PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

5.18.2015

MEDIA INDONESIA, 17 MEI 2015 DAN TEKS ASLINYA


Berikut kabar dari sebuah media massa yang memuat dua puisi saya (yang mana teks aslinya diedit secara... hmmm).



TEKS ASLI:


ANTOLOGI SEBELUM MENEMU RUMAHMU

1. 
jam begini aku masih hendak terus menemukan kamu;
entah aku beranjak dari alamat mana
jalan-jalan dan tikungan-tikungan yang
bergerak melintasi tubuhku, pikiranku
perasaanku atas kamu -- aku tak pernah
tak berdaya. segala pencarianku bukanlah
mudah berhenti ditentukan waktu, sebab jarak
menguatkan otot-ototku untuk berjalan
memandang hanya ke depan 

2.
nama jalan tak pernah kuhapal
hanya nama tinggalmu kurapal;
perjalanan teramat panjang ini
adalah pangkal ketika diri
dibenturkan oleh bahasa
yang disampaikan rindu,
melubangi dadaku yang tajamnya
mematahkan ulangan-ulangan
ingatan

3.
menuju rumahmu
tak akan bisa ditebus
dengan doa yang biasa-biasa
airmata yang biasa-biasa
atau puasa;
sebuah usaha keras dilakukan
seperti menaklukkan kata-kata
sebelum dibentuk sajak
yang matang benar
sebuah silih mesti dirayakan
seperti itikad seorang penyair memilih
sendiri, sembunyi dari keramaian abad 

4.
rumahmu melebihi apa yang pernah
kutemukan di dunia;
melebihi kepercayan-kepercayaan
aku akan masuk surga
jika aku rajin mengumpulkan pahala
-- ah! surga yang mana?
sebab mengucap sumpah adalah kamus bebal
dari orang abad yang tak berani menepati janji
dan demi hidup yang maha penyair,
izinkanlah segala kelelahan ini
jatuh mencium tanah rumahmu


2014



ABAD YANG SELALU BAHAGIA

ia seka wajahnya yang terhimpit tingkap gedung-gedung
roda-roda jalan, asap, limbah liar yang tumpah, dan jadwal
penggusuran. perayaan-perayaan yang tumbuh meriah
di antrean mimpi-mimpi orang yang terbukti kesejahteraannya,
di antaranya kesakitan kiri berjejal di tubuh-tubuh kemudi
atas rasa cemas terhadap matahari masa depan. udara abu
menempel di pipinya saban kali ia menengok ke kanan,
sebab di hadapannya setiap rumah menjadi tempat ibadah,
dan batu-batu yang dibuang oleh para tukang bangunan
menjadi hiasan sepanjang sejarah yang disembunyikan dari
catatan rahasia sebuah rezim.

sebuah abad yang selalu bahagia; dari orasi aristoteles sampai
rama dalam kacamata gandhi, ketika masing-masing
kemiskinan yang miris kembali untuk menatap matanya;
sebab katanya, itu semua surga yang merdeka dari cinta
luka-luka batin nenek moyangnya


2014


5.10.2015

MEMBAHASAKAN CINTA LEWAT PELAJARAN ANTOLOGI PUISI plus*



Judul : Puisi Medium Komunikasi dalam Pembelajaran
Penulis : Wardjito Soeharso
Cetakan : I, Desember 2014
Penerbit : Azzagrafika
Jumlah halaman : xii + 176 Halaman
ISBN : 978-602-1048-02-3


Ada yang menarik dengan antologi puisi kali ini. Berbeda dengan kilasan antologi puisi lainnya yang sedang merebak di jagad kesusastraan Indonesia, antologi puisi ini memiliki keunikan tersendiri dengan adanya catatan pengantar yang bahasanya bisa dikategorikan akademis. Jika dibaca sekilas, hampir sepertiga dari buku ini berisi pengenalan akan puisi. Lalu apa menariknya bagi pembaca? Terlebih dari itu, apa menariknya kemasan antologi semacam ini bagi nuansa atau zeitgeist kesusastraan di Indonesia sekarang ini?

