1.01.2011

ESAI PSIKOLOGI SASTRA II

CORETAN KECIL PSIKOLOGI (4): SEBUAH PERCOBAAN TINJAUAN PSIKOANALISIS DUA SAJAK AHMAD KEKAL HAMDANI


Oleh Ganz (A. Ganjar S.)


Kematangan yang Tajam dalam Pengolahan Menuju Persepsi: Faktor Peninjauan Psikoanalisis

Ketajaman seorang penyair untuk menuliskan sajak-sajak yang “pisau” membutuhkan proses kreatif yang tak instan. Secara psikologis, terdapat beberapa tahap sebelum seorang penyair melahirkan sajak. Tahap pertama yaitu tahap penginderaan (peran serta indera secara fisiologis dari sebuah interaksi sosial), tahap sensasi (pengolahan informasi dari hasil penangkapan indera) akan membuahkan sebuah persepsi (sebuah proses di mana impuls-impuls sensorik diatur dan diterjemahkan), dan yang kemudian dituangkan lewat sajak. Tentunya, kematangan itu akan semakin bekesinambungan juga tajam jika penyair tersebut mau dan mampu belajar tentang kondisi (pengalaman, “status” sekarang dan orientasi ke depan) dirinya. Tentang bagaimana ia mengolah suatu informasi hingga menjadi persepsi sebelum menjadikan keutuhan sebuah sajak yang terlahir. Kematangan dalam menanjamkan proses inilah yang memberikan pengaruh besar bagaimana peran psikoanalisis bisa memasuki dan membedah keberadaan sebuah sajak.


Maksud dan Biografi Singkat

Selanjutnya saya tidak akan mengulas tentang bagaimana cara dalam mencapai kematangan seorang penyair, namun ada apa dengan sajak yang telah ia lahirkan dengan percobaan tinjauan psikoanalisis. Ulasan kali ini adalah dua sajak dari penyair yang masih muda. Ahmad Kekal Hamdani, kelahiran Jember 5 Agustus. Semasa kecil, penyair ini bercita-cita menjadi pelukis. Sewaktu SMA kerap memenangkan lomba lukis, karikatur, cipta/baca puisi dan musikalisasi puisi tingkat lokal maupun regional. Sajak-sajaknya pernah dimuat di media massa baik lokal maupun nasional (selain menulis sajak, juga menulis esai, cerpen maupun vignet), dan diterbitkan dalam buku yang berjudul “rembulan DI TAMAN KABARET”. Sekarang ia masih berstatus mahasiswa jurusan aqidah dan filsafat UIN di Yogyakarta.


Dua Sajak A.Kekal Hamdani

Berikut ini dua sajak tersebut:

Stasiun Sehabis Hujan

-3 sajak untuk kecemasan

I

Kursi-kursi panjang

yang tua

yang risau

ia sedang membaca koran

ada yang mengukur bayang-

bayang

Hujan pecah

lantas rebah, memeluk sepatu:

Berkisah tapak tentang waktu

II

Sehabis hujan

yang lengang

Kursi-kursi panjang

tapak berdebam

: lalu hilang

III

Kereta melintas

sehabis hujan, di jendela.

gambar bibirmu

membekas, kereta menuju

yang ditinggalkan dan pergi

: ibu

[ ]


(Sumber: “rembulan DI TAMAN KABARET” sehimpun sajak {2009}, hal.67)


Epitaf Laut

I

Kapan laut akan tertidur ibu?

Sesungguhnya, pada surup waktu bila malam melipat muram

ada yang berdesir ke lubukku, seperti sampan-sampan sunyi

bila membelah riak-ricik, namakulah itu: laut

Bila ditegakkan cahaya, di timur orang-orang mengemas

nasib dan keberangkatan. kita sedang di sini mendengar bisik

perjalanan, tapak yang berdengung ke utara di jalan hening

kota-kota tua, tempat setiap peristiwa ditulis

dan dibukukan menjadi puisi. akulah itu: laut

Ia terduduk di situ, menunggu sesap di batinnya lebih dalam

membuka jendela, menunggu hujan lebih resap ke akar-akar

yang menjalar di kakinya, mengikat jarak

antara gerak gelombang dan diam airmata

namakulah itu: laut

II

Kapan laut akan tertidur ibu?

Tak kutulis ibu, gugur asin laut yang bergulir

setiap matamu terbuka dan bersidekap dengan lukaku

selintas sesap ke langit menjadi perahu

berlayar bersama angin. Itu karena ibu, matamu adalah

lanskap dalam batinku, seperti titik hujan

angslup ke dalam dadaku: laut itu

III

Kapan laut akan tertidur ibu?

