PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

Tampilkan postingan dengan label ukiran roman. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ukiran roman. Tampilkan semua postingan

7.18.2009

PENAKU

Apakah dikau masih sanggup menulis sajak cinta

Kawan mimpi-mimpiku

Tempat kita mengerdilkan rembulan, memain-mainkannya

Di kelelapan surga petang


Dikau tiada daya menyenja dalam lamunan

Lantaran lama para perimu bersembunyi dikejar

Buruan pejaka mantra

Kala berloncatan keluar dari kantung-kantung

Sekomplot penyihir kata


Pelitakan aku dari mimpi terlalu dalam ini ! – katamu pada

Kunang-kunang saat mengunyah lamunmu tak kenyang


Dikau penggal sajak cintamu demi kunang-kunang lapar itu

Supaya tanyamu tak lekat di mimpi-mimpi kita dan pejaka mantra

Tak cepat menjelmakan penggalan sajakmu membusuk


2009


7.15.2009

BOTOL DAN ANGIN

“Angin perkasaku,

hantarlah aku kepada ujung dermaga

bilamana sang badai muncul,

sembunyikan aku

bilamana sang ombak menggulung,

bawa terbang aku

Ingat!

jangan sampai mereka menelanku

karena akan hilang kauaku selamanya...”

dan jangan patah arang


with love,

botol manismu.

“Botol manisku,

berusaha keras aku

membawamu pergi

entah arah merujuk ke mana.

Maafkanlah,

sungguh tak kuat lagi perkasaku

oleh deras hujan malam ini

memaksaku sejenak mengalah

pada petunjuk semesta supaya

di tujuan dikau berlabuh.

bertahanlah...”


With love too,

angin perkasamu.


2009

6.04.2009

Apa yang kau sebut


#1#


kurang beberapa putaran lagi, berganti

semua yang kau sebut waktu

semua yang kau sebut genocide


haluan kirimu katamu keras

ternyata apa

tak sanggup menyentuh

apa yang kau pikir hampir runtuh


seolah bombardir adalah akhir, darimu

tembok-tembok berbenteng

menara-menara condong

bangunan-bangunan tua berarsitektur barok


berserak di terra

betapa eksotiknya puingmu!



#2#


kejatuhan yang sudah adalah sudah

kota abadi sepeninggal segalanya

yang kau sebut orkestra buta


bila gesekan dawai biola pun tak menjadi

yang kau sebut tempo, menjadikan adagio

lalu andante yang bersahuran tapi tetap sama,

perlahan dalam ketukan-ketukan timbal


harpa, lalu kau namakan lento

di mana benar-benar tak terdengar

dan largissimo

hingga tak lagi kau menyebut kotamu


apa yang kau sebut

2009

5.05.2009

MINOR












ragaku mematung sehabis

terkatup kerak matamu

merenungi sisa hidupnya


mungkin, lapuk tubuhku dirayap senyap

atau mengikis diombak jarak



tapi tidak jiwaku, seraya

mengerucuti sangkar nadamu

hingga tersangkut di reranting malammu


hanya, dirimu tinggal memilir waktu

di persinggahan kesunyiabadianmu


mungkin, telah kau cumbu

lekat ragaku mengaku tak gerak

di akhir jengkal melodimu

yang tak berdetak


200905SMG

4.03.2009

menjelang habis tinta, tinta habis


“kemesraan ini...

janganlah cepat berlalu....”

[Bang Iwan]


Kanvas I


air mata, mata air

milikku?

milikmu?

milik...????



Kanvas II

layang-layang kata

bertumbuhkembang manja

di deru embun-embun

berloncat-ria

di gegap gempita

turunnya surga kata, semu

melukis-hias batas-batas cakrawala

tapi tak seindah pesta kembang api

di kemeriah-riuhan album barumu

Kanvas III

berdiri tetap

matatinta menatap

sesaat

menodai

sang perawan kata

tak jemu bertukar mata


Kanvas IV

datang penjual

henti membual

mengganti kemelut mulut

menjadi romantika luka

melesap-dekap

menanti reruntuhan tinta



Kanvas V

duhai telingamalam,,,

siapkah engkau buka daun pintumu???

izinkan sajak berbaring




Kanvas VI

di serambi matamu,

senantiasa tergenang sayup-sayup larik

bergelantung di dahan telingamu

menggumpal bersama buliran embun darahmu

berdetak di degup relung



Kanvas VII

tersisa

hanya butiran

berselimut pasir...


Kanvas VIII

guratan

habis terlukis

mengias di paras kanvasmu

pena terkulai

lagi tak bertinta



Kanvas IX

menjelang habis,

tinta mencucurkan kata

di mata kanvas

tak berbekas



200904/SMG


1.08.2009

Perupa Tinta di Atas Kanvas



Di atas kanvas peluh penuh. Guguran malam membekas masih. Tapi kau tetap ingin melukis pagi. Dengan coretan pena tuamu. Dan, kau coba menghapus bayangan kelam. Kau sapu lembut dengan lelehan keringat.


Di atas kanvas penuh peluh. Guguran malam terhapus telah. Tapi jejak malam mengukir masih. Kau tetap ingin melukis pagi. Kau jejakkan hiasan pagi ke dalam kanvas. Kau titikkan tinta fajar. Dan, mulai membariskan imaji. Pagi lebih indah daripada malam tadi.


Dia atas kanvas penuh peluh. Kau tinggalkan goresan tintamu. Mozaik-mozaik baru tercipta. Baris-baris warna menggelayuti tiap serat kanvasmu. Kau terhanyut dalam goresan penamu.


Di atas kanvas peluh penuh. Kau lukiskan sang surya. Tapi, rembulan masih menetes di kalbumu. Kau lelehkan kenangan. Hiasan malam kau pudarkan sudah. Dan, kau retakkan warna-warna pelangi. Membentangkannya ke dalam goresan penamu.


Di atas kanvas penuh peluh. Penamu bertarung. Menikam bintang. Lalu menghempaskannya ke dalam pelukan sang terra. Mencoba melekatkan buih-buih fajar dalam dekapan penamu.


Di atas kanvas peluh penuh. Kau merengkuh fajar telah. Melekatkannya ke dalam penamu. Dan menuangkannya di tiap serat kanvas. Lalu menempelkannya di relung-relung jiwamu.

Smg, Okt`08