PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

10.18.2012

SAGANG DAN 9 PUISI


Majalah budaya edisi September 2012 ini membuat 9 puisi saya. Antara lain:


AKU BUNYI, KAU SUNYI
DARI PONSELMU, DERING INI BERLEPASAN MELEMPAR BAU BUSUK
MENUJU NOMOR TELPON KEMATIAN
TUHAN, KENAPA KITA BISA
BAHAGIA?*
DI TELAPAK TANGAN - OKTOBER, HUJAN YANG AKAN DATANG
KESAKSIAN TENTANG ABABIL
DI BAWAH POHON MAGNOLIA
HUJAN, PONSELMU BERDERING
EPITAF KEHILANGAN, ODE BAGI YANG MATI


10.12.2012

HOPPIPOLLA


pagi-pagi bermula dari suara orang batuk
di bawah sana. lama sebelumnya, angin sudah terlalu
biasa menjatuhkan pakaian-pakaian jemuran. angin
sudah sewajarnya menghantar kata-kata, lepas;
sepasang kekasih tua tak ingin jauh-jauh dari gandengan
tangannya di sepanjang jalan kampung, pagi-pagi
seketika langit menampakkan bau warna sehabis hujan

kami sedang ada di atas, melukis kalian, kata mereka
.....

maka berkatalah seorang di antara yang lain:
dunia ini akan lekas penuh angin
dan kata-kata akan lekas kembali dibutuhkan
untuk membikin kalian abadi

(pagi-pagi berikutnya, ada seorang anak bersin-bersin
di atas sana. sedang seorang kakek berlari-lari kecil mengitari
jalan kampung. sendirian)


