PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

9.02.2010

PUISI YANG MENCOBA MENGGANTIKAN DOA


tertanda 18.00



ada sesuatu yang layak untuk dijadikan raung atas airmata;
ia berbicara kepada pencipta yang diciptakannya. ia ingin
pergantian waktu bukanlah seperti jam dinding di ruang
tempat segalanya lesap berbau asaplilin

sesuatu itu merapal. keluar dari bibir pendoa
yang sedang lupa bahwa ia telah menuju
ke mana asaplilin bermula

sesuatu itu menyebut doanya,
puisi



2010

SEJUMLAH BAHASA INTUISI YANG MENYEMBUNYIKAN SEJUMLAH PENAFSIRAN

- clairvoyance* -
semalam aku tak melihat ada kebohongan
merampok sisa-sisa bolamata di persembunyian
kejujuranmu. aku tak melihat gambaran klise
tentang ibumu yang tiba-tiba merasakan kanak-
kanakmu terjatuh dari ayunan di halaman sekolah,
membentuk takut-takutnya seperti putaran jam
yang berbalik arah menuju malam tadi. hanya saja,
aku melihatmu menggigil tanpa pakaian
sedang mencari-cari kacamatamu yang dicuri
gunung es dekat bantal ibumu.

- clairsentience* -
biar saja berpenggal-penggal kepala merontok
bagi orang-orang yang tak mau bermimpi
tentang saraf-saraf di tubuhotaknya
ketika indera keenam menjadi binatang purba
yang berarak menuju zaman penuh magnet-magnet
digital menggantikan penantian panjangmu dari kota-kota
desa-desa di abad liang-liang kepala. namun ingat,
bapak-ibumu yang menasihatkan;

“pengasingan adalah masa terakhir
kau mengunci firasat takdirmu sebagai
penginderaan raung potongan kepala”

- clairaudience* -
ke mana telinga menyingkatkan suara kita;
mengartikan bunyi hantu-hantu gunung es
sewaktu menggentayangi perasaanmu

kau berdalih menyadarkan kekacauan intuisimu sendiri
sementara aku,
kau perdengarkan sebagai mayat yang melahirkan
telinga barumu



semarang, 2010
*) bentuk-bentuk dasar ragam intuisi

9.01.2010

CARRIKFERGUS*

oleh Jurjani Saja Cukup pada 23 Juli 2010 jam 22:00
(cerpen dari note facebook)

Kini aku melihat prempuan paling hebat di dunia. Perempuan yang begitu perkasa, perempuan tangguh, perempuan yang rela berkorban tanpa rasa pamrih dalam dirinya, karena menurutnya memberi adalah sebuah kewajiban, dan mererima adalah hak yang dianugrahkan, ketika mendapat sedikit dari jerih payah dari apa yang ia usahakan, maka itu adalah anugrah yang tak boleh dikufuri. Ah sugguh bederhana sekali pendirian itu. Bersahaja.

Dulu, ya dulu aku melihat ‘bara’ dalam matanya, bara semangat yang tak pernah padam. Aku tahu, paling tidak, aku kecil selalu terbangunkan di pertiga malam yang selalu dijaganya sejak lama, dan dia tak pernah tidur lagi setelah melakukan rutinitas itu, karena setelah subuh dan setelah melantunkan ayat-ayat suci, dia selalu sibuk menyiapkan sarapan keluarga, dan sungguh, dia tak pernah memanjakan matanya untuk tidur berleha-leha atau sekedar duduk manis di depan teve hitam putih di waktu dhuha, tidak, baginya, waktu dhuha adalah waktu untuk berangkat kerja, menenggelamkan diri dalam keagungan kerja, karena kemulyaan yang dia yakini adalah ada pada kerja keras, dan sekali lagi mata itu tak pernah terlihat sayu, oh tidak, dari dulu mata itu memang sudah sedikit sayu; sangat manis, dia tidak pernah membuka matanya dengan sangat lebar untuk menakuti anak-anaknya. lembut sekali.
Dan mata itu yang selalu membuatnya terlihat ramah dan selalu berseri. Dia selalu tersenyum untukku juga kepada orang yang dia temui. Dulu juga, aku kecil adalah anak yang nakal, sering buat ulah, tapi dia tidak pernah memarahiku di depan umum, dia selalu menjadi orang yang pertama merasa bersalah ketika aku tak sengaja menyenggol gelas di rumah tetangga, dia selalu tersenyum padaku. Ah sungguh, senyum dan mata ayu itu tak pernah lelah memancar an tak akan pernah aku lupa, terpatri erat dalam lubuk hatiku.

