PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

2.26.2012

PERGULATAN PROSES KREATIF: DARI CODING MENUJU INTUISI PUITIK DALAM SEMIOTIKA (SEBUAH PERCOBAAN TINJAUAN PSIKOLOGI KOGNITIF)*


Oleh: A.Ganjar Sudibyo (Ganz)


Bentuk paling sederhana dari berpikir adalah pengenalan terhadap objek yang dilihat. Bentuk paling rumit dari berpikir adalah intuisi komprehensif dari seseorang yang memandang segala benda sebagai bagian dari suatu sistem. - Plato -

Jalan Simpang Coding- Memori - Intuisi

Membaca sebuah proses kreatif, kali ini saya dihantarkan pada ruang gelap tertutup rapat bertingkat. Dan saya mesti sampai ke ruang tingkat di paling atas sana mencari sinar untuk melihat betapa terangnya sebuah proses kreatif. Di kegelapan itu saya menemui struktur-struktur dari tanda-tanda yang tiba-tiba datang lalu pergi. Melalui tahapan itulah saya berjumpa dengan yang namanya keberadaan. Keberadaan yang berkepentingan mengkultuskan objek. Selayaknya hubungan kausalitas, objek berperan memperanakkan informasi yang kemudian diolah menjadi bahasa-bahasa puisi oleh penyair. Ketertarikan saya adalah dengan hal ini (terlepas mereka bukan tardji, sapardi, rendra atau malna), membuat saya berpikir untuk merancang lampu bebas energi berbasis intuisi: coding dalam konteks psikologi kognitif.

Dalam menjadikan keberadaan objek menjadi sebuah informasi, manusia mengalami proses di mana terjadi penerjemahan objek-objek yang ditangkap oleh kelima inderanya. Penerjemahan inilah yang selanjutnya disebut dengan istilah coding. Dengan bahasa lain, ada suatu proses pengubahan pesan tertentu ke dalam sinyal atau isyarat yang dibuat oleh masing-masing individu. Menilik latar belakang seperti ini, dapat dilanjutkan bahwasanya memungkinkan bagaimana penilaian seorang individu dengan individu lain memiliki diferensiasi. Demikian adanya coding memberi kontribusi yang besar dalam simpanan memori individu. Apabila dikaitkan dengan pengalaman intuitik, Peri dan Rizqi mempunyai pengalaman intuitik yang berbeda dalam merayakan kata-kata ke dalam wujud puisi-puisi mereka. Notabene, puisi-puisi mereka adalah hasil pengkodean objek-objek yang bermunculan dalam suatu ruang. Ruang itu ialah tempat kelahiran di mana mereka akan menamakan sebuah peristiwa dan dirinya adalah proses kreatif yang panjang.

Rizqi dan Peri punya cara yang kemudian menjadi kebiasaan sebelum disebut sebagai kekhasan untuk menyusun ragam coding. Ragam coding tersebutlah yang membentuk kenampakan puisi-puisi mereka, menyublimkan kata-kata dengan harapan supaya semakin merahasiakan maupun mengekspose dirinya. Di lain hal, intuisi puitik akan lahir sebagai kemampuan bagaimana seorang penyair menciptakan komponen bahasa puisi lewat konstruksi yang tepat.

Dengan kesabaran matahari

yang tak penuh di tahun-tahun ini,

begitulah tatapmu pada keningku

sedangkan aku tenggelam pada masa yang terburai

“duduklah, malam masih panjang

dan hujan masih saja pongah mengenakan tirai putihnya.”

……

(Penantian)

