PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

1.14.2011

PUISI YANG INGIN MENJADI BAB KATA PENGANTAR NOVEL MUSASHI


[i]

suatu pagi, mungkin akan mengingatkan deru sejarah pada seribu tujuh ratus akar

aliran pedang di buku gorin no sho. sebelum dentum perang, sebelum merayakan

pedang. kitab ini lamat lamat ingin mengantarkan petang yang datang supaya

menulis tentang zaman jepang. abad abad manusia dengan segenggam kembang

di padang sekigahara, hasrat yang tak pernah habis ditenggak sampai pulang

ke pangkuan lawan. di luar sana, api berkobar. lalu asap keluar dari segala mata.

tempat kutumpahkan pecahan kata fiksi yang terjatuh dari musim gugur pohon

sakura milik eiji yoshikawa. lalu kupilin jadi penawar yang pandai meramal sejauh

mana abad terus berkata bahwa dinasti sudah mati di tangan tokugawa. senja itu

penuh bau sakura: kepulan masa yang hilang tertusuk tusuk oleh salju. salju yang

muncul bergantian di sebalik kertas dan turun dari asapmata dari kabut paling pagi.


suatu pagi yang senja, aku tetap menulis diri dan pedang pedang yang mati,

nyanyian nyanyian mesiu dalam tinta menjelang bab berkisah tanah

para pengembara dengan kimono dan ikat rambut panjang.


[ii]

takezo,

aku takuan yang ditulis oleh penyair itu!


sesekali aku meneriakimu, seketika pohon liu bercabang di desa-desa para bandit.

dan kemudian tumbang pada sebilah pedang pada teriakkan yang kesekian kalinya,

teriakkan dari halaman romawi yang ingin menyatakan bahwa ada tuan penerjemah

berikthiar untuk membesarkan negaranya.

aku membacamu cermat cermat, menuliskanmu di tubuhku. o, takezo. aku ingin

merayakan upacara teh denganmu. menyarungkan perang dan saling dekap,

di bab sebelum mengantarkanmu dari petualang para samurai kepada bab paling

damai. mendentangkan bel sebelum sarung sarung pedang kembali kosong;

purnama yang luruh ke atas kriptomeria tua. aku puisi yang ingin terbang

menjelang giring giring kecil membukakan novel. menjadi kata pengantar

yang tak terjemah dan meninggal di kisah negeri samar.



2011


Keterangan:

Gorin no sho adalah buku tentang lima cincin yang berisi urain Musashi tentang permainan samurai.


1.09.2011

CORETAN KECIL PSIKOLOGI 6 (BAGIAN II--SELESAI)

CORETAN KECIL PSIKOLOGI 6 (BAGIAN II): GURINDAM HASAN ASPAHANI DALAM RANTAI STRUKTUR JIWA PENANDA-PETANDA (SEBUAH PERCOBAAN ANALISIS PSIKOLOGI SEMIOTIKA BERDASAR KONSEP SAUSSURE DAN STRAUSS)


Oleh: Ganz (A. Ganjar S.)*



Signified-Signifier

Manusia adalah homo semioticus, kata seorang ahli semiotik Art van Zoest. Yang mana menurut van Zoest jika kekeuasaan itu berdiam diri, tidak memberikan tanda, maka manusia sendiri akan memproklamasikan sesuatu, apa saja, sebagai tanda. Sebab, ini pun mampu dilakukan oleh manusia. Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari bahasa Yunani “semeion”, berarti tanda. Ferdinand de Saussure seorang linguis berkebangsaan Swiss, seorang yang direferensikan sebagai penemu semiotik berusaha mengembang-lengkapi tesis-tesis van Zoest. Saussure memurnikan ide pembagian tan da ke dalam suara dan imaji sebagai suatu menyatakan bahwa akan lebih jelas ketika merujuk konsep sebagai petanda (signified) dan suara atau imaji sebagai penanda (signifier). Puisi berisi unsur-unsur semiotik yang begitu kental. Setiap kata dan tanda baca mempunyai peran, baik sebagai sebuah petanda maupun penanda. Puisi menawarkan semacam proklamasi kekuasaan kepada pembaca bahwasanya teks tersebut diharapkan bisa membawa pembaca pada kemerdekaan interpretasi tanda dari masing-masing jiwa. Dalam bagian II ini, saya mencoba untuk mengulas kembali sajak berjudul Gurindam karya Hasan Aspahani berdasarkan kacamata psikologi semiotika[1]. (Pada bagian II hanya dibahas sajak “Gurindam Pasal yang Keempat” sebagai sampel dalam membahas tema esai ini)


Struktur Tanda: Arbitrer Jiwa “Gurindam Pasal yang Keempat”

