PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

6.05.2016

TIPS PENGAYAAN DIRI: SUDAHKAH KITA BEREFLEKSI HARI INI?





Judul: Heaven on Earth
Penulis: Mona Sugianto
Penerbit: Kanisius
Cetakan: I, 2015
Tebal: 224 halaman
ISBN : 978-979-21-4416-1

Istilah “refleksi” kini tentu sudah menjadi sesuatu yang familiar di masyarakat. Sejak berabad-abad yang lampau, Socrates pernah menyatakan bahwa hidup tanpa refleksi adalah hidup yang tidak layak dihidupi. Demikianlah refleksi menjadi sesuatu yang penting untuk perkembangan diri seseorang dalam mejalani kehidupan.

Hannah Arendt menggunakan istilah vita activa dan vita contemplativa untuk menganalisis kondisi kehidupan kemanusiaan modern (dalam bukunya “The Human Condition”). Vita contemplativa merupakan aktivitas mental yang meliputi berpikir, berkehendak, dan mempertimbangkan. Vita activa meliputi kerja, karya, dan tindakan. Arendt mengungkapkan bahwa puncak manusia bukan pada ranah pemikiran, melainkan pada kehidupan yang aktif. Berdasarkan pada hal tersebut, kedudukan vita activa berdampingan dengan vita contemplativa.

Tulisan-tulisan Mona Sugianto membawa pembaca pada titik-titik refleksi. Mona menyodorkan pelbagai pertanyaan yang cukup mengentak kepada mata pembaca dari bab ke bab. Lantaran pertanyaan-pertanyaan reflektif ini menuai ketegangan dalam membaca adalah proses meresapi teks terhadap dunia nyata pembaca. Ketegangan yang mengarah pada “upaya perbaikan diri” tentu muncul bilamana pembaca benar-benar mau masuk ke dalam ruang jawab atas pertanyaan-pertanyaan reflektif tersebut.

Mona memulai dengan suguhan pertanyaan demikian: “untuk apa kita hidup dengan semua kenyerian hidup sebagai manusia?” (hal.23), “kapan terakhir kali Anda pernah begitu terhimpit beban berat?” (hal.58), “apa rencana Anda untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan beban dan penderitaan-penderitaan?” (hal.62). Hingga kemudian, mengarah pada pokok-pokok berikut: “jadi, apa yang paling penting dalam hidup?” (hal.101), “apa tujuan orang ingin sukses, kaya, dan enak, kalau toh juga menghambat kita untuk ‘selamat’?” (hal.110), “mau dan mampukah kita menjadi pahlawan bagi diri kita sendiri?” (hal.127).

Tidak berhenti sampai di situ. Mona menekankan kepada pembaca untuk senantiasa menjunjung kedalaman dalam berefleksi. Sederet tanda tanya kepada pembaca berbunyi begini: “pernahkah Anda menjadi besar dan berkuasa, yang merasa bahwa Anda berjuang untuk bisa menang di atas saingan Anda?” (hal.81), “bagaimana rasanya diperlakukan tidak adil, dirampas hak-hak, dilecehkan, diperkosa?” (hal.95), “bagaimana kalau zombi jadi guru, trainer, atau pengajar?” (hal.97), “bagaimana cara menikmati kemanusiaan kita?” (hal.98), “bagaimana menjadi ‘terang’?” (hal.112), “anda pernah menyesal dan kemudian dimaafkan? Bagaimana rasanya?” (hal.159).