2012

9.27.2012

RENUNGAN TENTANG PENYAIR

Sejumlah Percobaan Dengan Komposisi


ia curiga, jangan-jangan tuhan hanya menciptakan beberapa butir aksara; lalu dari sana dunia terkembang, seperti layar si malin kundang.
adakah yang lebih menakjubkan ketimbang sebuah kitab suci? di sana, ribuan penafsir berdesak-desak di ruang kecil yang sesak, hendak menyusun kembali dunia yang retak.
seorang tukang kayu tua, keriput meruyak di seluruh tubuh, menatah huruf dari musim ke musim; ia rindu hingga ngilu, isterinya telah meninggal tiga tahun lalu; “aku ingin memahat isteriku, dari tulang rusukku yang telah renta”.
seperti sebuah dongeng tangkuban perahu, seluruh dusun itu hanyalah kisah rekaan dalam sebuah tembang; seorang juru-kisah keliling dari desa ke desa; menyanyikan tembang, membawa kisah rekaan; lalu terciptalah sebuah dusun di pucuk bukit; saat tuhan melaknat dusun itu, ia tumpas si tukang kisah; dusun itu seketika punah.
saat pelancong datang melawat, ia menyaksikan bebatuan rebah pada punggung bukit, seperti rumah-rumah eskimo yang menggigil; “ah,” ia berguman, “andai seorang pemahat mampir ke bukit ini”.
ia membayangkan diri ada di puncak bukit; api menyala di suatu kejauhan, lalu ia mendengar suara itu, “lepaslah kasutmu, sebutlah namaku dalam setiap madah yang engkau gubah, seberangkan para pemahat ke negeri kanaan”; ia menggigil ketakutan.
ia ragu, apakah ia mampu menyeberangi jasadnya sendiri.
sepanjang hari ia membolak-balik kitab tua itu, tiada lelah, tiada resah; ia menunggu penuh debar, kapan ia sampai pada halaman terakhir kitab kejadian; ia tiada tahu, kitab itu tak memiliki halaman; ia hanya membayangkan lembar-lembar kertas dalam pikiran.
sepanjang hari ia duduk di pojok taman, menyaksikan waktu meleleh pelan-pelan, seperti dalam lukisan dali[1]; ia cemas, “akankah tubuh meleleh seperti waktu?”
ia semula mengira bisa menggembalakan kalimat seperti kawanan ternak; kini, aksara seperti banjir bandang yang susah dikendalikan; seluruh kota terlanda, dan ia kebingungan mencari tempat suaka; ia tak sabar menunggu, kapan kapal tua itu segera tiba.
suatu pagi, ia bangun terperanjat — musim semi telah tiba; sekujur bukit berubah warna; waktu menguap menjadi embun, menetes pada pepucuk bakung; ia segera berlari dan berlari, mencari perempuan yang ia pahat kemaren pagi; saat mendaki bukit, ia mengaduh?rasa nyeri menusuk-nusuk; ia merasa, ada luka pada tulang rusuk.
kisah-kisah besar telah hancur berantakan; kini, para penyair hanya menulis tentang rasa kangen, tembikar yang mudah retak, dan embun pagi.
setelah banjir reda, orang-orang bekerja keras kembali, mengeja aksara, menamai kembali benda-benda, menyusun kisah besar yang tak pernah bisa terlaksana.
saat sabtu tiba, dan tuhan sedang rehat sejenak, terbetik kabar tentang pembunuhan di sebuah kota; “terkutuklah engkau kabil, engkau akan sengsara, dilanda sesal yang kekal”.
saat kalimat telah tumbuh lebat, terhampar di seluruh bukit ararat, ia bekerja keras tiap hari, mengenali serat-serat daun, meneliti urat-urat pohon, menelisik tekstur bunga, kadang ia harus menyesap nektar, atau mengerat akar; ia ingin menulis ulasan tentang kitab kejadian.
ia melihat seluruh tamasya di bukit itu seperti tenun kata-kata; setiap pagi, ia tergoda untuk menganyam aksara, hendak mencipta kembali bebukit baru.
seharian ia duduk di pinggir danau, tersesat dalam labirin kalimat.
tuhan menatap kebun itu dengan cermin terang, tembus pandang.
walau kalimat melanda seluruh kota, tak seorang pun menulis gitanyali.
pagi yang kuning hinggap di bukit, girang-gemirang seperti burung gereja; ia lalu menyanyikan pujian bagi daun-daun ilalang[2]; saat matahari tegak lurus dengan cakrawala, tubuhnya luruh jadi debu, dihembus angin ke seluruh penjuru; saat esok pagi tiba, ia telah menjadi burung bagi perempuan yang kesepian di kastil tua.
saat melihat peta, nafsunya kembali membara, ingin mengarung laut, mencecap gairah yang belum tuntas terlaksana.
ia menyanyi, hingga sunyi, hingga sepi, hingga lampus menjadi lotus.
musim semi menjelang, dan ia terkembang memenuh ruang?ia tak cemas pada debu, ia tak susut pada waktu, ia melumut pada batu.
penyair hanya dapat mendendang tentang daun, bunga, dan cemara yang tak pernah luruh; ia tak bisa engkau minta menyusun kembali dunia.
ia asyik bermain-main dengan kalimat, seperti kanak-kanak yang lupa waktu; ia tabah memoles kata seperti para pengrajin tembikar; ia menderita karena membawa beban makna yang begitu sukar.
ia menjadi hijau pada daun, ia menjadi putih pada awan, ia menjadi hitam pada gelap, ia menjadi sunyi pada waktu, ia menjadi kicau pada burung, ia menjadi makna pada kalimat, ia menjadi geram pada kesumat, ia menjadi nafas pada gairah yang laknat.
begitu memulai kalimat pertama dalam kitab suci, ia tak bisa lagi berhenti; o, rasul dan nabi, kalian telah mengawali penderitaan ini.
ia mendukung kalimat ke puncak bukit, lalu rontok kembali — tetapi ia tak pernah mau berhenti; betapa mencemaskan nasib para penafsir kitab suci.
menara telah memanggilmu, istirahatlah sejenak, kawanku; rebahkan punggungmu pada angin; kendarailah waktu, dan terbanglah ke pucuk pohon cedar itu.
pelukis bermain dengan warna; penyair bercengkerma dengan kata; sementara anak-anak tak pernah berhenti takjub pada benda-benda.
setelah genap setahun berkelana, ia rindu pada debu.
atas perintah sulaiman, suatu malam ia menyelinap ke kota seba, hendak mencuri sumsum kata.
seorang bijak tua lewat dusun itu, dan ia bertanya, “siapakah ia yang selalu engkau sebut dalam syairmu?”
ia adalah burung yang selalu bangun pada semburat matahari pagi, berkicau pada pucuk kenari, terbang jauh ke utara, melintasi salju siberia, dan tak pernah kembali — ia adalah tamu terhormat pada perjamuan si attar.[3]


ulil abshar-abdalla
newton centre, 4/5/07

[1] Lukisan Salvador Dali, The Persistence of Memory.
[2] Judul kumpulan puisi Walt Whitman, Leaves of Grass.
[3] Fariduddin Attar, Musyawarah Para Burung.


