PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

1.24.2011

CORETAN KECIL PSIKOLOGI 7

CORETAN KECIL PSIKOLOGI 7: MENELAAH SISI AKTUALISASI DIRI DI BALIK EKSPLORASI KATA DAN MAKNA DALAM BUKU PUISI “Selamat Datang Hujan” KARYA PENYAIR ULLYL CH DENGAN APLIKASI TEORINEEDS MASLOW


Oleh: Ganz (A. Ganjar Sudibyo)*



Sepintas ketika saya membaca puisi-puisi yang ada di halaman-halaman buku berjudul “Selamat Datang Hujan”, saya berpikir bahwa Ullyl Ch termasuk orang yang berani menerbitkan buku kumpulan puisi. Saya membaca banyak puisi yang secara tekstual belum begitu “dingin” untuk menjadi “gigil” di balik hujan. Entahlah, apa karena saya terlalu banyak membaca karya-karya penyair yang sudah memiliki jam terbang tinggi dalam dunia puisi, sehingga terkadang saya berpikir bahwa saya tidak perlu berpanjang lebar untuk membaca apalagi mengulas puisi-puisi dalam buku ini. Namun di sisi lain, saya merasa bahwa penyair yang masih saya anggap sederhana dan muda dalam berkarya seperti Ullyl Ch ini, perlu mendapat apresiasi yang lebih. Perilaku apresiatif lebih inilah yang dapat menjadi stimulus di benak si penyair untuk menilik puisinya lebih dalam dan konstruktif pada proses kreatif selanjutnya. Lalu, apresiasi seperti apakah? Ya, salah satunya adalah dengan mengangkat proses kreatif si penyair untuk dibawakan pada bentuk-bentuk ulasan seperti ini. Tentunya dalam ruang ini: ruang apresiasi, saya akan mengupas dari sisi psikologi sastra yang kali ini bertema psikologi kreativitas dalam menciptakan karya sastra berupa puisi. Pun, saya berharap bahwa saya dan pembaca di ruang ini mendapat sesuatu yang berharga untuk diambil sebagai bagian dari proses pembelajaran manusia yang sejatinya tak pernah berhenti belajar.


Tentang Psikologi Kreativitas Eksplorasi Kata-Makna dan Adrenalin si Penyair

Suwardi Endraswara dalam bukunya “Metodologi Penelitian Psikologi Sastra” mengeksplorasi penggolongan keadaan jiwa yang termanifestasikan dalam proses kreatif (proses daya cipta)dalam tiga konsep. Pertama, jiwa sedang trenyuh (iba), yaitu keadaan psikis sastrawan merasa kasihan terhadap sebuah fenomena. Letupan jiwa yang iba dapat terlihat pada salah satu bait puisi berikut:

pada hidup tak ada lagi harapan

bersandar di pengungsian

seraya menengadahkan tangan

tuan…beri kami bantuan


(Selamat Datang Hujan, hal.45)


Kedua, jiwa sastrawan sedang geram, artinya dalam keadaan marah atau tidak menentu. Suasana seperti ini memungkinkan luapan emosi marah, atau pun kekecewaan ke dalam puisi. Fenomena tersebut terjadi pada bait puisi ini yang mengekspresikan kekecewaan akan situasi negeri:

di negeri ini

tak ada lagi Bhineka Tunggal Ika

karena Tunggal Ika terpecah belah oleh budaya

di negeri ini

tak ada lagi Indonesia

karena Indonesia dimonopoli penguasa

negaraku…nerakaku….bunuhlah aku

(Di negeri ini, hal.10)


Ketiga, jiwa merasa kagum, yang mengandung arti adanya rasa heran, penuh tanda tanya, dan rasa keagungan. Selain itu, kekaguman juga dapat diimplementasikan dalam mengangkat harapan. Seperti yang hadir pada bait berikut, pengharapan ada di peletakkan kata “cinta”:

bila cinta itu sejuk

sejukkanlah dalam

hati yang gundah

hingga menjadi indah

seperti pelangi cintamu


(Yang sejati, hal.34)


