PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

4.23.2016

APRESIASI KARYA (KANAL EDISI KE-3)



Apresiasi yang saya lakukan ini merujuk pada empat puisi terpilih versi Majalah KANAL edisi ketiga. Berikut empat puisi terpilih dan ulasan singkat saya terhadap empat puisi tersebut.



KAPUAS

rindu yang menuntun sampan berani melewati jeram
tak hanya kerlip kunang-kunang, cinta juga cahanya menerangi kelam
seperti sisa api yang masih menyala di pinggir sungai Kapuas
asap putih menari mendengar bunyi seruling yang di tiup anak-anak rimba
di malam sepi tanpa sajak perpisahan

awan nampak bergegas
bulan pias.
di kulit langit jingga terkelupas
lewat nafas malam terlepas

ya, memang tak ada sajak yang aku siapkan untuk Kapuas
dan sinar mata pun tak memberi janji apalagi harapan
kita berpisah tanpa sedih dan kecewa
sampai berjumpa di muara segala cahaya

2015



KAMPUNG LAUT

--mestinya kau ikut ke kampung laut, nda
selain berperahu menyisir lika-liku pulau-pulau kecil
selama sekitar dua jam
membelah-belah selat
di kanan kiri hutan bakau dan ada pemandangan sepanjang pantai;
camar melayang-layang terbang, bangau berbaris mengintai ikan
juga berang-berang berenang memburu ikan
dan biawak yang merayap-rayap hendak menerkam bangau dan camar
aku seperti berada di dunia hayal
dan di batu gajah yang alangkah indah
aku bertemu mang ucu yang sudah belasan tahun hidup di pulau kecil itu
setumpak tanah di kampung laut
mang ucu sangat lihai berburu kepiting dan menangkap ikan
sambil menyelam di geronggang karang
dan gelang akar bahar melingkar di tangang mang ucu
mang ucu mengajakku menyelam di geronggang karang
o, aku akan menangkap kepiting dan lobster merah untukmu, nda!

Cilacap, 12 Nopember 2015


 

ANAK

Beri ibu dada pagi yang berangsur terang
beri ibu senyum telaga tanpa gulma atau ganggang
menjadilah pohon, menjadilah jalan, menjadilah gunung
atau liuk sungai di hamparan terang dan hujan pikiran

Tengah kami pungut dan lemparkan bekicot ke selokan
kami jentik rangkak ulat dan kami usir penyamaran
para belalang, bunglon, tempayak, di dahan-dahan angan
agar lebih hijau warnamu, mengatasi gerumbul kekhawatiran

Agar saat ini dan seterusnya bisa kami patrikan :
“Bukan tubuh, pancaroba air muka, dan angka-angka usiamu
yang tengah sempoyong terhisap malam.”

Selalu, masih kami petik dan mainkan dawai-dawai hati
serta bertakzim pada upacara-upacara persemaian mimpi
oleh karena engkau adalah darah dan daging pengharapan
yang diciptakan Tuhan saat cinta tersenyum

2015


Mendaki Kesedihan

bagai hujan tak berhenti jatuh ke dunia
mataku meneteskan kesedihan hingga engkau berpaling
menemukan lobang gelap nan dalam di hati aku
tak dapat dicegah lagi oleh masa lalu kesekian percintaan

oleh panggilan bisu namaku yang tenggelam di hatimu
kesedihan hanya butuh dimengerti sebagai mataair
membelah dirinya ribuan kali hingga engkau ada di sana:
mengucap perpisahan, menertawakan ingatan
ingatan yang berbicara tentang hujan di hitam dadaku

lihatlah seseorang mati berkali-kali diceburkan kata-katanya!
tanpa kehendak, seakan takdir membawa aku ke dasar
menyelami sungai-sungai pucat di mana opelia mengapung
dan membekap tubuh aku; kesedihan abadi ribuan tahun

