PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

7.31.2013

PUISI-PUISI YANG DIMUAT DI MAJALAH (TEENLIT) STORY

Puisi-puisi yang relatif lama ini ternyata dimuat di Majalah Story edisi Juli 2013. Berikut mereka ini:



MENUNAIKAN SENJA
untuk s.

untuk setiap senja
yang kita tintakan dalam sebuah amplop:
izinkanlah aku tiupkan angin kencang untukmu
supaya awanawan lekas bergerak menujumu
meneduhimu lewat gerimisgerimis rindu
lalu menjelma sayapsayap sunyi baru
dan nyanyiannyanyian musim
bagi sepasang burung dara
yang hinggap bersarang
pada bulubulu mata kita.

- dengan demikian, senja telah tunai
kepadamu-


2010





CANGKIR KOPI: ENGKAU PENA FISIKA DI JEMARI PUISIMU

semalam, cangkir kopi yang bermalam di suhu matamu itu
berbicara tentang zat dan energi di halaman kepala yang
engkau letakkan massamassa mengikat sampai ubunubunmu
dan garisgaris sambung yang engkau cipta selalu berarah menujuku:
aku yang engkau jadikan satuan watt melebihi lampu meja belajarmu.

penamu begitu elastis dan pegas ke atas proyeksiproyeksi
yang engkau tarik dalamdalam dari muka wajahku hingga
sepi yang meluncur cepat berkelok dengan kecepatan tak
terumuskan oleh teori kinetik sekalipun.

semalam, aku menghitung diamdiam seberapa sublim
cangkir kopi yang aku temu di jemari puisimu oleh fisika
yang ternyata menjadi penampang peta bagi penamu. 

- semalam, ada persamaan sudut lahir di kepala kita -


2010





PAGI MENUJU SEBERANG JENDELA
buat sheila q.

1.
bagaimana aku bisa menyampaikan gerimis
di kedua mata mungilku kepada abjadabjad puisi
sedang lampu belajar masih saja membacakan nyalanya
pada kertas dan pena di meja belajar itu

bagaimana aku bisa berbicara tentang seberang jendela
di bibir-puisi yang baru saja mengatakan bahwa
gerimis adalah tekateki yang kurancang semalam

- pun engkau tahu meja belajar itu melihatmu
perlahan muncul di uapan cangkir kopi –

2.
lewat tanya yang telah aku tuliskan,
lewat alis yang kupertebal semalam
aku mencium baumu dari uapan itu
: kopi yang terasa manis untuk lidah-gerimis

3.
tulisan bahwa aku berdiam di antara halaman tumpukan buku
adalah isyarat lama yang kutujukan pada rerintik
yang jatuh menebalkan pagi melebihi jumlah halaman itu
aku adalah alismu

dan kita, kita telah lupa akan waktu yang tak berhenti
menebalkan kulitnya supaya kita tahu bagaimana
mengajarkan pagi menuju seberang jendela
yang dipenuhi anak-anak gerimis.


2010

7.20.2013

HARIPUISI INDOPOS, SABTU, 20 JULI 2013


Sebuah kolom HariPuisi di Surat Kabar INDOPOS pada hari itu memuat empat puisi saya. Kolom di surat kabar ini diredakturi oleh Presiden Penyair Indonesia. Berikut ini puisi-puisi yang dimuat:



KOLASE KENANGAN ( II )

sepanjang jembatan dengan pembatas berwarna oranye
di bawahnya rumah-rumah kayu yang menjerit
setiap kemarau tiba. di hadapan kabel-kabel tebal
pemanggul sepanjang jalanan ini,
langit memburat kuning-merah. setiap kali senja
adalah nyala waktu anak-anak; mereka yang bertaruh
kepak burung-burung dara, menyelamatkan satu
pasangan demi pasangan lainnya.

lanskap itu telah memindai masa depan
memutuskan yang lalu. kamu, risalah yang kini
dan yang sembunyi pada jarak. aku bentangkan
penantian yang lena seperti penjual kepiting
sendirian di trotoar.

