PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

5.23.2012

BAGIMU, SEJUMLAH EPISODE KAMPUNG LIR-ILIR



("Lir-ilir, lir-ilir tandure wus sumilir
Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar
Cah angon - cah angon penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekno kanggo mbasuh dodotiro..."*)

1. kekasih, di kampung yang konon masih ada sawah, langit
tercipta bersama badan yang berlamur-lumpur; lalu berutas-utas
cahaya memandikan seluruh perstiwa. pepohon kersen itu, sebutku:
seperti mempercintakan gelantung buah-buah merah kecil
beserta perasaan-perasaan santun tentang jejak jalan naga
dan kelindan sarang semut-semut angkrang merah.
pepohon kersen itu, sebutku: seperti mengeringkan
lumpur yang tebal dan banal dari sisi badan yang sintal
dengan isyarat resap akar-akarnya. di kampung itu,
pepohon kersen ini selayaknya kain berwarna papan catur
yang khusyuk memeluk serangkaian sembahyang anak cucu
--sebuah pawai kebajikan yang ditanah-langitkan dalam nyaring
bayang kekononan

2. sesampai bahasa bersitumpah jadi sepah yang rapal
perjalanan ini, kekasih, perjalanan panjang yang aduhai
mengusik: o... ke mana mesti kutanggalkan suara-suara langit
yang pertama kali semenjana biru. demikianlah,
demikianlah, negeri ini menyusun langit demi langit
menciptakan orang-orang bukan hanya dari satu warna;
sebab di atas sana tak semata-mata langit atau angin kencang
yang mengoyak-koyak awan, melainkan semacam pengetahuan
abadi tentang bagaimana memahami hilir ketinggian, bagaimana
menerjemahkan kerendahan sebagai rumput terhijau sebagai
tujuan yang tak pernah tuntas bergerak untuk diupacarakan

sesampai bahasa bersitumpah, segalanya mengeras seperti
batu-batu menhir; pun ingatan-ingatan senantiasa meremas
dongengnya sendiri, mengeram setiap kabar menjadi lelagu
yang saling menyanyikan mimpi, mimpi yang dilepaskan setiap ibu
ketika meninabobokan anaknya atau ketika mengucapkan pepatah
sebelum menempuh sejumlah tanah rantau;
mimpi-mimpi itu ialah sebermulanya bahasa
pertautan antara  doa, kenyataan, dan aku

3. mataku, mata ikan muara yang ditangkap
oleh kisah-kisah fiksi tentang zaman raja dan rakyatnya,
mataku ikan muara yang kehausan berenang
pada sungai-sungai keruh di mana hujan tak luluh-luluhnya
melarut-hanyutkan keruh itu. mataku, ikan muara yang dipancing
ramalan-ramalan kepala adat, dimantrai menghadap pohon kersen
dan ruh para pertapa. menjadi sebentuk pohon. pohon hijau,
pohon yang sering ingin ditanam sebagai perlambang bangsa
sebagai harapan-harapan yang bersetimpuh   

kekasih,

pahamilah. kini mataku, mata kampung digital yang menampung abad
abad, yang bercahaya benderang sebenderang layar-layar
monitor, sebab orang-orang. orang-orang masih memiliki bahasa
dari kisah-kisah yang lapang: semesta beserta perasaan-perasaan
perihal cinta yang bukan aku, melainkan satu. satu

("...Dodotiro-dodotiro kumitir bedhah ing pinggir
Dondomono jrumatono kanggo sebo mengko sore
Mumpung padhang rembulane mumpung jembar kalangane
Yo surako… surak hiyo"**)


2012


KETERANGAN:
*(dalam bahasa Indonesia) Bangunlah, bangunlah, tanamannya telah bersemi
Bagaikan warna hijau yang menyejukkan, bagaikan sepasang pengantin baru
Anak gembala, anak gembala, tolong panjatkan pohon belimbing itu
Biarpun licin, tetaplah memanjatnya, untuk mencuci kain dodotmu. (Dodot adalah sejenis kain kebesaran orang Jawa yang hanya digunakan pada upacara-upacara / saat-saat penting)
**(dalam bahasa Indonesia) Kain dodotmu, kain dodotmu, telah rusak dan robek.
Jahitlah, tisiklah untuk menghadap (Tuhanmu) nanti sore
Selagi rembulan masih purnama, selagi tempat masih luas dan lapang
 Ya, bersoraklah, berteriaklah iya




5.19.2012

APRESIASI DARI PAK SOFYAN ADRIMEN

MEMBACA SEBUAH PENCARIAN (sebagai penikmat puisi)