Jika mengamati tentang jiwa yang diklasifikasikan dalam tiga golongan, maka di balik itu ada daya dorong yang memiliki peranan kuat. Di mana daya dorong ini menjadikan sebuah stimulus bagi si penyair untuk berekspresi. Daya dorong ini sering disebut inspirasi. Inspirasi sangat dibutuhkan dalam penciptaan karya. Groce dalam teorinya menegaskan bahwa intuisi estetis itu hadir dalam inspirasi yang diterima baik oleh pengarang maupun kritikus. Dengan demikian, faktor inspirasi perlu diasah oleh intuisi masing-masing penyair dalam mencipta karya. Permasalahannya adalah setiap penyair mempunyai perkembangan kognitif sendiri-sendiri, sehingga untuk disebut karya itu baik atau kurang dalam konteks psikologi sastra itu sangat relatif. Maka dalam membangun proses kreatif yang ingin berlangsung konstruktif bagi penyair, si penyair harus menciptakan adrenalin[1] dalam tubuhnya sendiri. Adrenalin ini berfungsi sebagai daya ledak yang besar bagi perkembangan teks dan ketajaman mengintuisi. Adrenalin ini dapat diciptakan atau terciptakan salah satunya melalui seringnya keikutsertaan penyair dalam perlombaan atau mempublikasikan di surat kabar. Pendek kata, adrenalin mesti dipelihara oleh setiap penyair yang ingin benar-benar penyair untuk mendorong adanya konsistensi dalam mengembangkan sisi kreativitas penciptaan karya melalui letupan-letupan jiwa di setiap kata dan makna yang dibangun si penyair.


Kebutuhan-kebutuhan yang Melekukkan Puisi-puisi “Selamat Datang Hujan”

Proses kreativitas yang dipandang mempunyai latar belakang psikologis di sini, dapat memberikan suatu analisis tentang gejala-gejala kejiwaan terhadap karya si penyair. Menurut Abraham Maslow (salah seorang tokoh psikologi aliran humanistik), kebutuhan tertinggi dalam piramida kebutuhan adalah aktualisasi diri. Aktualisasi diri ini merujuk pada dorongan-dorongan kebutuhan dasar manusia. Kebutuhan-kebutuhan dasar manusia dalam piramida kebutuhan Maslow dibagi menjadi lima, secara berurutan dari bawah yaitu kebutuhan fisiologis, kasih sayang, rasa aman, harga diri (empat kebutuhan ini disebut sebagai basic needs) dan aktualisasi diri (kebutuhan tertinggi ini disebut sebagai meta needs).

Kebutuhan fisiologis tampak pada pelesapan belahan bait puisi yang berjudul “Uang” berikut ini:

...

semua tergila-gila padaku

ya, mungkin karena aku cantik

dan mempesona

karena aku selalu ada di sakumu


(Uang, hal.42)

Kebutuhan fisiologis yang ditujukan di sini adalah kebutuhan akan uang yang memiliki harga mati dalam memenuhi kebutuhan dasar hidup menurut Maslow. Kalimat “karena aku selalu ada di sakumu” memiliki interpretasi tentang aku (direpresentasikan dengan kata “uang”) yang tak bisa dipisahkan dari kelekatan kebutuhan hidup (direpresentasikan dengan kata “saku”).

Selanjutnya, bait puisi di bawah ini mencerminkan sarat kebutuhan akan kasih sayang:

...

aku ingin menjadi cinta

ingin menjadi kasih

ingin menjadi segala-galanya

dalam hatimu


(Ingin, hal.50)

Kata-kata “aku ingin menjadi cinta”, “ingin menjadi kasih”, merupakan kata-kata yang dapat dimaksudkan sebagai penggambaran fenomena kebutuhan si penyair akan kasih sayang. Kasih sayang dari siapa dan berupa apa? Hanya si penyair dan pembaca yang dituju dapat memahaminya. Dengan sarat kebutuhan yang sama, namun kali ini si penyair berusaha untuk melesapkan atau menyembunyikan kebenaran perasaannya. Kata “ di hati”, menjadi juru kunci untuk menguak lesapan yang dimaksud. Pelesapan tersebut terdapat dalam puisi berikut:


bulan mati,

angin mati,

rasa mati,

bintang pun mati,


di hati


Kudus, 050309


(Sepi, hal.40)


