PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

4.28.2013

(ESAI) YANG HENDAK BERBICARA TENTANG PUISI (ESAI)






(ESAI) YANG HENDAK BERBICARA TENTANG PUISI (ESAI)
Oleh Ganjar Sudibyo*

-------------------
-- BAGIAN I --
-------------------
Definisi dan redefinisi
Di mana tanah dipijak, di situ langit dijunjung
Dalam perkembangannya, perjalanan kesusastraan di Indonesia telah sampai kini pada realitas-realitas yang ingin dicapai oleh rumusan sebagian sastrawan. Tampak pada tahun 2012 rupanya ada pergerakan terkait dengan perkembangan genre penulisan karya sastra: puisi. Maret 2012, tercatat Sapardi Djoko Damono, Sutardji CH, beserta Ignas Kleden memberikan ulasan penting pada sebuah buku kumpulan puisi karya Denny JA[1] (seorang yang berlatar belakang sebagai ilmuwan sosial). Buku kumpulan puisi tersebut bukanlah buku kumpulan biasa. Pada sampul depan buku tersebut ditonjolkan pula semacam stempel “Genre Baru Sastra Indonesia”. Selang beberapa bulan setelahnya, Ahmad Gaus menerbitkan buku kumpulan puisi esai berjudul “Kutunggu Kamu di Cisadane” dengan menghadirkan Jamal D. Rahman sebagai penulis kata pengantar. Pertengahan 2012, di sebuah situs beralamatkan puisi-esai.com[2] mengumumkan bahwasanya diadakan lomba menulis puisi esai. Beberapa waktu kemudian, pengumuman tersebut disiarkan melalui Jurnal Sajak edisi 3 pada tahun 2012.
Lebih lanjut, bericara tentang puisi esai, maka tidak bisa terlepaskan dengan bagimana artikulasi pemaknaannya. KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) menerangkan bahwa esai merupakan karangan yang berisi analisis atau tafsiran, biasanya dipandang pribadi atau terbatas. Sedangkan puisi sendiri diartikan sebagai karangan terikat yang dapat berbentuk sajak, pantun, dan syair. Bilamana kedua arti ini dikolaborasikan maka didapatkan, puisi esai merupakan karangan terikat yang berisi analisis atau tafsiran pandangan pribadi atau terbatas yang dapat berbentuk sajak, pantun, dan syair. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa definisi baik tentang esai maupun puisi kini mengalami ameliorasi. Artinya, KBBI edisi terbaru pun tidak bisa mengikat pada definisi yang telah disebutkan. Dengan demikian pemberian rumusan pengertian puisi esai di luar konteks KBBI, dan dapat dicatat bahwa hadirnya puisi esai dapat dikatakan sebagai genre terbaru dalam ranah perpuisian di Indonesia. Sebagaimana penggagasnya (Denny JA) memberikan alasan tertullis dalam artikelnya “Puisi Esai, Apa dan Mengapa?”, meskipun memunculkan pro kontra tentang legitimasi, genre baru, diakui maupun tidak, puisi esai tetaplah lahir sebagai rupa karya sastra. Toh, Denny JA tidak lantas hibuk memperkarakannya.
Denny telah merumuskan kriteria puisi esai yang digagasnya, yakni: Pertama, puisi esai mengeksplor sisi batin, psikologi dan sisi human interest pelaku. Kedua, puisi esai dituangkan dalam larik dan bahasa yang diikhtiarkan puitik dan mudah dipahami. Ketiga, puisi esai tak hanya memotret pengalaman batin individu tapi juga konteks fakta sosialnya. Kehadiran catatan kaki dalam karangan menjadi sentral. Keempat, diupayakan puisi esai tidak hanya lahir dari imajinasi penyair tapi hasil riset minimal realitas sosial. Kelima, puisi esai berbabak dan panjang. Pada dasarnya puisi esai itu adalah drama atau cerpen yang dipuisikan. Melalui kelima kriteria tersebut, maka pertanyaan selanjutnya akan dikaitkan dengan kriteria kelima. Diksi drama dan cerpen yang dimasukkan oleh Denny JA mengandung ambiguitas mengenai ketidakkonsistenan terhadap diksi esai dan puisi. Selanjutnya yang muncul sekarang, apakah di tangan seorang ilmuwan sosial, pakem definisi esai, puisi, cerpen, maupun drama bisa diubah-ubah sesuai dengan kepentingannya? Jika demikian, apakah pakar bahasa tidak malu lema dalam Bahasa Indonesia disepelekan? Atau memang sebagian sastrawan di Indonesia sudah merasa bahwa tidak perlu lagi definisi secara generik mengenai istilah-istilah tersebut? Kondisi semacam ini menandakan sebuah ketegangan seperti yang pernah dikemukakan oleh Jamal D Rahman dalam kumpulan puisi esai “Dari Singkawang ke Sampit”[3]. Demikian sampai di sini, tanda tanya untuk duduk perkara ini.