sepanjang jembatan dengan kita yang mesra
lalu anak-anak pulang. jalanan lengang
barangkali aku tak perlu merapal
sebagai aspal dan segala yang berlalu


2013




KOLASE KENANGAN ( III )

langit yang kita cintai adalah bentangan jalan raya
bagi burung-burung. mereka itu yang membuat cerita
jarak sejauh apapun mesti dirangkul sebab kepak sayap;
kepak sayap yang membuat perjalanan dan pemberhentian
benar-benar menyatu.

langit yang kita cintai, biru apa adanya; awan-awan
adalah kisah penderitaan yang dimuntahkan seekor burung
yang tertinggal sendirian di antara burung-burung lain.
langit yang kita cintai tetaplah biru apa adanya
maka bersama waktu yang hablur, kita merayakannya
hingga tak ada lagi tebaran-tebaran cemas atas derita.

langit yang kita cintai, biru yang kita jamu;
orang-orang justru mengira itu adalah pandangan
yang minus dan tak sampai


2013





KOLASE KENANGAN ( V )

katamu, mendung adalah catatan keterangan tempat;
kita yang selalu bermawas-mawas: gumpalan kelabu itu
akan berhanti ataukah berlalu. katamu, jika hujan tiba
akan ada rezeki yang berjalan dari kejauhan.

sebuah pemandangan tentang kita, cuaca
tentang bagaimana orang-orang memesrakan diri
dengan kehangatan yang dirindukan pulang
masuk lewat daun-daun pintu basah


2013



KOLASE KENANGAN ( VI )

aku menemukan kalian di pasar karimata kartini
: ketakutan, kegetiran, keterasingan
yang menyatu, yang tak terbaca
dari sangkar-sangkar beserta sesak segala burung

“mereka ingin terbang, mereka ingin terbang
hinggap di langit, mengembangbiakkan
kebahagiaan di pohon-pohon”
kata seseorang

ini bukan tentang liputan-liputan kesedihan
orang-orang itu tak pernah sekalipun selesai
pada kecemasan yang menetap di dadanya,
orang-orang itu tak peduli berapa banyak
yang mesti diungsikan dari langit maupun
pepohonan

aku menemukan kalian di pasar karimata kartini
:ketakutan, kegetiran, keterasingan
yang disangkar dan tak pernah ada yang ingin
melepaskan, sebab orang-orang itu selalu
memelihara kecemasan di dalam sangkar
bersama kalian


2013



sumber: http://epaper.indopos.co.id/Main.php?MagID=4&MagNo=921&data=1



7.15.2013

MARGONDA 19.30



lalu aku sadar, ini kota sudah jadi yang lain
barangkali juga kamu. kita ingin sekali bepergian
tapi entah, jalan-jalan yang kamu ingat justru
mengarahkan pada tempat-tempat di mana
terasa udara kota ini masih seperti baru saja
ditebar garam. ini kota di mana malam
selalu saja risau. aku asing lagi, apartemen
yang memuat para pendatang, mereka
membawa make up di tas dan kantong-kantong
pakaian. di dompetnya uang berbau parfum-parfum,
soft drink, makanan instan, dan celana pendek.
aku linglung saja

lalu aku sadar, ini bukan sebentar mimpi
aku di lantai 8 bersama kamu dan kesunyian
bagi lorong-lorong dan kesepian bagi pintu-pintu
dan ketenangan bagi nyala lampu-lampu.

jendela ini sekiranya bahagia ketika kita
memandang kolam renang
dikelilingi cahaya-cahaya lampu
lalu membikin kita seperti ingin menjatuhkan
diri dari lantai 8

lalu aku sadar, tadi kamu memesankan
aku ayam bakar di warung mak ani
dan kita akan makan malam di sini saja
minum es krim, menyalakan tivi
menunggu jemuran
sampai kedinginan karena ac
malam ini, tanpa paksa aku ikut saja
sebab aku ingin belajar pasrah
dari seisi gedung ini


