PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

12.25.2015

SEBUAH HARAPAN UNTUK HARMONI



                                                         Yang Mulia Dalai Lama*








Saudara-saudari yang beriman, sebuah kesenangan dan kehormatan bagi saya mendapat kesempatan untuk berpartisipasi pada dialog ini dan membuka seminar “John Main” yang bertemakan “Hati Yang Baik.” Saya ingin menyampaikan apresiasi yang sedalam-dalamnya kepada semua yang telah membantu mengatur berjalannya acara ini.


Saya sangat berterimakasih atas sambutan hangat dari Nyonya Mayor, dan saya sangat tersemangati ketika dia menyebutkan ‘harmoni’ dan pemahaman akan keberadaannya di antara berbagai komunitas dan tradisi berbagai agama di (dunia) kecil ini, yang mana dia gambarkan sebagai multikultural, multietnis, dan multiagama. Saya ingin menyampaikan terima kasih atas itu semua.


Saya bertemu dengan almarhum Romo John Main beberapa tahun lalu di Kanada dan saya terkesan menemui seorang dalam tradisi Kristiani yang menekankan meditasi sebagai bagian dari praktek spiritual. Hari ini, di awal Seminar ini, saya pikir sangat penting bagi kita untuk mengingat beliau.

Saya juga senang melihat banyak wajah yang familiar dan berkesempatan bertemu dengan teman-teman baru dan lama di sini.

Meskipun perkembangan materi begitu pesat di planet kita, kemanusiaan menghadapi begitu banyak masalah, yang sebagiannya sesungguhnya hasil perbuatan kita sendiri. Dan dalam porsi besar itu adalah hasil sikap mental kita – cara pandang kita pada hidup dan dunia – itulah yang menjadi kunci bagi masa depan – masa depan kemanusiaan, masa depan dunia ini, dan masa depan lingkungan. Banyak hal yang bergantung pada sikap mental kita, baik dalam tataran personal maupun publik. Apakah kita bahagia dengan kehidupan individu atau keluarga kita, dalam porsi yang besar, tergantung pada kita. Tentu saja, keadaan materi juga faktor penting dalam kebahagiaan dan hidup yang baik, tapi sikap mental seseorang adalah setara atau lebih penting.


Sambil kita menuju abad ke-21, tradisi keagamaan masih sangat relevan sebagaimana sebelumnya. Memang, di masa lalu, konflik dan kemelut muncul atas nama berbagai tradisi agama. Hal ini sungguh-sungguh disayangkan. Kita harus berupaya menanggulangi keadaan ini. Menurut pengalaman pribadi saya, saya menemukan bahwa cara yang paling efektif untuk menanggulangi konflik-konflik ini adalah hubungan yang begitu dekat dan saling berkomunikasi antar keyakinan-keyakinan yang berbeda itu, tidak hanya di tingkat pemikiran, namun juga jauh masuk ke dalam pengalamanpengalaman spiritual. Ini adalah cara yang sangat ampuh untuk meningkatkan hubungan saling memahami dan menghormati. Melalui proses saling bertukar ini, sebuah pondasi yang kokoh bagi keharmonisan yang sejati dapat dibangun.


Oleh sebab itu, saya begitu bahagia untuk bergabung dalam dialog keagamaan. Dan saya lebih khusus lagi senang dapat mengisi beberapa hari ini dengan diskusi bersama kalian dan mempraktekkan bahasa Inggris saya yang hancur! Ketika saya mengisi waktu beberapa minggu kembali ke Dharamsala, tempat tinggal saya di India, saya rasa bahasa Inggris saya menjadi lebih buruk, jadi beberapa hari diskusi ini akan memberi lebih dari cukup kesempatan untuk mempraktekkannya.

Sejak saya meyakini bahwa keharmonisan di antara berbagai tradisi agama yang berbeda itu sangat penting, sangat diperlukan, saya merasa senang untuk menganjurkan beberapa ide bagaimana cara mempromosikannya. Pertama, saya menyarankan agar kita mendorong diselenggarakan pertemuan-pertemuan di antara cendekiawan dari berbagai latar-belakang agama untuk mendiskusiakan perbedaan dan persamaan di antara tradisi mereka, dalam rangka mempromosikan sikap empati dan meningkatkan pengetahuan kita mengenai satu (tradisi) dengan yang lainnya. Kedua, saya menyarankan supaya kita mendorong terselenggaranya pertemuan antara orang-orang dari berbagai tradisi keagamaan, yaitu mereka yang telah mengalami pengalaman spiritual yang lebih mendalam. Mereka tidak harus cendekiawan, namun malahan para pelaku sejati yaitu mereka yang berkumpul dan berbagi pencerahan yang dihasilkan dari praktek ibadah agama. Berdasarkan pengalaman pribadi saya, ini adalah tindakan yang ampuh dan efektif untuk saling mencerahkan diri dalam kerangka yang lebih menyeluruh dan langsung.


Beberapa di antara kalian mungkin telah mendengar saya menyebutkan bahwa dalam sebuah perjalanan ke biara agung di Montserrat di Spanyol, di sana saya bertemu dengan biarawan Benedictine. Dia datang secara khusus untuk menemui saya – dan bahasa Inggrisnya lebih buruk dari pada saya, jadi saya merasa lebih berani berbicara padanya. Setelah makan siang, kami meluangkan waktu untuk bertemu pribadi,
face to face, dan saya diberitahu bahwa biarawan ini telah mengisi beberapa tahun di pegunungan tepat di belakang biara. Saya bertanya padanya kontemplasi macam apa yang dia lakukan selama beberapa tahun menyendiri itu. Jawabannya sangat sederhana: “Cinta, cinta, cinta.” Betapa anggunnya! Saya duga beberapa waktu dia juga tidur. Tapi selama rentang beberapa tahun itu dia secara sederhana hanya merenungkan cinta. Dan dia tidak hanya merenungkan ‘kata’ itu semata. Ketika saya melihat ke dalam matanya, saya melihat bukti akan kesempurnaan spiritualitas dan cintanya- sama dengan yang saya peroleh ketika bertemu dengan Thomas Merton.

Dua pertemuan itu telah menolong saya mengembangkan penghormatan kepada tradisi Krstiani dan kepada kemampuan tradisi ini untukmenciptakan orang-orang yang begitu baiknya. Saya percaya bahwa tujuan seluruh tradisi-tradisi agama utama adalah bukannya membangaun kuil agung di bagian luar, namun justru membangun kuil kebaikan dan cinta kasih di bagian dalam, di hati kita.



*Catatan Editor: sebuah ceramah untuk Seminar John Main, London, 1994. Diterjemahkan oleh Nur Ahmad seorang calon penerima beasiswa Kemenag yang sedang kursus bahasa di Bali, 2015.