Fenomena puisi mutakhir: Avant Garde?
"Protes sosial tidak diekspresikan melalui demo di jalan, atau menduduki gedung parlemen.  Protes itu dieskpresikan melalui puisi esai dari sebuah acara peluncuran buku dan pidato kebudayaan," kata Jamal D. Rahman[4]. Apa yang dikatakan oleh Jamal tentang kehadiran puisi esai rupanya mengisyaratkan semacam pertaruhan legitimasi pada karya sastra bergenre baru, terlepas dari siratan makna kondisi perpolitikan, psikologis dan sosial di Indonesia pasca orde baru. Terkait dengan ketegangan legitimasi tersebut, bilmana berpijak pada esensi genre baru, maka tidak dapat dipisahkan dari sastra kontemporer dan avant garde.  The Merriam-Webster Dictionary, menuliskan tentang kontemporer sebagai marked by characteristic of the present period yang artinya sebagai “penunjuk pada dimensi waktu yaitu masa kini atau dengan lain perkataan karya-karya mutakhir yang dipublikasikan”. Sedang avant garde merupakan penunjuk pada unsur pembaharuan pada segi teknik maupun ide dari suatu karya seni. Karakteristik sastra kontemporer atau avant garde ini bertumpu kepada seni yang telah mentradisi. Karakteristik avant garde ini diciptakan oleh para seniman tidak dengan ‘’eksperimen’,’ tidak dengan coba-coba, tidak pula dengan lempar dadu. Para seniman pencipta karya sastra kontemporer ini bekerja melalui proses penciptaan yang panjang. Melalui pencarian yang panjang dan bertanggung jawab.
Alih-alih, yang digagas oleh Denny JA menurut pandangan beberapa kalangan memang tidak bisa disalah-persepsikan di satu pihak tentang bagaimana meyakini gaya yang dipakai dalam puisi esai. Bentuk dan karakter serta kriteria puisi esai pun sudah ditetapkan secara sepihak oleh penggagas. Apresiasi mulai dijunjung oleh para pendukung gagasan untuk membawa geliat genre puisi esai. Secara teknis, seperti yang telah dijelaskan di awal, puisi esai lekat dengan bab-bab panjang dan catatan kaki. Puisi yang lekat dengan catatan kaki bukanlah hal yang baru. Simak saja puisi-puisi Zeffry Alkatiri[5], juga puisi-puisi lain yang sebelumnya sudah memakai catatan kaki dan bab-bab. Artinya bahwa genre ini masih dipertanyakan sebagai bentuk pergerakan avant garde. Memang secara nama, barangkali adalah hal yang baru. Namun orisinalitas dalam bentuk adalah pertanyaan yang mendasar untuk perkara ini.   
Suminto A. Sayuti (2002, h.3) menyatakan bahwa sebagai hasil kebudayaan, puisi memang selalu berubah dan berkembang sejalan dengan perubahan dan perkembangan masyarakat yang menghasilkan kebudayaan itu.  karenanya, setiap batasan yang ada seharusnya selalu diperhitungkan sifatnya yang realtif, dan juga harus diperhitungkan konteks manakah yang dijadikan pijakan batasan itu. yang jelas, puisi, apa pun corak dan ragamnya, meniscayakan adanya hal-hal yang hakiki dan universal. Suminto menerangkan kemudian, bahwa berbagai upaya-upaya pembatasan dan pemerian karakteristiknya pun tidak boleh mengabaikan aspek-aspeknya yang hakiki dan universal itu, misalnya dari aspek bahasanya yang selalu memperhitungkan nilai bunyi dan aspek puitiknya. Menyangkut persoalan puisi esai, maka menyangkut pula persoalan perluasan maupun penyempitan makna bagi puisi itu sendiri. Hal ini sudah dibicarakan secara ringkas di awal. Oleh karena itu, pergerakan inovasi untuk memasyarakatkan puisi di satu sisi memang perlu diapresiasi sebagai gagasan yang harus diusung. Namun di lain sisi, para sastrawan yang terkait perlu melihat kembali berkenaan dengan  aspek hakiki dan universal itu.