“Jangan tanya makna sebuah puisi pada penyairnya, sia-sia. Siapa tahu penyair tadi gila, hingga makna terserah pembaca. “ Suatu ungkapan spontanitas dari seorang penulis buku Metodologi Penelitian Psikologi Sastra, Suwardi Endraswara ini cukup memberikan kisi-kisi kepada pembaca. Kisi-kisi tentang bagaimana mengungkapkan sebuah sajak yang dibaca. Hal ini juga tergantung tingkat refleksi tiap-tiap pembaca. Saussure dalam menguraikan tentang semiotika, menekankan bahwa kesemenaan tanda adalah prinsip utama. Hal inilah yang kemudian dikenal sebagai istilah “arbitrer”. Selanjutnya, arbitrer ini sendiri punya latar belakang psikologis yaitu untuk mengkatarsiskan jiwa melalui kata. Dengan kata lain, adanya penglepasan tanda-tanda makna untuk diikatkan pada mata pembaca yang muncul atas dorongan ekspresi kejiwaan si penulis puisi itu sendiri. Pun dengan puisi berikut :


Gurindam Pasal yang Keempat:

Mana Kata, Mana Makna


Kenapa kau takut hilang jejak di dalam sajak,

bukankah hakikat sajak adalah jauh melacak?


Kenapa kau takut sajakmu kehabisan kata-kata,

bukankah hakikat sajak adalah kata yang mencipta?


Kenapa sajak kau jejali kata, kau bebani makna?

sajak itu meleluasakan kata, meluaskan makna


Sajak mulai bicara, kau ucapkan jutaan kata,

kenapa tak sebait pun sajak ingin kau cipta?


(Sumber: 60 Puisi Indonesia Terbaik 2009)


Puisi di atas tergolong rangkaian unik sebagai bagian dari tubuh puisi yang dibentuk dalam memenuhi kebutuhan menciptakan makna lewat tanda. Di sini, tanda itu berstruktur dengan masing-masing tujuan. Yang kemudian terkait struktur mental si penulis itu sendiri. Dua bait berikut memiliki relevansi yang erat dengan bagaimana membaca strukur secara semotika dan psikologis:

Kenapa kau takut hilang jejak di dalam sajak,

bukankah hakikat sajak adalah jauh melacak?


Kenapa kau takut sajakmu kehabisan kata-kata,

bukankah hakikat sajak adalah kata yang mencipta?

Kata tanya “kenapa” menjadi dielu-elukan untuk memperkuat struktur setelahnya. Subjek (“kau”)yang kemudian tetap menyala untuk sengaja tidak dilesapkan. Ini adalah sebuah tanda lewat representasi penanda—“kata tanya”, petanda – “kenapa”. Pemunculan kata tersebut berjasa bagi penciptaan struktur yang sedemikian murni, dan bila dikaitkan dengan strukturalisme Claude Levi-Strauss (seorang psikolog struturalisme) maka ada sebuah keteraturan hubungan antara bahasa dan mitos yang lekat pada tanda-kata dalam puisi. Ada semacam muatan jiwa yang beradaptasi dengan pengkailan makna dari sisi penulis sendiri. Si penulis berusaha menguakkan makna mentah-mentah lewat pertanyaan tajam seperti “bukankah hakikat sajak adalah kata yang mencipta?” Bahwa pembaca akan membahasakan secara gamblang atau multiinterpretatif itu akan menjadi persoalan lain, yang terpenting di sini adalah “pemahaman jujur” timbul lewat ruang kecil--puisi sebagai proyeksi makna penulis untuk pembaca. Pemahaman ini selanjutnya akan terlepas dengan sendirinya seturut subjektivitas pembaca. Subjektivitas dalam kemerdekaan yang interpretatif tanpa keluar dari keberadaan struktur tanda-tanda kata dalam puisi tersebut. Dengan demikian, arbitrasi pembaca dapat terpenuhi sebagaimana bait puisi di atas berusaha menggemburkan pemikiran-pemikiran pembaca yang telah masuk dalam pengkailan makna dari penulis. Dan struktur tanda, seolah berkaitan dengan semacam gejala neurotik bagi si penulis sendiri terhadap ukuran mitos yang hidup dan berkarya dalam dunia jiwanya.


Katarsisme Mitos Strauss Mencekal Makna Puisi

Penglepasan emosi menjelang akhir sajak ini masih dan tetap bergelut tentang bagaimana gejala neurotik dan bakat si penulis mengangkat keberangkatan fakta. Fakta di tengah-tengah dasar tebaran mitos yang tersembunyikan oleh langkah arbitrasi. Mitos kearbitreran ini kemudian secara lebih jelas dapat dijumpai pada persembunyian makna di bailik tanda-baca dan kata bait berikut:

Kenapa sajak kau jejali kata, kau bebani makna?

