Adalah bahasa. Bagi kemuning dedaun di lukisan pohon kesepian. Membacakan mereka untuk ziarah pesinggah. Setelah sekian kali berteduh mencium teka-teki isyarat sendiri: barangkali ada petunjuk terselip di antara cabang dahan puisi.
Adalah bahasa. Bagi retak tanah-tanah di lukisan jalan sunyi. Mengabjadkan mereka untuk ziarah pesinggah. Setelah berulang kali menemu tanya: jalan mana yang harus ditempuh? (Sembari memungut puisi-puisi yang berjatuhan ).
Adalah bahasa. Bagi dua lukisan itu. Supaya setiap kata pada kanvas tak lupa pada apa yang menyebabkannya ada.
Menjelang petang, sejenak di nada-nada mungilmu terbentuk gelombang-gelombang mirip ombak berdatangan menujuku. Dan instrumenmu bergantian mencetak sinkronisasi atas mereka. Ada yang mengatakan bahwa kertas-kertas desain wajahku dibawa lari senja. Yang lain berkata bahwa aku terlalu bodoh memikirkan ketiadaan. Dan sisanya, mencoba berbisik kepada inderaku, “halaman puisi telah meminta kami menjadikannya petikan-petikan notasi, supaya tak kunjung diburu oleh hantu musik di setiap petang.”
Kawan, apa yang kau giring kepadaku malam begini? Sekumpul anak-anak sajakkah? Sepertinya engkau lupa menamai mereka. Mungkin selayaknya kau menjadi gembala yang baik bagi mereka. Membawa ke padang rumput malam dekat tepian mata air sepi. Dan tak lupa merapikan barisan mereka. Supaya setiap anak sajak tak keluar dari batas larik buatanmu. Atau tersesat masuk di kediaman iblis gurun yang siap menculik dan menjadikan sepoian angin kering, hingga tak mengenal lagi tempat meraka berasal.
/ 2 /
Kawan, seindah apakah kesendirianmu hingga kau tinggalkan mereka di tengah adegan gelegar langit? Atau terlalu susah engkau mengkerudungi mereka dengan jas hujan kecilmu. Sesakkah? Bila demikian, letakkanlah mereka satu per satu di teras kamar puisiku. Agar hujan tak terlanjur membuat mereka merinding dingin dan menderu kelu. Letakkanlah mereka, maka aku akan bersiaga seperti si purnama pada sang malam. Letakkanlah saja bilamana engkau mau.
/ 3 /
Selalu dalam sebuah tanya, aku mendamba keguruanmu yang bijak. Kepada anak-anak sajakmu. Ketika engkau mengajarkan abjad-abjad cinta yang melebihi tiap mililiter leburan emas murni. Melangkakan mereka serupa bunga utpala di waktu malam. Sampai aku lupa mengingat kepada siapa mereka berguru samar.
Selalu dalam sebuah tanya, apakah?
/ 4 /
Kawan, malam-malam bulan Oktober hampir saja tiba di peristirahatannya. Tidakkah engkau coba menghitung anak-anak sajakmu yang masih setia berbaring di batas larikmu dan melagukan sendirimu bagi peri mimpi? Supaya ia menitipkan sabda pada sajakmu: kita ini satu. satu tubuh.
/ 5 /
Apa yang dapat kububuhkan selain sebiji kata tanya apakah di halaman terakhir pertemuan kita, penyairku? Pada dekap beranda malam sajalah aku melamun dan mencatat perilaku anak-anak sajakmu pada setiap nasihat rindumu.
“Condongkanlah kepuitisanmu padaku dan aku akan memberimu sajak indah tentang rembulan, bintang dan biduan lampu-lampu kota. Curahkanlah indera puisimu padaku dan aku akan menaruh rasa cerita yang siaga kau larikkan.”
Pak. Saya bukan dahan luka itu lagi. Tempo hari sudah saya arangkan bersama pohon-pohon kepahitan yang tumbang. Lantas, lekas menjadi abu. Setelah sebuah pedang tersepuh, arang-arang itu. Dan abu sesegera beranjak oleh arah angin ke mana. Tinggallah sebilah pedang tanpa penawar ketajaman. Pedang bermata itu bergerak lalu, di tangan seorang pembelajar sajak. Terbiaslah sinar-sinar mungilnya di sudut kata-kata pada dua sisi mata pedang, ruang saya menemukan wajahmu. Tanpa penawar ketajaman. Pak.