Lantas perlahan ia tutup jendela

seperti mengatupkan kenangan dari masa lampau

gelombang ingatan: perih itu bernama laut

[ ]


(Sumber: “rembulan DI TAMAN KABARET” sehimpun sajak {2009}, hal. 76)


Inspirasi Puitik, Gaya Puitik, Kejeniusan Natural: Hubungan dengan Alam Bawah Sadar

Ada beberapa hal khusus yang perlu diperhatikan sebelumnya, yaitu tentang inspirasi puitik, gaya puitik dan kejeniusan natural. Penyair (Ahmad K.H.) sepertinya memiliki maksud inspirasi puitik dan gaya puitik yang cukup bertenaga pun gemulai dalam membuka maupun menutup kedua sajaknya. Pada sajak pertama, ia melakukannya dengan pendiskripsian tegas yang kemudian ditutup dengan kata induktif yang mencoba mengonklusikan rangkaian sajak tersebut. Pada sajak kedua, dimunculkan daya tarik dalam semiotika kalimat tanya dan ditutup dengan konsep paralel untuk setiap bait hingga bait akhir. Sedangkan dalam kejeniusan natural (bagaiamana seorang penyair menangkap simbol-simbol alam untuk dibawakan dan dimaknakan dalam sajak) yang dimiliki oleh kedua sajak tersebut terasa lebih kental pada sajak “Epitaf Laut”. Dalam sajak tersebut memiliki kosa kata yang lebih variatif dari pada sajak sebelumnya. Di “Epitaf Laut” kiranya simbol laut ini mudah untuk dipecahkan secara teka-teki makna. Pada bagian III terdapat korelasi antara kata “laut” dalam kalimat tanya dengan kata “laut” di akhir bait: “perih itu bernama laut”. Nah, inilah salah satu ciri kelihaian seorang penyair dalam mengasah kejeniusan natural.Tentunya tiga hal yang perlu diperhatikan dalam terciptanya sajak ini memiliki interdependensi dengan pengalaman alam bawah sadar penyair.

Pada sajak “Stasiun Sehabis Hujan”, terlihat bahwa ada keterpautan antara kecemasan dengan penciptaan sajak. Di sini ada sebuah langkah untuk melepaskan emosi (kecemasan itu) melalui pelahiran kata-kata semacam “risau”, “bayang-bayang”, “pecah”, “rebah”, “berdebam”, “hilang”, “ditinggalkan”, dan “pergi”. Kata-kata tersebutlah yang merupakan “anak-anak kecemasan” dari seorang penyair. Perasaan cemas sendiri telah memfungsikan dirinya sebagai tanda bagi ego. Ego berusaha sekuat mungkin menjaga kestabilan hubungannya dengan realitas, id, dan superego. Namun, ketika kecemasan mulai menguasai, ego berusaha untuk mempertahankan diri. Dan, di sini muncul suatu mekanisme pertahanan ego yang menjelma sebuah penulisan sajak. Dalam kata yang lain, ego merupakan representasi dari sebuah realitas, id merupakan representasi dari kebutuhan biologis sedangkan superego adalah representasi dari rangkaian nurani (conscience). Alam bawah sadar penyair (dalam hal ini kecemasan) menjadi semakin kuat ketika terdapat dalam tiga bait berikut:

(1)“Hujan pecah

lantas rebah, memeluk sepatu:

Berkisah tapak tentang waktu”

(2)“Kursi-kursi panjang

tapak berdebam

: lalu hilang”

(3)“…kereta menuju

yang ditinggalkan dan pergi

: ibu”

Pada bagian pertama unconscious mind penyair mendorong munculnyadisplacement, yaitu upaya untuk memindahkan perasaan tentang waktu yang menekan dengan benda sebagai target simbolik. Kata (benda) itu direalisasikan dengan “sepatu”. Pada bagian kedua, unconscious mind penyair lebih condong menuju represi. Dalam teorinya, Anna Freud pernah menyebut dengan “melupakan yang bermotivasi”. Metafor “kursi-kursi panjang” mengindikasikan ada semacam ingatan yang ingin dan segera dilupakan atau dilalui. Dengan demikian kecemasan yang membentuk represi sedikit demi sedikit akan memudar. Hal ini ternyatakan dalam kata “: lalu hilang”. Sementara itu pada bagian ketiga, mekanisme pertahanan ego penyair muncul dalam bentuk introjeksi atau kadang disebut juga sebagai identifikasi. Mekanisme ini bekerja dengan cara membawa keperibadian orang lain masuk ke dalam diri penyair. Kata “ibu” adalah kunci dari identifikasi tersebut dan dengan melahirkan kata tersebut ada rasa untuk melepas kecemasan sebagai langkah untuk merenggut rasa aman guna meneguhkan identitas penyair. Kata tersebut dapat juga menyumbangkan arti tentang bagaimana hubungan antara kehidupan penyair dan ibunya yang dalam tahap perkembangan di tahap phallic di mana terdapat rasa “kenikmatan hubungan” atau lebih sering disebut dengan krisis oedipal. “Ibu” yang berfungsi sebagai objek “cinta” menjadi dimunculkan melalui alam bawah sadar dan menjadi identif dalam kata di bait tersebut.