Bekerja di ladang dengan matahari membakar kulit, tidak kemudian ia kehilangan senyumnya dan mengutuki nasib. Hidup di perantauan memang keras, kerasa sekali, begitulah yang aku lihat pola kerja Ibu dan Bapakku, tak ada keluh kesah dan gelisah dalam menjalani hidup ini. Kau tahu kawan, tak ada adagium-adagium besar yang terpatri dan membentuk menara keyakinan mereka, sungguh aku tak pernah mendengar istilah ‘takdir terbaik manusia adalah tak pernah di lahirkan’ (mengesali takdir), yang ku tahu adalah hidup bagi mereka adalah sebuah garis ketetapan takdir dan dunia adalah kehidupan yang sangat sementara, dan salah satu garis takdir itu bernama transmigrasi. Transmigrasi merubah segalanya dalam kehidupan keluargaku dua puluh tahun silam.

Ya, tepatnya dua puluh tahun silam, bapakku melakukan transmigrasi ke Sumatra. Dulu kebijakan ini sangat popular, dan itulah yang aku baca di bangku sekolah, untuk melakukan pemerataan penduduk, maka pulau-pulau ynag sudah padat harus melakukan transmigrasi. Dan pulau Jawa adalah pulau yang sangat padat penduduknya, maka para penduduk di pulau Jawa terus didorong secara moril untuk ‘melihat dan menyapa’ kehidupan yang lebih baik di tanah baru.

Bapak menerima tawaran sebongkah mimpi itu. Bapak juga tak pernah menyerah, ibu sangat mendukungnya, bahkan teramat, dia menjadi penerang dan pendorong suami. Ibu tak pernah memberika sinyal keraguan kepada bapak ketika di tanya dan diminta pendapat, dia memberikan pendapat lalu menyerahkan semuanya kembali, dan mendukung segala keputusan. Dan akhirnya kami, oh aku tidak termasuk karena kau masih snagt kecil waktu itu, tepatnya ibu dan bapakku membuka lahan di Sumatra dengan satu mimpi: better life .

Kami hidup damai, kami menaklukan cobaan demi cobaan dengan sabar dan tawakkal. Ini adalah buah yang kami semai dari kerja keras selama belasan tahun, kami bisa hidup dari perkebunan kelapa sawit yang disediakan pemerintah sebagai konpensasi atas kesediaan kami membuka lahan di Sumatra ini. Dan kami hidup bahagia, bahagia sekali kawan, bahkan aku tak bisa lagi melukiskan kebahagian ini dengan kata-kata lain lagi. Ah tidak, tidak, sekali lagi tidak, aku tak bisa mengenangnya lebih jauh, karena kini keadaannya sudah berubah. Ya keadaannya sudah benar-benar berubah, entahlah berapa derajat perubahan ini kawan. Perih sekali, kenangan itu menusuk nusuk fikiran dan hatiku.
****

“Ibu kecil adalah anak seorang petani yang sangat sederhana” Beliau memulai ceritanya malam itu.
Aku hanya tersenyum, kini, seolah Ibu sedang berbincang dengan seorang sahabat, dan aku berharap bahwa aku adalah anak dan sahabat yang baik.

“Dulu ibu sangat pendiam, mungkin karena memang tak ada yang mesti bicarakan bicarakan, Ibu tak pernah neko-neko minta ini dan itu, apalagi minta dibeliin boneka, ah, Ibu tak pernah tertarik denagn boneka entah apapun namanya, entah itu barby atau yang sejenisnya, karena Ibu sudah cukup bahagia bermain dengan teman dan bermain dengan apa yang tersedia di alam” beliau kembali menghela nafas panjang.

Lagi-lagi aku hanya tersenyum. Getir.

“Ibu tak pernah punya mimpi besar” Ia menatap langit-langit ruangan itu.

“Bahkan teramat sederhana, bahkan Ibu tak pernah berfikir ada dunia yang jauh lebih indah dan lebih maju, ya Ibu tak tak pernah punya mimpi untuk bersekolah tinggi-tinggi, seperti kamu Nak di Jakarta”
Aku makin khusus duduk di sampingnya, tentu menghadap tubuhnya.