Potongan puisi Rizqi bait pertama tersebut mengindikasikan bahwa pengalaman indera penglihatan berusaha dijadikan sebagai memori semantik yang digagas oleh Tulving. Memori ini kemudian menjadi penting ketika secara bersama-sama, Rizqi berusaha untuk menonjolkan emosionalitas dirinya di baris keempat: “sedangkan aku tenggelam pada masa yang terburai”. Memori semantik ini muncul seraya memberikan coding atas kesabaran dengan bunyi: “…kesabaran matahari/yang tak penuh di tahun-tahun ini,” . Memori semantik juga dijumpai pada judul puisi “Suatu Waktu” yang mana ada semacam percobaan untuk memberikan konsep tentang waktu dengan “–Mu”. Pada baris pertama bait akhir yang tertulis: “Aku terus ungkap kenangan yang tak ingin tersaji, demikian pada kesatuan bait tersebut merupakan bagian dari upaya Rizqi dalam pemberian kode atau tanda terhadap peristiwa yang dialaminya. Hal ini secara tak langsung dilakukan dalam kerangka membentuk suatu komunikasi terhadap pembaca. Charles Pierce menyatakan bahwa kita saling mengadakan komunikasi lewat tanda-tanda. Tanda-tanda bahasa merupakan salah satu kelompok tanda yang dipergunakan. Kata-kata, kalimat-kalimat dan teks-teks juga termasuk tanda-tanda bahasa. Nah, ketika membubuhkan tanda-tanda tersebut dibutuhkan kemampuan untuk menyajikan rangkaian kata yang matang. Kemampuan itulah yang dimaksudkan dengan intuisi puitik. Penilaian intuisi puitik terhadap karya sastra (dalam hal ini puisi), tidak hanya dilihat dari bagaimana seorang penyair menyusun struktur estetik, menata kata-kata, maupun memperhatikan enjambemen, melainkan bagaimana mengkaitkannya dengan hubungan interteksual.

Seperti halnya Rizqi, Peri mempunyai proses kreatif yang hampir sama meskipun tema yang digelisahkan berbeda.

hari tadi adalah kaca mata yang kuletakkan

di dalam saku baju dan mulutku mengeluarkan

senyumnya dari rahim demonstran.

di tv, demonstran melempari kaca jendela,

pintu, mobil dan batu-batu masuk

kedalam kepalaku. bocor.

…..

(Hari Tadi)

Puisi Peri berjudul “Hari Tadi” mencoba mempertunjukkan isu-isu kemanusiaan yang mana realisme dipercobakan untuk masuk ke dalam bahasa puisinya. Peri ingin menunjukkan gambaran mengenai peristiwa tentang hari tadi. Hari tadi yang bagaimana? Di bait pertamanya, Peri mencoba untuk mengisyratkan kegelisahannya tersebut ke dalam kode-kode seperti “kaca mata”, “saku baju”, “ demonstran”. Ada apa dengan “kaca mata” dan “saku baju”? Kenapa Peri memberi tempat pada kata-kata ini? Peri seolah ingin mendistorsikan sesuatu yang dijumpainya dalam pertemuan itu dengan cara menyublimkannya di bait akhir: dan hari tadi jatuh dari saku bajuku yang bolong/aduh”. Puisi-puisi Peri mengungkap memori-memori semantik maupun episodik. Memori episodik di sini banyak ditampung dalam puisi-puisinya yang berjudul “Hari Tadi”, “Di Sepetak Layar Kecil”, “Terus Berjalan-jalan”, “Antenna”. Memori episodik yang dimaksudkan adalah suatu sistem memori neurokognitif yang memungkinkan seseorang mengingat peristiwa-peristiwa masa lalunya yang disimpan sebagai referensi otobiografis. Sedangkan dalam puisi “Cerita di Kepalaku”, memori semantik ditenggelamkan di sana.

“….

aku sepenggal kepala yang ditinggalkan di dalam kardus

di dalam mall aku berteriak minta tolong

seluruh orang-orang dan orang-orangan

cari mencari kepalaku dan kepalanya yang tiba-tiba hilang juga.”

Memori semantik menurut Tulving dalam prinsipnya merupakan sebuah kamus mental, sebuah pengetahuan terorganisasi yang dimiliki seseorang, mengenai kata-kata dan tanda-tanda verbal lainnya, makna dan acuannya. Dalam memori ini, coding menjadi perihal untuk menciptakan kata, konsep superego dalam puisi, dan ide-ide abstrak. Tentunya struktur ini coba dibangun dalam puisi Peri di atas. Kata “kardus” dalam kesatuan barisnya adalah suatu bentuk representasi dari peristiwa yang menimpakan kata “kepala” (yang dalam hal ini sebagai subjek). Di sisi satunya, Peri membangun ide abstraknya melalui baris di bawahnya: “dan tubuhku tak tahu kemana perginya kepala”. Ide abstrak ini berfungsi sebagai reinforcement dalam struktur estetik puisinya, sehingga puisi tersebut dapat berdiri, berjalan, bahkan mempunyai bayangan.

Rizqi dan Peri seperti sedang berada di posisi yang masih diliputi kegelapan dengan lampu charge yang kian remang-redup. Kegelapan itu merambat-tumbuhi jalan persimpangan ke mana mereka akan bergerak merayakan sajak-sajak. Walaupun demikian di dalam ruang yang mereka tempati berusaha mereka lubangi untuk memasukkan cahaya. Cahaya itu adalah intuisi puitik. Pengkodean yang secara terus menerus sedang mereka kerjakan belum sampai selesai pada tahap stagnasi, melainkan masih berkembang seraya melubangi dinding-dinding.