Ajakan-ajakan penulis terasa semakin persuasif kepada benak pembaca ketika menuju halaman-halaman akhir buku ini. Berikut sejumlah ruang tanya yang semakin menuju ke dalam diri:  “Apakah panggilan hidup Anda? Apa kekuatan yang menarik dan memanggil Anda? Apa yang membuat Anda tetap kuat berjalan meskipun kesakitan, yang membuat Anda mau dan bisa bangkit kembali setelah jatuh? Apa yang membuat Anda bisa bersukacita meskipun tidak dikalungi bunga dan dihadiahi emas?” (hal.181), “apa yang membuat Anda yakin untuk terus berjalan? Yakinkah Anda bahwa ada jalan di depan yang akan membawa Anda sampai ke tempat tujuan?” (hal.200),

Tidak sekadar menuntun pembaca pada pertanyaan-pertanyaan reflektif, penulis pun menawarkan tips-tips semacam pemecah masalah yang biasa hadir dalam hubungan interaksi sosial manusia dengan siapa dan apa pun. Selain ia kerap kali membubuhkan nukilan-nukilan kata mutiara dari tokoh-tokoh ternama: Lao Tzu, Gibran, Emerson, Gandhi, Martin Luther, Jr., Cicero, Frankl, dan sebagainya. Di satu sisi, penulis memberi semacam analisis ringan atas permasalahan-permasalahan aktual dari sudut pandang mitologi dipadukan dengan kelilmuan psikologi dari tokoh-tokoh seperti Freud, Jung, Maslow, Carol D. Ryff (hal. 40). Sebuah nilai plus karena penulis berlatarblekang pendidikan psikologi. 

Pendek kata, penulis buku mencoba merangkum seluruh tema permasalahan hidup, nurani, heroisme, perjalanan, sejarah, tragedi manusia, bias gender, kepemimpinan, serta cinta dengan sebuah pertanyaan profan. Pada bab akhir, alih-alih ia mengaitkan kehidupan yang diterima manusia dengan Sang Pemberi kehidupan itu sendiri: “apa yang akan saya lakukan bila 12 jam lagi saya akan menghadap Tuhan?” (hal.221). Berangkat dari buku dengan kemasan apik ini, masihkah kita bertanya tentang pentingnya refleksi?



Resensi oleh Ganjar Sudibyo
Yogyakarta, 2016

5.30.2016

MEMASTIKANMU DI GIGIR MENDUNG




: melepas e.

pandangan yang terikat dalam-dalam
oleh berkali tengokan—menujukulah.
seolah ada yang redup-nyala di semestaku,
suara anak-anak berkejaran, berebut mainan
juga kekupu warna-warni, hujan-hujanan
di tengah taman bunga.

mereka berulang-ulang muncul dari
bulat mata seorang gadis yang menyatakan
lewat angin gedung kota bahwasanya
nubuat barangkali telah berunding
dengan nasib.

nubuat sebenar-benarnya nubuat, semacam
sihir yang membikin semesta mengirim
pesan dari pecahan masa lalu yang gaib
yang kencang lajunya seperti kendaraan
roda satu;

demikianlah kepadanya, yang tercurah
dari pikiran-pikiran lumrah terhadap
perkenalan pendek. larik kecil pernyataan
ganjil terhimpun di bawah langit kelabu:
aku lupakan cinta aku lupakan cinta—semesta aku
warna bahasa yang tak pernah selesai
dan pintang untuk senantiasa dikenali.

hablurlah, abu cintaku   



2016

5.07.2016

NUBUAT BUNGA-BUNGA FRIDA



di hadapan cermin 21 abad
ia busungkan dada beserta seluruh kisah:
warga negara mengusung peta-peta kota
lahan-lahan sengketa dan ruh para urban
yang diadu domba, maka dengan batu-batu
penyekat liang lahat, ia menutup penuh
perkara politik kepalanya
rapat-rapat

kepada hadapan cermin 21 abad
ia hadirkan seratus kali puasa
pengganti tahun-tahun sial,
suatu silih yang pernah ia dirikan
untuk meruntuhkan tembok-tembok
tempat putus asa lebur dengan
segala gaduh nyeri;
yang diasuh pulang-pulang
yang diasuh pergi-pergi
yang diasuh pisuh-pisuh
duh, nyalang kirmizi!

dalam hadapan cermin 21 abad
sebuah taman yang bayangannya tumbuh
terpantul musim semi warna-warni
sebelum kecamuk panjang mekar
lucut-angslup satu-satu, terpelanting
dalam ngiang-ingatannya

begini ia mengetuk-ngetuk cermin itu:
ranjangku, ranjangku

apakah masehi harus disapih 
seisi perih?