“Ya, Ibu remaja adalah seorang rumahan, tak ada kegiatan yang menyibukan selain membantu Nenek di rumah sampai…” dia menahan nafasnya mencoba mengingat segalanya.

“Sampai Bapakmu datang mewarnai lembaran hidup yang harus terus berjalan”.

Aku hanya tersenyum, sambil mendekap tangannya erat.

“Bapakmu adalah orang yang sangat santun, dia datang kepada ibu dengan sangat unik, unik sekali, nada bicaranya sopan, dan kami saling mengenal walau tidak begitu baik, maklum, begitulah kalau beda kmapung; jarang bertemu. Yang lebih unik adalah dia datang pada keluarga Ibu setelah hanya satu bulan berkenalan, dan keluarga balik bertanya kepada Ibu, apakah Ibu bersedia menjadi istrinya, aku hanya tersenyum dan mengangguk, tak ada persyaratan apapun, karena Ibu tahu dia paham segalanya untuk membina rumah tangga, membangun istana kecil yang bernama ‘keluarga’, dan tidak lama kemudian kami menikah dan tidak beberapa lama melahirkanmu”

Aku tersipu dan aku melihat wajah Ibu berseri sambil menatapku lebih dalam; Tenggelam dalam senyumku: senyum kebanggaannya.

Sungguh potongan cerita ini adalah gambaran harapan. Kawan, jika engkau tengah bercerita entah kepada siapapun, terlebih kepada sobatmu sendiri, maka sesungguhnya engkau tengah menitifkan sejarah dan mimpimu di sana. Orang akan mengenangmu dengan apa yang engkau lakukan dan engkau ceritakan. Jadi berceritalah, maka ceritamu akan mengubah kehidupan orang lain di sekitarmu. Ceritamu akan jadi inspirasi orang lain untuk menjalani hidup ini lebih baik. Dan seperti biasa, aku selalu menemani Ibuku di setiap malam, ba’da magrib dan mendengar segala celotehannya, sejarah hidupnya, sejarah kebanggaannya, cita dan mimpinya yang amat sederhana; mempunyai anak yang soleh dan solehah.
Dan setelah mengakhiri ceriitanya, dia lalu tidur dalama genggaman tanganku yang belum sempat terlepas, dan aku selalu melepasnya perlahan setelah dia tertidur pulas.

Aku keluar dari ruangan yang sempit di rumah sakit itu.

Kau tahu kawan, aku sesungguhnya menangis, batinku terharu mendengar segala ceritanya, cerita itu sungguh menyiksaku, oh tidak, bukan menyiksa, tapi aku hanya tidak tahan bagaimana ia merangkai kebahagiaan dalam kondisi seperti ini. Kondisi yang amat rapuh, bahkan teramat rentan untuk tenggelam dalam kegembiraan, sedang kondisi tubuhnya akan membuang segala harapan dan kebahgiaan itu datang kembali.

Tidak, aku tak pernah membayangkan ini akan terjadi.

Ibuku terkena kanker payudara, dan memang kanker ini pernah dideritanya bertahun-tahun silam, tapi tidak separah ini, entahlah, kini ia jatuh lebih parah, dan aku tidak tahu apa yang membuatnya lumpuh setengah badan ke bawah. Dan kini ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain melakukan terapi sebulan dua kali, dan kini ia terbujur lemas di salah satu ruangan rumah sakit ini. Kini, aku tak lagi melihat tubuh perkasa itu, juga mata dan senyum manis itu, walau senyumnya masih tersungging beberapa saat dan hilang kembali berganti erangan kesakitan.

Lama aku termenung,

Aku tenggelam dalam kebingunganku sendiri, apa yang harus aku lakukan.

Aku mengutuki diriku sendiri, aku tak akan pernah lagi menyesali segala Sesuatu yang sudah terjadi, karena menyesal dan mengutuki nasib adalah bentuk lain dari ‘kekufuran’ atas nikmat yang diberikan Tuhan.

Angin malam itu berhembus, menelisik lalu masuk ke celah pori-pori badanku, dingin.