seperti sendiri memanggul dosa berulang kali
seperti sisifus yang tak diampuni


2014






PERTANGGUNGJAWABAN MENULIS

Ada tema-tema besar yang cukup menarik dan sedang digarap dalam keempat puisi terpilih di Buletin Kanal edisi ketiga kali ini. Puisi Wans Sabang berjudul “Kapuas” dan Eddy Pranata berjudul “Kampung Laut” sekilas ingin berbicara soal tempat. Keduanya, pada baris-baris awal dalam puisi mereka, semacam memberikan aba-aba kepada pembaca bahwasanya nama tempat yang mereka tulis adalah materi utama deskripsi menulis. Eddy menulis begini: “–mestinya kau ikut ke kampung laut, nda”, sementara Wans memilih begini: “seperti sisa api yang masih menyala di pinggir Sungai Kapuas”. Kedua larik itu tidak bisa secara gamblang dikomparasikan sebab peletakkannya berbeda. Eddy meletakkan larik tersebut di awal puisi, sedangkan Wans meletakkan di baris ketiga. Kesamaan dari kedua penulis tersebut tampak berupaya memperkenalkan deskripsi tempat di bagian awal. Hal ini bukanlah suatu kesalahan. Bisa jadi ini merupakan suatu cara deduktif dalam kerja menulis mereka. Struktur tidak bisa dilepaskan dalam suatu konstruk, apapun itu. Dalam menulis puisi, struktur bisa jadi sangat penting (bahkan sangat genting di hari ini). Beragam teknik bisa dipelajari untuk bisa memperoleh struktur yang pas dalam mengolah tema. Oleh karena itu, sangat perlu bagi seorang penulis mula-mula adalah belajar bagaimana menggunakan teknik dalam berdiksi-imaji-rima-majas-tipografi hingga mengerti benar apa yang disebut puisi.

Rentetan pertanyaan kemudian yang muncul untuk kedua puisi tersebut yaitu ada apa dengan Kampung Laut dan ada apa dengan Kapuas? Sejarah apa yang terjadi di dalamnya? Narasi kepentingan apa yang membedakan kedua tempat itu? Lalu, apa pentingnya nama kedua tempat yang diletakkan itu? Pada “Kampung Laut”, sekilas Eddy tampak hendak menunjukkan sesuatu pada yang ia panggil “nda”. Ada ironi yang hendak ditampilkan di sana, tapi agaknya ironi itu masih samar karena tertutup oleh deskripsi sang aku atas alam. Ironi hanya terasakan di baris awal dan akhir. Pada “Kapuas”, Wans tidak terlalu ingin menampilkan bagaimana lanskap kapuas selain bunyi seruling dan anak-anak rimba. Selebihnya Wans bermain-main dengan rima--pada bait kedua misalnya--. Wans seolah berhasrat sekali mengadu tentang perpisahan dan harapan kepada pembaca, namun ia tidak sedang hendak mencipratkan kesedihan: “kita berpisah tanpa sedih dan kecewa”. Dari dua puisi tersebut, mungkin saja membuat pembaca yang cerdas jadi pupus melihat bagaimana narasi Kampung Laut dan Kapuas dianak-tirikan.

Merencanakan kata dengan disiplin dan tidak terburu-buru agaknya bisa dirasakan di puisi berjudul “Anak”. Usaha Arwinto Sunu Aji mematangkan emosi teks bisa dikatakan terjaga (membaca bagaimana Sunu memperlakukan judul dengan isi), hanya saja kejanggalan dimulai ketika dihadirkan subjek ‘kami’. Kata ‘kami’ yang dihadirkan memungkinkan subjek di paragraf pertama: ‘ibu’ menjadi goyah. Lalu siapa ‘kami’? para ibu? Sunu berpotensi membuat pernyataan di awal alinea ketiga ini kontradiktif dengan tabrakan subjek tersebut. Adapun Sunu masih tergoda menggunakan frasa instan yang sebentar puitik: dawai-dawai hati, pancaroba air muka. Sunu barangkali perlu mengayak lagi keputusan menyusun frasa-frasa tersebut.

Dalam menorehkan makna terhadap sebuah puisi, pembaca lebih berwenang dan lebih berkuasa daripada penulis (Teeuw, 1991). Bagus Dwi Hananto menulis “Mendaki Kesedihan” dengan konstelasi si aku yang kental di dalamnya. Namun, pengalaman si aku seolah digiring ke dalam bentuk lain yang merujuk pada ‘hitam dadaku’. Dwi juga mencoba memasukkan analogi kisah kuno untuk mengiringi konsep ke-aku-annya. Pengalaman si aku di teks Dwi patut diperhatikan lantaran kemudian tidak dipungkiri akan godaan tenggelam dalam kegelapan teks. Zoetmulder (1983) mengungkapkan bahwa dalam pandangan penyair (kawi), dewa itu bukan hanya asal mula dan tujuan akhir segala keindahan. Mereka menyerahan dirinya kepada semacam “ilham puitis” yang memabukkan. Maka mencipta atau menikmati karya sastra bagi mereka sama dengan keluar dari diri sendiri, kemudian hanyut mengalami keindahan itu. Untung saja Dwi cekat menaruh mitologi yunani di akhir teks itu.