Kritik atas kritik sebagai masa depan puisi
- “Berapa banyak....laki-laki dan perempuan macam apa yang membaca puisi?” [Octavio Paz, 1991] -
Percobaan-percobaan yang dilakukan oleh kalangan sastrawan yang dipandang mumpuni dalam bidang perpuisian atau persajakan bilamana disimak hingga kini, telah menghasilkan beragam jenis atau tipe puisi. Dari beragam jenis tersebut, sedikit yang bisa menonjol dan diterima oleh sebagian besar publik. Puisi esai telah menarik simpati berbagai kalangan karena salah satunya faktor promosi ke ruang publik yang lebih.  Leon Agusta dalam sebuah artikel yang ditulisnya[6] mengatakan demikian perihal eksplorasi yang digunakan dalam teknik puisi esai:

“Tak ada yang baru di bawah langit. Begitu sering kita dengar banyak orang mengatakan. Namun, selalu ada cara pandang yang baru tentang apa atau bagaimana adanya sesuatu di bawah langit. Selalu pula ada cara pendekatan baru terhadap sesuatu yang sudah berlalu—terhadap sesuatu—misalnya karya dari masa silam. Dari segala sesuatu yang ada sebagian elemen sudah dieksplorasi, tetapi ini tidak berarti bahwa tidak mungkin ada elemen lain yang dapat dieksplorasi.
Setiap generasi baru dalam seni selalu melihat atau menyiasati apa yang sudah dilakukan oleh seniman generasi sebelumnya dengan cara pandang yang berbeda. Perbedaan konteks dan pengalaman akan melahirkan berbagai pertanyaan baru dengan fokus pada elemen-elemen tertentu. Semuanya ini mendorong mereka untuk melahirkan sesuatu yang baru di luar paradigma dan wacana lama. Hasilnya, adakalanya melahirkan paradigma baru yang pada gilirannya akan menghasilkan karya yang baru pula.”

Masa depan puisi tentu tidaklah tergantung pada bagaimana menciptakan dan menamai cara bereksplorasi. Puisi yang sebenarnya memiliki kepentingan yang luhur pada awalnya, memang sudah barang tentu dapat beralih pada kepentingan yang lain sesuai dengan iklim zaman. Bilamana Denny JA berniat memasyarakatkan puisi (dalam hal ini puisi esai) dengan kekuatan persuasifnya[7], maka dapat dikatakan bahwa ada sisi positif di mana ia mengerti dan tahu keadaan puisi di ranah ruang publik. Selain itu, barangkali ia belum paham benar  cara masyarakat kini dalam mengapresiasi puisi-puisi yang berlahiran. Gagasan yang ditindaklanjuti oleh Denny JA tidak bisa dipandang miring begitu saja, pun tidak bisa dipandang benar sepenuhnya. Adakalanya dalam sejarah perjalanan proses kreatif polemik antarpegiat sastra dibutuhkan. Proses ini merupakan proses penempaan di mana sebuah gagasan akan terus diasah oleh zaman yang melingkupinya. Dengan demikian, apresiasi semacam ini diharapkan orientasinya akan membuahkan kualitas bukan semata kuantitas.
Kreativitas merupakan salah satu energi penting perihal proses kreatif, dan itu dimiliki oleh Denny JA. Kondisi kesusastraan indonesia kini yang ‘dangkal-dangkal dalam’ memang di satu sisi perlu diisi oleh orang-orang semacam Denny JA. Tentang kepentingan yang lain, yang ingin diletakkan oleh penggagas puisi esai tersebut adalah persinggungan di mana setiap gagasan pasti memiliki kepentingan. Pada akhirnya, yang menilai gagasan Denny JA layak untuk dipertahankan adalah publik sendiri. Para kritikus hadir sebagai orang kedua yang memberikan (menawarkan) konstruk-konstruk atas karya-karya yang lahir. Proses kreatif tetap berjalan, begitu pula dengan kritik yang sebenarnya tidak bermaksud untuk melemahkan. Dan puisi esai sedang tidak berada di garis paling depan sendirian.