2013

7.13.2013

MOON RIVER* MALAM INI


~ kamu bertanya, kenapa setiap pagi,
waktu muncul seperti jarum-jarum
yang pernah digunakan ibu kita. jarum-jarum tajam
mengkilat dan menjahit kenangan di mata kita;
kita yang kanak-kanak
dan merasa ingin selalu berhati kanak-kanak
supaya bisa menyelinapkan kelindan peristiwa
masuk ke dalam lubang
jarum-jarum itu

tapi waktu, sedemikian maha segalanya
ia yang mengizinkan kita tumbuh
akan ingatan-ingatan yang redup dan nyala
pada hamparan halaman-halaman
baik yang kita benci
baik yang kita cinta

~ kamu bertanya, kenapa setiap malam
dada ini terus menerus ingin paham
bagaimana ukuran cinta itu, seraya
merapal jarak yang mengulur dan mengatur
pelajaran-pelajaran tentang peram rindu

tapi waktu, sedemikian maha segalanya
ia yang mengizinkan kita tumbuh
membikin kamu dan aku
seperti tanaman-tanaman perdu
yang bertunas di hari keindahan
di mana kecemasan menjelma
air yang menyuburkan kita
menciptakan kata-kata mesra,
sebab oleh cinta
kita bertindak

~ tapi waktu, sedemikian maha segalanya
ialah ibu;
ia yang mengizinkan kita tumbuh
bersama jarak yang bernyala
menerangi lorong-lorong diri:
kecamuk pada dada yang hampir rusak
dengan pelukan seperti detak jam
di tangan kita,

betapa luas aku mengenang kamu
kita yang sedang beranjak dewasa
atau bahkan lebih dari itu


2013


*adalah salah satu lagu yang diciptakan Henry Mancini, ada dua penyanyi wanita yang saya favoritkan ketika mempopulerkan lagu ini: audrey hepburn dan katie melua

7.08.2013

DEPOK SQUARE


kamu meminta aku beli apa, semalam kita sepakat
mempercayai bahwa uang pangkal mabuk
aku sangsi, kita yang asing mengasingkan
dari diskon-diskon dan makanan-makanan jepang
maka aku menatap pasangan-pasangan
yang menyebut diri sebagai orang-orang yang pulang kerja

"kita bisa makan enak di sini. makanan impor, tentunya"

kamu berkhayal, kita ini sepasang kekasih
seperti yang akan berangkat kerja

aku bilang, jangan banyak-banyak mencintai
dengan cara-cara demikian;
cahaya-cahaya di gedung-gedung mal bisa saja
membuat cinta kita demam, sebab hidup
semata hanya kerja


2013

J825


sebelum pukul 5 sore kolam renang sudah penuh
matahari menghisap kami ke dalam udara yang diciptakan ac
di dalam kamar, jam berdetak berputar seperti pandangan
kami mengitari apartemen. udara membikin dada kami
ingin dipenuhi air, kepala yang lebih baik menjadi kolam renang
daripada jadi penumpang bus metromini

sebelum pukul 5 sore, ada seseorang yang ingin dibangunkan
jemuran belum juga kering, tapi waktu terus memompa kami

bukankah kita bisa berhenti di hari senin?
katamu

tidak, kita bukan kolam renang
bukan pula bus metromini;
kita ini sebuah kamar yang dihimpit
cemas yang mengapung di hari-hari
di rindu-rindu selanjutnya