2016


*Lukisan oleh: Frida Kahlo 1938 Xochitl (Flower)
Sumber: https://id.pinterest.com/pin/218846863112869161/

5.02.2016

MERAPAL MANTAN


alegori atau alusi
atau metonimia atau
sinestesia atau litotes
atau personifikasi atau
eufimisme atau oksimoron
atau totem pro parte atau
pars pro toto atau sarkasme
atau sinisme atau
pleonasme atau pararima
atau satire atau
hiperbola atau ironi
atau paradoks atau
ironi atau hiperbola
atau satire atau
pleonasme atau pararima
atau sinisme atau
pars pro toto atau sarkasme
atau totem pro parte atau
eufimisme atau oksimoron
atau personifikasi atau
sinestesia atau litotes
atau metonimia atau
alegori atau alusi

atau

aku yang melupakanmu
jauh-jauh cintaku,
mengulur panjang spektrum
gelap-terang
repetisi melankoli

hilang-mendapat



2016


5.01.2016

SEMESTA KATA


memikir-menimbang-memutuskan
selampau setengah abad lebih
chairil nyolong buku-buku
perpustakaan dan bahasa
mengemasi hamzah dan jassin
menengadahi langit batavia
menyemat auden dan conrad
menyalin gurun dan tanah eropa
membawanya pada Kata

memikir-menimbang-memutuskan
membaca manuskrip-manuskrip
sayembara karya sastra:
juri kencing berdiri
peserta kencing berlari
buku buruk dari resensi yang buruk
di barisan redaksi yang marut

memikir-menimbang-memutuskan
mengoyak-koyak dada album bahasa
halaman-halaman pekat cokelat
daftar isi para penyair:
Kata-kata sederas sungai
segigil sunyi segigil
udara seperih udara jatuh
kenangan sehabis hujan;
kamus di kepala-Mu kini
mencipta Kata
seperti bocah pembawa
bunga-bunga plastik
dan pistol air


2016

4.23.2016

APRESIASI KARYA (KANAL EDISI KE-3)



Apresiasi yang saya lakukan ini merujuk pada empat puisi terpilih versi Majalah KANAL edisi ketiga. Berikut empat puisi terpilih dan ulasan singkat saya terhadap empat puisi tersebut.



KAPUAS

rindu yang menuntun sampan berani melewati jeram
tak hanya kerlip kunang-kunang, cinta juga cahanya menerangi kelam
seperti sisa api yang masih menyala di pinggir sungai Kapuas
asap putih menari mendengar bunyi seruling yang di tiup anak-anak rimba
di malam sepi tanpa sajak perpisahan

awan nampak bergegas
bulan pias.
di kulit langit jingga terkelupas
lewat nafas malam terlepas

ya, memang tak ada sajak yang aku siapkan untuk Kapuas
dan sinar mata pun tak memberi janji apalagi harapan
kita berpisah tanpa sedih dan kecewa
sampai berjumpa di muara segala cahaya

2015



KAMPUNG LAUT

--mestinya kau ikut ke kampung laut, nda
selain berperahu menyisir lika-liku pulau-pulau kecil
selama sekitar dua jam
membelah-belah selat
di kanan kiri hutan bakau dan ada pemandangan sepanjang pantai;
camar melayang-layang terbang, bangau berbaris mengintai ikan
juga berang-berang berenang memburu ikan
dan biawak yang merayap-rayap hendak menerkam bangau dan camar
aku seperti berada di dunia hayal
dan di batu gajah yang alangkah indah
aku bertemu mang ucu yang sudah belasan tahun hidup di pulau kecil itu
setumpak tanah di kampung laut
mang ucu sangat lihai berburu kepiting dan menangkap ikan
sambil menyelam di geronggang karang
dan gelang akar bahar melingkar di tangang mang ucu
mang ucu mengajakku menyelam di geronggang karang
o, aku akan menangkap kepiting dan lobster merah untukmu, nda!