KETIKA PERTAMA SEORANGPUN BELUM MAMPU MENGARTIKANNYA
oleh A Ganjar Sudibyo


Puisi, aku sangat menggandrungi keunikan puisi ini, sebagai salah satu bentuk karya sastra dalam tulisan seperti yang lainnya, cerpen, novel, roman dst. Bagiku puisi ini mampu memanifestasikan beragam realitas dari beragam narasi seberapapun panjangnya dan ia meremasnya menjadi sari-sari pati yang pada mulanya adalah perasan yang penuh ambiguitas, oleh karena daya perasnya yang sangat kuat itu. Bahkan dari narasi-narasi yamg masih bersifat imajinatif sekalipun.
Ambiguitas sebuah puisi inilah yang senantiasa memukauku, untuk berlarut-larut di dalamnya. Multi tafsir yang mengalir yang menenggelamkan pada nilai-nilai dan pemaknaan yang di hulukan sang penyair dari dilema maupun problematik kehidupan, kemausiaan, religi dll.
Berpijak dari hal di atas, aku menikmati permainan indah yang di sajikan rangkaian kata-kata dalam puisi ‘KETIKA PERTAMA SEORANGPUN BELUM MAMPU MENGARTIKANNYA’ karya A Ganjar Sudibyo, yang dulu di facebook di kenal dengan nama Ganz Pencandukata, setidaknya itu nama yang di pakai ketika pertama kali aku mengenalnya di fb. Atau dengan berseloroh temannya sering juga menyebutnya sekarang, GPCT.
Sepintas aku melihat judul ini sebagai sebuah pintu yang unik, pada umumnya sama dengan pintu-pintu yang lainnya yang menawarkan kita untuk masuk dengan daya tarik yang melambai indah dan menarik, aku katakan indah dan menarik karena ia sanggup membuatku untuk menoleh untuk kedua bahkan ketiga kalinya, bagiku itulah keindahan yang sebenarnya itu, yang sanggup membuatku untuk menoleh dan mencermatinya, apa yang membuatnya indah itu?.
Mungkin yang membedakannya dengan pintu pada umumya, sebagaimana aku menyebutnya sebagi sebuah pintu yang unik adalah, aku melihatnya sebagai pintu yang berdaun kembar, secara intuisi aku melihat judul itu sebagai dua buah kalimat yang dipadukan atau dibenturkan., ‘ketika pertama’ dan ‘seorangpun belum mampu mengartikannya’ meskipun jumlah kata dalam kedua kalimat itu tak seimbang, namun kesimbangannya terjadi pada ambiguitas tafsir yang masing-masing dibawa kedua kalimat itu.
Aku membayangkan diriku sebagai seorang tokoh koboi yang lengkap dengan segala aksesorisnya dan senjata tergantung di pinggang, setelah menambatkan kudanya di depan sebuah bar, seperti dalam film-film western itu, lalu ia melangkah mendorong kedua daun pintu bar itu dengan kedua tangannya dan kedua daun pintu itu tesibak dengan keagungan yang anggun, indah.
Sebelum melangkah masuk, aku disambut dengan sesuatu yang tidak lazim tapi juga tidak asing, sebuah pertanyaan yang aku yakin orang akan memilih untuk tidak mempertanyakannya sekarang ini, tapi ia menjadi menarik perhatian karena dituliskan sang penyair dengan khusus dengan tulisan yang miring, dalam kurung dan masih juga di beri tanda petik, ia sangat menekankan untuk membaca pertanyaan ini dulu sebelum masuk ke tubuh puisi ini, walaupun sepertinya terasa ia tak menginginkan jawabannya, sangat sederhana,

(“kenapa burung-burung
 tak takut ketinggian, bu?”)

Menurutku penyair ini baik hati, dengan judul dan bait penyambutan itu ia tak lansung mendorong kita ke lubuk yang sudah dibangunnya  untuk kita renangi dengan kegamangan akan ketidak pahaman akan puisi ini nantinya. Ia memberikan bekal sarana untuk menelusuri ruang-ruang yang telah di sediakan dalam puisi ini. Dengan pertanyaan yang sederhana itu dan sepatah kata setelah  koma, bu, kita akan dibawa ke kebelum tahuan atau banyak hal-hal yang kelihatan sederhana di sekitar kita tapi kita menyepelekannya sebagai sebuah nilai dalam hidup ini. Seperti kita masih kecil dulu yang dengan cerewet menghujani sang ibu dengan pertanyaan yang menurut kedewasaan sang ibu itu adalah hal yang jarang atau tak pernah terpikirkan, karena ya seperti itulah adanya sedari semula. ‘langit itu,’ katanya, membuka tubuh puisi ini, ‘langit yang lagi-lagi seperti sebuah jendela’. Ambiguitas dari kedua kalimat di awal tubuh puisi ini mencengangkanku, kedua kalimat itu bisa bermetafor ke multi pemaknaan, tapi dengan bait penyambutan tadi kita menjadi tak asing dengan yang diharapkan atau yang ingin disampaikan penyairnya, Sebuah harapan, harapan yang dituduhkan berasal dari langit itu, yang juga seperti sangat menjanjikan sesuatu yang tinggi itu.dan perjalanan pencarian itupun dimulai.