Berkawan dengan Pergulatan adalah Menghidupi Proses Kreatif

Hasrat untuk mengembriokan puisi mau tidak mau akan bertemu sinyal-sinyal mainstream dalam proses kreatif. Sinyal-sinyal tersebut digolongkan oleh Suwardi sebagai berikut: pertama, keadaan psikis individu yang merasa kasihan terhadap sebuah fenomena. Individu tersebut menyaksikan kejadian yang menyayat hati, menyentuh rasa, yang memungkinkan kelahiran proses kreatif secara mendalam. Kedua, individu sedang dalam keadaan geram. Suasana seperti ini memungkinkan munculnya kemarahan dalam karyanya yang menghadirkan bahasa-bahasa kasar. Demikian keadaan psikis ini juga memberikan peran akan proses terjadinya karya sastra. Ketiga, individu merasa kagum, ada rasa heran, penuh tanda tanya. Suasana ini menciptakan penyampaian bahasa dengan rasa syukur, imajinasi ke arah profetik.

Puisi-puisi Rizqi bergelut dengan kerisauannya antara lepas dari diri yang majemuk ataupun melepaskan perisitiwa di luar diri. Puisi “Indung Parikesit” adalah semacam uji coba Rizqi untuk melepas konstruk codingnya terhadap diri, mencoba merangkul kehidupan di luar diri. Proses kreatif semacam ini, bisa dikatakan belum terjadi konsistensi yang cukup untuk sepenuhnya terbebas dari kerumitan diri. Sinyal yang ditangkap oleh Rizqi juga tidak sepenuhnya berada dalam satu ruang. Demikianlah Rizqi dengan segenap pertaruhannya proses kreatifnya, Rizqi berpretensi tidak semata-mata menulis sajak untuk kepentingan dirinya.

Puisi-puisi Peri kiranya bertolak dari pengklasifikasian Suwardi tentang sinyal pertama dan kedua. Tak pelak, Puisi-puisinya berpretensi memiliki tenaga emosionalitas yang tinggi seperti halnya puisi-puisi perjuangan. Puisi-puisinya seolah begerak sepanjang dirinya bergulat dengan ketidakpuasan yang kemudian diolah menjadi kode-kode dalam gaya puisi realismenya. Peri berupaya menjaga ketekunannya dalam memelihara tema yang ia pilih beserta ke mana ia arahkan intuisi puitik yang ada dalam dirinya. Atau Peri sebenarnya masih mengalami keragu-raguan atau keprasahan dalam proses kreativitasnya seperti akhir puisinya yang berjudul “Keyword”: kekasih, pilihlah kalimat apa/yang akan dipakai oleh anak kita nanti.”

Pertanyaan-pertanyaan demikian hampir sama halnya dengan yang dihadapi Rizqi. Mereka perlu untuk melanjutkan pergulatan itu. Mengakrabinya sebagai seorang kawan yang paling dekat untuk menghidupkan hasrat-hasrat baru.

Intimacy vs Isolation

Erikson, seorang psikoanalis sosial, menyatakan siklus perkembangan manusia yang ketujuh adalah adanya krisis antara keintiman versus isolasi diri. Keintiman dalam hal konteks ini adalah apabila seorang penyair ketika dalam pergulatan proses kreatifnya, ia merasa bahwasanya usahanya tidak selesai dengan apa yang ia tulis, melainkan ia mengalami ‘kebahagiaan’ tak kentara. Menikmatinya dan terus menulis sembari membuka lebar-lebar inderanya, menjaring objek-objek dalam peristiwa dan membahasakannya dengan cara yang lebih penuh kematangan bahkan baru. Rizqi seakan memberikan tawaran pada dirinya tentang bagaimana ia harus menandakan pertemuan-pertemuannya dalam akhir puisi “Siasat Malam”: “Lantas akan kemana kita berangkat?/Ke kelam dadamu/atau ke hening bumiku.” Sedangkan Peri bertekad untuk menggandeng keseriusannya dalam berpuisi dengan mengatakan dalam akhir puisinya yang berjudul “Atenna”: “Permainan sudah usai.” Apapun itu, kehati-hatian dalam berproses menanggapi kehadiran objek-objek di sekitar mereka, mesti mereka perhatikan. Hal ini supaya mereka tidak sampai masuk ke dalam ruang isolasi diri di mana tak komunikasi yang baik antara diri mereka dengan puisi-puisi mereka. Lantas menjadikan puisi-puisi mereka lunglai, hambar, dan tawar atau tidak mempunyai kepercayaan diri. Sayang sekali jika demikian, karena kata Chairil: kerja belum selesai!

