginginkan naik ke atas kepala kita,
ombak seperti bersikeras menghabisi karang
karang di tepian, entah bagaimana kita kian
hangus saja sebagai pendatang. hangus
ditemaramkan matahari yang hampir masuk
ke laut jauh itu--tanpa percakapan dan ucapan
selamat jalan.
sungguh, kita tak tahu menahu bahwasanya
pesisir ini semakin basah menyertai tubuh kita
yang lelah. padahal di sini sebuah perahu menantikan
kelepasannya dengan gagah untuk bisa mengangkut
matahari selanjutnya. lalu dari mana kita mesti
mempertautkan isyarat dan bayangan-bayangan
yang coba dipegang oleh orang-orang, sebab
mata kita mulai sembab dan mulut kita merasa asin
tanpa perlu memasukkan bagian tubuh satu per satu
mengejar ombak terjauh.
terlalu banyak tanda asing di sini, dan tak perlulah
kita kenali satu demi satu. nyeri jari yang berdarah
setelah berulang menelusup ke celah pohon berdaun duri
serta kata-kata yang hilang beralir ke utara
adalah tanda yang utama sebab kita saling berkekasih.
cukuplah


2011

11.24.2011

KERIKIL YANG ASING

jalan raya pudak payung menuju sukun:
sepanjang jalan itu seperti mempertautkan antara yang kelak dan barangkali,

yang kelak:
seketika tujuan adalah muka yang perlu kita kembalikan
kepada nafas pengharapan pada kegelapan, baik
di atas langit, baik di dalam tanah

yang barangkali:
seketika perjalanan adalah uji coba perjalanan selanjutnya
tanpa begitu ambien dengan keramaian pun kelengangan
kedatangan-kepulangan, kecemasan-kebahagiaan

lalu kita mesti fasih meletakkan segalanya pada sebelah dada yang tepat
supaya tak menemu sesal: kita di dalamnya--sesat di antara
kerikil yang asing



2011

11.22.2011

VIGILI SEORANG WARIA TULI DI PINGGIR KALI BANJIR KANAL

yang datang atas nama luput bunyi doa panjang,
panjang sepanjang deras arus kali ini
antara geliat hunian triplek dan kayu
kerlip lelampu yang sama seksinya
dengan lelagu dangdut koplo
berjogetlah tuan!
bersama busung dada palsuku:

--terpujilah bahasa manusia yang dibungsukan
kemuliaan kepada kecemasan,
ia begitu sabar memerankan malaikat kecil
di malam sewaktu gambar bulan datang
mengambang sebagai jelangkung dengan luka jantung
pada lolong muka muka mata yang tak pernah menamakan
diri manusia


--salam ya suara suara telanjang
seperti permulaan saban orang orang pinggir
menuang airmata oplosan ke gelas bir
menenggaknya cepat sambil menahan getir
syahdu ini manja dan begitu harafiah
untuk diperdengarkan, diperdentumkan
ke gendang gendang telinga hampa udara;
o, siapa ia berkelamin hendaklah ia berjaga
di tempat yang tepat di petak umpat--
lalu sedapat dapatnya membaca-tafsirkan:
kepulangan lain tanpa bunyi, setelah tuannya
mengeramati celana dengan doa
sebelum berbuka.


2011

ATAS NAMA SAMPAN

atas nama sampan, tariklah aku ke luap sungai
ke negeri air bengawan—ke negeri
paling ngeri rakyatnya

atas nama sampan, kemudianlah kita menyatakan
bahwa air itu telah membakar rumah rumah
pinggir kali hitam. lalu aku melihat beberapa
petani mengairi hijau pepadi dengan
api hitam

atas nama sampan

dada kita telah sama sama sumpah
kepada setiap arus
untuk diangkat, diayunkan,
didorong ke pinggiran yang lebih
tenang riciknya. tak lagi jauh pasang
tak lagi berwarna api

atas nama sampan, nenek moyang kita
adalah perahu bocor



2011

KELUH KAU PASANG SORE DI JEMBATAN KARTINI

oleh karena sepanjang rumah di pinggir kali banjar timur kau panggil kematian
bertalu-talu yang berlalu lama mendiami isyarat kehilangan kota--peta yang
sebentar dilupakan orang-orang. seketika kau seolah dijatuhkan burung pelikan
sore itu ke air yang terbakar tanah. sore itu terlalu muda untuk kau maknai
sebagai angin yang lantang berlari dari selatan, dan derak jembatan akan terus
menyuarakan seberapa jauh kau mesti berkata kepada dirimu sendiri--
seberapa luas kau simpan keluh di kesesakan tanpa harus menyatakan
sesal demi sesal. sungguh kau, meski kelengangan jalan di sekujur jembatan,
sore inikah yang konon kau inginkan jatuh dari angkasa supaya bisa kembali
kau pasang bersama keluh yang berkelupas-lepas lewat celah hidumu
lalu bercerai satu satu?