Banyak puisi-puisi Ullyl yang mengandung sarat kebutuhan akan kasih sayang baik yang dilesapkan atau dibeberkan melalui kata-kata yang erat dengan realita pembaca. “Pada”, “Kuburan Puisi”,”Nyanyian Asa”, “Pintu”, hingga “Di balik senyummu” merupakan puisi-puisi dengan tingkat kebutuhan cinta yang lekat. Dan rata-rata puisi-puisi Ullyl merujuk pada kebutuhan tersebut.

Di lain kebutuhan, yakni kebutuhan akan rasa aman sekaligus harga diri (atau sebuah penerimaan dari lingkungan maupun diri si penyair) terlihat bergelantung di potongan bait puisi di bawah ini:

aku adalah tulang-belulang tak berdaya

aku adalah segenggam tanah liat yang diperkosa

aku adalah setitik embun bening

yang keluar dari lubang-lubang kenistaan

aku selalu dipenjara

dikurung

dicekik

....


(Aku, hal.26)

Kata-kata seperti “tak berdaya”, “tanah liat yang diperkosa”, memperkuat dugaan akan kebutuhan rasa penerimaan diri, pengesampingan harga diri. Di sisi lain kata “aku selalu dipenjara”, seolah mengungkapkan bahwa adanya kebutuhan untuk berada di tempat yang aman. Dengan kata lain dalam konteks ini,’tempat’ dapat disinonimkan dengan ‘rasa’.

...

perempuan selalu jadi gunjingan

perempuan lemah,

perempuan tak berdaya,

perempuan penuh dosa.

tapi ibu adalah perempuan


(Perempuan, hal.13)

Penggalan Puisi berjudul “Perempuan” di atas juga masih berkutat pada kebutuhan harga diri. Peletakkan kata “selalu jadi gunjingan”, “lemah”, “tak berdaya”, adalah isyarat bahwa puisi ini ingin membicarakan atau menegaskan kata “perempuan” yang dipandang sebagai ibu yang butuh untuk dihargai.

Dalam memahami aktualisasi diri di sini, saya tidak mengkotakkan bahwa kebutuhan beraktualisasi diri lepas dari kebutuhan-kebutuhan dasar sebelumnya. Kebutuhan aktualisasi diri itu selalu ada dalam diri penyair dalam rupa puisi. Puisi inilah yang kemudian memproyeksikan basic needs si penyair seperti yang telah saya uraikan di paragraf-paragraf sebelumnya.


Menyair: Proses Memahami Metapologi Diri

Menurut Maslow yang pernah meneliti penyair sekelas Walt Whitman, ia yakin bahwa jika para psikolog hanya mempelajari orang-orang yang lumpuh. Untuk mengembangkan suatu ilmu pengetahuan yang lebih lengkap dan luas tentang manusia maka para psikolog harus juga mempelajari orang-orang yang telah merealisasikan potensi-potensinya sampai sepenuh-penuhnya. Beranjak dari pernyataan Maslow tentang realisasi potensi sampai sepenuh-penuhnya, maka Ullyl dirasa perlu dan masih mempunyai banyak kesempatan dalam mengembangkan proses kreatifnya, memacu adrenalin menuju puisi-puisi yang secara teks dan kreativitas lebih dewasa seturut perkembangan diri serta pemahaman kebutuhan dirinya. Hal ini perlu dilakukan jika ingin lebih diterima di kalangan publik yang sekarang perlahan diinjeksi oleh kualitas puisi-puisi pendatang maupun sudah mapan (yang kini giat dibukukan). Dan yang lebih penting adalah bagaimana memahami sejauh mana kekurangan kebutuhan-kebutuhan dalam dirinya dapat terpenuhi. Dengan memahami bagaimana cara memenuhi yang tepat bagi kebutuhan dirinya dan tidak mengesampingkan daya pikat pembaca, maka saya yakin lamat-lamat akan terbentuk puisi yang tak sekedar puisi. Aktualisasi diri yang tak sekedar beraktualisasi. Eksplorasi kata dan makna yang tak sekedar bereksplorasi. Oleh karena itu, ketelatenan dalam “menyair” sekaligus bisa dijadikan proses memahami sejauh mana diri membangun aktualisasi yang lebih “sehat” dengan syarat adanya pemenuhan basic needs. Jika pembelajaran ini bisa dikonstruksikan dalam diri si penyair, maka keterikatan metapologi diri dapat terlepas dengan sendirinya.