Semarang, 2011

Esei ini digarap untuk kepentingan acara Petik Puitika#3 di ASAS UPI Bandung pada tanggal 4 Februari 2012 (teknis acara tertera dalam pamflet). A.Ganjar Sudibyo (Ganz) adalah seorang mahasiswa psikologi undip yang masih bertekun dalam sastra.

REFERENSI

Endrasawara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Psikologi Sastra. Yogyakarta: MedPress.

Broere, C. George. 2008. General Psychology. Yogyakarta: Prsima Sophie.

Luxemburg, Jan van, Mieke Bal, dan Willem G. Westeijn. 1989. Pengantar Ilmu Sastra (terj. Dick Hartono). Jakarta: Gramedia.

Solso, Robert L., Otto H. Maclin, dan Kimberly Maclin. 2008. Psikologi Kognitif. Jakarta: Erlangga.

Chaplin, J.P. 2008. Kamus Lengkap Psikologi (terj. Kartini Kartono). Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Djoko Pradopo, Rachmat. 2008. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


2.24.2012

DEMIKIANLAH

: perayaan berkekasih


di cihampelas, kita makan lotek, membeli kaos dan tertipu
waktu itu, aku mempercepat kita--kau dikejar travel,
aku mesti ke terminal. di cihemplas, aku kehilangan
kalimat-kalimat romantis yang mesti kuucapkan kepadamu,
manisku. tentu, aku tak lagi belajar menawar harga
sepatu sandal itu: ini perihal yang membuat kaki-kakiku
berat untuk melangkah. tak ada perpisahan, ini hanya
sebuah kepergian, katamu. ya, sebenarnya aku ingin
meniitipkan bayangan tubuhku untuk kau simpan
rapat-rapat ke dalam sebungkus tisumu. tapi demikianlah
cahaya membentuk gambarnya sendiri, demikianlah
kita memaklmumi bahwasanya kepergian ini akan berlalu
secepatnya. secepat kita kembali pada peristiwa ini. demikianlah
ciuman itu kutanggalkan pada pipi kirimu. dan kita terjebak
pada seluruh himpitan toko-toko, kau seperti mencoba
tak peduli apa itu kenangan. demikianlah, aku mengambil
jarak tentang kecintaan kita: nyawa dari separuh pertemuan ini
akan menghantar kita pada lembar-lebar ketegaran tisu yang
selanjutnya, manisku


2012

HUIS

: peringatan kekasih


1. segalanya berjalan baik, kata seorang filsuf perancis
malam itu ada yang tak tumpas di braga. sebuah pameran
buku menumpukkan diskon-diskon yang selalu sama, dan
waktu di jam tangan bergerak pontang-panting seperti
dikejar oleh stand-stand pameran yang hampir tutup.
tapi segalanya berjalan baik, memang. kau berhasil
membaca mataku di halaman kesekian dengan judul
yang mulai lelah untuk bertamasya. aku baik-baik
saja, kataku

2. kau membeli gantungan kunci seruling, aku
menggantang tas yang berisi gantungan lainnya:
seplastik tumpahan kenangan yang ternyata kau
sembunyikan di bawah parfum cokelatmu. di toko
yang penuh batik-batik lama, kau berkelindan
memilih daster ukuran berapa, warna apa,
meski tak jadi. lain kali, katamu. lalu uang-uang
receh itu bergemerincing di lantai beserta
gandengan tangan yang tak mau dilepas

3. sepiring mie goreng bandung, sepiring nasi
goreng. kita duduk menghadap cafe dan toko
suvenir, lantas bertukar sendok bersama sebentuk
keasingan lagu-lagu pengamen jalanan yang mesra
di dalamnya

4. ah, aku melupakan pandora!
kau diam saja seolah kecupan itu
memperbisukan cincin pertunangan
: amin, katamu