Syahdan, ada ceplosan perkataan demikian: aktivitas menulis (puisi) tidak untuk buang ingus. Nah, maka bisa kemudian ditimbang-timbang kembali ke bilik perenungan, ada apa dengan menulis (puisi) hari ini. Tentu terlepas perkara keceplosan.
Selamat kepada yang terpilih!

Semarang, 2016
























4.17.2016

MANGUNAN (KEMBALI) MERAYAKAN PENDIDIKAN


Judul: Secangkir Teh Hangat dari DED
Editor: G. Kriswanta, Pr
Penerbit: Kanisius
Cetakan: I, 2016
Tebal: 180 halaman
ISBN : 978-979-21-4485-7

“Alas dari pada pembangunan masjarakat jang nasional adalah pendidikan jang nasional”
, kata Muhammad Yamin (Mawardi, 2014). Alas yang dimaksud dalam penjelasan tersebut tentunya adalah pendidikan. 17 tahun sudah Y.B. Mangunwijaya, seorang rohaniwan, budayawan, dan pendidik telah meninggalkan dunia. Kini yang tersisa adalah warisan-warisan beliau yang berharga. Salah satu warisan berharga dari beliau adalah sebuah sekolah eksperimental yang berlokasi di Kota Yogyakarta.

"Secangkir Teh Hangat dari DED" merupakan sebuah judul yang menjadi personifikasi dari senarai peristiwa beserta refleksi yang ada di dalam buku ini. DED adalah singkatan dari Dinamika Edukasi Dasar, yang mana sekaligus sebuah nama lembaga dari salah satu yayasan pendidikan. Dieditori oleh G. Kriswanta, Pr, buku ini berisikan 26 tulisan yang menuturkan kisah dan refleksi masing-masing penulis atas pengalaman yang dijumpai.

Kedua puluh enam penulis yang ikut andil dalam buku ini berprofesi sebagai guru maupun karyawan di TKE dan SDKE Mangunan. Susunan buku ini dibagi menjadi empat bagian: “Spirit Romo Y.B. Mangunwijaya”, “Memberikan hati dalam Karya”, “Berbagi Spirit” dan sebuah epilog berjudul “Meletakkan Hati”. Berbagai kisah dan refleksi menarik menjadi semacam oleh-oleh yang bisa dibawa pembaca. Sebagian kisah menerangkan bagaimana seorang guru harus mampu menghadapi uniknya karakter para murid. Selain itu, seorang guru harus mampu menyesuaikan diri dengan berbagai macam suasana, termasuk dipindahkan ke jenjang yang lebih dasar (dari SD ke TK) atau melaksanakan tugas ke sekolah terpencil di luar Jawa untuk menerapkan kurikulum baru.


Di tengah pelbagai berita yang mendera di dunia pendidikan, buku ini pantas diseduh oleh siapapun, terutama para aktivis sekolah. Kisah-kisah berdasarkan realita yang diangkat dalam buku ini dapat menjadi inspirasi bagi pembaca. Tentunya untuk tetap berproses dalam mengembangkan pendidikan sekolah, terutama nilai-nilai luhur dalam jenjang pendidikan itu sendiri.

Seorang guru bertutur demikian terkait refleksinya selama menjadi pendidik: “Sebagai guru TK, peran kita tak hanya sebagai guru. Kita pun harus dapat berperan sebagai ibu, kakak, teman, dan sahabat bagi anak. Kesabaran dan ketulusan adalah kunci utama agar bisa dekat dengan anak. Anak membutuhkan perhatian dari seorang guru saat mereka ingin berbagi cerita. Dalam hal ini guru berperan sebagai seorang teman/sahabat bagi anak. Saat anak-anak merasa sedih karena ada masalah dengan teman (seperti bertengkar, diejek teman, atau terjadi kesalahpahaman), perlukan guru adalah obat bagi mereka. Guru bagaikan ibu bagi anak-anak selama berada di sekolah." (hal. 126)


Tidak hanya itu, Romo Mangun (sebagaimana yang dikutip oleh penulis pada halaman 85-86) mengatakan, "Semua pendidikan yang baik selalu menganut kepada kearifan nenek moyang kita, yakni prinsip ajrih-asih...Apabila kedua unsur tersebut dipadukan dalam ramuan yang pas, maka pendidikan sejati akan terlaksana.” Suatu refleksi yang rasa-rasanya penting untuk direnung-rayakan oleh semua pendidik di zaman dengan variabel masalah bangsa yang kian menumpuk ini. 17 tahun setelah Mangunwijaya mangkat, buku ini tetap menjadi warisan lain. Alih-alih, demi tetap mengobarkan semangat pendidikan yang lebih baik, mencerdaskan kehidupan bangsa.



