1.08.2011

CORETAN KECIL PSIKOLOGI 6 (BAGIAN I)

CORETAN KECIL PSIKOLOGI 6 (BAGIAN I): NIVEAU[1] DI BALIK HERMENEUO[2] PADA SEBUAH GURINDAM HASAN ASPAHANI (SEBUAH PERCOBAAN ANALISIS NIVEAU J.ELLEMA DALAM HERMENEUTIKA PUISI)


Oleh: Ganz (A. Ganjar S.)*



Tentang Niveau

Puisi-puisi yang telah ditulis dan dipublikasikan sebenarnya menawarkan berbagaiinsight kepada para pembaca, di mana dalam jiwa-wajah ekspresi puisi yang dibaca seakan ingin mengatakan sesuatu dengan lebih dalam dan tajam tentang bagaimana memandang kehidupan. Keberadaan puisi secara psikologis dipanadang menciptakan fenomena tingkatan kejiwaan yang begitu likat, kata-kata dilekak-lekukkan dengan begitu elok oleh pembuatnya yang adalah si pencipta jiwa dalam puisi tersebut. Dalam menelusuri eksistensi jiwa, ia memiliki tingkatan tersendiri yang mana berfungsi sebagai semacam “penusuk” dalam citra puisi. Puisi dan kejiwaan memang seperti koin. Oleh karena itu, saya akan mencoba menganalisis menggunakan tingkatan kejiwaan di mana tiap tingkat memiliki daya peka yang berbeda. Secara lebih terperinci, eksistensi jiwa menyimpan unsur-unsur tegangan emosi, konasi dan kognisi yang belum dapat diketahui secara pasti akan pemahaman tiap unsur pada tubuh jiwa tersebut. J.Ellema dalam Petica (Noor, 2005:45) menyatakan bahwa jiwa manusia terdiri atas lima tingkatan. Setiap karya memiliki tingkatan-tingkatan kejiwaan dengan urutan seperti niveau anorganis, niveau vegetatif, niveau animal, niveau human, niveau religius. Niveau anorganis merujuk pada kehadiran karya yang mendatangkan interpretasi lekat dengan permainan bunyi dan stilistika (cabang dalam linguistik yang mempelajari beragam bahasa). Niveau vegetatif condong pada naturalisasi ragam puisi yang mempunyai relevansi dengan usia puisi dan penulisnya. Niveau animal merupakan kondisi naluriah atau impuls-impuls penulis atas dorongan menulis. Niveau human mengandung kondisi moralitas semacam wejangan yang ditujukan kepada pembaca. Niveau religius berkenaan dengan puisi-puisi profetik atau sejauh mana puisi mendekati tintkat interpretasi kedalaman religi. Pada kesempatan ini, akan diujicobakan bagaimana genetika dalam sebuah hermeneutika puisi berjudul Gurindam karya Hasan Aspahani seorang penyair dan ahli pelekuk kata ternama. Di bagian pertama ini, saya akan membahas “Gurindam - Pasal yang Pertama”.


Hermeneutika dalam “Pikiran Sebuah Gurindam”

Hermeneutika merupakan ekspresi pikiran-pikiran seseorang yang tersalurkan lewat kata-kata. Hermeneutika dapat juga dikatakan sebagai usaha penafsiran sebuah pemahan, sebuah pencarian insight. Mengubah sesuatu yang relatif absurd pada penjelasan yang “meng-awami”. Puisi yang berjudul Gurindam merupakan nukilan dari salah satu sub-bab yang diadakan dalam rupa pasal-pasal. Hermeneutika muncul dari cetusan pemikiran bahwa manusia tak dapat membebaskan diri dari kecenderungan dasarnya untuk memberi makna. Paul Ricoeur seorang filsuf, menyatakan bahwa hidup itu sendiri adalah sebuah interpretasi. Gurindam pasal yang pertama tersebut tampaknya relevan dengan konsep otonomi teks. Ada pikiran yang ingin diungkapakn tentang sebuah situasi kultural moderat dan pengadaan teks. Nukilan berikut ini mencoba menguak pemikiran tersebut:


“Jika kau paksa juga menulis sajak,

kata memang tiba, tapi makna jauh bertolak.


Jangan ajari sajakmu mengucap dusta,

sebab mulutmu akan dibungkam kata-kata.


Biarkan sajakmu dicela dicaci dinista,

karena maki cuma kata yang cemburu buta.


Di mana kau simpan sajak terbaik?

di hati, lalu biarkan kata mengucap tabik.”