Ini tentang sukur, ya ini tentang sebuah tanggapan lain dari hidup ini. Aku sudah mngorbankan segalanya. Aku korbankan cita-citaku yang ingin bekerja di media. Aku juga meninggalkan anak-anak TPA yang aku urus, sungguh ini pilihan yang sulit, dan sungguh aku tak tega melihat air mata berjatuhan dari pengurus yayasan dan anak-anak mungil itu “Maafkan Kaka, andai pilihannya tidak sesulit ini, maka aku akan memilih untuk mengajar terus di bercanda bersama di sana, dan satu hal yang tak akan aku lupa, tak ada yang pergi dari hati” batinku berbisik lirih.

Tiga bulan, setelah dokter memponis dia lumpuh, aku tak lagi memikirkan tenagaku untuk bolak-balik Palembang-Jakarta dan Jakarta-Palembang untuk menyelesaikan study-ku. Terlebih aku tak peduli untuk ketidakhadiranmu ibu di ‘pesta kecil’ wisudaku, karena semua itu aku persembahkan buatmu ibu. Meskli engkau tak ada di foto itu, tapi toga itu milikmu Ibu. Kenangan ini benar-benar menyayat memoriku.

Di depan kantin ini aku selalu menenggelamkan diri.

Di depan kantin ini aku selalu merenungi cobaan ini, sungguh teringiang di fikiranku, dialog keluarga kemaren setelah makan malam itu “Sudahlah A, di sini banyak saudara, pergilah ke jakarta, kau memang tidak akan terbiasa hidup si sini, kota telah membentukmu menjadi lelaki yang tabah dan kuat, dan aku juga tahu kau sangat ulat dan rajin, dan aku sangat bangga melihatmu tumbuh selama ini, ibu tidak apa-apa, dan semua akan baik-baik saja” Ibu berkata dengan lembut, lembut sekali.

Tidak, semuanya tidak baik-baik saja. Bagaimana mungkin semuanya baik-baik saja, jika ibu masih berbaring dan masih berjalan memakai roda. Tidak, dialah separuh hidupku.

Sungguh aku tak berani menjawab walau hanya menggelengkan kepala tanda ketidak setujuan, aku sungguh sangat takut melukai hati dan perasaannya. Biarlah, aku sudah melupakan mimpi itu, aku seudah melupan mimpi alam kota yang bising, dengan segala kemegahan yang menjanjikan hidup lebih berkilau.

Kini gilranku menjagamu, setelah adik perempuanku dan suaminya yang tabah telah memulai hidup baru di lampung, karena merekalah yang selalu menjagamu selama dua bulan pertama setelah kau jatuh sakit dan mulai berjalan dengan roda.. Biarlah mereka yang selama ini menjagamu mencari kehidupan yang lebih baik, menjalani takdir-Nya: berbakti kepada suami, dan kini aku telah ada di sampingmu ibu.

Satu lagi, aku jadi tak terlalu peduli tentang wanita yang aku impikan yang sering aku ceritaklan kepadamu ibu. Dulu aku bermimpi tentang wanita yang berkerudung lebar, selalu memakai rok tentunya, memakai shoking yang selalu menutupi kakinya, selalu menjaga pandangannya dan mendapatkan tarbiyah paling tidak dari liqo yang selalu diadakan di kampus, tapi, kini aku menyerahakn segalanya kepada Tuhan yang maha tahu apa yang terbaik buat hambanya.

Demi mata ayu itu, demi bara semangat yang masih memancar dalam jiwanya, dan demi senyum yang selalu tersungging di wajahnya. Aku memutuskan untuk tinggal di sampingmu selamanya Ibu, sampai kau pulih seperti sediakala. Sungguh tak ada satu halpun yang aku korbankan, cita-cita itu, ah, apalah artinya tanpamu Ibu, karena engkaulah ‘tempat mimpi pengaharpan itu’ atau orang biasa melambangkannya dengan “carrikfergus”.

Ibu di carrikfergus**

melaluimu,
aku mengingat masa kanak-kanak; ibu merendanya
membuatkan susu yang masih murah waktu itu
menyalami mimpi supaya tak ada sesuatu yang menerkam
bahkan menggigit lagu-lagu pengantar tidur
atau memadamkan doa-lugu di bawah bantal

carrikfergus, pada seberang kaca-kaca jendela
aku meletakkan gambar ibuku sedang menatang sore
dan menyimpan matahari di sakunya
hingga sampai suatu ketika
aku bisa membacanya bersama ingatan
untuk dilelapkan kepada kanak-kanak usia
yang hampir saja habis oleh mimpi-mimpi mahal
tanpa arah tanpa sorga

o, carrikfergus!
sampai ke mana aku
melaluimu

ibu?