Diresensi oleh Ganjar Sudibyo
Yogyakarta, 2016

4.14.2016

HUJAN MENAKSIR BULAN


aku mencarimu di sela-sela percakapan
para mahasiswa pemesan mie instan di burjo,
musik-musik sendu di kedai tanpa wi-fi,
film-film dengan kesepian sebagai pahlawan
mengibarkan bendera: kenangan atau mati!

headline koran lokal memamah wajah bungah
terdakwa koruptor. bajuku kotor. kopi tumpah
aku tetap mencarimu. sepagi ini matahari
sedang ingin dicintai hujan dan jam kerja;

bulan yang belum tenggelam menjadi viral:
demonstrasi pasangan muda-mudi
melempar bunga-bunga plastik
ke depan pagar balai konservasi babi ngepet

mamah muda dengan gaun masa depan
mencium pencarianku
kamu: bulan berdandan tampan
dalam biasan luka yang genang

sebagai pendaku
petapa kekasih langit
tinggi
tinggi sekali
aku mencarimu
tanpa merasa hilang


2016

BULAN MENAKSIR HUJAN


BULAN MENAKSIR HUJAN

aku tak menemukanmu sama sekali
di cangkir keempat kopi hitam yang menjauhkan
dari diabetes mellitus; aku tak menemukanmu
pada pelangi yang muncul sehabis sembilan ibu
mengecor kaki-kakinya di depan istana mimpi

jalanan yang aduh dengan anak-anak bersabuk
dikasihi mesin-mesin beroda, jalanan yang ludah
oleh kaum aku. sejak kapan para aku tekun
mencarimu?

malam dengan ledakan trafo menjauhkan
dari jarak-jarak bunuh diri dalam kepala
seorang manajer pemasaran toko buku;
hujan lewat di kegelapan, mencuri waktu
yang dibungkus cahaya teplok di setiap angkringan,
tempias membeku dadu mengirim nasib
ke udara

aku tetap tak menemukanmu
sampai jauh indeks perasaan yang dilepas
oleh riuh busur kekuasaan:
cintamu, bulan
meringis
klasik sekali;
basah mata--kampanye para pendaku


2016

4.09.2016

BAGAIMANAPUN WAKTU (NISCAYA) TETAP BEREDAR


Judul: Waktu
Penulis: Artvelo Sugiarto
Penerbit: Yabawande
Cetakan: I, 2016
Tebal: ix + 91 halaman
ISBN : 978-602-73063-5-6


Isu yang santer tentang adanya dugaan plagiarisme di salah satu puisi dalam buku ini sehingga berdampak pada ancaman penarikan, tentu menjadikan ada yang berbeda terhadap stereotip pembaca maupun calon pembaca buku ini. Terlepas dari isu plagiarisme sastra yang relatif ramai dalam viral di jejaring sosial, peredaran buku “Waktu” malah tetap menyala. Bahkan buku yang konon dicetak terbatas ini ludes di pasar yang dituju oleh sang penulis dan penerbit. 

Buku ini berisikan 78 puisi yang diberi kata pengantar oleh Heru Mugiarso. Buku pertama Artvelo ini memiliki desan ilustrasi kover yang cenderung menarik. Warna kover yang didominasi oleh hitam, seolah ingin menjadikan buku kumpulan puisi tersebut menjadi sesuatu yang menyaratkan teka-teki misteri. Selain itu, lukisan jam dinding di tengah yang proporsi ukurannya agak janggal pun mempunyai daya tarik, meski sayang, jenis huruf yang dipakai kurang memunyai chemistry satu sama lain dalam ruang itu. Baiklah, agaknya memang rerata penerbitan indie yang berada di wilayah Semarang masih perlu banyak belajar mengenai kemasan buku yang laik.