Salam.

Semarang, 2011


*Esai ini dibuat untuk keperluan bedah buku puisi karya Ullyl Ch.

**Penulis seorang penyair muda dan mahasiswa Psikologi Undip Semarang.



Footnote:

[1] Dalam konteks ini, dapat ditafsirkan sebagai rasa antusiasme



1.19.2011

MELANKOLIA MELANKOLIA YANG KUSUSUN UNTUKMU, MI


[1]

di rinduku. kini, kau adalah hujan

dan aku detak jam yang redam

pada dadamu. tisu


[2]

kucari kau malam malam. kucari

di sebalik kertas buku harianku,

tapi kata kata telah begitu luruh

menyembunyikanmu. dan puisi

tak henti membunyikan rindu

pada setiap katanya.


[3]

aku payungmu, sayang. ucapku

suatu ketika di hadapan kaca,

matarinduku sendiri. aku paham,

percintaan ini hanya milik

sebagian mata kita saja

sebagian dari hujan.


[4]

barangkali, kaulah laut itu:

ombak. aku yang memecah

kedatanganmu berulang kali.

mengaramkan kepergian,

dengan arus di karang karang.


[5]

biar kuwarnai sketsa wajahmu dengan jingga,

hingga kau tampak begitu senja. tampak

begitu ingin mencintaiku. tanpa gambar.


[6]

bila kau tanyakan

tentang harga pertemuan,

maka takkan kau temukan

jawaban di mata uang

manapun.


[7]

wajahmu perca, perlahan

tersusun di jantungku.


[8]

kutiup harmonika dengan oktaf oktaf tinggi

sebagai bahasaku yang terlanjur kamus

di perjumpaan: kau sebagai penonton semata wayang,

dan panggung ini adalah hadiah bagimu seorang.


[9]

angin itu. angin itu adalah pemecah bisu

sewaktu kalender beramai-ramai

membuat sarang yang masai

: bibir, ibumu.


-- maka kunamakan angin itu

pulang


[10]

genapilah nas ini,

tulislah sayang tulislah ingatan

sampai habis ibubatumu


mi!



2011

1.15.2011

DI SUATU SABAT DI SUATU BAIT DI ISAK SEORANG LUMPUH


demi sabat. izinkan aku menirukan imanku, tuan. isak biji sesawi perlahan

menyemat api putih di ruas-ruas telapak kakiku. betapa ruh ini ingin mengajak

ranjang berlari mengejar babi-babi ke pelosok jurang sembari memanggil

nyanyian eksorsisme tarian yang kerap mendengung di telinga-telinga farisi

dan ahli taurat. demi sabat. maka aku akan segera menggedorkan langitkota

ke tengah orang-orang sewaktu tiba ceramah. isak ini, tuan. isak tanpa pahit

yang kau janjikan padaku untuk sebuah hari, yang kelak mengusung kalvari

bagi jalan-jalan dari semua desa di galilea, yudea, dan yerusalem. mengusung

kutukan tak terampunkan bernama takut. isak ini adalah kunci pintuku

atas kedatanganmu sebagai tabib, lebih dari rahib.


dengar,

dengarlah yang membaca ratapanku di setiap lukabait!

sebab, kalian telah berulang melihat isakku yang terbakar

oleh ibukelumpuhanku sendiri. mengangkat ranjangku yang dulu

mengembalikan surga biji sesawi di letak cinta yang tepat

jauh dari dosa yang likat dan ruh yang sesat.


demi sabat. aku berterimakasih pada segala isak

yang menyembuhkanku dan mendatangkanku pada bapa

di suatu masa.