Cilacap, 12 Nopember 2015


 

ANAK

Beri ibu dada pagi yang berangsur terang
beri ibu senyum telaga tanpa gulma atau ganggang
menjadilah pohon, menjadilah jalan, menjadilah gunung
atau liuk sungai di hamparan terang dan hujan pikiran

Tengah kami pungut dan lemparkan bekicot ke selokan
kami jentik rangkak ulat dan kami usir penyamaran
para belalang, bunglon, tempayak, di dahan-dahan angan
agar lebih hijau warnamu, mengatasi gerumbul kekhawatiran

Agar saat ini dan seterusnya bisa kami patrikan :
“Bukan tubuh, pancaroba air muka, dan angka-angka usiamu
yang tengah sempoyong terhisap malam.”

Selalu, masih kami petik dan mainkan dawai-dawai hati
serta bertakzim pada upacara-upacara persemaian mimpi
oleh karena engkau adalah darah dan daging pengharapan
yang diciptakan Tuhan saat cinta tersenyum

2015


Mendaki Kesedihan

bagai hujan tak berhenti jatuh ke dunia
mataku meneteskan kesedihan hingga engkau berpaling
menemukan lobang gelap nan dalam di hati aku
tak dapat dicegah lagi oleh masa lalu kesekian percintaan

oleh panggilan bisu namaku yang tenggelam di hatimu
kesedihan hanya butuh dimengerti sebagai mataair
membelah dirinya ribuan kali hingga engkau ada di sana:
mengucap perpisahan, menertawakan ingatan
ingatan yang berbicara tentang hujan di hitam dadaku

lihatlah seseorang mati berkali-kali diceburkan kata-katanya!
tanpa kehendak, seakan takdir membawa aku ke dasar
menyelami sungai-sungai pucat di mana opelia mengapung
dan membekap tubuh aku; kesedihan abadi ribuan tahun

seperti sendiri memanggul dosa berulang kali
seperti sisifus yang tak diampuni


2014






PERTANGGUNGJAWABAN MENULIS

Ada tema-tema besar yang cukup menarik dan sedang digarap dalam keempat puisi terpilih di Buletin Kanal edisi ketiga kali ini. Puisi Wans Sabang berjudul “Kapuas” dan Eddy Pranata berjudul “Kampung Laut” sekilas ingin berbicara soal tempat. Keduanya, pada baris-baris awal dalam puisi mereka, semacam memberikan aba-aba kepada pembaca bahwasanya nama tempat yang mereka tulis adalah materi utama deskripsi menulis. Eddy menulis begini: “–mestinya kau ikut ke kampung laut, nda”, sementara Wans memilih begini: “seperti sisa api yang masih menyala di pinggir Sungai Kapuas”. Kedua larik itu tidak bisa secara gamblang dikomparasikan sebab peletakkannya berbeda. Eddy meletakkan larik tersebut di awal puisi, sedangkan Wans meletakkan di baris ketiga. Kesamaan dari kedua penulis tersebut tampak berupaya memperkenalkan deskripsi tempat di bagian awal. Hal ini bukanlah suatu kesalahan. Bisa jadi ini merupakan suatu cara deduktif dalam kerja menulis mereka. Struktur tidak bisa dilepaskan dalam suatu konstruk, apapun itu. Dalam menulis puisi, struktur bisa jadi sangat penting (bahkan sangat genting di hari ini). Beragam teknik bisa dipelajari untuk bisa memperoleh struktur yang pas dalam mengolah tema. Oleh karena itu, sangat perlu bagi seorang penulis mula-mula adalah belajar bagaimana menggunakan teknik dalam berdiksi-imaji-rima-majas-tipografi hingga mengerti benar apa yang disebut puisi.

