PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

2.26.2012

PERGULATAN PROSES KREATIF: DARI CODING MENUJU INTUISI PUITIK DALAM SEMIOTIKA (SEBUAH PERCOBAAN TINJAUAN PSIKOLOGI KOGNITIF)*


Oleh: A.Ganjar Sudibyo (Ganz)


Bentuk paling sederhana dari berpikir adalah pengenalan terhadap objek yang dilihat. Bentuk paling rumit dari berpikir adalah intuisi komprehensif dari seseorang yang memandang segala benda sebagai bagian dari suatu sistem. - Plato -

Jalan Simpang Coding- Memori - Intuisi

Membaca sebuah proses kreatif, kali ini saya dihantarkan pada ruang gelap tertutup rapat bertingkat. Dan saya mesti sampai ke ruang tingkat di paling atas sana mencari sinar untuk melihat betapa terangnya sebuah proses kreatif. Di kegelapan itu saya menemui struktur-struktur dari tanda-tanda yang tiba-tiba datang lalu pergi. Melalui tahapan itulah saya berjumpa dengan yang namanya keberadaan. Keberadaan yang berkepentingan mengkultuskan objek. Selayaknya hubungan kausalitas, objek berperan memperanakkan informasi yang kemudian diolah menjadi bahasa-bahasa puisi oleh penyair. Ketertarikan saya adalah dengan hal ini (terlepas mereka bukan tardji, sapardi, rendra atau malna), membuat saya berpikir untuk merancang lampu bebas energi berbasis intuisi: coding dalam konteks psikologi kognitif.

Dalam menjadikan keberadaan objek menjadi sebuah informasi, manusia mengalami proses di mana terjadi penerjemahan objek-objek yang ditangkap oleh kelima inderanya. Penerjemahan inilah yang selanjutnya disebut dengan istilah coding. Dengan bahasa lain, ada suatu proses pengubahan pesan tertentu ke dalam sinyal atau isyarat yang dibuat oleh masing-masing individu. Menilik latar belakang seperti ini, dapat dilanjutkan bahwasanya memungkinkan bagaimana penilaian seorang individu dengan individu lain memiliki diferensiasi. Demikian adanya coding memberi kontribusi yang besar dalam simpanan memori individu. Apabila dikaitkan dengan pengalaman intuitik, Peri dan Rizqi mempunyai pengalaman intuitik yang berbeda dalam merayakan kata-kata ke dalam wujud puisi-puisi mereka. Notabene, puisi-puisi mereka adalah hasil pengkodean objek-objek yang bermunculan dalam suatu ruang. Ruang itu ialah tempat kelahiran di mana mereka akan menamakan sebuah peristiwa dan dirinya adalah proses kreatif yang panjang.

Rizqi dan Peri punya cara yang kemudian menjadi kebiasaan sebelum disebut sebagai kekhasan untuk menyusun ragam coding. Ragam coding tersebutlah yang membentuk kenampakan puisi-puisi mereka, menyublimkan kata-kata dengan harapan supaya semakin merahasiakan maupun mengekspose dirinya. Di lain hal, intuisi puitik akan lahir sebagai kemampuan bagaimana seorang penyair menciptakan komponen bahasa puisi lewat konstruksi yang tepat.

Dengan kesabaran matahari

yang tak penuh di tahun-tahun ini,

begitulah tatapmu pada keningku

sedangkan aku tenggelam pada masa yang terburai

“duduklah, malam masih panjang

dan hujan masih saja pongah mengenakan tirai putihnya.”

……

(Penantian)

Potongan puisi Rizqi bait pertama tersebut mengindikasikan bahwa pengalaman indera penglihatan berusaha dijadikan sebagai memori semantik yang digagas oleh Tulving. Memori ini kemudian menjadi penting ketika secara bersama-sama, Rizqi berusaha untuk menonjolkan emosionalitas dirinya di baris keempat: “sedangkan aku tenggelam pada masa yang terburai”. Memori semantik ini muncul seraya memberikan coding atas kesabaran dengan bunyi: “…kesabaran matahari/yang tak penuh di tahun-tahun ini,” . Memori semantik juga dijumpai pada judul puisi “Suatu Waktu” yang mana ada semacam percobaan untuk memberikan konsep tentang waktu dengan “–Mu”. Pada baris pertama bait akhir yang tertulis: “Aku terus ungkap kenangan yang tak ingin tersaji, demikian pada kesatuan bait tersebut merupakan bagian dari upaya Rizqi dalam pemberian kode atau tanda terhadap peristiwa yang dialaminya. Hal ini secara tak langsung dilakukan dalam kerangka membentuk suatu komunikasi terhadap pembaca. Charles Pierce menyatakan bahwa kita saling mengadakan komunikasi lewat tanda-tanda. Tanda-tanda bahasa merupakan salah satu kelompok tanda yang dipergunakan. Kata-kata, kalimat-kalimat dan teks-teks juga termasuk tanda-tanda bahasa. Nah, ketika membubuhkan tanda-tanda tersebut dibutuhkan kemampuan untuk menyajikan rangkaian kata yang matang. Kemampuan itulah yang dimaksudkan dengan intuisi puitik. Penilaian intuisi puitik terhadap karya sastra (dalam hal ini puisi), tidak hanya dilihat dari bagaimana seorang penyair menyusun struktur estetik, menata kata-kata, maupun memperhatikan enjambemen, melainkan bagaimana mengkaitkannya dengan hubungan interteksual.

