PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

6.30.2014

SUGENG NDALU O HAI PENABUH

buat mas her

1.
sugeng ndalu
selamat malam;

dengan dada penuh gemuruh
aku kejar kau ke kotamu yang riuh
namun kau, umpama arca tanpa ruh.
beku dengan wajah keruh:
kita mesti menuntaskan mimpi
kota ini telah genap beranjak tua
(kataku)*

lalu aku dan seorang kawan
-yang barangkali akan bersumpah
namanya tak ingin disebut
dalam wajah puisi yang lupa berdandan* –
melewatkan suatu siang yang miris
ketika kau terus-terus membicarakan
tema-tema dahaga dan wanita

maka ingin kutulis sebuah sajak untukmu
kawan dekatku yang jauh:
o hai seorang penabuh yang teramat bahagia
tersebab ujian-ujian telah terlampaui dan melampaui

sebuah tubuh tampak tumbuh berbeda dari matamu
yang belum sepenuhnya terbuka. sebuah tubuh
menggendongkabar tentang sejumlahkenangan,
kidung-kidungkarawitandengan laras-laras
yang masih disembunyikan, beserta cerita-cerita
wayang malam jumat yang kaupun tak sungguh tau
dari mana itu bermuasal;

mereka lebur dalam kultur yang sebentar kau
bisukan lewat adegan-adegan populer monitor televisi
atau lirik-lirik kelompok musik bangsamu zaman kini
… mereka hablur dalam tabuh-tabuhan kendhangmu
yang belum sempat kutatap jerit apa parau siapa
yang menjatuhkan panggilan gema di dalamnya
: kau atau seorang lain yang kau kandung
dalam bunyi telapak tanganmu?

2.
sugeng ndalu
selamat malam;
o hai seorang penabuh yang teramat bahagia
tersebab ujian-ujian telah terlampaui dan melampaui

tawamu yang acapkali santun mengajakku
melumat makna sekali lagi jiwa siapa di depanmu
: aku atau sejumlah kegelisahan
yang tak sanggup kau utarakan?

dalam kalbu, kudapati kau
yang sedang riang menari tak henti
sembari menyentuhkan jari-jari
pada tuts-tuts keyboard
lalu memukul-mukulkan
telapak tangan pada kulit kendhang
dengan irama campursari

ya, kau lakukan itu semua
di depan sinden paling cantik nan mistik
dengan suara paling trenyuh
sejagad jawa;

aku percaya dia datang padamu
bukan dari utusan lelembut
atau para makhluk gaib
atau benda-benda magis
koleksi siapapun

-- kata sunan, dia itu urip
urip yang jelma, urip yang berangkat
meruwatmu dan segala yang kau kenang
dan segala yang kau lupakan dan segala
yang belum kau temukan;

dia pelan-pelan khusyuk
sedang mengundangmu
bermain gamelan, memikat
kedua telapak tanganmu
di pokok sunyi kendhang
sebelum menatah wayang
yang sebenarnya

dia pelan-pelan khusyuk
sedang mengundangmu
masuk dengan cara yang kita pun
tak pernah sekalipun
mengetahuinya, sekalipun
tak pernah merasakannya

3.
sugeng ndalu
selamat malam

wayah iku asale seko telo
temu pisan gawe gelo

selamat malam
sugeng ndalu,
mas her


2014

*gubahan dari puisi aslan abidin

6.29.2014

LITOSTROTOS



sebelum via dolorosa, dia masih terjaga
yohanes masih mencatat                                                 
di akhir ayat, dunia sepedih ini?

sekumpulan orang berkomplot
menyerahkan dia kepada kaisar
yohanes masih mencatat
parau demi parau
saat batu-batu yerusalem
benar-benar diam, menghisap
jerit mata orang-orang yang siap
menahan isak

di litostrotos  yang duduk diadili:
seorang manusia ditahtakan mahkota duri
tubuh yang disucikan nubuat segala nubuat
lambang silih telah sekejap dingin ditatap
cinta sedemikian jurang dalam relung

di litostrotos yang bersandar
yohanes masih mencatat
di hadapan jiwa para pengikut
yang lebih dulu gugur
dan tak bisa berbuat apa-apa;
kabar ini sebentar lagi genap

inilah rajamu!
enyahkan dia!


2014

MEMANDANG KETIADAANMU





sahaya hendak memandangmu dari pelupuk, begitulah
nafas sahaya mengalir seperti limpahan utuh
sungai di utas rindu awal musim hujan;
lalu sahaya tak sengaja menangkap dingin matamu: kail
yang menancap pada wajah para pertapa, tubuh yang
mengizinkan segala godaan menjadi keras batu candi
sebab dunia telah alpa dari surga;
jiwa mereka seolah tak peduli orang-orang lalu lalang
mengumpan kesucian yang diciptakan minuman keras,
senjata, dan cinta;
padahal semuanya itu rumusan semu, kata seorang tua
yang tiba-tiba menghilang dari keramaian

sahaya hendak memandangmu dari jarak, begitulah
biru menjadi batasannya umpama langit. dari situ
sahaya mendapatimu bergerak tanpa wujud
barangkali seperti mendorong gelung awan
pelan-pelan;
mata sahaya yang cembung seperti terus menerus
membiaskan tubuhmu yang julang, terik dan kosong,
tuan!

