PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

11.05.2009

PAGI, DI SETIAP HARAP


bilamanakah rantingranting doa

melengkungkan daundaun

pagi di setiap garisgaris

kecil kelopak matahari

dari setiap harap ibu

kepada didih mata

anak-anaknya :

ilmu rezekilah mereka


2009

11.02.2009

ABSTRAKSI LUKA



Pisauku:

Ke mana kubawa lari, luka

Didih mata berjumpa, hanya


2009

11.01.2009

FLUTE : POSTLUDE SENJA



Flute engkau tiup

(Allegro moderato…)

Bernafas nada jingga

Meliuk-liuk di antara

Tangga-tangga nada

Dalam baris resonansi

Intuisimu


Flute engkau tiup

Dari nada-nada

Terjemahan inderamu

Atas warna-warna senja

Berpelangi kecil

Di harmonisasi

Simfonimu


Flute engkau tiup

Pada ujung isyarat

Saat setiap maghrib

Adalah tanda titik

Di akhir halaman

Tempat semayam

Syair panjang

Lembaranmu


Flute engkau tiup

(Allegro con fuoco…)

Menuju jengkal hening

Paling sayup

Heningmu



2009

10.31.2009

VIBRASI MENJELANG PETANG


Menjelang petang, sejenak di nada-nada mungilmu terbentuk gelombang-gelombang mirip ombak berdatangan menujuku. Dan instrumenmu bergantian mencetak sinkronisasi atas mereka. Ada yang mengatakan bahwa kertas-kertas desain wajahku dibawa lari senja. Yang lain berkata bahwa aku terlalu bodoh memikirkan ketiadaan. Dan sisanya, mencoba berbisik kepada inderaku, “halaman puisi telah meminta kami menjadikannya petikan-petikan notasi, supaya tak kunjung diburu oleh hantu musik di setiap petang.”



2009

10.25.2009

SEBELUM SENJA


/ 1 /


Bicarakan kepadaku

Bila arakan awan mendung sudi

Menyingkir dari lingkaran kota mimpi kita

Atau tentang tamburan sajak hujan

Di kepala para penyair dingin


/ 2 /


Bicarakan kepadaku

Bagaimana kelepak burung gereja

Yang terselip pada dahan-dahan kering

Di kemuning dedaun angsana

Gugur lalu


/ 3 /


Bicarakan kepadaku

Tentang mereka:


AWAN MENDUNG

SAJAK HUJAN

KELEPAK BURUNG GEREJA


Mungkin lewat segumpal awan mendung

Orkestra mesra kita mampu mewajah sajak hujan

Sebagai kiriman menuju kelepak terakhir burung gereja

Sebelum sarangnya

Sebelum senja kita



2009

10.24.2009

MONOLOG BERANDA PENYAIR MALAM



/ 1 /

Kawan, apa yang kau giring kepadaku malam begini? Sekumpul anak-anak sajakkah? Sepertinya engkau lupa menamai mereka. Mungkin selayaknya kau menjadi gembala yang baik bagi mereka. Membawa ke padang rumput malam dekat tepian mata air sepi. Dan tak lupa merapikan barisan mereka. Supaya setiap anak sajak tak keluar dari batas larik buatanmu. Atau tersesat masuk di kediaman iblis gurun yang siap menculik dan menjadikan sepoian angin kering, hingga tak mengenal lagi tempat meraka berasal.


/ 2 /


Kawan, seindah apakah kesendirianmu hingga kau tinggalkan mereka di tengah adegan gelegar langit? Atau terlalu susah engkau mengkerudungi mereka dengan jas hujan kecilmu. Sesakkah? Bila demikian, letakkanlah mereka satu per satu di teras kamar puisiku. Agar hujan tak terlanjur membuat mereka merinding dingin dan menderu kelu. Letakkanlah mereka, maka aku akan bersiaga seperti si purnama pada sang malam. Letakkanlah saja bilamana engkau mau.


