7.01.2010

TENTANG POHON JAMBU DI TERAS RUMAH

:tertanda musim


(“aku akan tetap duduk-berada
di setiap siklus musim yang bertanah
pada akar akar tunggangmu”)


//musim kemarau//
1.
bulan bulan matahari tertanggal di kambium merah-cokelatmu;
ia akan selalu hijau walaupun daun daunmu terbakar, atau
menguning lalu berjatuhan kembali pada muasal yang menciptanya
2.
daun daun tak akan bisa jujur pada dahan dahannya
sebelum dahan dahan bersuara mengumandangkan
lagu lagu-air yang tak pernah mengecewakannya
3.
bila sebuah kemarau memuarakan bahasa yang sengat
pada sekujur tubuh-rimbunmu, maka dengan segenap
doa yang engkau pelihara berpuluh-tahun lamanya
setidaknya akar akarmu masih terjaga bersama
februari yang nisan di sisimu

//musim pancaroba//
sebenarnya pancaroba tak sudi menamakan dirinya
pada daftar daftar siklus musim yang pasti, tapi sesuatu
telah mencungkil angin muson yang garang
sesuatu itu melepasnya, menjelma
hingga akhirnya pancaroba mengetuk
daun daun keringmu

//musim penghujan//
1.
rasanya masih di musim kesekian yang sama. tapi,
engkau dengan berani memangkas batang batang setengah kering
untuk engkau tanggalkan pada punggung seorang penjual kayu bakar
supaya bisa sedikit memberi api-rindang pada nyala doanya
2.
“wah....ternyata, musim bukanlah penipu!”
suara itu melesat menuju sesuatu yang jatuh di hampir setiap malam
: engkau yang berbuah-tabah,
engkau yang tekun membaca kompas kejujuran musim
engkau yang menjadi tanah untuk setiap gugur putik bunga-jambu
3.
tersebab waktu yang tak bisa memutar balik
penghujan takkan berjanji melupakanmu, pohon jambuku
meski kini di namamu tinggal separuh batang cokelat dan akar akar tua
tinggal peribahasa penghujan yang terekam pada kobaran api tiga tahun lalu

sedang aku sudi menjadi basah bagi buah buahmu beserta akar akar tunggangmu
yang bebicara tentang banjir pencurian musim yang gagal kududukkan di tanah
redup sepuluh tahun kanak kanakku.



Semarang, 2010

0 pembaca kata berbicara:

Posting Komentar

silakan rawat benih ini