Seperti halnya Rizqi, Peri mempunyai proses kreatif yang hampir sama meskipun tema yang digelisahkan berbeda.

hari tadi adalah kaca mata yang kuletakkan

di dalam saku baju dan mulutku mengeluarkan

senyumnya dari rahim demonstran.

di tv, demonstran melempari kaca jendela,

pintu, mobil dan batu-batu masuk

kedalam kepalaku. bocor.

…..

(Hari Tadi)

Puisi Peri berjudul “Hari Tadi” mencoba mempertunjukkan isu-isu kemanusiaan yang mana realisme dipercobakan untuk masuk ke dalam bahasa puisinya. Peri ingin menunjukkan gambaran mengenai peristiwa tentang hari tadi. Hari tadi yang bagaimana? Di bait pertamanya, Peri mencoba untuk mengisyratkan kegelisahannya tersebut ke dalam kode-kode seperti “kaca mata”, “saku baju”, “ demonstran”. Ada apa dengan “kaca mata” dan “saku baju”? Kenapa Peri memberi tempat pada kata-kata ini? Peri seolah ingin mendistorsikan sesuatu yang dijumpainya dalam pertemuan itu dengan cara menyublimkannya di bait akhir: dan hari tadi jatuh dari saku bajuku yang bolong/aduh”. Puisi-puisi Peri mengungkap memori-memori semantik maupun episodik. Memori episodik di sini banyak ditampung dalam puisi-puisinya yang berjudul “Hari Tadi”, “Di Sepetak Layar Kecil”, “Terus Berjalan-jalan”, “Antenna”. Memori episodik yang dimaksudkan adalah suatu sistem memori neurokognitif yang memungkinkan seseorang mengingat peristiwa-peristiwa masa lalunya yang disimpan sebagai referensi otobiografis. Sedangkan dalam puisi “Cerita di Kepalaku”, memori semantik ditenggelamkan di sana.

“….

aku sepenggal kepala yang ditinggalkan di dalam kardus

di dalam mall aku berteriak minta tolong

seluruh orang-orang dan orang-orangan

cari mencari kepalaku dan kepalanya yang tiba-tiba hilang juga.”

Memori semantik menurut Tulving dalam prinsipnya merupakan sebuah kamus mental, sebuah pengetahuan terorganisasi yang dimiliki seseorang, mengenai kata-kata dan tanda-tanda verbal lainnya, makna dan acuannya. Dalam memori ini, coding menjadi perihal untuk menciptakan kata, konsep superego dalam puisi, dan ide-ide abstrak. Tentunya struktur ini coba dibangun dalam puisi Peri di atas. Kata “kardus” dalam kesatuan barisnya adalah suatu bentuk representasi dari peristiwa yang menimpakan kata “kepala” (yang dalam hal ini sebagai subjek). Di sisi satunya, Peri membangun ide abstraknya melalui baris di bawahnya: “dan tubuhku tak tahu kemana perginya kepala”. Ide abstrak ini berfungsi sebagai reinforcement dalam struktur estetik puisinya, sehingga puisi tersebut dapat berdiri, berjalan, bahkan mempunyai bayangan.

Rizqi dan Peri seperti sedang berada di posisi yang masih diliputi kegelapan dengan lampu charge yang kian remang-redup. Kegelapan itu merambat-tumbuhi jalan persimpangan ke mana mereka akan bergerak merayakan sajak-sajak. Walaupun demikian di dalam ruang yang mereka tempati berusaha mereka lubangi untuk memasukkan cahaya. Cahaya itu adalah intuisi puitik. Pengkodean yang secara terus menerus sedang mereka kerjakan belum sampai selesai pada tahap stagnasi, melainkan masih berkembang seraya melubangi dinding-dinding.


Berkawan dengan Pergulatan adalah Menghidupi Proses Kreatif

Hasrat untuk mengembriokan puisi mau tidak mau akan bertemu sinyal-sinyal mainstream dalam proses kreatif. Sinyal-sinyal tersebut digolongkan oleh Suwardi sebagai berikut: pertama, keadaan psikis individu yang merasa kasihan terhadap sebuah fenomena. Individu tersebut menyaksikan kejadian yang menyayat hati, menyentuh rasa, yang memungkinkan kelahiran proses kreatif secara mendalam. Kedua, individu sedang dalam keadaan geram. Suasana seperti ini memungkinkan munculnya kemarahan dalam karyanya yang menghadirkan bahasa-bahasa kasar. Demikian keadaan psikis ini juga memberikan peran akan proses terjadinya karya sastra. Ketiga, individu merasa kagum, ada rasa heran, penuh tanda tanya. Suasana ini menciptakan penyampaian bahasa dengan rasa syukur, imajinasi ke arah profetik.