sajak itu meleluasakan kata, meluaskan makna

Bahasa bait itu serasa ingin membunyikan aspek yang disebut Levi-Strauss sebagai langue mitos. Adanya interaksi mendalam ditunjukkan antara mitos dengan makna puisi itu sendiri. Baris pertama pada bait tersebut menuangkan transformasi fakta ke dalam makna dan bahkan pesan estafet. “...kau jejali kata”, “kau bebani makna”, kedua himpunan kata tersebut seperti membayangi pembaca akan bagaimana mengenal sebuah sajak penuh kata tapi tak selamanya memiliki ringan makna. Adanya perpaduan harmonisasi diksi juga ditunjukkan pada bait tersebut hingga bisa dikatakan emosi makna pembaca ingin diletupkan lewat sebuah katarsisme mitos si penyair. Demikian jika dikorelasikan dengan Strauss dapat dikemukakan bahwa di dalam struktur puisi dan makna yang terkandung di dalamnya terdapat struktur mitos ciptaan si penulisnya. Bagaimanakah stuktur mitos tersebut dapat dicekal? Bait itu telah berkatarsis dengan sendirinya mencekal makna: “....meluaskan makna”


Jiwa si Penyair: Embrio yang Sungguh Hidup

Sajak mulai bicara, kau ucapkan jutaan kata,

kenapa tak sebait pun sajak ingin kau cipta?

Bait keempat tersebut bertolak untuk menciptakan penanda-petanda emosi yang mengerucut pada struktur pertanyaan. Di mana ada penempatan supaya pembaca turut mengotak-atik jawaban dari teka-teki penanda yaitu “sajak” dan petanda yaitu “kata” dalam konteks puisi ini. Melalui lorong bait ini, ada percobaan pengikatan belenggu yang seakan merantai pembaca. Hingga menembus keluar lorong penciptaan interpretasi jawaban pun, struktur jiwa yang tersusun rapi dapat mengobrak-abrik kerapian itu sendiri dengan kedisiplinan penyuguhan dinamika sajak. Hal ini berangkat dari bentuk pengolahan emosi dalam mitos penulisnya dan lahir embrio hidup di pikiran pembaca untuk keluar dari rahimnya dan menamakan bayi itu sebagai refleksi atas puisi. Refleksi yang lebih hidup tanpa menjauhkan nyala semiotika petanda-penanda dengan sumbu mitos jiwa si penyair.



Salam.

Semarang, 2011


*penulis seorang penyair muda dan mahasiswa psikologi Undip Semarang



Footnote:

[1] Sebuah cabang disiplin ilmu yang coba saya adopsi, pun saya kombinasikan dari ilmu semiotik dan psikologi.




--esai ini dan bagian I, dimuat di http://poetikaonline.com/2011/01/coretan-kecil-psikologi-gurindam-hasan-aspahani/--

1.08.2011

CORETAN KECIL PSIKOLOGI 6 (BAGIAN I)

CORETAN KECIL PSIKOLOGI 6 (BAGIAN I): NIVEAU[1] DI BALIK HERMENEUO[2] PADA SEBUAH GURINDAM HASAN ASPAHANI (SEBUAH PERCOBAAN ANALISIS NIVEAU J.ELLEMA DALAM HERMENEUTIKA PUISI)


Oleh: Ganz (A. Ganjar S.)*



Tentang Niveau

Puisi-puisi yang telah ditulis dan dipublikasikan sebenarnya menawarkan berbagaiinsight kepada para pembaca, di mana dalam jiwa-wajah ekspresi puisi yang dibaca seakan ingin mengatakan sesuatu dengan lebih dalam dan tajam tentang bagaimana memandang kehidupan. Keberadaan puisi secara psikologis dipanadang menciptakan fenomena tingkatan kejiwaan yang begitu likat, kata-kata dilekak-lekukkan dengan begitu elok oleh pembuatnya yang adalah si pencipta jiwa dalam puisi tersebut. Dalam menelusuri eksistensi jiwa, ia memiliki tingkatan tersendiri yang mana berfungsi sebagai semacam “penusuk” dalam citra puisi. Puisi dan kejiwaan memang seperti koin. Oleh karena itu, saya akan mencoba menganalisis menggunakan tingkatan kejiwaan di mana tiap tingkat memiliki daya peka yang berbeda. Secara lebih terperinci, eksistensi jiwa menyimpan unsur-unsur tegangan emosi, konasi dan kognisi yang belum dapat diketahui secara pasti akan pemahaman tiap unsur pada tubuh jiwa tersebut. J.Ellema dalam Petica (Noor, 2005:45) menyatakan bahwa jiwa manusia terdiri atas lima tingkatan. Setiap karya memiliki tingkatan-tingkatan kejiwaan dengan urutan seperti niveau anorganis, niveau vegetatif, niveau animal, niveau human, niveau religius. Niveau anorganis merujuk pada kehadiran karya yang mendatangkan interpretasi lekat dengan permainan bunyi dan stilistika (cabang dalam linguistik yang mempelajari beragam bahasa). Niveau vegetatif condong pada naturalisasi ragam puisi yang mempunyai relevansi dengan usia puisi dan penulisnya. Niveau animal merupakan kondisi naluriah atau impuls-impuls penulis atas dorongan menulis. Niveau human mengandung kondisi moralitas semacam wejangan yang ditujukan kepada pembaca. Niveau religius berkenaan dengan puisi-puisi profetik atau sejauh mana puisi mendekati tintkat interpretasi kedalaman religi. Pada kesempatan ini, akan diujicobakan bagaimana genetika dalam sebuah hermeneutika puisi berjudul Gurindam karya Hasan Aspahani seorang penyair dan ahli pelekuk kata ternama. Di bagian pertama ini, saya akan membahas “Gurindam - Pasal yang Pertama”.