Hubungan antara karya sastra dengan persona dipertegas oleh Freud, yang memandang bahwa seorang penyair tak lebih dari seorang “pelamun” yang lari dari kenyataan hidup. Ungkapan freud itu rupanya bersepadan dengan sajak “Epitaf Laut”.

“kapan laut akan tertidur ibu?

…..

… : perih itu bernama laut”

Potongan sajak tersebut menyematkan seorang yang masih berkutat pada persoalan hidup yang sangat berat dan mencoba supaya persoalan itu pergi. Namun, hidup tanpa persoalan sama halnya tak hidup. Di sini pun masiih ditemukan kata “ibu” yang rupa-rupanya adalah pertanda tentang penyair ini, bahwasanya masih melalui krisis oedipal (mungkin sepanjang hidup). Saya belum tahu tentang kehidupan yang dilalui sebenarnya, namun lewat semiotika bahasa yang ia susun sedikitnya dapat meraba. Tidak hanya pada sajak yang sedang saya ulas saja, tapi sama halnya dengan sajak-sajak lain. Terlepas dari itu, ada apa dengan laut? Mengapa di setiap bait penyair ini meletakkan kata laut? Deskripsi tentang laut bisa saja meluas dalam sajak ini, tapi penyair telah menciptakan arti (creating of meaning) sendiri bagi kata “laut”. Di sajak ini diketemukan tiga kata yang mencoba untuk menciptakan konklusi di masing-masing bait, yaitu “namakulah itu”,”ke dalam dadaku”, dan “ingatan”. Ketiga kata ini merupakan kata induktif sebelum merujuk pada laut. Penyair mencoba memproyeksikan pengalaman-pengalaman inderawinya dengan menggunakan tiga kata yang bisa membuka kamar kosong berisi alam bawah sadarnya. Lantas bagaiamana dengan bentuk pelarian penyair dari kenyataan? Beginilah ia mencoba melakukan displacement setelah memupuk represi:

“Lantas perlahan ia tutup jendela

seperti mengatupkan kenangan dari masa lampau”

Inspirasi puitik, gaya puitik, dan kejeniusan natural tak bisa terlepas dari pengalaman-pengalaman bawah sadar si penyair. Di sajak “Epitaf Laut” ada sesuatu yang sepertinya terlalu dalam untuk diselami. Sesuatu itu mungkin seperti superego di masing-masing pribadi yang tak mudah untuk ditebak.


Psikoanalisis: Embriologi Kepribadian

Sepertinya, tidak salah bahwasanya sajak merupakan proyeksi dari si penyairnya, juga tempat meletupkan represi secara positif dan tenang melalui semiotika yang terlihat memiliki gayanya yang khas. Ulasan yang ditinjau dari teropong psikoanalisis ini secara tidak langsung juga adalah sebuah embriologi kepribadian. Bagaimana si penyair mengekspresikan unconscious mind-nya pada lekak-lekuk kata dan makna, mengulang-ulangnya menjadikannya lebih matang dan tajam hingga memiliki kedalaman arti yang lebih bagi pembaca.


“…dengan bakatnya(penyair) yang istimewa dia menjalin khayalan-khayalannya menjadi suatu kenyataan hidup baru yang oleh orang-orang lain disambut sebagai cerminan hidup yang berharga.”

[Sigmund Freud]


Salam.

Semarang, 2010


Referensi:

Endrasawara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Psikologi Sastra. Yogyakarta: MedPress.

Broere, C. George. 2008. General Psychology. Yogyakarta: Prsima Sophie.

Hamdani, Ahmad Kekal. 2009. rembulan DI TAMAN KABARET. Yogyakarta: PondokMas Publishing.

Jones, Ernest. 2007. Dunia Freud. Yogyakarta: IRCiSoD.



- esai ini pernah dimuat di tabloid "Bali Bicara" -

0 pembaca kata berbicara:

Posting Komentar

silakan rawat benih ini