PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

8.08.2009

SAJAK BURUAN UNTUK PUISI KITA


Tak perlu kita bertumpu pada tiga jarum kecil di dua belas putaran angka itu. Saat waktu mempersilakan kita untuk berburu. Dengan sandisandi apung di warna biru, kita pecahkan tekateki baru. Kita remahkan satu per satu. Meski matamata kita sampai haru. Kita membulat tekad, tanpa kelu, tanpa jemu. Demi puisi, kita memburu dan memburu.


Tak perlu kita bertumpu pada tiga jarum kecil di dua belas putaran angka itu. Saat musim kita temu. Dan petakpetak ladang kemarau kita tuju. Menyusur bersama sekantung impian lugu.


Tak perlu kita bertumpu pada tiga jarum kecil di dua belas putaran angka itu. Saat tiba kita berdahaga pada sebotol susu. Yang dulu kerap kita rindu bersama ibu.


Tak perlu kita bertumpu pada tiga jarum kecil di dua belas putaran angka itu. Saat terlalu suntuk kita memburu. Lalu kau berseru di pekat debu, “tekateki baru telah lama kita cumbu, namun jejak tak segera kita temu.” Setelah canang waktu bertalu, kita mengadu pada selembar tekateki pesan di buku puisi itu;


di bawah rerimbun pohon duku

di dekap peluk induk domba tanpa bulu

sajak buruan kita temu



2009


KIRMIZI DI KURSOR PUISIMU



Dikau berkelit pada sebuah monitor. Pada segaris denyut kursor, dikau menimba harap tanpa menipu diri. Dikau berbahasa bersama dunia tanda simbol. Di peluk monitormu. Dikau bercakap bersama kotakkotak menu. Dikau menjemari bersama tutstuts hitam putih keyboard. Menunggu para abjad berjajar melengkapi deret puisimu. Dikau merekat diri pada layar berinchi itu.



Dikau berkelit pada sebuah monitor. Pada segaris denyut kursor, dikau menimba harap tanpa menipu diri. Di situ katakata tercetak. Di situ mereka berbaris rapi menghadapmu. Menghadapmu yang mereka anggap kiblat. Di situ mereka mengerek panji dan menaruh hormat. Dikaulah lambang di kibar itu.



Dikau berkelit pada sebuah monitor. Pada segaris denyut kursor, dikau menimba harap tanpa menipu diri. Gerik kursor bergegas meluncurkan suara huruf baru. Saling sahut dengan nisan detik di sudut kanan bawah pintu puisimu. Hanya demi segaris mungil kursor dikau mengadu. Bahwa dikau berjanji tak akan ada tawatawa sendu di depan atau dalam monitor. Walau selubung suara kelebat kafan ungu selalu mengikut tanpa jeda ke mana dikau di kursor puisi itu.




2009