Hermeneutika dalam “Pikiran Sebuah Gurindam”

Hermeneutika merupakan ekspresi pikiran-pikiran seseorang yang tersalurkan lewat kata-kata. Hermeneutika dapat juga dikatakan sebagai usaha penafsiran sebuah pemahan, sebuah pencarian insight. Mengubah sesuatu yang relatif absurd pada penjelasan yang “meng-awami”. Puisi yang berjudul Gurindam merupakan nukilan dari salah satu sub-bab yang diadakan dalam rupa pasal-pasal. Hermeneutika muncul dari cetusan pemikiran bahwa manusia tak dapat membebaskan diri dari kecenderungan dasarnya untuk memberi makna. Paul Ricoeur seorang filsuf, menyatakan bahwa hidup itu sendiri adalah sebuah interpretasi. Gurindam pasal yang pertama tersebut tampaknya relevan dengan konsep otonomi teks. Ada pikiran yang ingin diungkapakn tentang sebuah situasi kultural moderat dan pengadaan teks. Nukilan berikut ini mencoba menguak pemikiran tersebut:


“Jika kau paksa juga menulis sajak,

kata memang tiba, tapi makna jauh bertolak.


Jangan ajari sajakmu mengucap dusta,

sebab mulutmu akan dibungkam kata-kata.


Biarkan sajakmu dicela dicaci dinista,

karena maki cuma kata yang cemburu buta.


Di mana kau simpan sajak terbaik?

di hati, lalu biarkan kata mengucap tabik.”


(Sumber: 60 Puisi Indonesia Terbaik 2010, Gurindam; hal.26-27)


“Rekonstekstualisasi” terjadi ketika nukilan sewaktu nukilan dari “Gurindam - Pasal yang Pertama” meluncurkan kekuatan interpretatif yang mencoba untuk “melepaskan diri” dari cakrawala intensi pengarangnya menuju taraf kultural-sosial. “Jika kau paksa menulis sajak/kata memang tiba, tapi makna jauh bertolak.” Ada simbol-simbol yang merenungi kalimat tersebut. Bagaimana penggalian-penggalian makna ingin menjadi tekanan dalam menulis adalah salah satu upaya untuk sebagai buah interpretasi oleh para pembaca. Cakrawala intensi penyair akan kultur-sosial mulai melepaskan diri ketika berada pada bait “di mana kau simpan sajak terbaik?/di hati, lalu biarkan kata mengucap tabik.” Pembaca diajak untuk berpikir secara refleksif atas dasar yang disebut Ricoeur sebagai mode of being[3]. Hasil kata-kata ini juga merupakan perpaduan antarasifat yang menepatkan diri penyair pada sudut padang dan setting kultur-sosialnya. Di lain sisi, bisa saja sajak ini menulisakan semacam sebutan lingkaran hermeneutis yang menunjukkan sebuah dinamika kreatif dan progresif dari penafsiran pasal-pasal selanjutnya. Pendek kata pemikiran “Gurindam – Pasal yang Pertama” ini ingin agara pembaca belajar untuk berpartisipasi dalam proses kepenyairan. Tentang bagaiamana memandang kehidupan menulis sajak adalah bagian dari apa yang disebut Ricoeur dalam oelbagai macam hermeneutika dengan “perjuangan melawan distansi kultural”. Dengan arti bahwa para interpreter harus ikut mengambil jarak supaya mereka dapat membentuk interpretasinya dengan lebih mendalam dan arif tanpa mengesampingkan pesan subjektif.


Eksekusi Niveau-Niveau di Pasal yang Pertama - Refleksi

Niveau anorganis berangkat dari pemikiran bahwa karya ke depan mungkin saja akan dibaca di depan panggung atau sekadar dibaca di balik kamar. Pola, bunyi, irama, baris sajak, kalimat, dan gaya bahasa tertera dalam penjelmaan sajak tersebut. Rasakan kata-kata di akhir kalimat yang berbunyi seperti “...sajak-…bertolak”, “…dusta-…kata-kata”, “…dinista-…buta”, “…terbaik-…tabik”. Perhatikan juga korelativitas kalimat dengan kalimat lainnya. Pertimbangan yang masak seperti pemilihan diksi, menjadi faktor penciptaan jiwa puisi yang lesap akan benda-benda atau struktur-struktur mati ini. Tentunya yang dianggap mati tidak akan selamanya mati dengan adanya ruh estetika dan hermeneutika sosial-kultural yang beredar di setiap pemaknaan subjektif akan tingkat empativitas para pembaca.

