PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

6.07.2016

MENCATAT GADIS





ia pasti bisa menyimpan paras
dengan warna cerah, atau setidaknya
merah marun kesukaannya;
paras-paras dengan lanskap seperti
tanah pagi setelah semalam hujan deras

tapi ia hanya berlalu seperti angin
di pinggir jalan di pusat kota; lantaran
isi dalam tubuhku yang sedang 
didera kemarau, tembok pucat, 
pagar tanpa gembok,
dan lagu-lagu kucing jantan 
berebut betina

kubahasakan ia dengan kata
yang dituturkan oleh pria
dalam batin:
seorang gadis yang parasnya
meninggalkan denyut
dengan perasaan
yang tak bersuara
penuh pasir isap
dan ruang gelap


2016

6.05.2016

TIPS PENGAYAAN DIRI: SUDAHKAH KITA BEREFLEKSI HARI INI?





Judul: Heaven on Earth
Penulis: Mona Sugianto
Penerbit: Kanisius
Cetakan: I, 2015
Tebal: 224 halaman
ISBN : 978-979-21-4416-1

Istilah “refleksi” kini tentu sudah menjadi sesuatu yang familiar di masyarakat. Sejak berabad-abad yang lampau, Socrates pernah menyatakan bahwa hidup tanpa refleksi adalah hidup yang tidak layak dihidupi. Demikianlah refleksi menjadi sesuatu yang penting untuk perkembangan diri seseorang dalam mejalani kehidupan.

Hannah Arendt menggunakan istilah vita activa dan vita contemplativa untuk menganalisis kondisi kehidupan kemanusiaan modern (dalam bukunya “The Human Condition”). Vita contemplativa merupakan aktivitas mental yang meliputi berpikir, berkehendak, dan mempertimbangkan. Vita activa meliputi kerja, karya, dan tindakan. Arendt mengungkapkan bahwa puncak manusia bukan pada ranah pemikiran, melainkan pada kehidupan yang aktif. Berdasarkan pada hal tersebut, kedudukan vita activa berdampingan dengan vita contemplativa.

Tulisan-tulisan Mona Sugianto membawa pembaca pada titik-titik refleksi. Mona menyodorkan pelbagai pertanyaan yang cukup mengentak kepada mata pembaca dari bab ke bab. Lantaran pertanyaan-pertanyaan reflektif ini menuai ketegangan dalam membaca adalah proses meresapi teks terhadap dunia nyata pembaca. Ketegangan yang mengarah pada “upaya perbaikan diri” tentu muncul bilamana pembaca benar-benar mau masuk ke dalam ruang jawab atas pertanyaan-pertanyaan reflektif tersebut.

Mona memulai dengan suguhan pertanyaan demikian: “untuk apa kita hidup dengan semua kenyerian hidup sebagai manusia?” (hal.23), “kapan terakhir kali Anda pernah begitu terhimpit beban berat?” (hal.58), “apa rencana Anda untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan beban dan penderitaan-penderitaan?” (hal.62). Hingga kemudian, mengarah pada pokok-pokok berikut: “jadi, apa yang paling penting dalam hidup?” (hal.101), “apa tujuan orang ingin sukses, kaya, dan enak, kalau toh juga menghambat kita untuk ‘selamat’?” (hal.110), “mau dan mampukah kita menjadi pahlawan bagi diri kita sendiri?” (hal.127).

Tidak berhenti sampai di situ. Mona menekankan kepada pembaca untuk senantiasa menjunjung kedalaman dalam berefleksi. Sederet tanda tanya kepada pembaca berbunyi begini: “pernahkah Anda menjadi besar dan berkuasa, yang merasa bahwa Anda berjuang untuk bisa menang di atas saingan Anda?” (hal.81), “bagaimana rasanya diperlakukan tidak adil, dirampas hak-hak, dilecehkan, diperkosa?” (hal.95), “bagaimana kalau zombi jadi guru, trainer, atau pengajar?” (hal.97), “bagaimana cara menikmati kemanusiaan kita?” (hal.98), “bagaimana menjadi ‘terang’?” (hal.112), “anda pernah menyesal dan kemudian dimaafkan? Bagaimana rasanya?” (hal.159).