sumber: http://ulil.net/2011/03/15/sejumlah-percobaan-dengan-komposisi/

9.24.2012

BAYANG - BAYANG


ada yang meminta kita untuk meletakkan bahu
padahal kita tak sedang lelah. sebuah lampu
menerangi tinggi tubuh kita; konon kita pernah
merasa kesepian bersama-sama, tapi sesuatu
telah menjadikan kita jalan raya di pusat kota
-- kitaku, seseorang telah menarik langkah kita
untuk kembali dan melupakan tujuan, seseorang
mengajak kita untuk senantiasa mencintai sejumlah
bangku kosong


2012

9.18.2012

MENGGAMBAR PUISI

“tidak ada yang berada di luar teks”
[derrida]


MENGGAMBAR PUISI
memperkenangkan amal bayu ramdhana

1.kata-kata hijau lampau. kau membaringkannya
tak sengaja, di dadaku yang tampak kiasan;
ini kemarau panjang, tapi tampak hujan, sebenarnya
dalam kata-kata, dan penglihatan telah disamarkan,
pembacaan menjadi sangat lugu
: membaca buku harian bergambarmu.
ini dada yang mengunyah perasaan-perasaan jatuh
dari jendela pagi hari,
ini isyarat dan bunyi gema panjang sekembalinya
dari jalan-jalan malam
: segala yang kau takzimkan.

kata-kata adalah penghujan yang nakal
adalah kemarau yang seksi, kataku. kenangkanlah:
sejumlah cerita fiksi memperhijaukan kita yang gelisah.
sebab itu percaya saja, kata-kata akan hijrah dan jelma
lewat pertunjukan tanpa prolog maupun narator;
ia pulang, lalu pergi. barangkali, ia juga
yang membuat rambut kita mesti digaruk
dengan jari-jari berkuku panjang.
sebab itu percaya saja, kata-kata akan membikin
batasnya sendiri-sendiri. menggambar hujan,
kemarau, pun menggambar kau, mengecilkan
tubuhmu sebelum dimampatkannya dalam bait

ini tubuhmu: pertanyaan kenapa kenangan
sedemikian mahal, kenapa percakapan
sedemikian hafal

2. kata-kata hijau lampau. aku menggambarnya
tersebab manusia dan sekitarnya. kau membaringkannya
sebagai gambaran seorang gadis tanpa busana,
kita rupanya sedang sama-sama menimbang seberapa berat,
bersepakat memperpasangkan dan mempersalinkan kenyataan,
merayakan ketelanjangan selapang diri masing-masing

sejauh kita merasa asing dan kata-kata menjadi bising,
ketahuilah, bahwa diri ini, perpanjangan dari sekian
diksi pertaruhan, dari sekian diksi peruntungan.
diri ini, kita, rebahkanlah, apabila suatu saat turun gerimis,
kata-kata akan lindap bersama cahaya melalui mata kita
yang khusyuk memandang

3. kata-kata hijau lampau, karena itulah kita menjadi
: masa lalu dalam gambar dengan garis tepi yang tipis


2012

9.17.2012

SAJAK DARI AMAL BAYU RAMDANA

PENGGOYANG LONCENG
untuk ganjar sudibyo

/1/
Pertama bermula adalah malam.
Diberkatilah, kau pendengar yang budiman.
Sebelum itu, membran di telinga dan seluk-seluk
jantungmu sudah kaupuasakan.
Tanpa cemar cerita dari lahat dan pusar kota: 
Pengabar yang itu-itu juga; mencoleng akhir berita,
nun menujumnya jadi sengketa — kau ingat,
yang sana itu memerlukan kata-kata
agar bisa bersiasat dalam satu upacara.
Apalah, kau memang tidak senang bertanya.
Yang sana itu boleh jadi butuh pengeras suara 
agar bisa turut serta dalam dunia yang digesa.
Tak lebih, kau hanya suka memaklumi kantukmu
sendiri, menyemai-nyemai bakal mimpi.

Karena kau suka waktu pulang, suka jika tidak ada
lagi yang menduga-duga-menjawab-menerjemahkan.


/2/
Betul, dia hanya suka membunyikannya sesekali,
tidak ingin mengenal sebentuk hirukpikuk
yang entah telah dinasibkan dalam arisan, layar tv,
lampu merah, jejalan ruang ganti — tapi tidak akan
digaduhkan nostalgianya sendiri sebab tahu betul
kepada apa alur jalannya. Ke pintu tidur? Jangan bertanya.
Mungkin sebab sunyi saja yang bakal menguduskannya.
Sungguh mungkin sebabnya dia karib dengan takzimnya
sendiri ketika loncengnya berayun pelan —
dan sama sekali tidak mau ingkar
menukar bunyi lonceng itu dengan bunyi peluit
pada sebuah dermaga dalam peta, atau bunyi
burung kukuk yang masih saja bersarang di jam dinding
sejak hari kelahirannya. Tidak terbang, tidak ke mana.