2011

ELEGI YANG MENULISMU KEMBALI

tertanda m.p.


"1.
ada wajah ada yang mulai
menulismu dengan hati-hati"


maka kau kembali kepada waktu yang pernah
menyempurnakan muasal rajah di tubuhmu:
o, dengan penghiburan kutulis nama
dengan kesesakan kutulis nama,
nama itu engkau yang turun menjadi
basah ke pipi. basah menjadi putih di bibirmu


karena sejatinya segala peristiwa yang demam
tak akan membuatmu pucat, atau sepasi harapan
yang suatu waktu kuletakkan di dingin telapak
tanganmu:
inilah pertemuan yang kusangsikan
inilah pengembalian yang pernah kita percintakan
tanpa perhitungan


"2.
ada puisi mati-matian merayumu
memisahkan antara kata dan cinta"


dengan apa lagi isyarat perjalanan mesti membuatmu
berpaling dari kematian yang sengaja dipisahkan
atau kau musnahkan sebagai pengasinan
--penghidupan. kata telah sedemikian iba
menemanimu di kesunyian di jalan-jalan
menuju petang sepanjang trotoar katedral.
cinta telah sedemikian terlanjur terbutakan
oleh kedua matamu yang berkilau redup-redam,
karena di mataku selamanya kita hanya alangkah


"3.
pertemuan seumpama kemabukan
kesakitan yang melengkapi bahasa lain"


tak ada penyebab yang pasti. aku cuman kehilangan
mimpimu. pesakitan yang rakus membuat kau
semakin jauh dari jejakmu sendiri. tak ada penyebab
yang pasti. kenapa mesti memabukkan percintaan
yang kembali kita tikam pelan-pelan, kekasih



2010-2011

11.04.2011

MATA PECAH MATA PEJAM

…Dan kini mataku pun bersenandung. Tatap tajam-tajam iramanya, lempar dirimu ke dalam api.”
[Octavio Paz]



-
Lelaki itu paham, ia tak sedang memelototi jendela yang sarang atas debu bertahun-tahun. Debu yang sewaktu-waktu ia pasang di mata sipitnya. Hanya di matanya yang sipit dan sayu itu, ia pernah simpan sesarang debu demi setetas nazar. Sekali lagi, ia tak sedang memelototi jendela, hanya saja entah kenapa ada yang layak ia pertahankan di lubang mata setiap menjelang pukul setengah enam sore. Pun, ia tak jarang mengaduh karena kegetirannya sendiri mendengar nanar matanya menyanyikan gaung lagu yang hampir sekarat di telinganya. Pukul setengah enam sore. Pada debu ia masih mengaduh, dan ia tak sedang memelototi pekat debu jendela di sepanjang adzan yang mulai terdengar jauh.

–-
Yang hidup di seberang jendela adalah kepulangan burung-burung menuju sarang. Tak ada badai. Taka ada mendung. Tak ada gerimis. Sarang selalu kering dan hangat untuk menetaskan mimpi-mimpi sehabis pagi. Sehabis dibawa sayap-sayap yang berarak keluar dari matanya. Sebab yang keluar pastilah kembali, meskipun kadangkala membawa sisa yang tak diharapkan. Mungkin di kepulangan lain, yang semula tegak hidup tetap tegak hidup seperti mimpi. Mimpi yang tak pernah dipecundangi walaupun dibayangi oleh usia. Dahulu dan sekarang, yang hidup di seberang jendela adalah kepulangan burung-burung menuju sarang. Dan ia masih saja menampakkan mata yang penuh kepulangan mimpi-mimpi sebelum menjadi pintu. Sebelum pagi kembali dibukakan.

—--
Udara bersuhu selimut. Ia masih duduk, sementara di luar gaduh. Ada bulan timpang yang tiba-tiba jatuh. Orang-orang berkerumun untuk menyampaikan doa supaya suatu waktu dengan kejatuhan, adalah pertanda untuk kembali menuju keberanian. Keberanian melihat diri sendiri, seperti ia yang sedang tekun menenun matanya untuk masa depan. Kadang kala orang-orang terlalu terpaku akan kejadian di luar dirinya, sehingga lupa bahwasanya di dalam dirinya masih banyak yang timpang dan berada di ujung tanduk. Ia tak tahu kenapa ia lebih tertarik kepada mata. Setiap ia mengingat orang-orang di sekitarnya, ia pasti akan dihantui bagaimana rupa mata. Bahkan seringkali ia tahu bagaimana orang mengucap dusta lewat mata. Memergoki orang yang membodohi ketimpangannya sendiri. Udara bersuhu selimut tebal, sekarang. Ia tak melihat lagi orang-orang yang berdoa khusyuk. Yang ada hanya bulan-bulan kecil beterbangan. Bulan-bulan berwarna bola mata.