Puisi-puisi Rizqi bergelut dengan kerisauannya antara lepas dari diri yang majemuk ataupun melepaskan perisitiwa di luar diri. Puisi “Indung Parikesit” adalah semacam uji coba Rizqi untuk melepas konstruk codingnya terhadap diri, mencoba merangkul kehidupan di luar diri. Proses kreatif semacam ini, bisa dikatakan belum terjadi konsistensi yang cukup untuk sepenuhnya terbebas dari kerumitan diri. Sinyal yang ditangkap oleh Rizqi juga tidak sepenuhnya berada dalam satu ruang. Demikianlah Rizqi dengan segenap pertaruhannya proses kreatifnya, Rizqi berpretensi tidak semata-mata menulis sajak untuk kepentingan dirinya.

Puisi-puisi Peri kiranya bertolak dari pengklasifikasian Suwardi tentang sinyal pertama dan kedua. Tak pelak, Puisi-puisinya berpretensi memiliki tenaga emosionalitas yang tinggi seperti halnya puisi-puisi perjuangan. Puisi-puisinya seolah begerak sepanjang dirinya bergulat dengan ketidakpuasan yang kemudian diolah menjadi kode-kode dalam gaya puisi realismenya. Peri berupaya menjaga ketekunannya dalam memelihara tema yang ia pilih beserta ke mana ia arahkan intuisi puitik yang ada dalam dirinya. Atau Peri sebenarnya masih mengalami keragu-raguan atau keprasahan dalam proses kreativitasnya seperti akhir puisinya yang berjudul “Keyword”: kekasih, pilihlah kalimat apa/yang akan dipakai oleh anak kita nanti.”

Pertanyaan-pertanyaan demikian hampir sama halnya dengan yang dihadapi Rizqi. Mereka perlu untuk melanjutkan pergulatan itu. Mengakrabinya sebagai seorang kawan yang paling dekat untuk menghidupkan hasrat-hasrat baru.

Intimacy vs Isolation

Erikson, seorang psikoanalis sosial, menyatakan siklus perkembangan manusia yang ketujuh adalah adanya krisis antara keintiman versus isolasi diri. Keintiman dalam hal konteks ini adalah apabila seorang penyair ketika dalam pergulatan proses kreatifnya, ia merasa bahwasanya usahanya tidak selesai dengan apa yang ia tulis, melainkan ia mengalami ‘kebahagiaan’ tak kentara. Menikmatinya dan terus menulis sembari membuka lebar-lebar inderanya, menjaring objek-objek dalam peristiwa dan membahasakannya dengan cara yang lebih penuh kematangan bahkan baru. Rizqi seakan memberikan tawaran pada dirinya tentang bagaimana ia harus menandakan pertemuan-pertemuannya dalam akhir puisi “Siasat Malam”: “Lantas akan kemana kita berangkat?/Ke kelam dadamu/atau ke hening bumiku.” Sedangkan Peri bertekad untuk menggandeng keseriusannya dalam berpuisi dengan mengatakan dalam akhir puisinya yang berjudul “Atenna”: “Permainan sudah usai.” Apapun itu, kehati-hatian dalam berproses menanggapi kehadiran objek-objek di sekitar mereka, mesti mereka perhatikan. Hal ini supaya mereka tidak sampai masuk ke dalam ruang isolasi diri di mana tak komunikasi yang baik antara diri mereka dengan puisi-puisi mereka. Lantas menjadikan puisi-puisi mereka lunglai, hambar, dan tawar atau tidak mempunyai kepercayaan diri. Sayang sekali jika demikian, karena kata Chairil: kerja belum selesai!

Semarang, 2011

Esei ini digarap untuk kepentingan acara Petik Puitika#3 di ASAS UPI Bandung pada tanggal 4 Februari 2012 (teknis acara tertera dalam pamflet). A.Ganjar Sudibyo (Ganz) adalah seorang mahasiswa psikologi undip yang masih bertekun dalam sastra.

REFERENSI

Endrasawara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Psikologi Sastra. Yogyakarta: MedPress.

Broere, C. George. 2008. General Psychology. Yogyakarta: Prsima Sophie.

Luxemburg, Jan van, Mieke Bal, dan Willem G. Westeijn. 1989. Pengantar Ilmu Sastra (terj. Dick Hartono). Jakarta: Gramedia.

Solso, Robert L., Otto H. Maclin, dan Kimberly Maclin. 2008. Psikologi Kognitif. Jakarta: Erlangga.

Chaplin, J.P. 2008. Kamus Lengkap Psikologi (terj. Kartini Kartono). Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Djoko Pradopo, Rachmat. 2008. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.