2011


1.14.2011

PUISI YANG INGIN MENJADI BAB KATA PENGANTAR NOVEL MUSASHI


[i]

suatu pagi, mungkin akan mengingatkan deru sejarah pada seribu tujuh ratus akar

aliran pedang di buku gorin no sho. sebelum dentum perang, sebelum merayakan

pedang. kitab ini lamat lamat ingin mengantarkan petang yang datang supaya

menulis tentang zaman jepang. abad abad manusia dengan segenggam kembang

di padang sekigahara, hasrat yang tak pernah habis ditenggak sampai pulang

ke pangkuan lawan. di luar sana, api berkobar. lalu asap keluar dari segala mata.

tempat kutumpahkan pecahan kata fiksi yang terjatuh dari musim gugur pohon

sakura milik eiji yoshikawa. lalu kupilin jadi penawar yang pandai meramal sejauh

mana abad terus berkata bahwa dinasti sudah mati di tangan tokugawa. senja itu

penuh bau sakura: kepulan masa yang hilang tertusuk tusuk oleh salju. salju yang

muncul bergantian di sebalik kertas dan turun dari asapmata dari kabut paling pagi.


suatu pagi yang senja, aku tetap menulis diri dan pedang pedang yang mati,

nyanyian nyanyian mesiu dalam tinta menjelang bab berkisah tanah

para pengembara dengan kimono dan ikat rambut panjang.


[ii]

takezo,

aku takuan yang ditulis oleh penyair itu!


sesekali aku meneriakimu, seketika pohon liu bercabang di desa-desa para bandit.

dan kemudian tumbang pada sebilah pedang pada teriakkan yang kesekian kalinya,

teriakkan dari halaman romawi yang ingin menyatakan bahwa ada tuan penerjemah

berikthiar untuk membesarkan negaranya.

aku membacamu cermat cermat, menuliskanmu di tubuhku. o, takezo. aku ingin

merayakan upacara teh denganmu. menyarungkan perang dan saling dekap,

di bab sebelum mengantarkanmu dari petualang para samurai kepada bab paling

damai. mendentangkan bel sebelum sarung sarung pedang kembali kosong;

purnama yang luruh ke atas kriptomeria tua. aku puisi yang ingin terbang

menjelang giring giring kecil membukakan novel. menjadi kata pengantar

yang tak terjemah dan meninggal di kisah negeri samar.



2011


Keterangan:

Gorin no sho adalah buku tentang lima cincin yang berisi urain Musashi tentang permainan samurai.


1.09.2011

CORETAN KECIL PSIKOLOGI 6 (BAGIAN II--SELESAI)

CORETAN KECIL PSIKOLOGI 6 (BAGIAN II): GURINDAM HASAN ASPAHANI DALAM RANTAI STRUKTUR JIWA PENANDA-PETANDA (SEBUAH PERCOBAAN ANALISIS PSIKOLOGI SEMIOTIKA BERDASAR KONSEP SAUSSURE DAN STRAUSS)


Oleh: Ganz (A. Ganjar S.)*



Signified-Signifier

Manusia adalah homo semioticus, kata seorang ahli semiotik Art van Zoest. Yang mana menurut van Zoest jika kekeuasaan itu berdiam diri, tidak memberikan tanda, maka manusia sendiri akan memproklamasikan sesuatu, apa saja, sebagai tanda. Sebab, ini pun mampu dilakukan oleh manusia. Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari bahasa Yunani “semeion”, berarti tanda. Ferdinand de Saussure seorang linguis berkebangsaan Swiss, seorang yang direferensikan sebagai penemu semiotik berusaha mengembang-lengkapi tesis-tesis van Zoest. Saussure memurnikan ide pembagian tan da ke dalam suara dan imaji sebagai suatu menyatakan bahwa akan lebih jelas ketika merujuk konsep sebagai petanda (signified) dan suara atau imaji sebagai penanda (signifier). Puisi berisi unsur-unsur semiotik yang begitu kental. Setiap kata dan tanda baca mempunyai peran, baik sebagai sebuah petanda maupun penanda. Puisi menawarkan semacam proklamasi kekuasaan kepada pembaca bahwasanya teks tersebut diharapkan bisa membawa pembaca pada kemerdekaan interpretasi tanda dari masing-masing jiwa. Dalam bagian II ini, saya mencoba untuk mengulas kembali sajak berjudul Gurindam karya Hasan Aspahani berdasarkan kacamata psikologi semiotika[1]. (Pada bagian II hanya dibahas sajak “Gurindam Pasal yang Keempat” sebagai sampel dalam membahas tema esai ini)