—---
Untuk kesekian kali, di matanya muncul sebuah tempat yang lama ia kunjungi. Sebuah taman bermain sepanjang usia kanak-kanak. Barangkali, ia gatal dengan masa lalunya hingga berkali-kali ia menggaruk mata yang tak lekas lelah mengatupkan keinginan-keinginannya itu. Berkali-kali ia membasahi matanya dengan percik api pesakitan di masa lalu. Ia percaya bahwa karena masa lalulah ia berada dan berhasil menamai dirinya seperti halnya ia menyebut indera yang bisa melihat adalah mata. Untuk kesekian kali, taman bermain itu seolah ingin diciptakan kembali utuh–lengkap dengan anak-anak yang sedang asyik berayunan, berkejaran, dan membunyikan lagu dolanan di negeri bulan purnama. Sesegera beberapa waktu kemudian, longsor dari arah selatan datang menimbuni seluruh tempat itu. Semua anak, semua mainan, kecuali ia yang lari menyelamatkan diri. Ia benar-benar selamat seraya merasa ada malaikat yang membawanya jauh dari tempat itu. Menuntunnya kembali ke jendela di utara, tempat ia merasa dilahirkan tanpa percakapan. Sekembalinya atas letusan lirik-lirik rap di sebuah lagu yang ia putar berulang dan berulang. Lantas, ia kucek matanya yang berdebu. Ia basahi matanya dengan obat tetes mata yang terbuat dari tangis malaikat. Sampai saatnya, ia kutuk jendela menjelma lirik-lirik pecah tentang kegagalan lenting suara manusia kepada haribaan mata yang sebentar pejam.



2011

EUROPESCHEBUURT*



karena langit terus basah

50 bangunan lupa ke mana
jalan pergi ke abadnya


kita masih menghitung lelampu yang padam
di sini dengan sekalian pencahayaan tanpa
ada banyak laron datang menyalakan kegelapan,
ruhku seolah bersegera merasuk ke perlintasan
era-era yang didirikan mengimitasi kampung asing,
padahal aku seringkali bertanya-tanya: paving-paving
inikah yang membuat kenangan melahirkan suara-suara
derap-derak orang-orang pertengahan, para pedagang,
dan runtuhan kastil--inikah jalan yang mengasingkan kotanya
sendiri, lantas kita ikut melupakan arah di mana de javanische,
de malaische, dan de chineesche kampong mempercakapkan
cuaca demi cuaca berfoto di tubuh kita melalui angin kering
yang gemetar, bergetar sampai ke ujung jari kita.
kau menanyai tentang sejarah yang tak tertuntaskan
atas segala rute jalan menuju pemukiman kolonial
bahwasanya di sinilah kesepian tetap berada di jalan
kesepian sama halnya dengan nama di balik
pendar cahaya-cahaya tua--
di sana tak ada riwayat tersembunyi
hanya saja sunyi yang terlalu basah


2011
*) adalah nama Kota Lama di Semarang pada abad 17

11.01.2011

PAGI DAN SEGELAS SUSU INI KEKAL SEMENTARA MENJADI AIRBIRU MATAMU

seperti pagi ini yang kau panggil-panggil dari uap susu panas, lihat saja rasa ngungunku
yang terbias di percakapan warna putih tulang semakin renyai menembus alam pikir
tentang kenapa kita mesti menyeka airmata. dari es yang pagi-pagi sama-sama beruap
seumpama susu panas itu, aku tak yakin bahwa kegiatan minum-meminum
terlalu sentimentil untuk disebut ibu dari segala kepanjangan awal hari. segelas susu
waktu itu menciptakan pagi yang tak pernah fiksi. setiap hari, kasihku. dan kau pasti
mengenali upayaku menerjemahkan deru mesin yang mulai mendera kesunyian
di antara simpanan mimpi atau sejarah kenapa semut-semut berenang-renang
hanya di permukaan air, seolah menahbiskan diri sebagai pemanis buatan.
pemanis buatan yang sekedar menginapkan anyir ke lidah atau menitipkan
kesangsian hidup: agar kekal kita atas percintaan menuju suara-suara kecil.
seperti pagi ini yang kau panggil-panggil dari dasar segelas susu-- akukah
yang sementara kekal atas kepalsuan bahwasanya akulah tanda berulang
tenggelam di airbiru matamu


2011