(Sumber: 60 Puisi Indonesia Terbaik 2010, Gurindam; hal.26-27)


“Rekonstekstualisasi” terjadi ketika nukilan sewaktu nukilan dari “Gurindam - Pasal yang Pertama” meluncurkan kekuatan interpretatif yang mencoba untuk “melepaskan diri” dari cakrawala intensi pengarangnya menuju taraf kultural-sosial. “Jika kau paksa menulis sajak/kata memang tiba, tapi makna jauh bertolak.” Ada simbol-simbol yang merenungi kalimat tersebut. Bagaimana penggalian-penggalian makna ingin menjadi tekanan dalam menulis adalah salah satu upaya untuk sebagai buah interpretasi oleh para pembaca. Cakrawala intensi penyair akan kultur-sosial mulai melepaskan diri ketika berada pada bait “di mana kau simpan sajak terbaik?/di hati, lalu biarkan kata mengucap tabik.” Pembaca diajak untuk berpikir secara refleksif atas dasar yang disebut Ricoeur sebagai mode of being[3]. Hasil kata-kata ini juga merupakan perpaduan antarasifat yang menepatkan diri penyair pada sudut padang dan setting kultur-sosialnya. Di lain sisi, bisa saja sajak ini menulisakan semacam sebutan lingkaran hermeneutis yang menunjukkan sebuah dinamika kreatif dan progresif dari penafsiran pasal-pasal selanjutnya. Pendek kata pemikiran “Gurindam – Pasal yang Pertama” ini ingin agara pembaca belajar untuk berpartisipasi dalam proses kepenyairan. Tentang bagaiamana memandang kehidupan menulis sajak adalah bagian dari apa yang disebut Ricoeur dalam oelbagai macam hermeneutika dengan “perjuangan melawan distansi kultural”. Dengan arti bahwa para interpreter harus ikut mengambil jarak supaya mereka dapat membentuk interpretasinya dengan lebih mendalam dan arif tanpa mengesampingkan pesan subjektif.


Eksekusi Niveau-Niveau di Pasal yang Pertama - Refleksi

Niveau anorganis berangkat dari pemikiran bahwa karya ke depan mungkin saja akan dibaca di depan panggung atau sekadar dibaca di balik kamar. Pola, bunyi, irama, baris sajak, kalimat, dan gaya bahasa tertera dalam penjelmaan sajak tersebut. Rasakan kata-kata di akhir kalimat yang berbunyi seperti “...sajak-…bertolak”, “…dusta-…kata-kata”, “…dinista-…buta”, “…terbaik-…tabik”. Perhatikan juga korelativitas kalimat dengan kalimat lainnya. Pertimbangan yang masak seperti pemilihan diksi, menjadi faktor penciptaan jiwa puisi yang lesap akan benda-benda atau struktur-struktur mati ini. Tentunya yang dianggap mati tidak akan selamanya mati dengan adanya ruh estetika dan hermeneutika sosial-kultural yang beredar di setiap pemaknaan subjektif akan tingkat empativitas para pembaca.

Niveau vegetatif dalam tingkatan yang berdiri dalam sajak ini bisa dikatakan rendah signifikansinya. Hubungan antara proses imitasi karya dengan eksistensi sajak ini dinilai relatif negatif. Hal ini dipengaruhi oleh faktor usia penyair dan menyair, bagaimana jam terbang menjadi titik tolak dalam penilaian niveau vegetatif. Dan yang terpenting adalah terlepasnya makna untuk didistorsikan dalam metafor-metafor yang jitu menguasai apa dan siapa. Lebih dari itu, keterikatan unconsciousness mind telah terhindarkan dalam proses kelahiran sajak tersebut.

“Pernahkah sajak meminta lebih darinya?

kata berkata: ah apalah, aku cuma kata…”

Lewat potongan puisi itu, saya mengakui bahwa pelekuk kata ini begitu lihai mendistrosikan sebuah kondisi naluri yang menjadi gambaran-gambaran niveau animal. Ekspresi hewani penyair sepenuhnya teredam sembunyi-sembunyi di balik sajak ini.

Ngguruni, itu salah satu image yang lesap dalam penggalan puisi berikut ini:

“Jangan ajari sajakmu mengucap dusta,

sebab mulutmu akan dibungkam kata-kata.”

Tak pelak lagi, niveau human muncul dalam katarsis serupa potongan puisi di atas. Moralitas. Perhatian dengan teknik yang “serba pisau”.

Gurindam pada sastra Melayu adalah salah satu contoh karya sastra yang mengandung kekentalan niveau religius. Namuan, apakah “Pasal yang Pertama” benar-benar tumbuh sebagai keanekaragaman definisi religus? Sepertinya ini hanya milik imanenitas dan transendenitas antara pembaca dengan Tuhannya.

Atas dasar teropong kelima niveau di atas, keberhasilan hermeneutika antara fungsi sajak tersebut dan penilaian pembaca telah tersampaikan lewat genetika interpretasi yang memadai ataupun tidak bagi masing-masing rasionalitas. Genetika itu yang kemudian perlahan berbuah tanya: sejauh mana karya ini dianggap benar-benar orisinal secara psikologis lepas dari gumpalan pengaruh di luar teks?


Salam.

Semarang, 2011


*Penulis seorang penyair muda dan mahasiswa Psikologi Undip Semarang.



Footnote:

[1] Tingkatan kejiwaan menurut J.Ellema.

[2] Bahasa latin dan kata asal dari hermeneutika.

[3] Pandangan yang mempertanyakan bagaimana cara menjadi, atau sesuatu itu berada.

0 pembaca kata berbicara:

Posting Komentar

silakan rawat benih ini