Adalah sebuah usaha yang cukup besar untuk menyelesaikan buku esai berbonus puisi ini. Pada mulanya (jika pembacaan dilakukan secara sistematis), pembaca diajak untuk mengernyitkan dahi terlebih dahulu, menatap seberapa penting puisi bersama teori-teori akademis yang menyertainya bagi khalayak.  Menyusuri esai ilmiah yang ditulis oleh penulisnya sendiri dan seorang dosen, yang mana di baliknya pembaca dibawa pada logika-logika puitika, pada konteks-konteks bahasa puitika secara akademis. Baru setelah pembaca agak mengerti, maka akan menemui berbagai tema yang disajikan lewat bahasa puisi.

Tiga tema besar telah disusun sedemikian rupa dalam satu tema induk, yaitu Cinta. Adapun Cinta (C besar) menurut penulis buku ini diartikulasikan menjadi tiga bagian: Cinta kepada Diri, Cinta kepada Tuhan dan Cinta kepada Negeri. Tiga tema ini dijabarkan lewat pelbagai bahasa puitika yang telah disusun sedemikian rupa sehingga memudahkan pembaca untuk menangkap makna di baliknya. 

Pembaca tidak akan banyak mengernyitkan dahi ketika membaca puisi-puisi dalam antologi ini, sebab salah satu pola tulisan dari penulis antologi ini adalah bahasanya mudah dicerna. Dengan demikian sangat wajar bilamana buku ini bisa masuk di wilayah akademis sebagai salah satu bentuk pengenalan sastra kepada para siswa (di tengah semakin redupnya upaya-upaya pihak akademisi untuk memasyarakatkan sastra). Sebagaimana judul dalam buku ini, demikian pula tujuannya terbitnya buku ini adalah baik adanya. Yaitu guna pembelajaran.

Pembawaan-pembawaan bahasa puisi di buku ini ringan adanya. Pembaca tidak perlu banyak membuka kamus, sebab tidak banyak istilah asing. Hanya saja ada beberapa puisi tertentu memakai bahasa daerah (Bahasa Jawa). Tentu, pembaca perlu melakukan upaya terjemahan. Kasus-kasus yang disetuh lewat bahasa puitika di buku ini pun tidak jauh dari realita di masyarakat sekarang, tentang korupsi misalnya. Jadi, buku ini tidak mengandung banyak tuntutan kepada pembaca. Justru buku ini bisa dikatakan pantas menjadi salah satu rujukan pengenalan sastra sebagai media pembelajaran yang paling dekat dengan pembelajar. 

Tawaran dalam buku ini tidak hanya berhenti kepada para siswa saja, tetapi para pengajar, pun sastrawan atau penulis yang sedang belajar menciptakan terobosan bahasa puitika yang notabene diarahkan pada bidang pendidikan. Oleh karena itu, seirama dengan salah satu potongan bait puisi dalam buku ini, siapapun pembacanya:  Maka teruslah iqro'/Jangan lelah, bacalah!/Alam memberimu ilmu/Ilmu menjadikanmu alim.

Selamat membaca (belajar) !


Semarang, 2015

*) Resensi oleh Ganjar Sudibyo.

5.06.2015

LIGHTS ACROSS VIA DOLOROSA*




LIGHTS ACROSS VIA DOLOROSA*
by Ganjar Sudibyo

(be working, not for those meals that eager to vanish)

1. A handful of lights we keep guessing be always fallen
from our hand before it opened:
those, the lights that merged with the noise
beyond our ears, you said. then again you say,
those, you and all oblivions, I and all rememberances.
A handful of lights as we are naked and dived into the embracing water:
I said, this surface seems not like the teary eyes, the air seems not that easy
swept on away to the deepest. It could be, we need
to learn how to be settled as water, as air, with no doubt
against the lights nor the noises that make us soaked again.

my love, no matter how stirred we are in life, thousands of fortunes
never be the boundary of our journey after maturity:
since after all, we already agreed to put away all that oblivious,
all that coming back until the hands of others lighten up.
still and all, we are who believe that the streams strenghten the water
like downhearted strenghtened a heartbeat. And every heartbeat be a home
for the dazzling eyes over a question, “is that the lights or water
which keep cheering up itself tiredlessly.”

2. Tracing down our footway, is my tenacity to be relieved
any dues without singing out any conclusive blues
like they who are celebrating through the suffer. We are, my love,
the winding ways that perfect our greeting poems
while waiting for farewell and evanescence working for us,
who is squinching each other, possessing each other: hugging,
whiten us shivery, eternally, lovely.