2012

2.23.2012

EROICA, 50 MENIT

: episode beethoven

ia kenang namanya dalam partitur-partitur
di adagio sekian, di angka nada sekian;
bonaparte, bonaparte,
ia catat nama itu berkali-kali pada sejumlah
gesekan, berkali ia menumpahkan kisah
khianat yang tak habis dipertunjukkan
di panggung-panggung opera atau tak
habis diperdengarkan dari bab tentang
bukit zaitun pada halaman-halaman injil,
pada oratorio-oratorio yang ia rangkum
menjadi sebuah orkestra tahun 1803;
di paris, ia ciptakan ingatan
selama 50 menit, dan 50 menit selanjutnya
dan selanjutnya, dan selanjutnya, sebab ia
percaya ingatan itu adalah sebuah simfoni
yang tak tertuntaskan sekalipun panggung-
panggung berhasil ia taklukan;
bonaparte, bonaparte,
lantas ia menjagal namanya, menggantinya
dengan judul baru
: eroica


2012

2.20.2012

MARBA

"apa yang membuatmu tak percaya diri
selain karena langit di atas kota lama
yang sedang berantakan?
bahkan semalam ini,
rasa tak percaya dirimu itu
sibuk mempertautkan masa lalu.
pergilah, besok masa depan
harus bangun pagi-pagi sekali, kataku"

selamat malam, gedung tua
cat-catmu seperti tukang becak
yang lelah menunggu penumpang
di depan kerapatan pintumu;
ini terlalu pagi jikalau tergesa
mengemasi kelengangan

selamat malam, gedung tua
sejarah yang meranggas di petak dindingmu
senantiasa terbuka mempertanyakan:
di ketinggian dekat kubah gereja,
percayakah bahwa kau menyimpan separuh
cahaya sisa lampu-lampu yang telah pecah
dari kertak jam tanganmu?


2012

2.19.2012

OREILLON

: memperkenangkan auto-da-fe

konon, wanita-wanita itu bercinta dengan kera
sedang laki-laki keranjingan dengan para pastor
abad pertengahan. sebab itu, rambut anak-anak
yang dipermandikan di hadapan altar adalah
semacam incest, incest yang didongengkan oleh
upacara-upacara sakramental. sebuah tontonan
meriah rupanya, peringatan bagi para pejalan kaki
yang mencatat kapan waktunya menggambar cakar
dan ekor di betis kakinya, lalu memasukkan batu
ke dalam mulut seraya mencabuti bulu kaki.
sebuah bakaran didirikan untuk menyobek perut-
perut, melamuri tubuh dengan air didih, dalam
gentong kekar, meratapi hasrat pada dinding-
dinding tanah liat bersama pemuka yahudi--
yang sekali lagi konon, barangkali, sebuah
zaman tak mengenal lagi hukuman, bahkan
tak tau lagi caranya menguliti hasrat itu


2012

CANDIDE

: membaca voltaire

monseigneur, monseigneur, monseigneur
kami membawa sekantong kematian pangloss
berisi harta eldorado yang raup. udara di sini
semakin sempit dihimpit pemikiran orang-orang
perancis yang konyol dan perkosaan yang murah
hati, duh...anggur porto itu memberkati sebaik-baiknya
kata-kata para filsuf yang dijatuhkan pada ketenangan
tali gantungan dan pisau guilotaine

moseigneur, monseigneur, monseigneur
kami ngiris, melihat bahasa-bahasamu yang mengajak
kami untuk tertawa di bawah kaki paus dan serdadu
jesuit yang menjual jubahnya kepada raja

monseigneur, monseigneur, monseigneur
tubuh kami tak akan rata dengan tanah
orang-orang romawi yang latah jika
berbicara soal emas dan moral


2012

2.17.2012

CICAHEUM SUBUH ITU

i. lalu lalang angkot-angkot yang hijau nyalanya itu
kau nyatakan atas perjumpaan sekali lagi. lampu-lampu
dan cahaya yang mempergantikan pandangan langit
membikin lengang jalanan jadi sebuah tawaran
untuk bertukar kesunyian. aku menjadi cahaya itu
lantas menyusun kata-kata yang tak habis
pandangannya. angkot-angkot dan segala jurusan;
tapi aku tak memilih semuanya. kata-kata bukan
penumpang yang setia, kata-kata itu kataku yang
memperkenankan cahaya melarang separuh terang
menebalkan bayangan

ii. lalu apa yang mesti dipercakapkan lagi tentang
jembatan penyebrangan, para pengemis, dan pengamen
jalanan, peruntungan yang selalu gagal menjadi bahan
doa-doa tengah malam? aku tak menahu soal itu, rasanya
pemandangan di sekitar sedang khusyuk bersembunyi
dari kamera digital yang menggantung di tangan kananku,
tembok-tembok yang terbilang kangen bagi sentuhan
telapak tangan-telapak tangan, tapi keringat dingin
terlanjur jujur keluar sebagai kekasih ketiga belas
seperti gerimis tiba-tiba. padahal aku tak mau lagi
bercinta dengan keringat dingin, kekasih