Struktur Tanda: Arbitrer Jiwa “Gurindam Pasal yang Keempat”

“Jangan tanya makna sebuah puisi pada penyairnya, sia-sia. Siapa tahu penyair tadi gila, hingga makna terserah pembaca. “ Suatu ungkapan spontanitas dari seorang penulis buku Metodologi Penelitian Psikologi Sastra, Suwardi Endraswara ini cukup memberikan kisi-kisi kepada pembaca. Kisi-kisi tentang bagaimana mengungkapkan sebuah sajak yang dibaca. Hal ini juga tergantung tingkat refleksi tiap-tiap pembaca. Saussure dalam menguraikan tentang semiotika, menekankan bahwa kesemenaan tanda adalah prinsip utama. Hal inilah yang kemudian dikenal sebagai istilah “arbitrer”. Selanjutnya, arbitrer ini sendiri punya latar belakang psikologis yaitu untuk mengkatarsiskan jiwa melalui kata. Dengan kata lain, adanya penglepasan tanda-tanda makna untuk diikatkan pada mata pembaca yang muncul atas dorongan ekspresi kejiwaan si penulis puisi itu sendiri. Pun dengan puisi berikut :


Gurindam Pasal yang Keempat:

Mana Kata, Mana Makna


Kenapa kau takut hilang jejak di dalam sajak,

bukankah hakikat sajak adalah jauh melacak?


Kenapa kau takut sajakmu kehabisan kata-kata,

bukankah hakikat sajak adalah kata yang mencipta?


Kenapa sajak kau jejali kata, kau bebani makna?

sajak itu meleluasakan kata, meluaskan makna


Sajak mulai bicara, kau ucapkan jutaan kata,

kenapa tak sebait pun sajak ingin kau cipta?


(Sumber: 60 Puisi Indonesia Terbaik 2009)


Puisi di atas tergolong rangkaian unik sebagai bagian dari tubuh puisi yang dibentuk dalam memenuhi kebutuhan menciptakan makna lewat tanda. Di sini, tanda itu berstruktur dengan masing-masing tujuan. Yang kemudian terkait struktur mental si penulis itu sendiri. Dua bait berikut memiliki relevansi yang erat dengan bagaimana membaca strukur secara semotika dan psikologis:

Kenapa kau takut hilang jejak di dalam sajak,

bukankah hakikat sajak adalah jauh melacak?


Kenapa kau takut sajakmu kehabisan kata-kata,

bukankah hakikat sajak adalah kata yang mencipta?

Kata tanya “kenapa” menjadi dielu-elukan untuk memperkuat struktur setelahnya. Subjek (“kau”)yang kemudian tetap menyala untuk sengaja tidak dilesapkan. Ini adalah sebuah tanda lewat representasi penanda—“kata tanya”, petanda – “kenapa”. Pemunculan kata tersebut berjasa bagi penciptaan struktur yang sedemikian murni, dan bila dikaitkan dengan strukturalisme Claude Levi-Strauss (seorang psikolog struturalisme) maka ada sebuah keteraturan hubungan antara bahasa dan mitos yang lekat pada tanda-kata dalam puisi. Ada semacam muatan jiwa yang beradaptasi dengan pengkailan makna dari sisi penulis sendiri. Si penulis berusaha menguakkan makna mentah-mentah lewat pertanyaan tajam seperti “bukankah hakikat sajak adalah kata yang mencipta?” Bahwa pembaca akan membahasakan secara gamblang atau multiinterpretatif itu akan menjadi persoalan lain, yang terpenting di sini adalah “pemahaman jujur” timbul lewat ruang kecil--puisi sebagai proyeksi makna penulis untuk pembaca. Pemahaman ini selanjutnya akan terlepas dengan sendirinya seturut subjektivitas pembaca. Subjektivitas dalam kemerdekaan yang interpretatif tanpa keluar dari keberadaan struktur tanda-tanda kata dalam puisi tersebut. Dengan demikian, arbitrasi pembaca dapat terpenuhi sebagaimana bait puisi di atas berusaha menggemburkan pemikiran-pemikiran pembaca yang telah masuk dalam pengkailan makna dari penulis. Dan struktur tanda, seolah berkaitan dengan semacam gejala neurotik bagi si penulis sendiri terhadap ukuran mitos yang hidup dan berkarya dalam dunia jiwanya.