Sebuah pencarian, yang dikenakkan penyair dengan ‘seekor burung muda yang belajar mengenakan sayapnya’, ‘ bu, aku mau belajar terbang, seperti apa rasanya di ketinggian awan itu ya…bu’ katanya.


langit itu, langit yang lagi-lagi seperti sebuah jendela
yang dibuka pagi-pagi sekali. kau, kau layaknya sudah lama
sekali menjemur mimpi tentang seekor burung muda
yang belajar mengenakan sayapnya. lalu sebuah mesin cuci
mencoba berulang-ulang mengeringkannya, karena hari ini
warna langit bergerak cepat. orang-orang tampak sibuk
membenarkan letak tas di punggungnya. tapi, kau masih
saja percaya, aku akan datang untuk menyelamatkan
mimpi itu, bukan sebagai mesin cuci, sebagai orang-orang,
atau sebagai langit yang terlalu mustahil untuk digerakkan.


langit itu, lagi-lagi menciptakan kita dan segala perjumpaan
yang katamu adalah puisi-puisi setengah jadi. dan sebenarnya
kita belum mampu menjaga utuh seluruh peristiwa yang seringkali
membikin degup jantung kita tak karuan. burung itu, katamu
adalah kekhawatiran yang tumbuh pertama kali pada jarak-jarak
pada ukuran cinta dan seberapa sering kita menandai ketakaburan
sebagai kemungkinan-kemungkinan yang hablur. oh! aku tak lagi
mengerti bagaimana kita lantas menyebut langit ini atau burung itu,
waktu selalu saja larut dan kita membiarkannya dingin


Pencarian  sebagai sebuah nilai dalam kehidupan ini bukanlah suatu  hal yang baru, ia sama purbanya dengan peradaban ini. Tapi kata itu sebagai sebuah nilai menjadi terbaharui oleh dikenakkannya ke dalam kalimat seekor burung muda...itu, tak  hanya sampai di situ, penyair meletakkannya di hadapan kita, saat ini, bagaimana gamangnya pencarian jati itu di tengah peradaban yang serba modern dan instan ini dengan gelombang globasisasi yang menghantam kita, dengan kata yang dengan berani ia susupkan ke dalam puisi ini, sebuah mesin cuci, sebagai penanda dari jamannya.
Jaman di mana hal-hal yang normative itu bukan lagi sebagai lambang dari kemajuan peradaban secara keseluruhan tapi kini menjadi kemungkinan-kemungkinan yang harus di eksplorasi demi modernitas kebutuhan ragawi.
Ketika kita kehilangan batas-batas yang harus ditempuh dan yang tidak , maka kita berada dalam kegamangan itu, dan penyair ini menangkapnya dengan arif. Bagaimana masyarakat kita tidak mampunya sekarang ini mengartikan pencapaian dari pencarian jati itu(langit itu), atau burung-burung muda yang dengan kegamangannya demikian banyak dan terus belajar terbang ke awan itu, sedangkan mereka tak ada tempat lagi untuk bertanya, apakah ketinggian itu masih punya sebuah arti atau tidak dalam hidup ini?, yang pantas untuk diperjuangkan?.


ibu, ibu, ibu...bagaimana cara yang tepat untuk mengartikan
ketinggian itu, karena semua tempat tak lagi banyak menjelaskan
batas. maka pertama-tama, berjanjilah...lepaskanlah segalanya itu
ke dalam aku,
aku


Bagiku puisi yang berhasil itu ialah, puisi yang berhasil dengan penawarannya, entah itu ide, nilai atau kemungkinan-kemungkinan, yang ia berhenti pada penawaran maknanya itu dengan koma dan titik-titik yang akan membuat pembaca melanjutkannya., entah itu secara realitas, emosional atau imajinatif.
Penyair ini membuatku berimajinasi sebagai tokoh kpboi dari jaman dulu itu, dan ketika di dalam bar itu, aku menemukan demikian kekinian yang dengan segala problematik dan dilema yang di usungnya dalam puisi ini sebagai bagian dari pencarian harkat dari yang jati itu dengan sebuah pertanyaan yang tersirat padaku, seberapakah yang masih tersisa dalam diri kita?, yang bisa kita wariskan pada burung-burung muda itu?.
Ketika masuk tadi aku adalah seorang tokoh koboi yang gagah, aku rasa sudah cukup aku menikmati apa yang disajikan penyair ini. Aku lalu berjalan keluar, sebelum sampai ke pintu yang unik tadi itu, aku melewati sebuah cermin di dinding sebelah kiri, ketika masuk tadi aku tak melihat cermin ini, ah…biarlah, pikirku. Sebentar aku ingin mematut penampilan sebelum keluar, aku menghampiri cermin itu dan menelisik bayanganku di dalamnya,  Sepertinya bukan aku yang berada dalam cermin itu, kubuka topiku untuk lebih memastikan bayangan di dalam cermin, tapi yang berdiri di sana adalah seorang koboi kecil, koboi kecil seperti dalam film koboi cengeng yang ditokohkan oleh Adi bing Slamet dulu itu…lalu aku melihat keluar jendela, langit itu, lagi-lagi langit itu…