/ 3 /


Selalu dalam sebuah tanya, aku mendamba keguruanmu yang bijak. Kepada anak-anak sajakmu. Ketika engkau mengajarkan abjad-abjad cinta yang melebihi tiap mililiter leburan emas murni. Melangkakan mereka serupa bunga utpala di waktu malam. Sampai aku lupa mengingat kepada siapa mereka berguru samar.


Selalu dalam sebuah tanya, apakah?


/ 4 /


Kawan, malam-malam bulan Oktober hampir saja tiba di peristirahatannya. Tidakkah engkau coba menghitung anak-anak sajakmu yang masih setia berbaring di batas larikmu dan melagukan sendirimu bagi peri mimpi? Supaya ia menitipkan sabda pada sajakmu: kita ini satu. satu tubuh.


/ 5 /


Apa yang dapat kububuhkan selain sebiji kata tanya apakah di halaman terakhir pertemuan kita, penyairku? Pada dekap beranda malam sajalah aku melamun dan mencatat perilaku anak-anak sajakmu pada setiap nasihat rindumu.




2009

10.20.2009

PESAN MALAM


Malam berpesan;


“Condongkanlah kepuitisanmu padaku dan aku akan memberimu sajak indah tentang rembulan, bintang dan biduan lampu-lampu kota. Curahkanlah indera puisimu padaku dan aku akan menaruh rasa cerita yang siaga kau larikkan.”



2009

10.18.2009

PESAN


Akhirnya

Kotak surat inderaku menerima amplop

Lewat jasa Musik, si tukang pos


Kulepas perekatnya pelan

Kubaca siapa pengirimnya

Ternyata dari Puisi, guruku


Kepadaku beliau menulis:


Pulanglah, Nak

Rapikan kamarmu

Sudah lama rindu bersarang.


Kutempelkan kemudian

Pesan itu di dinding malam

Supaya aku mengingat

Dari mana aku berasal

Juga tak lupa pulang


2009

10.17.2009

PUISI


Di akhir ringkasan hujan liris

Seorang penyair bertanya:

Apakah sendiri yang menjadikan kita?


2009

MALAM SEHABIS PENGAJIAN


\ 1 \


Hutang melilitmu erat

Seerat bayimu pada kedua puting susumu

Sampai perutmu tak tahu apa itu lapar

Dan lapar tak peduli apa itu miskin.



\ 2 \


Malam sehabis pengajian

Tinggallah selarik harap di ujung doamu:


Aku tak ingin ucapkan selamat tidur kepada mimpi,

hanya kepada hutang aku berucap.



2009

10.13.2009

KOTA DI SKALA RITCHER


mendung pun jadi sebuah

mantera beraksara petaka

atas riak-riak kecil di

pesisir kelabu kotamu

bergoncang


:tersebab durga skala ritcher

berarak pada gerimis matamu


2009

9.30.2009

STATUS PUISI


Segudang kata ia timbun

Menjadi ikan-ikan kecil berkelayapan

Di pinggiran sungai penantian

Lalu berenang tenang, menghampiri

Kikisan bebatuan cerita


Sesampai,

Di seberang alis matanya

Ia rindukan perahu bulan

Tempat perenungan panjang:

Ikan-ikan menyelam di laut puisi


2009

9.27.2009

DUA MATA PEDANG MENOREHKAN WAJAHMU

Buat Bapak


Pak. Saya bukan dahan luka itu lagi. Tempo hari sudah saya arangkan bersama pohon-pohon kepahitan yang tumbang. Lantas, lekas menjadi abu. Setelah sebuah pedang tersepuh, arang-arang itu. Dan abu sesegera beranjak oleh arah angin ke mana. Tinggallah sebilah pedang tanpa penawar ketajaman. Pedang bermata itu bergerak lalu, di tangan seorang pembelajar sajak. Terbiaslah sinar-sinar mungilnya di sudut kata-kata pada dua sisi mata pedang, ruang saya menemukan wajahmu. Tanpa penawar ketajaman. Pak.


