2.17.2012

CICAHEUM SUBUH ITU

i. lalu lalang angkot-angkot yang hijau nyalanya itu
kau nyatakan atas perjumpaan sekali lagi. lampu-lampu
dan cahaya yang mempergantikan pandangan langit
membikin lengang jalanan jadi sebuah tawaran
untuk bertukar kesunyian. aku menjadi cahaya itu
lantas menyusun kata-kata yang tak habis
pandangannya. angkot-angkot dan segala jurusan;
tapi aku tak memilih semuanya. kata-kata bukan
penumpang yang setia, kata-kata itu kataku yang
memperkenankan cahaya melarang separuh terang
menebalkan bayangan

ii. lalu apa yang mesti dipercakapkan lagi tentang
jembatan penyebrangan, para pengemis, dan pengamen
jalanan, peruntungan yang selalu gagal menjadi bahan
doa-doa tengah malam? aku tak menahu soal itu, rasanya
pemandangan di sekitar sedang khusyuk bersembunyi
dari kamera digital yang menggantung di tangan kananku,
tembok-tembok yang terbilang kangen bagi sentuhan
telapak tangan-telapak tangan, tapi keringat dingin
terlanjur jujur keluar sebagai kekasih ketiga belas
seperti gerimis tiba-tiba. padahal aku tak mau lagi
bercinta dengan keringat dingin, kekasih

iii. aku mengambil jarak beberapa meter dari koran-koran pagi
yang menata dirinya di sebelah minimarket karena perutku
tiba-tiba berat dan keram melihat penjual bubur ayam. sepagi ini
aku belajar memfitnah lambung dengan menahan kencing, bukan
tak ada toilet umum, atau tempat yang tepat untuk menghimpit
sebagian tubuh, melainkan kaca-kaca spion yang sedang memasang
dirinya bersama bunyi mesin. mereka datang seperti hantu siang hari,
dan aku benar-benar dibuat takut. mereka berusaha mencemari
perut dan penisku dengan mie-mie dan kopi-kopi instan. maka
kutahan sampai penantian ini habis pada waktunya. kutahan
yang akan masuk, yang akan keluar

iv. ini pagi berjalan tak sesempurna matahari. udara menciut seperti
ukuran becak-becak di sini. kiloan cahaya memberat dalam ponsel.
suara-suara kecut dari pesan-pesan masuk. dan lubang dubur yang
perlahan mengeras



2012

0 pembaca kata berbicara:

Posting Komentar

silakan rawat benih ini