2013

6.25.2013

MENGGENGGAM JIWAMU


tuanku, demikiankah yang benar-benar kumiliki
seorang wanita dan aku yang mesti tabah mencintai jarak;
atau tidak ada yang bisa kumiliki selain dirimu,
dan malam-malam ketika engkau benar-benar
menjadi satu-satunya yang harus dirindukan
pertama kali dan seterusnya

dengan jarak dan waktu, ketabahan adalah jantung
dari segala percintaan, maka ajarilah dada ini;
bagaimana detak menemukan detik semestinya

laki-laki yang kian hibuk dengan perasaan
kini mulai biasa meluaskan kegelisahan
kepada siapa pun. barangkali wanita itu
sering ditimpa oleh perasaan-perasaan
yang dijatuhkan. lalu waktu
adalah ia yang memutuskan
laki-laki mana yang akan benar-benar
menutupi apa yang ada di dalam dada
wanita itu

o, kecemasan, terbuat dari apakah engkau
bahkan aku tak mampu menggenggam jiwamu

berbahagialah aku
berbahagialah jiwa-jiwa


2013


6.21.2013

KYRIE ELEISON

--tuhan naik diiringi harga bbm

malam ini jalanan ramai sekali. dihadapanku kepala orang-orang
berkelabu, doa-doa yang terapung. kecemasan yang memanjang;
seorang tukang becak
sedang mengamati perjamuan di depan spbu tempat ia berjaga

malam ini, ia mulai berdoa:
gusti kasihanilah kami
kami yang dimiskinkan oleh dunia
kami yang terpaksa merayakan
keringat dan airmata kami sendiri;
kami yang kini mencium masa depan kami
dengan getir bibir

gusti kasihanilah kami
tentang bagaimana kami mengartikan dosa
yang tak lebih dari siksa dunia.
dunia yang mengajari kami sedemikian rupa
cara yang benar makan buah terlarang
tanpa merasa telanjang

gusti kasihanilah kami
doa-doa kami yang mengantre
mengajak kecemasan menari
seperti para penonton konser dangdut

gusti kasihanilah kami
sebab perjalanan ini
adalah kehendakmu
di dunia seperti di surga


2013

6.18.2013

SEPUTAR LAUNCHING DAN DISKUSI BUKU SAYA



Berikut dokumentasi yang dipublikasikan oleh salah satu koran lokal Jawa Tengah:

Bedah Puisi Ganjar Dipadati Puluhan Penikmat Sastra


BERSAMA LANGIT, KITA ADALAH AWAN-AWAN GELISAH



bersama langit, kita adalah awan-awan gelisah
biru yang tampak ingin bercanda di pagi itu:
“matahari sudah teramat tua
tapi tak lelah memendarkan sinarnya
dan berangkat dari timur. matahari
sudah teramat tua...”

aku tak ingin bercanda, katamu
sebuah peta yang telah kita percayai
sebagai jalan keluar bagi pokok keasingan
hampir saja kita genggam

setinggi-tingginya langit, kita tetaplah awan-awan gelisah
sebab di sini, kita mesti masyuk
mengizinkan nabi-nabi baru datang
ke dalam pikiran yang kosong
lalu mengisi peta dengan nama-nama mereka
dengan sesal dan bebal

bersama langit, ditinggikanlah awan-awan gelisah
dijatuhkanlah peta-peta dan bahasa yang buta

matahari sudah teramat tua
matahari sudah teramat
tua



2013

6.14.2013

UPACARA UNTUK TUBUH



maka kalian tak berhenti untuk mengusap
: kenangan itu... kita yang dihimpit olehnya
berkali-kali datang, lalu terciptalah
dinding-dinding bercat tua
lalu aku yang dingin, ruang dengan sebuah pemandangan
"aku yang sesak tak ingin merasakan lagi banyak kehilangan"

kematian di sekeliling kita
kematian di sekeliling kita

aku upacarakan tubuh itu, pikiran yang kosong
beserta jiwa yang tak bisa kugenggam
ingatan-ingatan kalian sebagai altarnya
doa ini panjang sekali rasanya:
"berangkatlah melampaui segala yang sesak"