Rentetan pertanyaan kemudian yang muncul untuk kedua puisi tersebut yaitu ada apa dengan Kampung Laut dan ada apa dengan Kapuas? Sejarah apa yang terjadi di dalamnya? Narasi kepentingan apa yang membedakan kedua tempat itu? Lalu, apa pentingnya nama kedua tempat yang diletakkan itu? Pada “Kampung Laut”, sekilas Eddy tampak hendak menunjukkan sesuatu pada yang ia panggil “nda”. Ada ironi yang hendak ditampilkan di sana, tapi agaknya ironi itu masih samar karena tertutup oleh deskripsi sang aku atas alam. Ironi hanya terasakan di baris awal dan akhir. Pada “Kapuas”, Wans tidak terlalu ingin menampilkan bagaimana lanskap kapuas selain bunyi seruling dan anak-anak rimba. Selebihnya Wans bermain-main dengan rima--pada bait kedua misalnya--. Wans seolah berhasrat sekali mengadu tentang perpisahan dan harapan kepada pembaca, namun ia tidak sedang hendak mencipratkan kesedihan: “kita berpisah tanpa sedih dan kecewa”. Dari dua puisi tersebut, mungkin saja membuat pembaca yang cerdas jadi pupus melihat bagaimana narasi Kampung Laut dan Kapuas dianak-tirikan.

Merencanakan kata dengan disiplin dan tidak terburu-buru agaknya bisa dirasakan di puisi berjudul “Anak”. Usaha Arwinto Sunu Aji mematangkan emosi teks bisa dikatakan terjaga (membaca bagaimana Sunu memperlakukan judul dengan isi), hanya saja kejanggalan dimulai ketika dihadirkan subjek ‘kami’. Kata ‘kami’ yang dihadirkan memungkinkan subjek di paragraf pertama: ‘ibu’ menjadi goyah. Lalu siapa ‘kami’? para ibu? Sunu berpotensi membuat pernyataan di awal alinea ketiga ini kontradiktif dengan tabrakan subjek tersebut. Adapun Sunu masih tergoda menggunakan frasa instan yang sebentar puitik: dawai-dawai hati, pancaroba air muka. Sunu barangkali perlu mengayak lagi keputusan menyusun frasa-frasa tersebut.

Dalam menorehkan makna terhadap sebuah puisi, pembaca lebih berwenang dan lebih berkuasa daripada penulis (Teeuw, 1991). Bagus Dwi Hananto menulis “Mendaki Kesedihan” dengan konstelasi si aku yang kental di dalamnya. Namun, pengalaman si aku seolah digiring ke dalam bentuk lain yang merujuk pada ‘hitam dadaku’. Dwi juga mencoba memasukkan analogi kisah kuno untuk mengiringi konsep ke-aku-annya. Pengalaman si aku di teks Dwi patut diperhatikan lantaran kemudian tidak dipungkiri akan godaan tenggelam dalam kegelapan teks. Zoetmulder (1983) mengungkapkan bahwa dalam pandangan penyair (kawi), dewa itu bukan hanya asal mula dan tujuan akhir segala keindahan. Mereka menyerahan dirinya kepada semacam “ilham puitis” yang memabukkan. Maka mencipta atau menikmati karya sastra bagi mereka sama dengan keluar dari diri sendiri, kemudian hanyut mengalami keindahan itu. Untung saja Dwi cekat menaruh mitologi yunani di akhir teks itu.

Syahdan, ada ceplosan perkataan demikian: aktivitas menulis (puisi) tidak untuk buang ingus. Nah, maka bisa kemudian ditimbang-timbang kembali ke bilik perenungan, ada apa dengan menulis (puisi) hari ini. Tentu terlepas perkara keceplosan.
Selamat kepada yang terpilih!

Semarang, 2016