-------------------
-- BAGIAN II –
-------------------
Memandang pola-pola tiga puisi esai secara ringkas
Pada bagian ini ditujukan lebih pada pengulasan puisi esai yang ditulis oleh Rahmad Agus Supartono, Jenar Ariwibowo, dan Arif Fitra Kurniawan. Ketiga puisi esai tersebut masing-masing diterbitkan dalam buku kumpulan esai ”Dari Rangin ke Telepon” dan “Dari Singkawang ke Sampit”. Bagian ini akan mengulas puisi-puisi mereka secara ringkas saja.
Puisi esai RAS (Rahmad Agus Supartono atau kerap disebut dengan Guspar) yang berjudul “Dia, Sangkarib dan Sekarung Kapas” memiliki catatan kaki yang relatif sedikit. Hanya dua istilah yang diberikan keterangan catatan kaki. Sepintas, puisi yang ditulis oleh RAS bernada religiusitas, sebab banyak diksi-diksinya yang terkait dengan tema tersebut. Seperti diksi: shalat, istighfar, surau, zakat, dan nama tokoh Umar bin Khatab. Gaya penulisan RAS juga tampak seperti cerpen yang dibalut puitisasi (hanya saja bedanya, morfologi tulisan tersebut berlarik-larik seperti halnya puisi). Puisi yang ingin menonjolkan teka-teki Sangkarib dan Sekarung kapas ini mempunyai sisi lebih ketika mengulas tema kancah politik yang diaruskan melalui pengantar religiusitas. Pada bait yang dibernomor 16 (yang diduga kuat memikiki relevansi repetitif dengan bait nomor 9), ada unsur yang mengisyaratkan demikian:

“Dia mulai mengerti makna kalimat perintah Sangkarib.
Dia mulai mengerti bahwa keburukan yang keluar
dari kebijakan politiknya tak akan pernah mampu
dikontrol pergerakannya.
Seperti kapas yang akan ditiupnya.”  
( Dari Rangin ke Telepon, h.106)

Selain itu, dapat disimak ketika RAS membuka dan menutup puisinya. Membaca puisi esai RAS, pembaca tidak terlalu dibebankan dengan persoalan pemahaman diksi, hanya saja persoalan teka-teki yang sedang dibangun oleh penulisnya.  Sisi puitis terasa agak diminimalkan dan RAS menulis dengan hati-hati sekali, seperti bentuk-bentuk metafora. Berkaitan relevansi puisi esai dengan catatan kaki, yang dapat diajukan di sini adalah seberapa penting catatan kaki itu dibubuhkan. Dalam puisi esai RAS terdapat kata-kata yang sebenarnya perlu untuk dijelaskan seperti para caddy, ormas primordial. Berbeda dengan tema yang dibawakan oleh RAS dalam puisi esainya, JA (Jenar Aribowo) mengangkat tema “melawan lupa”. Tema yang terkait dengan runtuhnya rezim orde baru dan korban-korbannya. JA mencoba mendiskripsikan kondisi negeri, kelumpuhan hukum, dan terutama kemiskinan melalui kisah interaksi Suti dengan nasib di negerinya, bapaknya, ibunya, Pini,  bahkan dengan dirinya.  Berikut merupakan sebuah nukilan pada bagian epilog puisi esai JA yang mana menelusupkan sebuah pesan inter-subjektivitas dari penulisnya:

“jika tak ada yang benar-benar tulus
mengulurkan tangan padamu
maka selamanya engkau tetap akan jadi seperti itu
sebab negeri ini adalah negeri yang tidak pernah
mau tahu
negeri yang tidak pernah bangun
negeri yang sengaja ditidurkan, sayang”
( Dari Singkawang ke Sampit, h.135)

Secara umum, puisi esai yang dibangun oleh JA memiliki pretensi kreatif dalam memasukkan pola-pola repetitif. Hal ini didasarkan karena adanya kecenderungan menaruh pengulangan kata pada sebagian besar larik yang ditulis oleh JA. Simak saja: pada bagian nomor 4, nomor 6, nomor 10, nomor 13, nomor 14, dan 15. Kreativitas yang dilakukan oleh JA dalam mengeksplorasi majas, metafora, dan repetisi kiranya dapat dipertimbangkan kembali mengingat bahwa ada yang janggal seperti nukilan berikut ini:
“.....
kau menikahlah dengan orang yang kaya raya
supaya tak lahir lagi orang-orang bernasib seperti
kamu berikutnya”
 (Dari Singkawang ke Sampit, h.128)