Katarsisme Mitos Strauss Mencekal Makna Puisi

Penglepasan emosi menjelang akhir sajak ini masih dan tetap bergelut tentang bagaimana gejala neurotik dan bakat si penulis mengangkat keberangkatan fakta. Fakta di tengah-tengah dasar tebaran mitos yang tersembunyikan oleh langkah arbitrasi. Mitos kearbitreran ini kemudian secara lebih jelas dapat dijumpai pada persembunyian makna di bailik tanda-baca dan kata bait berikut:

Kenapa sajak kau jejali kata, kau bebani makna?

sajak itu meleluasakan kata, meluaskan makna

Bahasa bait itu serasa ingin membunyikan aspek yang disebut Levi-Strauss sebagai langue mitos. Adanya interaksi mendalam ditunjukkan antara mitos dengan makna puisi itu sendiri. Baris pertama pada bait tersebut menuangkan transformasi fakta ke dalam makna dan bahkan pesan estafet. “...kau jejali kata”, “kau bebani makna”, kedua himpunan kata tersebut seperti membayangi pembaca akan bagaimana mengenal sebuah sajak penuh kata tapi tak selamanya memiliki ringan makna. Adanya perpaduan harmonisasi diksi juga ditunjukkan pada bait tersebut hingga bisa dikatakan emosi makna pembaca ingin diletupkan lewat sebuah katarsisme mitos si penyair. Demikian jika dikorelasikan dengan Strauss dapat dikemukakan bahwa di dalam struktur puisi dan makna yang terkandung di dalamnya terdapat struktur mitos ciptaan si penulisnya. Bagaimanakah stuktur mitos tersebut dapat dicekal? Bait itu telah berkatarsis dengan sendirinya mencekal makna: “....meluaskan makna”


Jiwa si Penyair: Embrio yang Sungguh Hidup

Sajak mulai bicara, kau ucapkan jutaan kata,

kenapa tak sebait pun sajak ingin kau cipta?

Bait keempat tersebut bertolak untuk menciptakan penanda-petanda emosi yang mengerucut pada struktur pertanyaan. Di mana ada penempatan supaya pembaca turut mengotak-atik jawaban dari teka-teki penanda yaitu “sajak” dan petanda yaitu “kata” dalam konteks puisi ini. Melalui lorong bait ini, ada percobaan pengikatan belenggu yang seakan merantai pembaca. Hingga menembus keluar lorong penciptaan interpretasi jawaban pun, struktur jiwa yang tersusun rapi dapat mengobrak-abrik kerapian itu sendiri dengan kedisiplinan penyuguhan dinamika sajak. Hal ini berangkat dari bentuk pengolahan emosi dalam mitos penulisnya dan lahir embrio hidup di pikiran pembaca untuk keluar dari rahimnya dan menamakan bayi itu sebagai refleksi atas puisi. Refleksi yang lebih hidup tanpa menjauhkan nyala semiotika petanda-penanda dengan sumbu mitos jiwa si penyair.



Salam.

Semarang, 2011


*penulis seorang penyair muda dan mahasiswa psikologi Undip Semarang



Footnote:

[1] Sebuah cabang disiplin ilmu yang coba saya adopsi, pun saya kombinasikan dari ilmu semiotik dan psikologi.




--esai ini dan bagian I, dimuat di http://poetikaonline.com/2011/01/coretan-kecil-psikologi-gurindam-hasan-aspahani/--