2013

5.29.2013

ESAI DARI KANG PUTU



Mengonfrontasikan 
“Sajak Sebatang Lisong” dan Puisi Ganjar 

Catatan Gunawan Budi Susanto 


Izinkan saya memuat secara utuh sajak Rendra, “Sajak Sebatang Lisong”, yang ditulis 19 Agustus 1977. Lantaran, inilah sajak yang disebut Ganjar Sudibyo sebagai sesuatu “yang benar” – dan bahwa “berkesenian tidaklah pantas bilamana terlepas dari kehidupan” (Pada Suatu Mata, Kita Menulis Cahaya, halaman 76 – selanjutnya hanya merujuk halaman), terutama pada bait terakhir:Inilah sajakku./Pamplet masa darurat./Apakah artinya kesenian,/bila terpisah dari derita lingkungan./Apakah artinya berpikir,/Bila terpisah dari masalah kehidupan.

Sajak Sebatang Lisong

Menghisap sebatang lisong,
melihat Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat,
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang,
berak di atas kepala mereka.

Matahari terbit.
Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan.

Aku bertanya,
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet,
dan papan tulis-papan tulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan.

Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang,
tanpa pilihan,
tanpa pohonan,
tanpa dangau persinggahan,
tanpa ada bayangan ujungnya.
……………………………..

Menghisap udara
yang disemprot deodorant,
aku melihat sarjana-sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya:
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiun

Dan di langit:
para teknokrat berkata:

bahwa bangsa kita adalah malas,
bahwa bangsa mesti dibangun,
mesti di-up-grade,
disesuaikan dengan teknologi yang diimport.

Gunung-gunung menjulang.
Langit pesta warna di dalam senjakala.
Dan aku melihat
protes-protes yang terpendam,
terhimpit di bawah tilam.

Aku bertanya,
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidak-adilan terjadi di sampingnya,
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenian.

Bunga-bunga bangsa tahun depan
berkunang-kunang pandang matanya,
di bawah iklan berlampu neon.
Berjuta-juta harapan ibu dan bapa
menjadi gebalau suara yang kacau,
menjadi karang di bawah samodra.
…………………………………………….
Kita mesti berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan,
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan yang nyata.

Inilah sajakku.
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
Bila terpisah dari masalah kehidupan.

***

Nah, bukan kebetulan, saya pun menyukai sajak Rendra ini. Ada suatu masa lantaran begitu suka, sajak ini saya jadikan “roh” dalam pamflet politik yang saya tulis dan saya jadikan bahan provokasi di kalangan kawan-kawan mahasiswa paruh kedua 1980-an. Saya pun meniru-niru bikin sajak pamflet ala Rendra. Namun, tentu saja, saya gagal.
Ya, mana ada epigon berhasil? Kalaupun berhasil, ya berhasil sebagai peniru. Tak kurang, tak lebih. Saya sadari, saya tak secerdas Rendra dalam “menganyam” kata -- dengan segala aspek dan potensi bahasa. Maka, kemudian, saya menyebut sajak-sajak saya sebagai sajak polaroid. Dan ibarat kamera polaroid, sekali jepret jadi gambar – yang dari segi apa pun kalah ciamik dari kamera lain, baik analog maupun digital – maka sajak saya pun: sekali jepret (keadaan), jadilah sajak. Sampai sekarang.
Contohnya, ya, macam sajak di bawah ini, yang saya tulis beberapa hari lalu yang saya unggah sebagai status di facebook (19 Mei 2013: 18.22).

ucapan syukur politikus 

aku mencintai negeri ini. aku mencintai bangsa ini. negeri ini negeri yang indah. bangsa ini bangsa yang ramah. negeri ini negeri berlimpah. bangsa ini bangsa pemurah.