KETIKA PERTAMA SEORANGPUN BELUM MAMPU MENGARTIKANNYA
Oleh A Ganjar Sudibyo

  (“kenapa burung-burung tak takut ketinggian, bu?”)

langit itu, langit yang lagi-lagi seperti sebuah jendela
yang dibuka pagi-pagi sekali. kau, kau layaknya sudah lama
sekali menjemur mimpi tentang seekor burung muda
yang belajar mengenakan sayapnya. lalu sebuah mesin cuci
mencoba berulang-ulang mengeringkannya, karena hari ini
warna langit bergerak cepat. orang-orang tampak sibuk
membenarkan letak tas di punggungnya. tapi, kau masih
saja percaya, aku akan datang untuk menyelamatkan
mimpi itu, bukan sebagai mesin cuci, sebagai orang-orang,
atau sebagai langit yang terlalu mustahil untuk digerakkan.

langit itu, lagi-lagi menciptakan kita dan segala perjumpaan
yang katamu adalah puisi-puisi setengah jadi. dan sebenarnya
kita belum mampu menjaga utuh seluruh peristiwa yang seringkali
membikin degup jantung kita tak karuan. burung itu, katamu
adalah kekhawatiran yang tumbuh pertama kali pada jarak-jarak
pada ukuran cinta dan seberapa sering kita menandai ketakaburan
sebagai kemungkinan-kemungkinan yang hablur. oh! aku tak lagi
mengerti bagaimana kita lantas menyebut langit ini atau burung itu,
waktu selalu saja larut dan kita membiarkannya dingin

ibu, ibu, ibu...bagaimana cara yang tepat untuk mengartikan
ketinggian itu, karena semua tempat tak lagi banyak menjelaskan
batas. maka pertama-tama, berjanjilah...lepaskanlah segalanya itu
ke dalam aku,
aku


2012




Semarang, 18 Mei 012

PULANGLAH SAJAK-SAJAK



bagaimana lagi aku meminta kalian yang telah lama
khusyuk mencari jalan demi jalan dengan kaki timpang
dan bahu kanan yang memanggul kesedihan-kesedihan
tentang sesal serta gagal. memang salah jika kalian
bukan produk dari kecamuk diri yang selalu berkemas
untuk menunaikan kesetengah-matian setiap peristiwa
di berat waktu di mata tipis kalian. khusyuk itu:
kalian yang senantiasa berpegang di pundak yang lain;
khusyuk itu yang menamakan perjumpaan adalah
ingatan bebal yang tak ingin beku atau diremas-remas
dengan kerapatan dan kekuatan tangan

bagaimana lagi aku mengembalikan kalian menempuh
tujuan ke rumah yang dulu di mana kejujuran tak cepat
lelah atau pasrah mengatasi jalan yang salah. ya, mungkin
kalian tak perlu kembali membawa resah diri beserta
rasa bersalah; daripadaku jalan-jalan itu terhapus sendiri
oleh setiap ngiris yang menciptakan satu pintu dan
sejumlah petunjuk arah

--pulanglah sajak-sajak, bulu-bulu rinduKu ini hampir sesak
karena kertak!


2012

5.16.2012

KETIKA PERTAMA SEORANGPUN BELUM MAMPU MENGARTIKANNYA



(“kenapa burung-burung tak takut ketinggian, bu?”)


langit itu, langit yang lagi-lagi seperti sebuah jendela
yang dibuka pagi-pagi sekali. kau, kau layaknya sudah lama
sekali menjemur mimpi tentang seekor burung muda
yang belajar mengenakan sayapnya. lalu sebuah mesin cuci
mencoba berulang-ulang mengeringkannya, karena hari ini
warna langit bergerak cepat. orang-orang tampak sibuk
membenarkan letak tas di punggungnya. tapi, kau masih
saja percaya, aku akan datang untuk menyelamatkan
mimpi itu, bukan sebagai mesin cuci, sebagai orang-orang,
atau sebagai langit yang terlalu mustahil untuk digerakkan.


langit itu, lagi-lagi menciptakan kita dan segala perjumpaan
yang katamu adalah puisi-puisi setengah jadi. dan sebenarnya
kita belum mampu menjaga utuh seluruh peristiwa yang seringkali
membikin degup jantung kita tak karuan. burung itu, katamu
adalah kekhawatiran yang tumbuh pertama kali pada jarak-jarak
pada ukuran cinta dan seberapa sering kita menandai ketakaburan
sebagai kemungkinan-kemungkinan yang hablur. oh! aku tak lagi
mengerti bagaimana kita lantas menyebut langit ini atau burung itu,
waktu selalu saja larut dan kita membiarkannya dingin


ibu, ibu, ibu...bagaimana cara yang tepat untuk mengartikan
ketinggian itu, karena semua tempat tak lagi banyak menjelaskan
batas. maka pertama-tama, berjanjilah...lepaskanlah segalanya itu
ke dalam aku,
aku