Ajakan-ajakan penulis terasa semakin persuasif kepada benak pembaca ketika menuju halaman-halaman akhir buku ini. Berikut sejumlah ruang tanya yang semakin menuju ke dalam diri:  “Apakah panggilan hidup Anda? Apa kekuatan yang menarik dan memanggil Anda? Apa yang membuat Anda tetap kuat berjalan meskipun kesakitan, yang membuat Anda mau dan bisa bangkit kembali setelah jatuh? Apa yang membuat Anda bisa bersukacita meskipun tidak dikalungi bunga dan dihadiahi emas?” (hal.181), “apa yang membuat Anda yakin untuk terus berjalan? Yakinkah Anda bahwa ada jalan di depan yang akan membawa Anda sampai ke tempat tujuan?” (hal.200),

Tidak sekadar menuntun pembaca pada pertanyaan-pertanyaan reflektif, penulis pun menawarkan tips-tips semacam pemecah masalah yang biasa hadir dalam hubungan interaksi sosial manusia dengan siapa dan apa pun. Selain ia kerap kali membubuhkan nukilan-nukilan kata mutiara dari tokoh-tokoh ternama: Lao Tzu, Gibran, Emerson, Gandhi, Martin Luther, Jr., Cicero, Frankl, dan sebagainya. Di satu sisi, penulis memberi semacam analisis ringan atas permasalahan-permasalahan aktual dari sudut pandang mitologi dipadukan dengan kelilmuan psikologi dari tokoh-tokoh seperti Freud, Jung, Maslow, Carol D. Ryff (hal. 40). Sebuah nilai plus karena penulis berlatarblekang pendidikan psikologi. 

Pendek kata, penulis buku mencoba merangkum seluruh tema permasalahan hidup, nurani, heroisme, perjalanan, sejarah, tragedi manusia, bias gender, kepemimpinan, serta cinta dengan sebuah pertanyaan profan. Pada bab akhir, alih-alih ia mengaitkan kehidupan yang diterima manusia dengan Sang Pemberi kehidupan itu sendiri: “apa yang akan saya lakukan bila 12 jam lagi saya akan menghadap Tuhan?” (hal.221). Berangkat dari buku dengan kemasan apik ini, masihkah kita bertanya tentang pentingnya refleksi?



Resensi oleh Ganjar Sudibyo
Yogyakarta, 2016

5.30.2016

MEMASTIKANMU DI GIGIR MENDUNG




: melepas e.

pandangan yang terikat dalam-dalam
oleh berkali tengokan—menujukulah.
seolah ada yang redup-nyala di semestaku,
suara anak-anak berkejaran, berebut mainan
juga kekupu warna-warni, hujan-hujanan
di tengah taman bunga.

mereka berulang-ulang muncul dari
bulat mata seorang gadis yang menyatakan
lewat angin gedung kota bahwasanya
nubuat barangkali telah berunding
dengan nasib.

nubuat sebenar-benarnya nubuat, semacam
sihir yang membikin semesta mengirim
pesan dari pecahan masa lalu yang gaib
yang kencang lajunya seperti kendaraan
roda satu;

demikianlah kepadanya, yang tercurah
dari pikiran-pikiran lumrah terhadap
perkenalan pendek. larik kecil pernyataan
ganjil terhimpun di bawah langit kelabu:
aku lupakan cinta aku lupakan cinta—semesta aku
warna bahasa yang tak pernah selesai
dan pintang untuk senantiasa dikenali.

hablurlah, abu cintaku   



2016

5.07.2016

NUBUAT BUNGA-BUNGA FRIDA



di hadapan cermin 21 abad
ia busungkan dada beserta seluruh kisah:
warga negara mengusung peta-peta kota
lahan-lahan sengketa dan ruh para urban
yang diadu domba, maka dengan batu-batu
penyekat liang lahat, ia menutup penuh
perkara politik kepalanya
rapat-rapat

kepada hadapan cermin 21 abad
ia hadirkan seratus kali puasa
pengganti tahun-tahun sial,
suatu silih yang pernah ia dirikan
untuk meruntuhkan tembok-tembok
tempat putus asa lebur dengan
segala gaduh nyeri;
yang diasuh pulang-pulang
yang diasuh pergi-pergi
yang diasuh pisuh-pisuh
duh, nyalang kirmizi!

dalam hadapan cermin 21 abad
sebuah taman yang bayangannya tumbuh
terpantul musim semi warna-warni
sebelum kecamuk panjang mekar
lucut-angslup satu-satu, terpelanting
dalam ngiang-ingatannya

begini ia mengetuk-ngetuk cermin itu:
ranjangku, ranjangku

apakah masehi harus disapih 
seisi perih?




2016


*Lukisan oleh: Frida Kahlo 1938 Xochitl (Flower)
Sumber: https://id.pinterest.com/pin/218846863112869161/

5.02.2016

MERAPAL MANTAN


alegori atau alusi
atau metonimia atau
sinestesia atau litotes
atau personifikasi atau
eufimisme atau oksimoron
atau totem pro parte atau
pars pro toto atau sarkasme
atau sinisme atau
pleonasme atau pararima
atau satire atau
hiperbola atau ironi
atau paradoks atau
ironi atau hiperbola
atau satire atau
pleonasme atau pararima
atau sinisme atau
pars pro toto atau sarkasme
atau totem pro parte atau
eufimisme atau oksimoron
atau personifikasi atau
sinestesia atau litotes
atau metonimia atau
alegori atau alusi

atau

aku yang melupakanmu
jauh-jauh cintaku,
mengulur panjang spektrum
gelap-terang
repetisi melankoli

hilang-mendapat



2016