Raisa adalah sebuah nama. Entah peristiwa, entah korban, entah benar-benar orang. Begitu (AFK) Arif Fitra Kurniawan menerjemahkan sebuah pandangan dirinya tentang nama Raisa ke dalam puisi esai. AFK yang seringkali membawa lipatan-lipatan konotatif ke dalam larik-lariknya seperti demikian:
“beberapa kali pertemuan kita senantiasa
akan seperti ini; bergantian kau ataupun aku
akan diam lama seperti sebuah celengan.
membiarkan yang lain menjadi orang
paling tidak bisa menghentikan diri
: boros menghamburkan cerita-cerita suram.”
(Dari Singkawang ke Sampit, h.93)

Pembawaan puisi esai oleh AFK memiliki kecenderungan estetik untuk mengemas kata-kata ke dalam lipatan-lipatan konotatif yang berlapis. Hanya saja, kehadiran catatan kaki dalam puisinya menjadi tidak sedemikian penting sebenarnya. Catatan kaki menjadi semacam informasi yang jauh dari isi atau teks puisi esai. Dalam puisi esai AFK berjudul “Bukan Lagi Rahasia Kita, Raisa” catatan kaki tampak menonjol dengan panjang-lebar sumber informasi. Seperti tentang prostitusi. Pertanyaannya apakah dalam kaitannya dengan bait atau lirik yang menuliskan tentang prositusi, istilah prostitusi perlu diberikan keterangan berlebih? Tentu tidak mengherankan memang bilamana keterangan diletakkan pada diksi atau istilah asing. Simak saja sebait berikut ini:
“waktu jakarta sudah menunjukkan pukul 3 pagi
di taman kota yang lembab dan gelap sebab
lampu-lampunya banyak yang raib dicuri,
di kota yang semakin sempit sebab ditumbuhi
subur prostitusi ini aku masih menabahkan diri
untuk tidak dihancurkan dingin dan sepi”
(Dari Singkawang ke Sampit, h.91)

Perbendaharaan kata “prostitusi” yang digulirkan dalam bait puisi esai AFK seolah-olah menjadi kata yang harus digaris-bawahi ketika pembaca ingin mengenal lebih dalam puisi esainya. Selain membaca puisi esai, seolah-olah pula catatan kaki dalam puisi esai AFK menjadi antara amat penting diperhatikan dan tidak. Melihat kabar yang demikian, maka mesti kembali pada pengertian dan tujuan dari catatan kaki. Menurut pedoman penulisan ilmiah catatan kaki merupakan daftar keterangan khusus yang ditulis di bagian bawah setiap lembaran atau akhir bab karangan ilmiah. Catatan kaki biasa digunakan untuk memberikan keterangan dan komentar, menjelaskan sumber kutipan atau sebagai pedoman penyusunan daftar bacaan atau bibliografi. Tujuan Catatan Kaki, antara lain:
  • Catatan kaki dicantumkan untuk memenuhi kode etik yang berlaku
  • Dapat juga sebagai penghargaan terhadap orang lain yang mungkin berjasa dalam penulisan tersebut
  • Dipergunakan untuk menunjuk kepada sumber dan pernyataan yang dipergunakan dalam teks.


Pada kemudian, dalam puisi: fiksi dan riset
Mulanya, penggagas puisi esai bermaksud untuk menggabungkan antara dunia fiksi (yang lekat dengan puisi) dan riset (yang lekat dengan hal-hal ilmiah dan akademis). Setelah membaca beberapa buku puisi esai, cita-cita itu kiranya masih jauh dari realita. Salah satu penyebab utamanya adalah standar teknis yang kurang diperhatikan. Puisi esai menjadi bukan riset, melainkan ide yang didukung oleh puitisasi dan catatan kaki.
Eksperimentasi puisi pada dasarnya adalah baik dan perlu. Charles Baudelaire (seperti yang dikutip oleh Leon Agusta dalam esainya di horison pada edisi bulan November 2012) menciptakan prosa yang cukup lincah agar dapat menimbulkan kenikmatan lirikal dalam jiwa, getaran renungan dan sentuhan hati nurani. Sampai sekarang bentuk/ genre sastra ini, yang bisa disebut semacam cangkokan dari puisi dan prosa, menimbulkan berbagai debat/ polemik di kalangan satrawan dan kritikus. Keadaan yang sama juga dialami puisi esai versi Denny JA. Tapi, sesekali ada pikiran busuk yang mampir dalam situasi kesusastraan di Indonesia. Dalam keadaan seperti ini: uang dan kekuasaan barangkali akan dapat membuat genre puisi yang baru?