2010



(untuk seorang teman dan cerpen ini terinspirasi dari kisahnya juga puisi A. Ganjar Sudibyo)
* potongan judul puisi A Ganjar Sudibyo
** puisi lengkap A Ganjar Sudibyo

TUHAN, KE MANA PONSELMU SEMALAM


?


2010

8.31.2010

PUISI-PUISI SAYA DI HARIAN SEMARANG, SABTU 28 AGUSTUS 2010



KEPADA INDONESIA, TERSEBAB INDONESIA

bisa dibaca di alamat;
http://ganzpecandukata.blogspot.com/2010/08/kepada-indonesia-tersebab-indonesia.html


BILA LAUT TIADA

bisa dibaca di alamat;
http://ganzpecandukata.blogspot.com/2010/06/bila-laut-tiada.html



8.27.2010

M.A.R.

tertanda kekasih


“konon, gelombang yang terkirim jauh
di ponsel rindumu adalah ucapan melebihi
kata-kata sebentuk hati merah kental dalam dadaku”

---mi,

ke arah suaramulah kutelungkupkan jarak
yang sebenarnya ingin kupunahkan dengan
matapisauku. namun jarak bukanlah kelangkaan.
ia seringkali muncul seperti pesan-pesan singkat
tentang hujan atau terik;

: mengingat hujan, terkadang
aku ingin bunuh diri di pikiranmu
menggentayangi jarak yang beriak
berdampingan dengan bunyi gertak langit

: mengingat terik, terkadang
aku ingin abadi di perasaanmu
memakaikan tubuhku dengan warna-surga
yang berdiam menebalkan pelangi doa
supaya jarak bersegera luntur
sebelum pagi


ke atas nama berpeta hatimu, mi
aku ingin bersulang-peluk
tanpa memusuhi jarak.



Semarang, 2010

8.23.2010

PEREMPUAN BERSKETSA PEMBAWA PAYUNG





angin telah membawa ibuperempuanku,
memanggil-manggil dari kejauhan
suara yang takkan pernah
sembunyi dari tulang rusuk adam




aku melihatmu sedang menanggalkan masa lalumu, pergi bersama payung
menuju ke tanah-hujan dari hulu matamu paling sunyi oleh angin dan air.
aku berkata di tanah pelupaanmu,
“suatu ketika payung itu hanya ilusi.”



2010
Ilustrasi: art quotes and painting

BALON-BALON YANG BERLEPASAN DARI TUBUH PEREMPUANMU





sewaktu pagi tubuhku serasa dikunyah akar-akar rerumputan

lalu terdengar sesak balon-balon yang semalam kautiupkan
dekat dadaku





aku yang diam-diam meminjam tubuhmu begitu lelah bagaimana meredam
suara-suara kematianmu. ah...mungkin kau tak ingat berapa pagi kau meronta-ronta
: “oh balon-balon yang malang, meletuslah ke atas sana sampai bangkit kelahiranku!

perempuanku telah melayang-layang
menuju peristirahatan hawa.”



2010
Ilustrasi: “run free” by larafairie

8.22.2010

JULI


bunga jambu di teras rumahku masih terlalu muda

untuk mekar dalam tubuhmu
yang kekar


2010

HISTERIA MAAF DI AGUSTUS-SEPTEMBER


sajadahlah yang mengirim doa-doa kami

menjadi api, membakar dosa-dosa penyebab
kami melupa dan dilupakan bencana!

luka membawa pergi duka, sekian lama
kebahagiaan kami berpuasa membilang
di kegenapan tiga puluh hari dengan segenap
indera kami menangkap adzanMu
menyemadikan kidung barzanji
dari ayat-ayat jemariMu

kakek kami yang sudah tiga puluh tahun
menuntaskan ramadhan
memberi tanda supaya pada waktunya
kami bersuara sopan dan tulus
ma-
-af...