2012

5.14.2012

SEBUAH PETANG YANG BERANGKAT DARI “EX NIHILO”



sepuluh kali ia kemasi tablet penenang, tapi kenapa
ia masih tak bisa jauh-jauh dari kepala yang menciptakan
berjumlah-jumlah khawatir pada dadanya. maka ia kemasi
dadanya sebentuk puluhan kali tablet penenang, maka ia
kemasi kepalanya sebentuk jalinan khawatir yang pernah
ringsek di ujung getar jari-jarinya. beberapa kali kemudian
ia simpan segala kemasan, ia pasang degup demi degup
di ucapnya; benarkah ini, atau justru mengemas itu serupa
dengan mengupas?

maka lekas ia meninggalkan degup selanjutnya sebelum sebuah
petang lebih dahulu berangkat untuk mengamini tak ada tenang
yang datang dari belakang


2012

5.03.2012

HUJAN DAN MUASAL PERCINTAAN



kekasih, pk 09.00 malam jalanan kampung bau hujan
pun bau arus air deras di kali. aku keluar rumah
malam itu, membawa sekepal kata-kata yang kucuri
dari kamus romeo. tapi, bagaimana aku bisa menerjemahkan ini
karena menujumu saja, aku pernah tak bosan-bosan
mengobati demam percintaan dan menulis catatan pertemuan
dengan ujung rambut juliet yang basah

kekasih, hujan yang sebentar lepas memang seringkali
membuat kita benar-benar tak pernah merasa naif
membuat kita bebas menempuh kata-kata
sebelum bersepakat menamai semua ini


2012

MENGGUBAH CUACA: COCO CHANNEL NO.5



katakanlah, bagaimana caranya kita menggubah cuaca kota malam ini
selain dengan merubah posisi bercinta dan cara bercumbu;
karena kerap saja kita tertipu dunia yang terlalu biar
--sebagai tempat, cuaca meletakkan mata kepada mata
bibir kepada bibir, kata kepada cara


serindu-rindunya kamu, aku tetap melihatmu sebagai
anggrek ungu perdu. bunga yang pernah kita tengarai
adalah bahan utama untuk membikin cinta ini menjalin
tetap pada pelukan lapang-panjang. aku tetap mengenalmu
sebagai wanita dengan likat parfum, dan bau itu
terangkum tetap sebagai warna ungu yang sama ketika
kita, ketika kita mengulang-ulang perasaan dan mencoba
menumbuhkan sepasang sayap demi sepasang lagi,
sepasang kamu demi sepasang aku. demi mengikat
sebuah cuaca yang dulu kita rancang, tapi terbang entah.
dan kini lewat jalan lain, kamu mendebarkan aku
pada sebuah dunia: cuaca dengan warna parfum seribu satu tahun


2012




4.26.2012

SALAH SATU ESAI YANG MEMPEROLEH PENGHARGAAN

Esai saya berikut ini mendapatkan penghargaan dari forum sastra Bekasi tahun 2012:

LUBANG HOMEOSTASIS DALAM EKSPERIMENTASI DIALOG PENYAIRNYA

4.25.2012

CARRICKFERGUS


aku membayangkan kita; bukan dalam seteru mimpi-mimpi yang sama
tapi dengan kedua tangan yang saling terbuka, pun wajah yang tak saling
berbalik. pada kenyataan perjumpaan tentang sebuah tempat ialah perjamuan
dengan seorang tamu undangan yang lama kita simpan di bawah bakaran bantal
pada pelukan-pelukan selamat datang dan sepuluh kali selamat tinggal. kita,
manisku, terbentang atas segala kata-kata yang tertarik dari tangan-tangan
kecil kepada segala yang belum sempat merekah untuk menerima keganjilan

aku membayangkan kita; menit-menit ketika kita hentikan ciuman
lalu bersepakat menuju sepanjang lorong gelap yang sampai kini
tak dapat kita namakan sebagai kebencian. hanya musik-musik di dalamnya
yang kita perhatikan setiap kita mencoba memahami perihal kasmaran,
musik-musik itu, seolah mengajak kita ke sebuah kebun yang tumbuh dari
seribu dongeng percintaan putri dan pangeran.
"ini bukan sepanjang lorong gelap lagi",
katamu

aku membayangkan kita; memegang permukaan airteluk paling tenang
bernafas dengan udara paling tegar seraya menggenggam sepasang merpati
yang hendak bergegas memenuhi angkasa menjadi putih bulu. kita melonjak
kegirangan karena kaki kita menanam sayap-sayap perkasa supaya memantul
jauh, jauh dari peradaban tentang ucapan-ucapan cinta yang palsu

aku membayangkan kita, manisku; berkejaran dengan pekat perasaan-perasaan hijau,
hijau muda, hijau bukit, hijau percaya


2012
 


4.23.2012

SEPASANG KEKASIH PADA MASA YANG JANCUK



tersebab sujiwo tejo




"Anut runtut tansah reruntungan
Munggah mudhun gunung anjlog samudra
Gandheng rendhengan jejering rendheng
Reroncening kembang
Kembang temanten..."