Semarang,  2013



Beberapa Acuan Pustaka Buku:
Susastra, Jurnal Ilmu Sastra dan Budaya vol. 4 nomor 2 tahun 2008. Jakarta: obor
Asep sambojda, Asep. (2011). Asep Sambodja Menulis. Bandung: Ultimus.
Situmorang, Saut. (2009). Politik Sastra. Yogyakarta]: SIC.
Paz, Octavio. (1991). The Other Voice. Depok: Komodo books.
Sayuti, Suminto A. (2002). Berkenalan dengan Puisi. Yogyakarta: Gama Media.
Damono, Sapardi D. (1999). Politik Ideologi dan Sastra Hibrida. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Kedung D.R., K. Achmad, Y. Sapto H., R. Agus S., & Wendoko. (2013). Dari Rangin ke Telepon. Depok: JurnalSajak.
Arief S., Arif F.K., Catur Adi W., Hanna F., & Jenar Aribowo. (2013). Dari Singkawang ke Sampit. Depok: JurnalSajak.
Peri Sandi H, Beni Setia, & Saifur Rohman. (2013). Mata Luka Sengkon Karta. Depok: JurnalSajak.
Nur Faini, Onik S.M., S. Sahasika, Syifa A., S. P. Elu, & Y. Rosida. (2013). Mawar Airmata. Depok: JurnalSajak.




* Tulisan ini digunakan untuk kepentingan NgoPi LACIKATA edisi khusus puisi esai yang juga menghadirkan jawara-jawara (yang berdomisili di Semarang) sayembara puisi esai oleh JurnalSajak pada tahun 2013.





[1] Buku kumpulan puisi esainya yang diterbitkan pada waktu itu berjudul “Atas Nama Cinta”.
[2] Situs ini merupakan sebuah situs yang dikelola oleh pihak Denny JA sejak peluncuran buku kumpulan puisi esainya dan dikhususkan untuk menyebar-luaskan geliat puisi esai.
[3] Buku kumpulan puisi esai ini berisi 5 pemenang terpilih Lomba Puisi Esai yang diselenggarakan atas nama Jurnal Sajak.
[4] Pernyataan tersebut dilontarkan ketika wartawan ANTARA News mewawancarai Jamal D Rahman di waktu peluncuran buku-buku kumpulan puisi esai pada Bulan Februari 2013.
[5] Buku puisi pertamanya yang pernah meraih KLA: “Dari Batavia sampai Jakarta 1619-1999”
[6] Artikel ini tertera di situs beralamatkan http://oase.kompas.com/read/2013/01/14/06305616/Mempersoalkan.Legitimasi.Puisi-Esai, selain juga sudah pernah dipublikasikan dalam majalah sastra HORISON pada Bulan November 2012.
[7] Kekuatan persuasif yang dimaksud di sini adalah bentuk-bentuk promosi puisi esai yang dilakukan ke ruang publik. Seperti pembawaan puisi ke wujud film, musik, lukisan, lomba.

BALI POST, 28 APRIL 2013



Seorang kawan (Kiki Sulistyo) mengabarkan bahwa Surat Kabar BALI POST pada hari Minggu tanggal tersebut memuat sebuah puisi saya yang berjudul:

MINGGU KORAN-KORAN PUISI

4.24.2013

MEMINDAI RINDU DARI MAHALUAS PETANG


ke dasar dadamu, petang yang membikin rindu ini
kian terjal ingin kupindai. olehmu, cintaku, tuanku;
pertemuan-pertemuan yang terciptakan dari bahasa
yang datang sehabis langit jauh petang hari.

ini kubedah satu per satu kata-kata yang meruwat
tulang-tulang rusuk dari ketiadaan adam. dalam rindu,
kucairkan jarak yang membeku antara keruh mataku
dan rumit dadaku

mahaluas petang, mengirimku ke ruang-ruang asing
tempat aku harus kehilangan diriku. bergerak dengan rindu
menuju pandangan terdekatmu


2013

4.18.2013

DENGUNG



membikin cintamu berdengung barangkali tak serumit
ketika aku mengartikan muasal kita bertemu; kata-kata
kini kita percayai bukanlah serupa puisi-puisi aduhai,
sebab ada yang lebih bisa kita terangkan sepanjang
kehendak-kehendak menunjukkan mana sementara
dan palsu. daripadanya, perihal cintamu, aku tak pernah
memain-mainkan pandangan.