Niveau vegetatif dalam tingkatan yang berdiri dalam sajak ini bisa dikatakan rendah signifikansinya. Hubungan antara proses imitasi karya dengan eksistensi sajak ini dinilai relatif negatif. Hal ini dipengaruhi oleh faktor usia penyair dan menyair, bagaimana jam terbang menjadi titik tolak dalam penilaian niveau vegetatif. Dan yang terpenting adalah terlepasnya makna untuk didistorsikan dalam metafor-metafor yang jitu menguasai apa dan siapa. Lebih dari itu, keterikatan unconsciousness mind telah terhindarkan dalam proses kelahiran sajak tersebut.

“Pernahkah sajak meminta lebih darinya?

kata berkata: ah apalah, aku cuma kata…”

Lewat potongan puisi itu, saya mengakui bahwa pelekuk kata ini begitu lihai mendistrosikan sebuah kondisi naluri yang menjadi gambaran-gambaran niveau animal. Ekspresi hewani penyair sepenuhnya teredam sembunyi-sembunyi di balik sajak ini.

Ngguruni, itu salah satu image yang lesap dalam penggalan puisi berikut ini:

“Jangan ajari sajakmu mengucap dusta,

sebab mulutmu akan dibungkam kata-kata.”

Tak pelak lagi, niveau human muncul dalam katarsis serupa potongan puisi di atas. Moralitas. Perhatian dengan teknik yang “serba pisau”.

Gurindam pada sastra Melayu adalah salah satu contoh karya sastra yang mengandung kekentalan niveau religius. Namuan, apakah “Pasal yang Pertama” benar-benar tumbuh sebagai keanekaragaman definisi religus? Sepertinya ini hanya milik imanenitas dan transendenitas antara pembaca dengan Tuhannya.

Atas dasar teropong kelima niveau di atas, keberhasilan hermeneutika antara fungsi sajak tersebut dan penilaian pembaca telah tersampaikan lewat genetika interpretasi yang memadai ataupun tidak bagi masing-masing rasionalitas. Genetika itu yang kemudian perlahan berbuah tanya: sejauh mana karya ini dianggap benar-benar orisinal secara psikologis lepas dari gumpalan pengaruh di luar teks?


Salam.

Semarang, 2011


*Penulis seorang penyair muda dan mahasiswa Psikologi Undip Semarang.



Footnote:

[1] Tingkatan kejiwaan menurut J.Ellema.

[2] Bahasa latin dan kata asal dari hermeneutika.

[3] Pandangan yang mempertanyakan bagaimana cara menjadi, atau sesuatu itu berada.

TUJUH MATATUHAN


[1]

seorang ibu diamdiam

mencuri cabai di pasar murah


[2]

seorang ayah mencopet doa

dengan tasbih di lehernya


[3]

seorang anak jalanan tidur

menggenggam nyala matahari di dada


[4]

seorang kakek bersepeda ontel

menuju masjid siang hari


[5]

seorang nenek berjalan menatap ke bawah

ke depan, membawa kayu bakar pengganti elpiji


[6]

seorang ustad yang diceraikan isterinya

lalu pulang membawa isteri lain


[7]

selembar puisi, hanya berisi judul

"aku takkan kehilangan mataMu"



2011

1.03.2011

TUHAN KECIL BERSABDA, "TAK ADA KEMATIAN SETELAH MENULIS"

*

menulis itu seperti menginjak tanah perjanjian

yang berarti orang tak perlu repot-repot

berdoa, berpuasa, dan membaca kitab.

mungkin saja menulis itu doa paling jitu

menangkal malaikat-malaikat melempar

kutuk, lalu menaruhnya di kepala-kepala

demikian?


**

kaki-kaki yang berjalan ke surga ke tempat-tempat

ke mana segalanya akan berkalang ajal

adalah kaki-kaki persembunyian ular beludak


kaki-kaki yang berjalan ke tanah arwah

bukankah itu ada bagi mereka yang terlalu

banyak membicarakan tentang bagaimana

menghindari neraka. sebab neraka adalah

negeri paling tiada dan penuh kalajengking

bersama nyanyian kematian ular-ular


mayat-mayat begitu sedih ditinggal bahasa kubur

begitu kaku dengan aturan baku bahwasanya

kematian bisa membawa ke negeri yang jauh

yang damai. mereka curiga kepada kaki-kaki

kepada ruang-ruang di mana tangan-tangan

tak bisa menangisi kekasihnya. kekasih

yang menaruh bunga kamboja putih

atau mawar merah ke atas tanah

ke dalam peti-peti pertanda

seberapa besar amal dan dosa

panjang tangan dan kaki


langit-langit bertanya tentang semua ini

tentang kaki, tangan, mayat, dan

orang-orang yang menangisi;