1. berulang kali kita panjang-lebarkan telinga, kata-kata itu;
kata-kata itu seperti tubuh yang seringkali dimandikan siang hari
atau seperti perasaan tak karuan yang dicuci dini hari dengan aroma
sabun mata kita. telinga yang pernah kita seterukan ini membikin
hari-hari menjadi sepotong bahasa. bahasa yang kerap saja tak tuntas
untuk diterjemahkan sebagai dunia. berulang kali kau, kau
memperkitakan kita dari kata dari bahasa: letupan sebuah masa
di mana jujur dan munafik hadir sebagai kabut pagi-pagi. kita ini
ialah kita yang mengerti tentang cinta tapi tidak tentang ciuman,
tapi tidak tentang bagaimana kita mendengar antara kemesraan
dan kehendak bergetar di atas ranjang. kita ini ialah kita yang masih
terlalu percaya bahwasanya telinga itu berada di atas dada. kita ini ialah
kekasih peranakan masa. masa sewaktu orang-orang diam-diam
mengamini perselingkuhan dengan siapa, apa, atau tuhan yang entah

2. sepasang kekasih ialah kita, yang dihentak oleh chairil, yang didoakan
oleh rendra. demikian kita tak lekas bertaruh siapa yang mesti mengosongkan
diri terlebih dahulu, lantas mengisinya dengan sekalian doa dan nama. demikian
kalimat yang bergaung atas nama kehidupan ialah kita ialah kematian dan hujatan
pada diri sendiri. sepasang kekasih adalah cinta  kedua mata kita yang dicongkel
tersebab Gusti






"...

Mantene wus dandan dadi dewa dewi
Dewaning asmara gya mudhun bumi
Ela mendhung, bubar mawur, mlipir-mlipir, gya sumingkir
Mahargya dalan temanten
Dalanpun dewa dewi

Swara trompet, ting celeret, arak-arak, sigra-sigrak,

Datan kendat, anut runtut, gya mudhun bumi"*



2012
*Syair lagu Anyam Anyaman Nyaman

4.21.2012

BLACKBERRY TAWAR TAWAR ASIN DIBACAKAN DI OPEN MIND COMMUNITY


Pembacaan puisi ini dilakukan bersamaan dengan pembahasan puisi ini pada tahun 2010.http://www.youtube.com/watch?v=B27Kwzw9JRQ&feature=relmfu

4.18.2012

ANALOGIA KEKITAAN

terbuat dari apakah padam lampu pagi-pagi:
kemesraan ataukah kebencian

sebagai kemesraan kita telah saling jatuhkan
pandangan yang melambat dari putaran
jam dinding; sebagai kebencian kita telah
saling sepakat bahwasanya menjadi asing
adalah perihal menenggak kebohongan
lantas bersikeras melupakan jujurnya kita

terbuat dari apakah padam lampu pagi-pagi:
kemesraan ataukah kebencian

sebuah kemesraan bertubi menjadi misteri
kenapa kematian senantiasa mencintai kehidupan,
seperti perjalanan yang tak henti-hentinya
menemui lubang pun arah yang membingungkan.
sebuah kebencian bertubi menjadi diam
mencenungkan perasaan demi perasaan
yang tanpa mulut kitapun bisa bersaksi

dalam suara, mata kita memanjang
dan menggema lalu menyala di sebuah
ruang yang belum pernah kita miliki,
manisku



2012

4.17.2012

SEJUMLAH PERTANYAAN (NON)SUKSESIF: REPETISI, REPRESI, DAN MEKANISME PERTAHANAN AF DALAM ‘PENYIMPANGAN DAN PENYATUAN[1]’

SEJUMLAH PERTANYAAN (NON)SUKSESIF: REPETISI, REPRESI, DAN MEKANISME PERTAHANAN AF DALAM ‘PENYIMPANGAN DAN PENYATUAN[1]’

Sebuah Ulasan Singkat Oleh: Ganz

Kau bilang aku mengulang

sesuatu yang telah kubilang sebelumnya.

Aku harus mengatakannya lagi,

Haruskah aku mengatakannya lagi?