2012

*translated into english by Pemuda J.



CAHAYA YANG BERENANG DI VIA DOLOROSA

(“bekerjalah, bukan untuk makanan yang akan dapat binasa”)

1. sekepal cahaya yang sedang kita reka-reka selalu saja luruh
sebelum salah satu tangan dari kita membuka terlebih dahulu:
itu, cahaya yang bersitubuh dengan suara-suara risik di bawah
telinga kita, katamu. katamu sekali lagi, itu: kamu dan segenap lupa,
aku dan segenap kenangan. sekepal cahaya bersama kita
yang bertelanjang menjatuhkan diri pada trenyuh air: kataku,
permukaan ini tak seperti dalamnya airmata, udara tak begitu saja
mudah hanyut dibawa menuju yang terdalam. mungkin kita sama-sama
perlu belajar rela pada sebentuk air, sebentuk udara, tanpa mengabaikan
ada cahaya pun suara-suara yang membikin kita basah kembali

kekasih, selarut-larutnya hidup ini dalam kita, seribu kali keberuntungan
bukanlah takaran bahwasanya perjalanan mulai menemui kedewasaan;
sebab bagaimanapun juga, kita seia menancapkan segala yang lupa,
segala yang kenang sampai suatu saat tercipta cahaya pada kepal
tangan lain. bagaimanapun juga, kita tetap percaya gelombang-
gelombang yang memerkasakan air seperti halnya menamakan
kemasygulan pada setiap debar. setiap debar tempat sepasang
mata kita yang bertaruh-tukar tawar: “cahaya itukah atau air
yang tak lelah khusyuk melipur dirinya”

2. menelusuri kita, adalah sekerat ketekunanku menerima setiap
kejadian tanpa memberi kesimpulan-kesimpulan yang asin
seperti halnya perayaan orang-orang mengenai ketabahan. kita, kekasih,
ialah kelindan-kelindan yang menyempurnakan sajak-sajak pertemuan
seraya menunggu perpisahan dan kesementaraan bekerja untuk saling picing
saling masuk: memeluk kita, jadi putih getar, putih abadi, putih kekasih


2012

5.05.2015

MEMAHAMI LAGU KERJA



siapa sangka kita terjebak di sini;
kelindan waktu;
orang-orang yang hanya memandang bulan
dan tak sanggup menyimpan pendar cahayanya
dalam kantung-kantung keindahan
di tengah pandangan cinta yang bosan.

kerja menjadi suatu kepastian
bahwa perjalanan kita benar-benar masih menyala
bahwa rupa-rupa picisan seperti wajah perpisahan kita
adalah perihal yang sebenarnya biasa berjumpa,

lalu kerja menjadi suatu kematian
bagi kepastian itu sendiri

maka tersebutlah kita dalam peradaban
yang tangan-tangannya mudah terkilir
yang kaki-kakinya mudah tergelincir
yang lidah-lidahnya mudah satir

o para pekerja malam
tubuh digital yang terjerumus terang
penuh koreng: tanda ketiadaan
mahakuasa,
siapa sangka kita terbelah di sini


2015

5.01.2015

AHASVEROS




sekarang ia benar-benar pergi dari rumahnya--dalam sebuah
jarak berisikan kepulangan yang tiada lelah menjelma
hantu-hantu baru; sebab barangkali ia tak juga sadar
akan ketakutan panjang, sebab bahasa di dadanya tumbuh
membikin raung-ruang: ini sesungguhnya kecamuk
perasaan yang dijauhkan dari tuannya

sekarang ia benar-benar sepi seperti seorang istri
yang tak terbiasa sendiri dari suaminya atau seperti sebuah istana
dengan ratu yang kepayang ditinggal raja bersama para pengawalnya
setelah pembantaian di medan perang

lalu sekarang ia seorang pengembara dengan setengah pesakitan
tanpa pelipur atau pereda rasa ngilu
sebab itu katanya sekali lagi, 
kita mesti merawat masa lalu sekaligus merdeka
di dalamnya. demikian yang kini tak sekedar terjadi
lewat begitu saja, bahkan semata kebetulan


2015