bahwasanya kematian itu selalu melahirkan

kepergian dan dibawa pulang, maka di pundaklangit

para penyair bersusah payah bercinta

dengan tangisan dada mereka

supaya zaman tidak ikut gaduh

mempermainkan kematian

seperti binatang


***

lalu di bawah pohon terlarang yang lama punah

tergantikan oleh pohon abadi berdaun kata

setelah ceramah panjang ketika orang-orang

sibuk beribadah di sepanjang mimpi-mimpi

meninggalkan tanah perjanjian,

tuhan kecil bersabda

kepada ular

kepada kalajengking

kepada kaki

kepada tangan

kepada mayat

kepada airmata

kepada

mu


tak ada kematian setelah menulis.


2011

1.01.2011

ESAI PSIKOLOGI SASTRA II

CORETAN KECIL PSIKOLOGI (4): SEBUAH PERCOBAAN TINJAUAN PSIKOANALISIS DUA SAJAK AHMAD KEKAL HAMDANI


Oleh Ganz (A. Ganjar S.)


Kematangan yang Tajam dalam Pengolahan Menuju Persepsi: Faktor Peninjauan Psikoanalisis

Ketajaman seorang penyair untuk menuliskan sajak-sajak yang “pisau” membutuhkan proses kreatif yang tak instan. Secara psikologis, terdapat beberapa tahap sebelum seorang penyair melahirkan sajak. Tahap pertama yaitu tahap penginderaan (peran serta indera secara fisiologis dari sebuah interaksi sosial), tahap sensasi (pengolahan informasi dari hasil penangkapan indera) akan membuahkan sebuah persepsi (sebuah proses di mana impuls-impuls sensorik diatur dan diterjemahkan), dan yang kemudian dituangkan lewat sajak. Tentunya, kematangan itu akan semakin bekesinambungan juga tajam jika penyair tersebut mau dan mampu belajar tentang kondisi (pengalaman, “status” sekarang dan orientasi ke depan) dirinya. Tentang bagaimana ia mengolah suatu informasi hingga menjadi persepsi sebelum menjadikan keutuhan sebuah sajak yang terlahir. Kematangan dalam menanjamkan proses inilah yang memberikan pengaruh besar bagaimana peran psikoanalisis bisa memasuki dan membedah keberadaan sebuah sajak.


Maksud dan Biografi Singkat

Selanjutnya saya tidak akan mengulas tentang bagaimana cara dalam mencapai kematangan seorang penyair, namun ada apa dengan sajak yang telah ia lahirkan dengan percobaan tinjauan psikoanalisis. Ulasan kali ini adalah dua sajak dari penyair yang masih muda. Ahmad Kekal Hamdani, kelahiran Jember 5 Agustus. Semasa kecil, penyair ini bercita-cita menjadi pelukis. Sewaktu SMA kerap memenangkan lomba lukis, karikatur, cipta/baca puisi dan musikalisasi puisi tingkat lokal maupun regional. Sajak-sajaknya pernah dimuat di media massa baik lokal maupun nasional (selain menulis sajak, juga menulis esai, cerpen maupun vignet), dan diterbitkan dalam buku yang berjudul “rembulan DI TAMAN KABARET”. Sekarang ia masih berstatus mahasiswa jurusan aqidah dan filsafat UIN di Yogyakarta.


Dua Sajak A.Kekal Hamdani

Berikut ini dua sajak tersebut:

Stasiun Sehabis Hujan

-3 sajak untuk kecemasan

I

Kursi-kursi panjang

yang tua

yang risau

ia sedang membaca koran

ada yang mengukur bayang-

bayang

Hujan pecah

lantas rebah, memeluk sepatu:

Berkisah tapak tentang waktu

II

Sehabis hujan

yang lengang

Kursi-kursi panjang

tapak berdebam

: lalu hilang

III

Kereta melintas

sehabis hujan, di jendela.

gambar bibirmu

membekas, kereta menuju

yang ditinggalkan dan pergi

: ibu

[ ]


(Sumber: “rembulan DI TAMAN KABARET” sehimpun sajak {2009}, hal.67)


Epitaf Laut

I

Kapan laut akan tertidur ibu?

Sesungguhnya, pada surup waktu bila malam melipat muram

ada yang berdesir ke lubukku, seperti sampan-sampan sunyi

bila membelah riak-ricik, namakulah itu: laut

Bila ditegakkan cahaya, di timur orang-orang mengemas

nasib dan keberangkatan. kita sedang di sini mendengar bisik

perjalanan, tapak yang berdengung ke utara di jalan hening

kota-kota tua, tempat setiap peristiwa ditulis

dan dibukukan menjadi puisi. akulah itu: laut

Ia terduduk di situ, menunggu sesap di batinnya lebih dalam

membuka jendela, menunggu hujan lebih resap ke akar-akar

yang menjalar di kakinya, mengikat jarak

antara gerak gelombang dan diam airmata

namakulah itu: laut

II

Kapan laut akan tertidur ibu?