kauberikan apa saja yang kumau kausorongkan apa saja yang kupinta kudapatkan apa saja yang kudamba kuperoleh apa saja yang kutoleh

sungguh, aku suka negeri ini sungguh, aku suka bangsa ini segala apa kauberikan segala apa kudapatkan

i love full, indonesia! padamu aku bersumpah padamu aku berjanji : bakal korupsi sampai mati.Banal bukan? Wajar. Dan, kebanalan itu pun nyaris terjadi secara wajar pula, berkelindan dengan profesi yang saya lakoni: jurnalis. Ya, sebagai jurnalis saya dituntut tahu hampir semua perkara – meski sejumput demi sejumput, tanpa kedalaman. Pengetahuan sekilas-lintas itu, ketika saya organisasikan, lalu menjadi bekal pengayaan analisis terhadap sesuatu persoalan, tak terhindarkan tetap pula: menghasilkan (simpulan yang menjadi) banal. Dangkal. Sekilas-lintas.
Implikasi lanjutan: saya cenderung menghindari membaca karya (terutama sastra, terlebih lagi puisi) yang kompleks, canggih, sophisticated. Puisi paling “canggih” yang masih mungkin saya nikmati, ya antara lain seperti sajak karya Sapardi Djoko Damono ini.

Aku Ingin Mencintaimu dengan Sederhana

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.

Nah, biasanya buku (bacaan) yang memuat pemikiran yang kompleks, canggih,sophisticated macam itu, apalagi yang disertai kecanggihan akrobatik berbahasa, segera saya taruh dan simpan. Kecuali, jika ada pekerjaan atau komitmen yang mengharuskan saya membuka dan membacanya, misalnya, sebagai bahan kajian. 
Terpaksa? Ya! Termasuk, terus terang, ketika saya harus membaca 46 sajak Ganjar Sudibyo dalam antologi Pada Suatu Mata, Kita Menulis Cahaya (Semarang: PM-Publisher, Februari 2013) ini. Bagi saya, sajak-sajak Ganjar ini terlalu kompleks, terlalu canggih, terlalu sophistaced. Saya kesulitan memahami apa, siapa, kapan, di mana, kenapa, bagaimana di sebalik “selimut-kabut kata-kata” dalam sajak-sajaknya. Saya merasa cuma bisa menebak-nebak satu-dua sajak: apa sesungguhnya yang dia sorongkan. Itu, misalnya, dalam sajak “Gambar-gambar yang Menyala” (halaman 15-16), “Hana” (17), “Marba” (37). Selebihnya, menjadi penghuni wilayah yang tak saya pahami – namun bisa saya nikmati. Bukankah pemahaman dan penikmatan bisa saja tak nyambung? Itu pula yang saya rasakan ketika, misalnya, menikmati musik klasik atau jazz dan lukisan dan tarian yang – orang bilang – neka-neka: abstrakisme, pointilisme, dadaisme, kubisme, absurdisme, surealisme, posmodernisme, katrokisme, boyakisme.
Begitulah, ternyata kecenderungan “intelektual”, selera artistik-estetik, dan rutinitas (disiplin) kerja profesional telah menggerus (kalaupun dianggap atau menganggap diri punya) kemampuan saya membaca dan menafsir puisi.

***

Nah, kini, izinkan saya berbagi pengalaman setelah membaca dan menikmati sajak-sajak Ganjar.
Tampak benar bagi saya, Ganjar amat piawai berbahasa. Kata-kata tumpah ruah, mengalir, melesat, berloncatan, berjumpalitan, berzigzag kian-kemari. Kalimat-kalimat melejing, plas! Ke mana suka, ke dada siapa. Dan, dengarlah puisi-puisi itu bermusik – sesungguh benar bermusik. Ya, setiap rentetan kata, kalimat, bait memperdengarkan musik(alitas) yang mendenyar. Elok!
Ambil saja sembarang puisi. Satu saja. Nah, ini misalnya (36). Dan dengarlah….