[T.S. Eliot]


Octavio Paz dalam buku kumpulan esainya “Suara Lain” di salah satu babnya ia mempercayai bahwasanya ada manifestasi yang muncul dalam sebuah pengulangan pada raga puisi. Ia menyatakan lebih lanjut mengenai pengulangan yang mana dikorelasikan dengan proses rekonsiliasi dan kekinian. Menyimak puisi-puisi AF (demikian saya memanggil penyair muda yang kian licik, yang bernama panjang Arif Fitra Kurniawan), mengembriokan saya sejumlah pertanyaan terkait ‘mitos perubahan’ dalam proses menulisnya. Berikut ini sejumlah pertanyaan yang mesti saya lahirkan dalam ulasan singkat ini beserta deskripsi dan sejumlah bukti halusinatif dari sejumlah puisinya yang diberikan kepada saya:

Apakah AF sedang mampu bermain-main anafora, efoni, kakofoni, onomatope, lambang rasa, dan mempergunakannya secara sadar, atau hanya abcdefg....?

Pada beberapa puisi yang disodorkan oleh AF, saya merasa terpancing dengan kekhasannya dalam permainan bunyi-bunyi hurufnya. Puisi-puisinya yang berjudul “TUPAI-TUPAI DI TUBUHMU”, “02.30”, “Masa Lalu yang Menyala Malam Hari”, “Mitos Hujan Sore Hari”, “Siang yang Dangkal”, “Setabah Subuh”, serta “Ke Engkau Lagi” menebarkan tuduhan semacam permainan atau peletakan bunyi-bunyian. Berikut saya serta-mertakan definisi berdasar KBBI maupun buku yang berjudul “Berkenalan dengan Puisi” beserta contoh-contoh dalam puisi AF”:

1. Anafora menurut “KBBI offline versi 1.3” merupakan pengulangan bunyi, kata, atau struktur sintaksis pada larik-larik atau kalimat-kalimat yang berturutan untuk memperoleh efek tertentu. Contoh penggalan puisi AF yang dituduh melakukan anafora ada dalam TUPAI-TUPAI DI TUBUHMU:

“....

dengan sendirinya dari bibir engkau.

dari jari engkau, dari ketiak engkau

dari leher engkau, dari punggung engkau.”

Kata “engkau” yang disusun berurutan dalam penggalan bait puisi tersebut sepintas terasa sekali pengulangannya. Salah satu efek yang ditimbulkan dalam upaya seperti ini adalah semacam estetika atau dimungkinkan erotika.

Suatu kombinasi vokal-konsonan yang berfungsi melancarkan ucapan, mempermudah pemahaman arti, dan bertujuan untuk mempercepat irama baris yang mengandungnya dipanggil dengan efoni. Salah satu contohnya ada dalam penggalan bait puisi yang berjudul Mitos Hujan Sore Hari”:

“kita pertanyaan yang lebih keropos dari batang

dan cabang-cabang, bergantian patah oleh rerintang

yang membelokkan kaki dan kehendak jawaban.

begitulah kita mengulum takdir di telapak tangan.”

AF seakan-akan berupaya menegkombinasikan perpaduan suara -ang dan –an, pertanyaan yang bisa menjadi semacam refleksisasi seperti yang dinyatakan Suminto A. Sayuti adalah apakah dengan demikian puisi ini mengalami keberhasilan dalam pemahaman arti.

Perpaduan bunyi-bunyi konsonan yang berfungsi menghalangi kelancaran ucapan disebut dengan kakofoni. Nuansa kakofonik terjadi pada nukilan puisinya yang berjudul “Siang yang Dangkal” dan “Masa Lalu yang Menyala Malam Hari”:

“....

yang mana lebih hangat ketika dijumlahkan.

sungguh aku hidup tiap kali engkau tiup,

sebanyak hitungan kelopak mata

yang membuka—menutup.”

[Siang yang Dangkal]

“....

yang dari dulu engkau tuduh pancing terbalik,

lantaran mampu menangkap dan

ditangkap yang mengambang di antara langit-langit

dan engkau yang berupaya tetap tengadah ketika

terhimpit kalimat sempit.”

[Masa Lalu yang Menyala Malam Hari]

Kakofoni pada esensinya merupakan deskripsi suasana yang negasi, tidak dikehendaki, disharmoni, chaos, tidak menyenangkan, bahkan kekacauan yang membosankan. Konsonan yang biasa merepresentasikan hal ini adalah huruf /p/, /t/, /k/, dan /s/. “dan engkau yang berupaya tetap tengadah ketika/ terhimpit kalimat sempit”, dua baris ini masuk dalam nuansa kakofonik, dan bisa dikatakan sebagai kakinya.


4. Onomatope merupakan bunyi yang bertugas menirukan bunyi dari bunyi yang sebenarnya dalam arti mimetik. Hal ini dimungkinkan terjadi pada puisi yang berjudul “Siang yang Dangkal” dan “Setabah Subuh”. Berikut nukilannya:

“kau yakin, aku mampu mengalir serta

mengulurkan diri sendiri sedemikian panjang

....”