iii. aku mengambil jarak beberapa meter dari koran-koran pagi
yang menata dirinya di sebelah minimarket karena perutku
tiba-tiba berat dan keram melihat penjual bubur ayam. sepagi ini
aku belajar memfitnah lambung dengan menahan kencing, bukan
tak ada toilet umum, atau tempat yang tepat untuk menghimpit
sebagian tubuh, melainkan kaca-kaca spion yang sedang memasang
dirinya bersama bunyi mesin. mereka datang seperti hantu siang hari,
dan aku benar-benar dibuat takut. mereka berusaha mencemari
perut dan penisku dengan mie-mie dan kopi-kopi instan. maka
kutahan sampai penantian ini habis pada waktunya. kutahan
yang akan masuk, yang akan keluar

iv. ini pagi berjalan tak sesempurna matahari. udara menciut seperti
ukuran becak-becak di sini. kiloan cahaya memberat dalam ponsel.
suara-suara kecut dari pesan-pesan masuk. dan lubang dubur yang
perlahan mengeras



2012

MAZMUR LILIN HITAM


: memperkenangkan daud


dari matamu melewati asap mataNya
kaupanggili para santo-santa:
tiup tiuplah lilin, membubung
hingga gaung sepanjang sabat tak
tampak gentangnya. lalu kausyahadatkan
kemah persembunyianNya
seperti daud menarikan biduan
di rahang singa, sewaktu langit
dipekatkan oleh sungai-sungai babel,
sampai kau ikut menitipkan lirih ini
mengambangkan gandarusa,
melelehkan diri. melagukan langit sion
mempercayai ajal yang ada, sungguh
sangat dekat. dekat atas bakaran,
bakaran di sumbu yang tak pernah
habis nyala suaraNya. bersama
segala tangkup telapak tangan, kau
berlari menggantang kecemasan
--menuju doa yang payah
dan gerah.

kau bernafas. kau masih bernafas.
udara tumbuh bergantian. bau parafin.
merinding mata itu. tubuh itu. hanya rapal
gelap yang hangus

Eli!


2011-2012

BES MAYOR, SIMFONI NO.5

: memperkenangkan schubert


tempo itu meremah suara-suara sebelumnya
suara-suara dari wina, biola-biola itu mengeram
panggung konser yang ditumbuhi warna-warna
ranggas dari tinggi ke rendah lalu ke tinggi,
dari warna ke interval berkali-kali seperti
menjauhi opera-opera yang gagal dan bebal
mempertontonkan penonton, begitu katamu,
tanpa dua terompet dan timpani, gerakan
tetaplah gerakan. ini bukan gaya rossini
atau drama goethe. semuanya tetap sama
dan memutar seperti arahan tangan
komponis. tempo itu persimpanan
yang selalu teramat klasik seperti
bunyi pergantian ombak ke ombak,
meninggi, merendah
meninggi, merendah


2012

KLAUSTROFOBIA

1. ELEVATOR
elevator adalah tempat (yang mungkin) bagi kita:
segala pengalihan arus khawatir yang merambat
di kedua tanda panah menuju ke atas lalu ke bawah
- kita bersegera paham bahasa takut di kelindan otak,
pada ruang yang kausangka tiba-tiba menyala sendirian –

2. TOILET
ada guyuran gelisah tercermin di kacakaca wastafel
ada peringatan lama di sana:
jangan sesekali memelihara waktu di sini, kau tahu
wajah kita selalu luber dan kuyup tersebab keran air bak mata
yang kerap kali lupa dimatikan.