Maleakhi

(“inilah tubuh
yang dimestikan
bagi kalian”)

saudara-saudari, ia mencintai kalian dari kejauhan
dari seluruh gelap dan dingin yang mengemasnya
pelan-pelan sampai pagi. di sana, ia menunjuk kita
pada pandangan bulan yang tak enyah dari para wanita
: jarak bagi para lelaki.

di sana, tak ada perkara tentang siapa datang terlebih dulu di
antara terang. itu, kita yang bersabar. itu, saudara-saudari,
ruang dengan kursi semenjana: tempat kita meletakkan bahu,
seketika ia, membacakan mantera lewat bahasa yang pertama
kali muncul seperti sepasang pengantin yang baru saja
bercinta untuk memperoleh keselamatan.

saudara-saudari, ia benar-benar mengucapkan kalian: kepada
pengertian kepada kesaksian,
ayat-ayat dan sumpah yang maha

2012

Mengasyikkan bukan? Musik itu, sampean dengar pula bukan? Mendenyar! Begitulah sajak-sajak Ganjar. Mendenyar, menggelenyar!
Terlihat benar betapa dia tak sembarang mengambil sebuah kata lalu menjejerkan dengan kata-kata lain, membentuk kalimat, membangun pengertian: entah apa. Sadar tak sadar, sengaja tak sengaja – yang muncul atau tercipta lewat ketekunan dan kesaksamaan memilih dan memilah kata – kalimat-kalimat yang membuncah mencerminkan keluwescerdasan berbahasa. Bahasa (Indonesia) di tangan Ganjar menjadi sedemikian kaya, menjadi sedemikian indah, menjadi sedemikian seksi. Beda, jauh beda, dari pidato kampanye para calon gubernur dan wakil gubernur (serta tim sukses masing-masing) yang barusan sampean pilih atau tidak sampean pilih. Beda dari kuliah para  dosen di kelas yang acap (atau lebih banyak) membosankan. Beda dari sambutan siapa pun di mana pun kapan pun dalam acara apa pun. Beda dari khotbah yang lebih mendekatkan kita ke neraka ketimbang ke surga. Beda dari nasihat yang selalu menggurui. Beda dari jawaban apa pun yang keluar dari mesin penjawab apa pun….
Bahasa Ganjar sungguh jenial. Dan, plastis. Kata-kata Ganjar, bahasa Ganjar, adalah “penghujan yang bungsu dan nakal/adalah kemarau yang sulung dan seksi” (38). Dan saya yakin, bahasa dalam puisi-puisi Ganjar hanya akan muncul dari seseorang yang bertekun membaca (apa saja), sabar bermenung, saksama menyimak, dan teliti (saat) menulis.
Bukan dari orang macam saya, yang cenderung menyukai kamera polaroid. Nah, tepat di titik inilah, saya angkat tangan: saya tak tahu apa sebenarnya yang dimaui, apa yang dimaksudkan, apa yang niatkan Ganjar lewat puisi-puisinya. Bagi saya, puisi-puisi Ganjar adalah puisi yang sulit, yang kompleks, yang canggih. Saya megap-megap ketika memaksa diri menyelam dalam, terpusing-pusing dalam pusaran di bawah permukaan – yang tampak tenang, tampak biasa-biasa saja, tetapi sesungguhnya menyimpan kedalaman yang menghanyutkan dan bisa mematikan.
Saya merasakan keasyikan sekaligus kenikmatan (dengaran) ketika membacanya, tetapi menjadi kosong, menjadi bengong, ketika sampean tanya: apa yang barusan saya baca. Sampai di sini, apa yang mesti konfrontasikan (sebagaimana saya sebut dalam judul)? Namun, sungguh, sebelum berlanjut sebaiknya saya mendengar dulu pandangan sampean sekalian.
Salam!



Gebyog, 26 Mei 2013
--------------------------------------
Prasaran dalam peluncuran dan bedah buku antologi puisi Ganjar Sudibyo, Pada Suatu Mata, Kita Menulis Cahaya (Semarang: PM-Publisher, 2013) di pendapa TBRS, Semarang, Minggu, 26 Mei 2013.
Gunawan Budi Susanto, tinggal di Gebyog, Gunungpati, penulis kumpulan cerpenNyanyian Penggali Kubur (Yogyakarta: Gigih Pustaka Mandiri, 2011.)