Semarang, 2010

8.20.2010

DUA BAIT BAGI BAIT DI ATAS GUNUNG TEPEYAC

tertanda Bunda Guadalupe


*
kami persembahkan bebunga di kalung doa kami yang kami pujakan
kepada salam namamu, Bunda. dengan segenap pengasihan dan
pengampunan ke atas dua belas bintang di mahkotamulah, kami menerima
harapan sebagai sebuah jawaban atas pertanyaan di setiap kami menjalani
ziarah menuju gua-gua dan tempat-tempat suci. sebab, ketiadaan kami
yang akan datang telah menjadi kekhawatiran dan kegetiran kami di
bulatan-bulatan kecil bertanda salib itu. sejatinya kami lelah
mengampuni airmata kami sendiri; tapi di bait yang kami dirikan
bersama penghiburanmu, dosa kami selamanya akan menjadi mayat
di antara hari-hari kebangkitan. dan, kami akan menerima kegembiraan
dari Gabriel tentang litani kerendahan-hatimu yang temazmurkan!

**
seperti jubah yang dikenakan juan diego, seperti lukisan dirimu
yang tersematkan di setiap sudut katedral, gereja, kapel maupun sebalik
kertas novena. bersalam-salam kami sampaikan, berpesan-pesan
kami bacakan sewaktu kami membersihkan sisa tetes lilin. membeku
di palung-palung tempat kami melahirkan nama-nama permandian kami.
pada bait keperkasaan yang kami temui di sepanjang perjalananmu menuju
elisabetlah, kami belajar menganyam kalvari-kalvari perkasa di doa kami
sebelum kami meninggalkan tali dan kasut kami. maka, damailah kami seperti
burung-burung pipit bercericit hinggap bersarang seperti setiap helai
rambut kami yang tumbuh lalu jatuh menandakan kitab zaman kami
bahwasanya Tuhan tetap ada di bait-bait kami di atas gunung tepeyac
tempat kami berulang-ulang mengenangmu juga buah tubuhmu dengan
matarindu. O, Pia...O, Maria!


Kerep, 2010

8.19.2010

ESPANOLA EST.1945, LC-310RD

tertanda spur – winter version`05


jari-jari semacam mantra
kunci-kunci berkejaran
menyelesaikan syair-syair diam
di kepalamu di fret kesekian

triangel mengetuk-denting
menari-nari ke atas lima senar
menerjemahkan musik yang buta
dengan segenap bunyian maha nada
dan rerintihan gaung lubang
menyerupa bisu mulutmu

tampillah! lekuk-lekuk birama
membawakan lelagu penghiburan
untuk mengaca dan berkaca
bagi mereka yang bermataair

suara,
ke mana engkau bersibak selain
di dadamu?

karat tak kan menyudahi
bagian rima paling duka
sebab di kesedihan yang lalu
adalah pertunjukkan aransemen sembab
tentang betapa bahagia kita
sebagai empunya sorga
dan tiupan sangkakala
pada seteguk mimpi yang tumpah
:
sebentuk gitar klasik
di tangan pengamen kecil
menghentak
membacamu, merangkummu
menyimpanmu dalam sakunya


“o, nyanyian tuak
perdengarkan mereka
atas gemuruh not;
balok-balok doa
yang berjatuhan
dari tangga nadaMu!”


Semarang, 2010

PENCITRAAN MATA TENTANG PSIKOLOGI KLINIS SUATU SIANG DI RUANG 101


tertanda nur ahmad



pencitraan mata, satu
:
di kelas, semula kita hanya menuju pepatah
yang pernah menasihati loncatan-loncatan tanya
dari tumpukkan tulisan kacau mengenai intervensi;
primum non nocere*

adakah kita menjadi pengrajin tinta yang menuliskan
tak ada kata reviu pada setiap perjumpaan
setiap pengajaran bahwasanya kedewasaan adalah
pilihan

pencitraan mata, dua
:
mau dikemanakan terapi freud yang katamu
mengisyaratkan manusia akan penyakit alam bawah sadar

kataku di jalan kepala; kita telah mengamati
harimau tanpa taring sedang menyendiri memangsa mimpi

pencitraan mata, tiga
:
jauh kita menyusuri bab-bab
yang rupanya memilih jadi bangkai hidup
dan menyusun pertanyaan-pertanyaan tentang mereka

pertama; apakah tubuh atau jiwa yang menjelma obat
kedua; mengapa tak ada daftar simtom kegilaan di buku saku PPDGJ**
ketiga; skizofrenia seperti apa yang menjangkiti orang semacam nabi
keempat; siapa yang tak lepas dari diagnosa, tuhan saja mendiagnosa kita dengan dosa
atau sebenarnya kita yang mendiagnosa tuhan
kelima; apakah seorang psikolog adalah benar-benar klien bagi dirinya?