bersama kini, waktu untuk mengartikan ulang segala
hal yang pernah kita sentuh adalah sepenuhnya
suara-suara yang kuisikan atas cintamu


2013  

4.14.2013

NEUROSA DIRIMU


saudaraku yang berdiam dalam dada,
siapa yang perlu kita bunuh hari ini
selain pikiran yang sempit?

padamu, segala pikir
telah aku tumpahkan
selayaknya aku membayangkan
istriku berasal dari seribu zaman kerajaan

kepalaku jadi rumit,
dan aku, zaman yang memandangmu
sebagai saudara sebagai
pengganti bagaimana aku
harus menamai pikiran
yang memanjangkan perasaan
telah sampai pada sebuah percakapan:

terus ataukah cukup di sini


2013

4.12.2013

DARI TELINGA VAN GOGH



gauguin. gauguin, jaket ini telah kuletakkan pada bahumu
kursi yang remuk redam karena makan malam yang payah
maka kini aku bertelanjang di tembok kamar bersama
nyala lilin yang memendar kuning lukisan-lukisan;
sejak aku menyatakan aku tetap merindukan pria
sepertimu, sejak itu warna-warna jadi debar mata
dan suara-suara yang mengatasnamakan namamu

sebab aku tak ingin jauh dari cintamu dan rumah
yang kita sayangi; malam-malam yang datang
telah menyerahkan cahaya-cahaya purnanya
ke dalam detak ingatan. lalu menyala
pada langit-langit kanvas

ini pisaumu



2013

BULAN-BULAN MENETAS


bulan-bulan yang menetas, bulan-bulan yang almanak
lolong anjing ke arah barat daya mengejar kesepianmu,
suara-suara yang hendak mencuri betapa mesranya kita;
di detakku, di detakmu, puisi-puisi yang kini berangkat
dari pecahan-pecahan jarak manusia dengan putaran
kenangan. bukankah kita tak ingin saling tunggu
untuk merangkul lengan-lengan yang pernah kita
tinggalkan atas jalan kata-kata?

bulan-bulan pergi dan datang, terbit dan benam,
kamu selalu saja berhasrat menaruh tanya
kepadaku,

kekasih, masihkah dapat kita tetaskan segala detak
ke dalam pusaran waktu?


2013


4.11.2013

IL POSTINO* DAN SEPATU PERJALANAN


tersebab neruda



“Mari kita bercinta dengan kaki-kaki, wahai penyair! Sebab kini telah kuletakkan perayaan perjamuan paling anggur dan jujur.” Sungguh, aku tak dapat menulis puisi-puisi panjang. Membacakannya di depan panggung pertunjukkan. Hanya malam ini dengan jam dinding yang mulai terbalik, angka-angka yang jatuh dan minggu penuh isyarat jarak di usia rantauku. “Penyair itu memang bajingan!” Tak ada sepenggal rima yang indah atau metafora di Quinchamalf, di pinggir pantai berkarang, di rumah tua, di sudut jalan para demonstran, di menara-menara katedral. Di telingaku. Maka, aku mulai membenci nyanyian-nyanyian kesedihan dengan nada-nada putus asa, menjauhkan diri dari lembar-lembar kertas yang berjibun di meja kerjaku. Aku bukan seorang pekerja buruh yang bodoh dan mudah untuk diragu oleh elegi-elegi yang Nampak mudah sekali ditebak orang. Semacam sinetron. Dan kini seharusnya aku mempertimbangkan hal baru yang kiranya lebih membuatku bahagia dengan merasa kaya. Oh! Aku ingat…Besok adalah hari ulang tahun seorang gadis yang telah lama membuatku lupa atas bir-bir yang bermalam panjang. Tapi, pertanyaannya bahwa aku tak pandai merayu dan bercinta dengan para wanita. Ya, aku perlu mencoba pelajaran baru tentang memikat dan mengail hati lawan jenis. Lantas dengan selembar kertas, aku menghurufkan apa yang menjadi rindu:

 Untukmu,
Setiap kali aku melihat ombak-ombak kembali pada ibulautan, setiap kali aku merasa pasir ini menulis tentang engkau. Rasanya aku menjadi riak-riak sehabis ditinggal gelombang dari karang-karang jauh. Jujur, aku tak tahu engkau lahir tahun berapa dan di mana. Namun, telah berulang kali engkau lahir di tempat yang sama dengan warna bulan yang masih sama di setiap malam penghujan sekalipun. Maka, jangan geraikan dirimu pada kata-kata yang sebentar palsu. Di sini aku telah menunggu sekembalinya laut benar-benar kehilangan rasa asinnya. Sebab aku berjatuh berkali-kali ingin mencintaimu. Aku jatuh lebih cinta dari camar kepada sarang setiap senja. Ini aku, untukmu yang berkali-kali Rahim di almanak segala ratap yang berharap. Kelak, kita akan berjalan bersama naik sepeda si pengantar surat itu. Di sepanjang pinggir pantai dan sedikit hempasan kebahagiaan.
Sekian kalinya, aku menjadi orang paling rindu. Di sebuah temu yang kita yakini adalah peristiwa-peristiwa. Entah itu dimaksudkan untuk lebih mencintai diri atau mencintai segala hal yang kerap berbenturan dengan kita. Ya, perjalanan, pada akhirnya akan menyentuh pada sisi bagian yang sering tidak kita kehendaki. Menjadi diri, aku hendak demikian. Sebab Neruda yang dulu telah membikin bayangan-bayangan: aku kini yang masih memperkarakan. Apakah kerinduan mesti dituntaskan dengan pengorbanan untuk orang lain ataukah untuk lebih mencintai diri yang adalah hidup itu sendiri? Hidup adalah narasi. Kita itu naratornya. Kata-kata yang klasik, pepatah yang sering dikutip orang. Peristiwa-peristiwa telah jelma jauh dari pendidikan formal yang diterima di gedung-gedung kampus. Peristiwa-peristiwa membuat kita masyuk untuk menemu apa saja di luar, di gelap malam, di setiap pribadi. Sejujurnya, aku menaruh hormat kepada para pahlawan yang mati muda di negeri ini. Maka, aku tak mau terlampau berlebihan untuk merasa tidak ada yang perlu dirindui atas dunia ini. Langit benar-benar mengutukku untuk tidak bisa berhenti bergerak di jalan-jalan sunyi.  Bertumbuh dalam kata-kata dari tanah-tanah realitas (tidak ada yang mesti terpaksa oleh ini).

Sekian kalinya lagi, aku menjadi orang paling rindu. Ah, masa bodoh. Betapa orang yang paling malang adalah orang yang tak pernah rindu. Sekalipun pada dirinya sendiri. Engkau ialah pelupaan sekaligus pengenangan. Ia telah menjadi semacam album foto lama atau perangko tahun 70-an. Aku menyadari bahwa hanya sepatu yang kini kekasih. Bersama sebuah lagu-lagu klasik yang menceritakan perjuangan seorang tukang pos menjadi puitis. Aku mengekalkan semuanya ini tanpa rasa kehilangan. Menuliskannya dengan racauan huruf-huruf yang tidak akan pernah tiada, dan makna penuh hasrat untuk ditandai. Bahwasanya menjadi puitis takkan lebih penting daripada menjadi diri yang menemu masing-masing perjalanan. Aku hidup. Aku telah menjadi hidup. Dan tidak akan mati terhadap diriku sendiri. Sepatuku telah menyampaikan segala sesuatunya, membawa ke segala tempat. Aku bukan tipe orang yang gampang percaya. Kini aku telah membuktikannya

(PERJALANAN

selanjutnya di temu waktu
usia adalah bagaimana cara kita
memaknai getah ingatan yang telah
kemas menjadi biru maupun abu

selanjutnya, sebelum kita mengenal
perasaan adalah waktu.
Waktu)




*) judul sebuah film tentang penyair dan tukang pos.
Semarang, 2011-2013

4.10.2013

BERJALAN MELALUIMU



berjalan melaluimu, suara-suara orang
yang mendebarkan berapa banyak
uang mesti dikumpulkan setiap bulan
setiap hari. melaluimu, aku tak lagi papa
hanya rela: hidup kini bukankah
kata-kata yang empunya,
bahasa untuk ditempuh sebagai jalan-jalan
bahwasanya kita sungguh beribu pada
nama yang mana kini mulai ditelantarkan
orang-orang.

berjalan melaluimu, cahaya yang kini tersepikan
menjadi bekal: “hartamu adalah cintamu
pada segala hal yang kau lepas di dunia”


2013