5.17.2013

MENGAJAK PIKIRAN BEPERGIAN




“aku sedang belajar mengeja
kehendak-kehendak yang berlalu
lewat lubang-lubang dada sebelum
aku buatkan pintu satu per satu 
untuk mereka”

menjangkau mereka dan kamu, semakin waktu
semakin menyempit. langkah-langkahku
pun mampat. aku jadi linglung. kamu ini
bagaimana bisa muncul seperti sebuah
tas punggung berisi banyak buku; pundakku
ini rela-rela saja memanggul segala hal,
tapi aku bisa tersesat bilamana segala hal itu
bergerak ke atas: menggelapi pikiran, lalu
membangun kota-kota  dan memadamkan
lampu-lampu lalu lintas di tubuhku.

kamu selalu bertanya, sebenarnya
kapan kita pernah
menang atas diri ini dan itu?

tanyamu selalu saja muncul dan berpokok
pada bayangan-bayangan yang melintas
sebelum menggumpalkan ingatan;
pikiran, pikiran, di mana kita mesti letakkan
pintu-pintu...aku ingin mengajakmu pergi
membawa tas punggung tanpa isi,
menghapus kota-kota, menanam lampu-lampu
lalu lintas, menebarkan jalan-jalan satu arah,
membikin lubang-lubang jadi pemandangan
sebuah gunung yang ditimpa oleh cahaya perak

kita mesti jauh
kita mesti akrab


2013

5.14.2013

SUNYI SAYAP BURUNG-BURUNG



mereka bentangkan jarak antara langit dan tanah,
bunyian yang sembunyi-sembunyi di dalam paruh
adalah panggilan-panggilan yang serta merta
mendaratkan kemungkinan-kemungkinan
sebagai ruas-ruas kehanyutan dalam air
musim kemarau; awan-awan menjadi
terang sekali untuk dilalui, di luar,
kota-kota menasibkan pepohonan
sekehendaknya. maka mereka
tak henti-hentinya mencengkram
udara yang tampak asing
dari sekian perlintasan

demikianlah sayap mereka bergerak
merindukan angin turun selain sunyi
yang berjatuhan serupa bulu-bulu mereka


2013

5.10.2013

MEMUNGUT DAUN SAPARDI



ia berjalan pelan menuju sebuah taman;
taman yang penuh bunga-bunga dan daun-daun
jatuh. di kursi yang hanya ia, setiap senja
ingin saja ia simpan pada selaput embun
untuk esok pagi. senja adalah perihal pemandangan
yang ramai dikunjungi anak-anak. sebab orang-orang
cemas selalu merindukan ini

ia tak ingin terjebak pada imaji:
jalanan lengang di luar atau
ingatan kenang di kepala.
maka ia duduk saja mendengarkan
apa yang berlalu, berlewatan
di hadapannya. mata yang kosong itu
sebenarnya telah hibuk melepas
sepanjang pemandangan yang suaranya
seperti deru ombak malam hari

ia mencoba melepas tubuhnya
sebab terlalu pengap ia kenakan
hingga ia mencari-cari celah
tubuh inikah atau jiwa inikah
yang harus tanggal seperti daun-daun tua;
dalam kolam ia mencoba bercakap pada
bayangannya

siapa yang membungkus rona senja
menjadikan kita kerdil, asing di rumah sendiri
....dalam dada, kita mengenal tepukan-tepukan
suara-suara yang malu untuk diketahui siapa

“tuanku, sayangilah riuh ini
sayangilah daun-daun,
mereka sedang berdetak di atas tanah.
menunggu angin menariknya 
percaya saja,
kelak segala yang asing akan hanyut
dengan sendirinya”
begitu katamu

ia berjalan pelan meninggalkan taman
keluar dari rumahnya, memeluk anaknya
menyepikan tahun-tahun yang linang

(daun-daun diam begitu saja)

seorang penyair datang dari kejauhan
menyulap daun-daun jatuh beserta air kolam;
ia tetap saja memeluk anaknya
menyepikan tahun-tahun yang linang
mengecup kesunyian
yang tumbuh menjelma daun


2013