sahaya berpaling saja semampu sahaya
di luar sana sebuah gempa mendentumkan
orang-orang yang kembali saling kepal
karena dosa sebiji:
sampai lewat benturan kata,
lewat sisi-sisi ruang yang tak terasuh,
lewat bentang sepi dalam batu-batu
yang belum dimiliki kerat tangan

orang-orang. orang-orang di luar sana
sedang gemar menghatamkan kitab
berbahasa kuman di seberang laut
dari agama yang lapar dan gagal


2014

6.24.2014

PUISI-PUISI GABEBA BADEROON




Gabeba Baderoon lahir pada tahun 1969 di Cape Town, Afrika Selatan, dan dibesarkan di
Crawford, Athlone. Dia belajar di Livingstone High School di Claremont sebelum di
Universitas Cape Town, tempat ia meraih gelar Ph.D. dalam prodi bahasa Inggris.
Dia juga belajar menulis kreatif di Sheffield Hallam University di Inggris dan di
Pennsylvania State University. Puisi Baderoon telah muncul di
banyak media nasional dan jurnal. Dia menerima Daimler Chrysler Award dalam South African Poetry (2004), dan antologi yang ia menangkan diterbitkan dalam buku Museum of Ordinary Life (2005). Antologi lain puisi-puisinya
yaitu
The Dream in the Next Body (2005) dan A Hundred Silences (2006).



Berikut ini saya terjemahkan secara bebas dari empat puisinya yang tergabung dalam antologi puisi "Bending the Bow":



Mimpi pada Tubuh Berikutnya

Dari ujung ranjang, aku menarik 
sprei kembali ke asalnya.

Seorang pria tua menggambar sebuah matahari besar bergaris 
dengan awan-awan dari tujuh warna biru.
Di antara pusat kemuning masing-masing
biru justru menjadi sendiri namun,
pada titik itu ia bertemu dengan yang lainnya, 
penglihatan tidak dapat menerka sebuah perubahan.
Pergesekan udara, katanya,
dan warna-warna.

Ketika kamu menyentuh aku dalam mimpi,
kulitmu satu jam yang lalu tidak berakhir
di tempat ia bersama denganku. Tubuhku terus menerus
dalam gerakanmu. sesuatu berhamburan
di antara kita seperti burung-burung dalam kawanan.

Dalam sebuah jarak yang lebar dari dua tubuh kita
cahaya yang mengeras memisahkan kita lagi

tapi di bawah selimut perasaan
tubuh kita adalah satu, hangat berlubang.





Tempat Tidak Ada Apa-Apa

Suatu waktu kita berjumpa dan
pertama kali wajahmu
menamai dirinya sendiri
dari dunia,

Aku mencoba menemukan kata-kata
untuk menunjukkan tempat, dalam dadaku,
dua
perasaan dalam api

seketika itu-
sentuhan dan suara.
Sebuah kata sebagai pegangan dan dengung bersama.

Sebuah kata sebagai petikan ketika
rantai logam dari sebuah jangkar cambuk
mengeras dan mencengkeram.

Atau kekuatan dari tangan-tangan
ketika penari trapeze menjalin satu sama lain, 
dengan cekat, dalam pelukan akhir

kedatangan bersandar
di tempat kamu tahu
bahwa tidak ada
 
sebuah peristiwa sebelumnya.






Menemukan Kamu

Dalam ketiadaan
mu aku menghitung:
diambilnya pensil
-pensil gambarmu demi catatan-catatan itu
dan tiba-tiba, senyum malaikatmu
tidak di sini.

Pemberianku berada di antara tumpukan, dan aku tidak tahu
nama-nama pada kartu yang telah kamu terima.
Gambar
-gambarku berusaha mengelabuhimu, sebuah wajah
yang mencekal matamu.

Seperti aku mondar-mandir pada larik ini, aku memandang
tirisan
lambat makna demi makna.
Pada
sebuah amplop kepadamu aku
telah menulis daftar belanja.
Dari rahasia keindahan catatanmu
Aku tenggak kata-kata
seperti
seorang tamu yang bebal;
pikiran
-pikiranmu adalah penunjuk halaman catatan itu.

Cinta menyeret kita seperti kartu
-kartu.








Mulanya

Aku mengarah ke sebuah sudut dan memandang wajahmu.
Hidup kita tampak seolah putaran yang keluar dari pandangan itu.

Aku menyerahkan segalanya untuk ini.
Aku ingat atas semua yang aku tinggalkan.

Kamu mengemasi buku-bukumu di rak lain milikku.
Pada sebuah amplop kepadamu aku menulis daftar belanja.

Kamu berbicara kepadaku
tentang cinta yang terdahulu.
Kamu mengatakan bahwasanya aku cinta pertamamu.

Sebelum kita mulai kehidupan antara kita bersama,
sebelum kita merenungkan meninggalkan satu sama lain,
menyerahkan wilayah samar itu dari ranjang,

mari kita berputar lama pada muasal kita.




[ Semarang, 2014 ]