9.12.2009

SAJAK-SAJAK LIMA WAKTU


RITUS PAGI


Selepas subuh, kita meminta kabut kepengemisan kita untuk mengusir dingin yang sendiri. Kita melipat selimut mimpi yang berembun sisa puisi doa kita tadi malam. Kita membuka gulungan-gulungan karung goni yang lama tersimpan di masa pembantaian ladang, tempat keringat kita memekarkan ribuan bunga tidur. Kita menuju sebuah pondok wedang yang biasa kita singgahi. Dan kita berceloteh tentang kisah para gepeng yang dimabuk harta. Sekedar pembicaraan kecil sebagai tanda pagi kita bertunas harap. Kita pun meminum perlahan sembari berdahaga pada pesan iringan matahari kita.

2009




RITUS SIANG


Selepas zuhur, melodisme gitar para pengamen kita kurungkan pada sangkar belas kasihan yang sempat kita pungut di terminal bus. Lalu kita menari dengan tabuhan bait-bait mazmur sengat matahari dan denting senyum pada koin-koin angan yang kita dapat di pentas tengadah tangan-tangan, dekat rambu-rambu lalu lintas, tempat singgah angkutan dan panti penitipan doa. Di sanalah, rerintik keringat menguyupkan kita, hingga kita tak mengenal wajah-wajah kian kerontang dan tertunduk setia dari panembrama matahari kita. Di sanalah, kita menulikan diri dari bisikan jerih kita dengan tawa-tawa jelata supaya kita tak melukis garis-garis pelangi airmata di kanvas hikmah kita.

2009




RITUS SENJA


Selepas asar, kita menghitung kepingan lelah terbaring oleh telapak tangan kita. Di rerintihan jalanan setapak, pada bebatuan yang tertindih rerumput dan belukar, kita kembali di ruang persimpangan. Kita bergelut pada musik-musik senja yang menyalak. Kita senyapkan nada kelabu dan berdiri tanpa ragu pada gerimis rindu. Lalu kita sekap kebuntuan kompas kita atas waktu yang sebentar menyimpan matahari kita. Dan menyulut kata: kita bukanlah anak-anak bermata kompas, kita anak-anak bermatakan senja. Kepada senjalah kita berjabat tangan menaruh cerita, kisah berani kita tentang pelarian dari nasihat para aparat. Terendap lalu di kepekatan separuh putung rokok, gelas-gelas teh setengah isi dan kesenjaan doa-doa jingga kita.

2009




RITUS PETANG


Selepas magrib, kita sandarkan seutuhnya kepada album lantai-lantai tak bersandang di bawah lelampu remang berkerumun laron-laron lapar cahaya. Kita menyiul-nyiulkan nyanyian “habis terang terbit keredupan” pada bulatan rembulan yang sebentar tiba menyambut ritual kita. Lalu kita menagih janji, upahmu pada gemintang yang terselip di gelap, upahku pada bulan yang terbias di samar. Kita lupakan kewajiban akan apa yang menjadi milik ladang petang. Kita hanya mengingat apa yang menjadi milik pekarangan saudara-saudari kita. Trotoar-trotoar, teras ruko, pondok wedang dan jalanan setapak kita. Dengan baju dan celana petang kita busanakan mereka agar tak terlalu telanjang di perayaan keterlantaran kita.

2009




RITUS MALAM


Selepas isya, kita mengabarkan kesimpulan pagi, siang, senja dan petang kepada kesepian tembok-tembok terowongan. Kita mencat-tintakan banyak kata berandal, pelampiasan akan setiap sujud yang kita pikir gagal. Padahal, tak lupa kita akan rangkuman hukum perjanjian baru di kitab cinta: sayangilah para manusia jalanan, pengemis, pengamen, pemulung dan gelandangan, seperti engkau menyayangi kemiskinanmu.

Selang sebelum kita meneduhkan diri di ladang pohon bunga tidur, kita berunggun bersama. Bercengkerama pada puisi doa tanpa segenggam tanya; kenapa kita berada.


2009

0 pembaca kata berbicara:

Posting Komentar

silakan rawat benih ini