4.11.2013

IL POSTINO* DAN SEPATU PERJALANAN


tersebab neruda



“Mari kita bercinta dengan kaki-kaki, wahai penyair! Sebab kini telah kuletakkan perayaan perjamuan paling anggur dan jujur.” Sungguh, aku tak dapat menulis puisi-puisi panjang. Membacakannya di depan panggung pertunjukkan. Hanya malam ini dengan jam dinding yang mulai terbalik, angka-angka yang jatuh dan minggu penuh isyarat jarak di usia rantauku. “Penyair itu memang bajingan!” Tak ada sepenggal rima yang indah atau metafora di Quinchamalf, di pinggir pantai berkarang, di rumah tua, di sudut jalan para demonstran, di menara-menara katedral. Di telingaku. Maka, aku mulai membenci nyanyian-nyanyian kesedihan dengan nada-nada putus asa, menjauhkan diri dari lembar-lembar kertas yang berjibun di meja kerjaku. Aku bukan seorang pekerja buruh yang bodoh dan mudah untuk diragu oleh elegi-elegi yang Nampak mudah sekali ditebak orang. Semacam sinetron. Dan kini seharusnya aku mempertimbangkan hal baru yang kiranya lebih membuatku bahagia dengan merasa kaya. Oh! Aku ingat…Besok adalah hari ulang tahun seorang gadis yang telah lama membuatku lupa atas bir-bir yang bermalam panjang. Tapi, pertanyaannya bahwa aku tak pandai merayu dan bercinta dengan para wanita. Ya, aku perlu mencoba pelajaran baru tentang memikat dan mengail hati lawan jenis. Lantas dengan selembar kertas, aku menghurufkan apa yang menjadi rindu:

 Untukmu,
Setiap kali aku melihat ombak-ombak kembali pada ibulautan, setiap kali aku merasa pasir ini menulis tentang engkau. Rasanya aku menjadi riak-riak sehabis ditinggal gelombang dari karang-karang jauh. Jujur, aku tak tahu engkau lahir tahun berapa dan di mana. Namun, telah berulang kali engkau lahir di tempat yang sama dengan warna bulan yang masih sama di setiap malam penghujan sekalipun. Maka, jangan geraikan dirimu pada kata-kata yang sebentar palsu. Di sini aku telah menunggu sekembalinya laut benar-benar kehilangan rasa asinnya. Sebab aku berjatuh berkali-kali ingin mencintaimu. Aku jatuh lebih cinta dari camar kepada sarang setiap senja. Ini aku, untukmu yang berkali-kali Rahim di almanak segala ratap yang berharap. Kelak, kita akan berjalan bersama naik sepeda si pengantar surat itu. Di sepanjang pinggir pantai dan sedikit hempasan kebahagiaan.
Sekian kalinya, aku menjadi orang paling rindu. Di sebuah temu yang kita yakini adalah peristiwa-peristiwa. Entah itu dimaksudkan untuk lebih mencintai diri atau mencintai segala hal yang kerap berbenturan dengan kita. Ya, perjalanan, pada akhirnya akan menyentuh pada sisi bagian yang sering tidak kita kehendaki. Menjadi diri, aku hendak demikian. Sebab Neruda yang dulu telah membikin bayangan-bayangan: aku kini yang masih memperkarakan. Apakah kerinduan mesti dituntaskan dengan pengorbanan untuk orang lain ataukah untuk lebih mencintai diri yang adalah hidup itu sendiri? Hidup adalah narasi. Kita itu naratornya. Kata-kata yang klasik, pepatah yang sering dikutip orang. Peristiwa-peristiwa telah jelma jauh dari pendidikan formal yang diterima di gedung-gedung kampus. Peristiwa-peristiwa membuat kita masyuk untuk menemu apa saja di luar, di gelap malam, di setiap pribadi. Sejujurnya, aku menaruh hormat kepada para pahlawan yang mati muda di negeri ini. Maka, aku tak mau terlampau berlebihan untuk merasa tidak ada yang perlu dirindui atas dunia ini. Langit benar-benar mengutukku untuk tidak bisa berhenti bergerak di jalan-jalan sunyi.  Bertumbuh dalam kata-kata dari tanah-tanah realitas (tidak ada yang mesti terpaksa oleh ini).

Sekian kalinya lagi, aku menjadi orang paling rindu. Ah, masa bodoh. Betapa orang yang paling malang adalah orang yang tak pernah rindu. Sekalipun pada dirinya sendiri. Engkau ialah pelupaan sekaligus pengenangan. Ia telah menjadi semacam album foto lama atau perangko tahun 70-an. Aku menyadari bahwa hanya sepatu yang kini kekasih. Bersama sebuah lagu-lagu klasik yang menceritakan perjuangan seorang tukang pos menjadi puitis. Aku mengekalkan semuanya ini tanpa rasa kehilangan. Menuliskannya dengan racauan huruf-huruf yang tidak akan pernah tiada, dan makna penuh hasrat untuk ditandai. Bahwasanya menjadi puitis takkan lebih penting daripada menjadi diri yang menemu masing-masing perjalanan. Aku hidup. Aku telah menjadi hidup. Dan tidak akan mati terhadap diriku sendiri. Sepatuku telah menyampaikan segala sesuatunya, membawa ke segala tempat. Aku bukan tipe orang yang gampang percaya. Kini aku telah membuktikannya

(PERJALANAN

selanjutnya di temu waktu
usia adalah bagaimana cara kita
memaknai getah ingatan yang telah
kemas menjadi biru maupun abu

selanjutnya, sebelum kita mengenal
perasaan adalah waktu.
Waktu)




*) judul sebuah film tentang penyair dan tukang pos.
Semarang, 2011-2013

0 pembaca kata berbicara:

Posting Komentar

silakan rawat benih ini