3. KAMAR 303
bukan, ini bukan kamar mayat, katamu
ini kamar percepatan satu tahun pengasingan
di sini, kita tinggal berdua saja
tanpa perlu menyelamatkan diri


2010-2012

PUSJKIN, RUSIA 1837

: memperkenangkan alexander sergejewitsj pusjkin


di tangan kiri kau pertaruhkan sejumlah peristiwa
yang sesungguhnya ingin mengusir kematian, kata orang-orang
perkelahian itu membelot menuju dirimu sendiri. shakespeare,
kepadanya sebab-sebab kau tulis tawanan di kaukasus
bersepakat untuk mengenang sejarahmu bersama byron. seketika
romantisme itu selesai sudah dengan pertemuan yang membikin
sederetan kekasih melarikan diri dari buku-bukumu. di tangan kiri
kau peram luka dari kain yang tak sengaja memilikimu sebagai
seorang pembawa pedang anggar. luka itu darah yang penuh
nganga kesepian, darah seperti anggur merah yang baru saja
keluar dari pabrik, katamu. tapi kau tak benar-benar berkelahi,
atau membawa pedang anggar di arena. kau hanya main-main,
naik-turun memainkan langit yang jauh dari gaduh salju dan
sisa kenangan yang terseduh. kau hanya main-main,
mempermainkan puisi-puisi yang kedinginan dan berdiri
sendiri-sendiri di setiap kejadian di luar perpisahan. kau
hanya main-main, mempermainkan kematian karena
kehidupan lebih layak dipandang sebagai tawanan
perang yang tiap hari makan sisa makanan babi. sekali lagi
di kota ini kau hanya main-main, mempermainkan kota
mempermainkan tahun yang mempersedihkan
kemain-mainanmu


2012
“Tawanan di Kaukasus”: karangan yang disusunnya ketika dalam pembuangan.

2.12.2012

HOMEOSTASIS



matahari itu telah tergunting, katamu
sebagian menempelkan cahayanya di perut-perut
yang menahan lapar. langit yang hijau, rupanya
sedang mempercintakan setiap ngilu yang kejang
dengan kebahagiaan secara bergantian.


2012

SEBAB AIR ITU TERLALU LELAH TERTAMPUNG DI AKUARIUM


mengingat putu wirawati

1. gelembung-gelembung udara pecah di permukaan
seperti mempermainkan perpisahan yang lama,
mengenalmu. sungguh berbenak-benak mataku
ditanak oleh bunyi riak sepanjang obituari ini
merapal namamu. diam-diam. bergantian
seperti bulatan gelembung yang tasbih
menguatkan air untuk tetap sebagai air,
bukan udara yang tampak janggal

2. ini tabiatku yang sedang tak tahu negeri asing,
mana mungkin bunyi anyir yang kau idap itu
mendekapi koral-koral putih dalam kotak air ini
bahkan mempersunting sebuah ingatan untuk
ditenggelamkan ke dasar kaca, bercinta selamanya
dalam sangsai duka yang suci dan basah tanpa merasa
bosan. ini tabiatku yang tak panjang-panjang
memperkarakan tawar percintaan

3. kau iris ngilumu saja, kau tebar bersama letupan
gelembung-gelembung udara di permukaan yang
tak pernah kau hitung berapa ganjilya atau sampai
kapan sebuah kenangan berkelahi dengan arus
yang selalu sama hingga membuat limbung
selekas perasaan kauhanyutkan ke buih-buih
sebagaimana bunyi deras pompa air.
kau iris ngilumu saja, kau tebar berdua bersama
air sebagai kesatuan yang merestui kegelisahanmu

4. air itulah yang membuatmu kepayang lalu pingsan
demikian seterusnya, kau mencoba membikinnya lebih
abadi karena langit hanyalah air yang bertahun-tahun
terus bergerak dalam akuarium dengan alangkah tenang
keletihannya


2011-2012

SAJAK UNTUK HAN : REQUIEM NEGERI BHINEKA


karena Indonesia tidak tunggal ika*


han, ingatlah negerimu
para pecundang yang tak mau
menghentikan aksinya di jalanan
di gedung-gedung, di penjara-penjara
di kantor-kantor, di mana saja
mereka menegakkan kuasa
di atas segala. halal segalanya halal
oleh kekuasaan

seribu tahun kau tak pulang,
apa kau takut menyaksikan orang-orang
yang meremas jantung mereka sendiri
mempersilakan keburukan mengubur
nasib mereka di tanah kelahiran yang
berulangkali kena gusur dan tembakan
senapan ke udara

mungkin saja tak ada yang berani melek
atau mungkin di negeri ini orang-orang
terlalu feminin untuk menegaskan kebenaran
--menyatakan cuman satu yang mesti
diperjuangkan

ya han, bisa saja kau benar
tentang berapa warna yang coba
disatukan dengan paksa lewat
batu-batu dan senjata tajam
atau desing peluru

betapa di tempat lain
orang-orang tampak merisau
berapa yang harus mereka bayar
untuk menebus kehilangan
di negeri tempat orang bersalah
dipancung;

demikian di lain tempat
orang-orang sedang berusaha
mengembalikan ladang-rumah mereka
dengan cara menjahit mulut
menghadap istana merdeka
ke mana nurani persatuan-kesatuan
seperti yang membikin sejarah tujuh belas
agustus empat lima. segalanya seakan
tercerai-berai perlahan-lahan. hingga
yang ada hanyalah rasa amarah kepahitan
dan pancasila yang sayup-sayup hampir lenyap

hah!