Dia hanya suka membunyikannya demi mengiringi
nyanyian yang masih hidup dekat pokok lehermu:
lagu yang tidak berhasrat memeluk lirik-lirik, 
lagu yang rindu menebus kembali bahagia asingmu
setelah kau terlempar dari rahim atau kepul asap cerutu.
Setelah namamu tidak mampu lagi bergoyang
memprotes datangnya perkenalan itu.


/3/
Kau adalah pendengar yang budiman.
Dan dia akan singgah mengiramakan malam-malam.










Bekasi, September 2012
Amal Bayu Ramdhana

PUISI SAYA DALAM BUKU PUISI BILINGUAL DI AMAZON

MEMBACA TELAPAK TANGANMU

“Kita memang bersandar pada apa yang mungkin kekal,
Mungkin pula tak kekal.
Kita memang bersandar pada mungkin.
Kita bersandar pada angin.”
[GM]



MEMBACA TELAPAK TANGANMU

satu sisi, masa depan adalah lengkung-lengkung di garis telapak tanganmu;
sisi lain, adalah keyakinan atas diri yang tak ada sesuatupun,
sesuatupun yang secara rahasia diciptakan. kita semata-mata sama.
garis di nasib, nasib di garis. cuma keraguan, yang kerap kali
dipertautkan sebagai iman tanpa menimbangnya pada bagaimana
kau terlampau jatuh cinta padaku


2012

8.23.2012

PUISI GERARD MANLEY HOPKINS

Heaven-Haven

aku berhasrat untuk pergi
di mana musim semi tak juga luluh,
menuju ladang-ladang yang terbang tanpa ketinggian dan mengiris hujan es,
dan menuju sejumlah lili yang tertiup.

dan aku telah bertanya bagaimana caranya menjadi
tempat yang mana tak ada badai muncul,
tempat gelombang hijau besar yang adalah persinggahan bisu
serta tak ada irama laut


*Gerard Manley Hopkins seorang penyair inggris abad 19 sekaligus pastor yesuit. Puisi ini diterjemahkan bebas oleh A.Ganjar Sudibyo, 2012

8.16.2012

SEBUAH TAROT PANGGUNG, CATATAN YANG KEDINGINAN, BESERTA FESTIVAL YANG SENDIRIAN



“Kenangan, kenangan, apa yang kau harapkan dariku?”
[Paul Verlaine]



i.
tiga kartu tarot yang terbuka itu membacamu, sekali peristiwa
(mereka bukan bahasa tiba-tiba dari wajah orang-orang)

kartu pertama, ada sesuatu yang berat jatuh
dari langit. tujuh tongkat dan seekor anjing
menyaksikan: seorang ratu mematahkan
sebatang kayu

kartu kedua, tiga orang berjubah di atasnya
tiga bintang bersejajar

kartu ketiga, seorang prajurit berkuda
membawa sebuah cawan, prajurit itu baru saja
datang dari medan yang ingin dilupakannya

tiga kartu tarot itu tak lelah membuka, sementara
berkali-kali aku mengirim pesan pendek kepada kekasih
sebelum pada akhirnya orang-orang kepayang
masuk menuju penafsirannya sendiri-sendiri

ii.
pohon-pohon karet yang condong, mata kita tak tegap
tubuh kita linglung. aku berlangsung menulis kalian
tanpa mesti ada kertas dan tinta. kata-kata telah sepenuhnya
beringsut pada penantian, sebab ketika orang-orang masih
mempercayai matahari yang tak mungkin mengirimkan angin
dingin, aku mempersalinkan diri melebihi ucapan dan puisi
yang hanya

di atas sini tak ada selimut lagi, aku mengenakan sarung,
daun-daun gugur dan suara imsak terdengar sekali lagi

iii.
sekelompok pemuda membangun percakapan
dengan perapian. pukul setengah enam pagi,               
masih saja ada yang khusyuk membikin kenangan
dari orang-orang pergi dan kartu tarot bergambar
tujuh pedang menusuk mati seseorang

sekelompok pemuda akhirnya kembali
begitu pula kesepian yang kerap dirasa berulang itu
: terjemahkanlah aku, katanya

iv.
tuan, puan,
saksikanlah
ini panggung
adalah acara yang tak pernah selesai
pun masai dari almanak kesekian

tuan, puan,
merendahlah
itu aku yang sama seperti kalian
belajar merawat panggung
dan kenangan bergantian
sebagai penonton