2009


9.23.2009

MUSIK HUJAN DI UJUNG SEPTEMBER`09

: pengamen-pengamen mungil


Hujan. Bergelimpang debur kata basah. Lantas menjadikannya bunyi-bunyian. Hingga terperangkap ia dalam sedekah getar senar. Di ruas-ruas jalan berhias rerambu. Menanti jejal pengendara pada ketukan henti.


Hujan. Bergelimpang debur syair dingin. Mengerangkan cuaca yang hampir bimbang di perhetian separuh pelangi. Terguratlah para pemantik dawai melebur di teras-teras pengungsian. Dipetiknya bimbang itu.


Hujan. Bergelimpang debur musik air. Bertamburan di kisi-kisi dedaun pisang yang kita pegang. Dan kita usir dengan gelak tawa bersama kepingan uang simpanan kita. Dua sisi. Melekatkan kita akan orkestra jiwa-jiwa kecil di bulan itu.


2009

9.15.2009

SAJAK-SAJAK CATATAN RAMADHAN

RAMADHAN DI MEJA MAKAN


Maaf, hamba tak sempat tanyakan permohonan pada pohon-pohon mangga di pekarangan masjid. Setelah ramadhan datang mendadak, menebangi mereka untuk dijadikan lahan berbuka bersama para tukang ojek yang kerap mengosongkan tangki bensin demi mengisi piring istri-anaknya. - Setidaknya, hamba dan para tukang ojek selalu mengenangnya di meja makan setelah magrib -

2009


RAMADHAN DI PEMBAKARAN LOKALISASI


Mau apa lagi. Rumah-rumah bordir berkepala seng di sudut itu, kini telah tiada. Semenjak pekat kelabu asap membumbung menguap-lenyapkan persinggahan itu. Kita tinggal diam saja, sembari melupa halaman hitam kisah klasik kita. Melupa tayangan video tentang teriak anak yatim di antara kepungan puing kemarahan memanggil mamahnya, entah ke mana. Biar saja televisi, radio, kipas angin, kasur dan selimut kita dijarah. Biar saja, sebab kita masih memiliki dompet berisi lembaran kupon masa penebusan yang tak terbawa api.

2009




RAMADHAN DI ANTREAN JIRIGEN AIR


Setiap hari, kita coba menyambung tali-tali harap pada simpul sujud di musim kerontang. Kita memanjatkan hujan di kamar-kamar guguran doa kita yang berlantaikan kemarau. Selepas sahur, kita turut mengantrekan jirigen-jirigen doa kosong kepada petugas air bersih. Meski lama menanti literan air mengisi, sama halnya menanti suara adzan magrib di bulan kita.

2009


RAMADHAN PADA LEMBAR TIKET KERETA


Sore semakin jingga, sementara engkau setia berkutat melengkapi syarat-syarat menuju kampungmu. Usai menyantap puasa, sajak khawatir kepada tuhanmu engkau biarkan terias di wajah-wajah loket stasiun. Di judulmu tentang selarik tanya tanpa jawab: Masih Bisakah Selembar Tiket Pulang Kutemu?



2009


RINGKASAN RAMADHAN


Secarik doa maaf mahal

kepada ayah-bunda

dan sanak saudara

tak lupa dilipat rapat untuk

engkau bacakan di hari itu.

2009



MENYANTAP SABIT DI RAMADHAN


Engkau berjabat pada potret masa lalumu

di bingkaian album bulan keramat

sembari berbuka dengan cita kecil.

- sesantap rembulan sabit, tak sadar terekam oleh pigura foto doamu -


2009


CERAMAH : TAK HARUS PULANG


Di negeri tetangga,

majikanku bertubi melepas ceramah

pada ujung purna ramadhan :

dikau tetap di sini

mengasuh perayaan maafku

supaya bertambah dewasa.

2009


REFLEKSI


Apakah saya senantiasa

bersedekah di bulan itu

atau ramadhan bersedekah

di bulan saya.

2009


DOA


Engkau semayamkan pujamu di

bulatan-bulatan tasbih mungil

berselaput tangis kecil

pada malam kerinduanmu.

2009