Tak kutulis ibu, gugur asin laut yang bergulir

setiap matamu terbuka dan bersidekap dengan lukaku

selintas sesap ke langit menjadi perahu

berlayar bersama angin. Itu karena ibu, matamu adalah

lanskap dalam batinku, seperti titik hujan

angslup ke dalam dadaku: laut itu

III

Kapan laut akan tertidur ibu?

Lantas perlahan ia tutup jendela

seperti mengatupkan kenangan dari masa lampau

gelombang ingatan: perih itu bernama laut

[ ]


(Sumber: “rembulan DI TAMAN KABARET” sehimpun sajak {2009}, hal. 76)


Inspirasi Puitik, Gaya Puitik, Kejeniusan Natural: Hubungan dengan Alam Bawah Sadar

Ada beberapa hal khusus yang perlu diperhatikan sebelumnya, yaitu tentang inspirasi puitik, gaya puitik dan kejeniusan natural. Penyair (Ahmad K.H.) sepertinya memiliki maksud inspirasi puitik dan gaya puitik yang cukup bertenaga pun gemulai dalam membuka maupun menutup kedua sajaknya. Pada sajak pertama, ia melakukannya dengan pendiskripsian tegas yang kemudian ditutup dengan kata induktif yang mencoba mengonklusikan rangkaian sajak tersebut. Pada sajak kedua, dimunculkan daya tarik dalam semiotika kalimat tanya dan ditutup dengan konsep paralel untuk setiap bait hingga bait akhir. Sedangkan dalam kejeniusan natural (bagaiamana seorang penyair menangkap simbol-simbol alam untuk dibawakan dan dimaknakan dalam sajak) yang dimiliki oleh kedua sajak tersebut terasa lebih kental pada sajak “Epitaf Laut”. Dalam sajak tersebut memiliki kosa kata yang lebih variatif dari pada sajak sebelumnya. Di “Epitaf Laut” kiranya simbol laut ini mudah untuk dipecahkan secara teka-teki makna. Pada bagian III terdapat korelasi antara kata “laut” dalam kalimat tanya dengan kata “laut” di akhir bait: “perih itu bernama laut”. Nah, inilah salah satu ciri kelihaian seorang penyair dalam mengasah kejeniusan natural.Tentunya tiga hal yang perlu diperhatikan dalam terciptanya sajak ini memiliki interdependensi dengan pengalaman alam bawah sadar penyair.

Pada sajak “Stasiun Sehabis Hujan”, terlihat bahwa ada keterpautan antara kecemasan dengan penciptaan sajak. Di sini ada sebuah langkah untuk melepaskan emosi (kecemasan itu) melalui pelahiran kata-kata semacam “risau”, “bayang-bayang”, “pecah”, “rebah”, “berdebam”, “hilang”, “ditinggalkan”, dan “pergi”. Kata-kata tersebutlah yang merupakan “anak-anak kecemasan” dari seorang penyair. Perasaan cemas sendiri telah memfungsikan dirinya sebagai tanda bagi ego. Ego berusaha sekuat mungkin menjaga kestabilan hubungannya dengan realitas, id, dan superego. Namun, ketika kecemasan mulai menguasai, ego berusaha untuk mempertahankan diri. Dan, di sini muncul suatu mekanisme pertahanan ego yang menjelma sebuah penulisan sajak. Dalam kata yang lain, ego merupakan representasi dari sebuah realitas, id merupakan representasi dari kebutuhan biologis sedangkan superego adalah representasi dari rangkaian nurani (conscience). Alam bawah sadar penyair (dalam hal ini kecemasan) menjadi semakin kuat ketika terdapat dalam tiga bait berikut:

(1)“Hujan pecah

lantas rebah, memeluk sepatu:

Berkisah tapak tentang waktu”

(2)“Kursi-kursi panjang

tapak berdebam

: lalu hilang”

(3)“…kereta menuju

yang ditinggalkan dan pergi

: ibu”