Sono Keling - Semarang, 2012

8.15.2012

Majalah Budaya SAGANG edisi 165 | Juni 2012

 

Majalah budaya tersebut memuat cerpen saya yang berjudul:

MATA PECAH MATA PEJAM

7.05.2012

NYALA DIGITAL DALAM ABAD-ABAD



“luhurlah seribu nyala abad-abad
selayaknya kami menghormati
nenek moyang kami, luhurlah
abad-abad digital selayaknya
kami mendirikan bangsa
yang terbuat dari digit-digit
keypad dan belukar cahaya
jejaring di dalamnya”
 

demikian kami merawat anak-anak kami,
menawarkan pengertian demi pengertian;
kami telah membuat sayap-sayap
untuk mimpi-mimpi mereka, sebab langit
semakin abad semakin tinggi saja; sayap-sayap
akan membawa mereka menuju tempat-tempat
di mana sebuah kenyataan berhadapan dengan
kemayaan: di facebook, di twitter, di email,
di bb, demikian kami merawat keramaian
yang sunyi, berkenalan dengan perangkat
multi tasking. duh, tapi seringkali kami terjebak
lupa bagaimana membawa anak-anak kami
kembali memahamkan bahwasanya
perihal cinta dan kedewasaan tak bisa tercipta
secara instan seperti halnya meng-upload, seperti
halnya men-download. kami benar-benar samar
petunjuk jalan pulang atau berkata kepada
anak-anak kami bahwa rumah adalah rumah,
sekolah adalah sekolah, jalanan adalah jalanan;
rumah, sekolah, jalanan, bukanlah situs yang 24 jam
sanggup sambung menyambung ke dunia luas;
demikian kami bukan mesin waktu untuk kembali
pada seribu tahun lampau, karena kami meyakini
sebuah masa adalah sayap-sayap yang lepas:
anak-anak beserta dunia yang tak dinyana
saling tukar kesunyian pada kotak-kotak sesak
yang berisi waktu tanpa batas. maka inilah
jantung kelengangan manusia paling sejarah
dan kami hanya bisa belajar menerima saja,
menerima seperti halnya jarak yang bersiteguh
tak bisa men-delete dan mengetik sendirian

“luhurlah seribu nyala abad-abad
selayaknya kami menghormati
nenek moyang kami, luhurlah
abad-abad digital selayaknya
kami mendirikan bangsa
yang terbuat dari digit-digit
keypad dan belukar cahaya
jejaring di dalamnya”




2012

6.30.2012

IA YANG BERJAGA DALAM KESENDIRIAN MANUSIA




ia yang berjaga dalam kesendirian manusia, ialah waktu
yang mengenakan berulang kali setiap kali ia panggil
dirinya sebagai sebuah tanda atas bagaimana kelahiran
akan menemui ketiadaan; bagi dirinya, sepanjang sejarah
hanyalah angin yang tak pernah memiliki bentuk

sebuah penantian mengharuskannya mengganti tubuh
demi tubuh; sebab tubuh itu hanya angka-angka
pada putaran-putaran jam. ia tetap berjaga dalam
kesendirian manusia, sambil sesekali merancang
bagaimana mengakhiri lelah itu. sekalipun manusia,
sekalipun lelah, sekalipun tubuh, sekalipun penantian;
bagi dirinya, sepanjang sekalipun, ketiadaan tetap saja
mengulum kesendirian, lalu saling masuk berkelebat
serupa angin dan angka yang jatuh tak sempurna



2012  

MINGGU INI BIRU YANG MENYEKA NAMA


kepada kekasih kami

kami bersumpah burung-burung bangkai
akan masuk-keluar dari benak mata kami
sebelum kami seka mata kalian;
sebab sekalian orang telah remuk redam 
terhadap kecemasan mereka sendiri, di pulau
yang mereka cintai--
kepada anak-anak, kepada cucu-cucu,
tiada awan kini. hanya biru seperti
samudera hindia dari kejauhan. dari kejauhan
pula, kami mulai mengerti pintu-pintu rumah
masih terbuka. anak-anak masih bermain
di gang-gang kampung, para pemuda
yang membuang kondom di sembarang
tempat. sekali lagi, kami mengenal ahad ini:
sebuah tempat untuk saling menertawakan;
dunia, ialah kekasih yang tak pernah mati
ialah samudera dan segala ombak yang
tersandera


2012