2012
(*Semboyan majalah bhinneka)

MEMORIABILIA ORANG PINGGIRAN



“The struggle of man against power is
the struggle of memory against forgetting”
[Milan Kundera]


1.
tanah yang kami huni sekarang tak mengenal tanda baca seperti dulu
mana kala kami masih mampu menuliskan isyarat mimpi bagi sanak-saudara
bagi kesederhanaan di rumah rumah kami

- ternyata, yang lebih tak pasti dari mimpi kami itu tersangkut
antara dinding dinding cokelat retak sehabis penggusuran -

2.
kami tak ingin menceritakan airmata kami sendiri
karena airmata telah sering menjadi tontonan yang dijual
pada mata layar layar televisi

kami ingin belajar mengamalkan keadilan.
keadilan. hanya dengan tanah nenek-moyang kami

demikian, kami bisa menguburkan separuh riwayat kami sendiri
tanpa melupakan harapan yang berjatuhan di sidang-sidang
gedung pengadilan

3.
barangkali, ini takdir yang salah. kami terlahir di tanah yang salah.
beranak-cucu dengan penghidupan yang salah tanpa banyak kesah
kenapa mereka bilang terserah;
tapi, biarlah. segalanya telah tumpah dan sebah.

4.
keadilan, lewat pertanda kami meringkasmu
lantas melumatnya ke muka wajah wajah kami
menjadikan tanya dan pinta untuk setiap kedukaan
setiap kemarahan yang hendak mudah dilupakan

: tentang harga berliter liter doa-airmata
yang berasal dari tanda baca kami sendiri
menikam di ulu ingatan!


Semarang, 2010


2.09.2012

POTRET SORE DI TERMINAL

sepeninggal rendy, bersama arif dan fitri

1. sebuah botol menggantung, temali
retas sama seperti waktu yang kita cadaskan,
kita mengemasnya ke kantung-kantung cemas
di jaket, di baju, di celana. ah, mungkinkah kita
kehilangan kosa kata tersebab kepulangan
kuduga sebagai pembatas buku atau
kebersambungan sebuah peristiwa
yang tiba-tiba menyusun kegagapannya
-- kursi yang kita duduki seolah bergerak
mengukir pantat kita dengan alamat
keresahan

2. tanpa sadar, sebuah perjalanan mencoba melarikan
potongan potret sebuah lensa 14 megapiksel,
di cicaheum, di cicaheum. sekali lagi di cicaheum,
pertemuan menyimpan pekerjaan yang padat seperti
senin itu. lantas kita menghayatinya, melubangi dada
masing-masing dengan barzanji tentang perpisahan
yang tak rampung dan tak kunjung. tanpa sadar
sekali lagi, keniscayaan langit merah pucat
menimpai kita sebagai ruang terlebar
semacam gedung pameran fotografi.

3. sua itu tak berkesudahan mengenakan lalu lintas
bus-bus yang merayakan kehendak para penumpang,
sebentar lagi, ya, sebentar lagi. sebuah matahari
akan terbit dari roda-roda bus sebelum pelukan
sampai jumpa

4. tak ada hujan. tak ada mendung. hanya penghiburan
yang berulang kali kita sulangkan layaknya kenangan
dan lalu lalang orang-orang


2012

BAIT SEUMPAMA, SEUMPAMA BAIT

teringat peri sandi


seumpama seperangkat alat puisi itu dipanggilnya
peristiwa yang bernama sandang: ingatan,
demikian dengan kenyataan seumpama film
penyembelihan hewan kurban yang dinyalakan
di hadapan fitri. tapi ia menjauh sebab darah
begitu keluh dan aduh di dada. lantas tiba-tiba
kau seolah mengigau tentang umur yang remaja
itu: kenangan yang kau pisah-susunkan ke dalam
track-track seumpama sejumlah deret lagu di winamp.
seumpama bunyi bait ini adalah kesaksian bagaimana
kau peram lubang demi lubang seumpama pertemuan
yang sedang cantik mengeroposi dirinya di jalan-jalan
penyembuhan



2012