pencitraan mata, empat
:
pengingatan di ruang 101
kita belajar bagaimana mereka merasakannya
oleh nasib dan perilaku yang tak mudah
untuk diselamatkan
untuk menyelamatkan!




Semarang, 2010
*) peribahasa latin yang artinya pertama-tama jangan mencelakai
**) buku pedoman diagnosis ganguan jiwa




8.17.2010

KEPADA INDONESIA, TERSEBAB INDONESIA

 

- 1 -
kakek kami pernah bercerita tentang tanah purba kami. tentang bagaimana suku-suku
mencipta dan dicipta adat-adat di setiap tempat di setiap zaman. menumbuk mata
pencaharian, mengail bahasa, memanen doa. tentang bagaimana atap-atap rumah
menyaksikan kemarau dan penghujan bergantian melumuti mereka. tentang hutan
yang masih benar-benar hijau dan tak ada flora-fauna tercekik punah. tentang sungai
dan laut yang merawat-jaga air supaya tak ada tumpah di tanah atau pulau. demikian,
kakek kami mengimani bahwasanya sejarah negeri kami bukan sekedar penghafalan.

- 2 -
“apakah engkau kini mengubur ingatan kami,
ibutanah kelahiran kami?”


engkaulah yang mengandung kota-kota dan desa-desa kami. menjaga bilamana
kami tidur di kerinduan atas kubur nenek-moyang kami supaya tetap mengenal
mana nisan yang pasti kami doakan. namun, ibu...
mengertikah engkau bilamana kami ini sedang lupa ingatan. apakah ibu mengenal
kami, usia dan tanah kelahiran kami. apakah ibu benar-benar membuat negeri
kami terlahir dan dilahirkan oleh kemerdekaan. atau,
siapa ibukemerdekaan kami?

- 3 -
setiap tanggal tujuh belas bulan delapan, kami ingin sekali
merasakan merdeka benar-benar merayakan bendera yang memerah-putih
di tanah kami kota kami desa kami kampung kami rumah kami rindu kami;

negeri kami tersayang!


2010

8.16.2010

SAJAK DI JALAN BRAILLE : MENUJU MATA DAN TELINGAMU -2-

tersebab memoar Hellen Keller

ke pulau mana lagi, engkau tambatkan waktu-hatimu. hari-hari sudah begitu huruf
di jemarimu yang lapang. orang-orang kini menyimpan perasaan-perasaan bersama
pepatah hidup di balik tebal huruf-hurufmu. - mereka berseteru menyingkap
kejujuranmu, mengungkapnya dengan pertanda bahwasanya ada sesuatu yang lupa
terbaca -

ke bahasa mana lagi, engkau sederhanakan kebutaan dan ketulian. sebab, buta dan
tuli bukan lagi seperti sebuah novel atau puisi yang engkau renungkan berulang. bukan
seperti sebuah autobiografi atau catatan-catatan kecil penuh perjuangan dan kemalangan.
bahwa engkau telah memulainya dengan menerjemahkan bibir Anne Sullivan ke dalam
inderamu adalah muasal dari kesederhanaan itu. - buta dan tuli adalah bagaimana orang
melihat dan mendengarmu sebagai wanita dengan peninggalan sarat intuisi serta penciptaan.
seperti Dr. Bell memecah mitos Prometheus, seperti engkau meretas mitos braille -

Hellen, o Hellen...maka kitablah segala pengharapan, sebab sejatinya buta dan tuli
lepas mengupas kelopak matamu meremas gendang telingamu untuk sekedar
menjadi pagi di pecahan--kenangan meja belajarmu. sekedar menjadi pengucapan,
lafal pada lidahmu yang vokal tanpa menyatakan sedih bagi anugerah airmata
:
ada kebahagiaan saat engkau lupa pada keadaan dirimu.*


2010

*) penggalan kalimat dari catatan Hellen Keller