Buku kumpulan puisi pertama yang ditulis oleh Artvelo ini tentu memberikan iklim tersendiri dalam jagad sastra, terutama di kota tempat penulis tinggal. Puisi yang dimunculkan dalam buku, berkisar antara tahun 2012-2015. Dalam catatan biografi penulis yang relatif singkat, ditorehkan bahwa penulis memulai aktivitas menulisnya sejak tahun 1978. Jangka waktu yang rasanya cukup panjang untuk sampai membukukan puisi-puisinya yang terpilih. Namun, sepertinya agak disayangkan bilamana dalam buku ini tidak ditemukan puisi-puisi dengan tahun pembuatan 1978-2011, dengan alasan apabila ada tujuan dokumentasi-publikasi terhadap karya terdahulu.

Waktu memang menjadi materi yang sering diolah oleh para penulis. Dalam penulisan puisi, waktu menjadi semacam minimarket yang merumput sepanjang pinggir jalanan di Semarang. Semacam angkringan di Yogyakarta. Dalam persepsi penulis buku ini, waktu menjadi judul sekaligus puisi pembuka pada halaman 2. Begini penulis membahasakan waktu: “...Karena waktu begitu sempit menuju isya/Waktu tak mungkin dibalik/Meski begitu panjang menuju subuh....Dimana kaki terus melangkah/Mendekat pada garis waaktu” (hal.2). Penulis mengidentifikasikan waktu sebagai waktu yang sebenarnya. Sesuatu yang tidak bisa diulang, sesuatu yang bergerak lekas dan mendesak. Penulis tidak bermain banyak konotasi atau kegelapan dalam berbahasa. Berbeda dengan waktu yang hendak disampaikan pada halaman 53: "...uratnya tampak keras dan membatu/disimpannya dalam saku waktu..." (Dalam Pergulatan Batin). Di puisi tersebut, tampaknya ada upaya penulis untuk mengombang-ambingkan makna waktu. Tapi, tunggu sebentar. Pada halaman 35:"...namun selalu setia menunggu hingga waktumu..” (Kepada Diri), pada halaman 21: “...aku kian terkepung di lengkung waktu...” (Empat Puluh Lima Tahun Yang Lalu), pada halaman 40: “...ditusuki belati direbus dalam tungku waktu...” (Sajak Pagi buat Kekasih). Dari kelima contoh tersebut mana yang terkesan puitis? (Biar pembaca yang memilih).

Adapun proses penerbitan buku ini terkesan terburu-buru. Ini bisa menjadi suatu perihal yang vital dalam dunia perbukuan puisi. Puisi yang erat dengan diksi-diksi dan menjaga sedikit mungkin dari kesalahan tipo (baik ejaan maupun kaidah bahasa), pun logika-logika sederhana, dalam buku ini kerap kali dijumpai hal-hal yang sebaliknya. Terlepas dari licentia poetica yang kerap diagung-agungkan oleh penulis yang belum benar menguasai esensi dan teknik-teknik kepenulisan, tentu ini bisa menjadi pembelajaran bagi siapa saja yang hendak menerbitkan buku kumpulan puisi. Ya, siapa saja.

Namun waktu tetap beredar sebagaimana pagi-siang-malam-pagi lagi-siang lagi-malam lagi-dan seterusnya. Waktu sekaligus yang akan memperkarakan: buku (penulis) ini bisa bertahan lama atau tidak. Sebuah kensicayaan. Semoga penulis (k)ini tetap ‘bertumbuh’ secara jasmani dan rohani selayaknya “kail dan jala cukup menghidupimu/tongkat kayu dan batu jadi tanaman/di(-)ambil dari lagunya koes plus” (hal.66).


Diresensi oleh Ganjar Sudibyo
Yogyakarta, 2016

3.23.2016

MEA CULPA, MEA MAXIMA CULPA


jangan hanya engkau basuh kaki kami
tapi juga segala ingatan kami yang membikin
jiwa kami terjerumus dalam ratap picisan;
jangan hanya engkau basuh kaki kami
kepala mereka yang beku
suara mereka yang teraku-aku
beserta dada penuh aku,
basahilah mereka
basahilah kami
sebelum engkau benar
ditinggalkan bapa
disepikan manusia
disapih kehilangan

mea culpa, mea culpa
o dolorosa yang terpancang
tragedi yang gugur
seperti bulu mata
dan biji rindu
yang terlanjur


2016