Pada bagian pertama unconscious mind penyair mendorong munculnyadisplacement, yaitu upaya untuk memindahkan perasaan tentang waktu yang menekan dengan benda sebagai target simbolik. Kata (benda) itu direalisasikan dengan “sepatu”. Pada bagian kedua, unconscious mind penyair lebih condong menuju represi. Dalam teorinya, Anna Freud pernah menyebut dengan “melupakan yang bermotivasi”. Metafor “kursi-kursi panjang” mengindikasikan ada semacam ingatan yang ingin dan segera dilupakan atau dilalui. Dengan demikian kecemasan yang membentuk represi sedikit demi sedikit akan memudar. Hal ini ternyatakan dalam kata “: lalu hilang”. Sementara itu pada bagian ketiga, mekanisme pertahanan ego penyair muncul dalam bentuk introjeksi atau kadang disebut juga sebagai identifikasi. Mekanisme ini bekerja dengan cara membawa keperibadian orang lain masuk ke dalam diri penyair. Kata “ibu” adalah kunci dari identifikasi tersebut dan dengan melahirkan kata tersebut ada rasa untuk melepas kecemasan sebagai langkah untuk merenggut rasa aman guna meneguhkan identitas penyair. Kata tersebut dapat juga menyumbangkan arti tentang bagaimana hubungan antara kehidupan penyair dan ibunya yang dalam tahap perkembangan di tahap phallic di mana terdapat rasa “kenikmatan hubungan” atau lebih sering disebut dengan krisis oedipal. “Ibu” yang berfungsi sebagai objek “cinta” menjadi dimunculkan melalui alam bawah sadar dan menjadi identif dalam kata di bait tersebut.

Hubungan antara karya sastra dengan persona dipertegas oleh Freud, yang memandang bahwa seorang penyair tak lebih dari seorang “pelamun” yang lari dari kenyataan hidup. Ungkapan freud itu rupanya bersepadan dengan sajak “Epitaf Laut”.

“kapan laut akan tertidur ibu?

…..

… : perih itu bernama laut”

Potongan sajak tersebut menyematkan seorang yang masih berkutat pada persoalan hidup yang sangat berat dan mencoba supaya persoalan itu pergi. Namun, hidup tanpa persoalan sama halnya tak hidup. Di sini pun masiih ditemukan kata “ibu” yang rupa-rupanya adalah pertanda tentang penyair ini, bahwasanya masih melalui krisis oedipal (mungkin sepanjang hidup). Saya belum tahu tentang kehidupan yang dilalui sebenarnya, namun lewat semiotika bahasa yang ia susun sedikitnya dapat meraba. Tidak hanya pada sajak yang sedang saya ulas saja, tapi sama halnya dengan sajak-sajak lain. Terlepas dari itu, ada apa dengan laut? Mengapa di setiap bait penyair ini meletakkan kata laut? Deskripsi tentang laut bisa saja meluas dalam sajak ini, tapi penyair telah menciptakan arti (creating of meaning) sendiri bagi kata “laut”. Di sajak ini diketemukan tiga kata yang mencoba untuk menciptakan konklusi di masing-masing bait, yaitu “namakulah itu”,”ke dalam dadaku”, dan “ingatan”. Ketiga kata ini merupakan kata induktif sebelum merujuk pada laut. Penyair mencoba memproyeksikan pengalaman-pengalaman inderawinya dengan menggunakan tiga kata yang bisa membuka kamar kosong berisi alam bawah sadarnya. Lantas bagaiamana dengan bentuk pelarian penyair dari kenyataan? Beginilah ia mencoba melakukan displacement setelah memupuk represi:

“Lantas perlahan ia tutup jendela

seperti mengatupkan kenangan dari masa lampau”

Inspirasi puitik, gaya puitik, dan kejeniusan natural tak bisa terlepas dari pengalaman-pengalaman bawah sadar si penyair. Di sajak “Epitaf Laut” ada sesuatu yang sepertinya terlalu dalam untuk diselami. Sesuatu itu mungkin seperti superego di masing-masing pribadi yang tak mudah untuk ditebak.


Psikoanalisis: Embriologi Kepribadian

Sepertinya, tidak salah bahwasanya sajak merupakan proyeksi dari si penyairnya, juga tempat meletupkan represi secara positif dan tenang melalui semiotika yang terlihat memiliki gayanya yang khas. Ulasan yang ditinjau dari teropong psikoanalisis ini secara tidak langsung juga adalah sebuah embriologi kepribadian. Bagaimana si penyair mengekspresikan unconscious mind-nya pada lekak-lekuk kata dan makna, mengulang-ulangnya menjadikannya lebih matang dan tajam hingga memiliki kedalaman arti yang lebih bagi pembaca.


“…dengan bakatnya(penyair) yang istimewa dia menjalin khayalan-khayalannya menjadi suatu kenyataan hidup baru yang oleh orang-orang lain disambut sebagai cerminan hidup yang berharga.”

[Sigmund Freud]


Salam.

Semarang, 2010


Referensi:

Endrasawara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Psikologi Sastra. Yogyakarta: MedPress.

Broere, C. George. 2008. General Psychology. Yogyakarta: Prsima Sophie.

Hamdani, Ahmad Kekal. 2009. rembulan DI TAMAN KABARET. Yogyakarta: PondokMas Publishing.

Jones, Ernest. 2007. Dunia Freud. Yogyakarta: IRCiSoD.



- esai ini pernah dimuat di tabloid "Bali Bicara" -