[Siang yang Dangkal]

“...

yang membuatmu lebih lenggang dari kesepian yang

dibentangkan oleh suara azan dari kejauhan.”

[Setabah Subuh]

Kata “mengalir” dan larik “dibentangkan oleh suara azan dari kejauhan” mungkin agak representatif untuk menengarai kedua nukilan sajak tersebut mempunyai aspek onomatope. Namun agaknya pula, apakah AF kurang ber-eksplore mengenai aspek ini atau tidak mengetahui karena enggan mencari padanan kata yang lebih ‘berkias-bunyi mesra’? Sehingga yang sebenarnya puisinya bisa lebih tampak anggun dengan level kiasan bunyi seperti yang sering dijumpai pada puisi-puisi Subagio Sastrowardoyo.

5. Lambang rasa adalah bunyi-bunyi tertentu yang membawa nilai rasa berbeda antara yang satu dan yang lainnya. Lambang rasa dapat diketemukan dalam puisi super mininya AF yang berjudul 02.30:

“semakin dini

semakin dingin

semakin engkau”

Kombinasi antara bunyian vokal-konsonan -i, -in, -au dalam puisi tersebut tampak jelas sekali. Pada puisi ini seolah-olah AF ingin mendeskripsikan suasana pada waktu itu dengan komparasi ekspresi bunyi dan metafora. Lapis bunyi ini menimbulkan semacam lapis arti yang mengerucut pada kata “engkau”. Terlepas dari penyuksesan itu, apakah AF sempat memikirkan untuk mempertimbangkan kombinasi vokal-konsonan beserta keketatan yang dikandungnya?

Apakah AF sedang menyediakan puisi-puisinya yang kini untuk mengaktifkan lubang dirinya?

Hangat-hangat letong sapi, rupanya AF diam-diam sengaja ataupun tidak, perlahan merubah pola menulisnya. Beberapa puisi yang ada di buku antologi puisi “10 Kelok di Mouseland”, misalnya. Di sana sangat rapat dengan populasi imajinasi, tipografi struktur dan tentunya judul ‘rel kereta apinya’. Pada puisi yang baru dipublikasikan seperti “Menyentuh Kotamu”, sebuah puisi yang ditulis untuk seorang penyair muda yang stylish: Rendy Jean, secara tipografi judul tampak memini, dan AF mulai menaruh kata “membayangkan” pun menggunakan kata “yang” sebagai drive bagi kata-kata selanjutnya. Apakah keterpengaruhan gaya kepenulisan penyair-penyair muda di bandung yang menyebabkan demikian? Tapi, setelah coba ditelisik kembali, saya terhantui oleh bait ini:

“yang menyeret sandal jepit hijauku pada jam 5.30 pagi

mendaki kota-kota di kakimu yang berawalan ci—

kota yang tumbuh dari perumpamaan.”

Larik yang berbunyi “kota yang tumbuh dari perumpamaan” bisa dikatakan sebagai imbuhan akhiran yang mungkin gagal. Mungkin, karena AF tergesa untuk menyebut kota yang ia injak kesekian kalinya itu sebagai perumpamaan. Dari segi enjambement, salah satunya, juga teras kurang match. Begitukah AF yang pernah suatu ketika mengungkapkan ingin mengejar kuantitas karya memproduksi karya lekas-lekas? Dugaan yang lain, ini semacam pengaktifan lubang. Dalam arti bahwa, ada sisi kekurang-sinergisan antara apa yang ia inderai, kehendak kepenulisan dan teks yang ia tullis. Hal ini, bisa saja mengakibatkan tumpulnya “ego puitif” dalam dirinya yang selanjutnya puisi-puisinya bisa mengalami ‘penyimpangan’ atau terombang-ambing ke sana ke mari. Namun, di lain sisi AF kiranya tetap teguh dengan kiasan-bunyi yang hendak dibangunnya—mengisi lubang dirinya.

Apakah dengan mekanisme pertahanan yang dimunculkannya, AF mempercayai dirinya sendiri, puisinya sendiri?

Persatuan antara kata, tubuh, dan kejadian kerap kali banyak memunculkan konflik yang sedemikian pelik. Dan bilamana gagal mengatasinya akan terjadi penyimpangan dan bilamana sebaliknya akan terjadi penyatuan sehingga menciptakan sajak yang utuh serta sublim. Nukilan puisi terakhirnya ini pantas menjadi motivasi dalam konflik yang tersiar dalam dirinya;


“mimpi, entah kenapa selalu bisa menggagalkan

pertemuanmu dengan nama yang engkau susun

dengan ledak bibir tertahan. lampau. lampau sekali.

kesalahan mengetuk matamu minta diampuni.

apa memang terlampau sukar ketika ingin

memaafkan diri sendiri yang ingkar?”

[Setabah Subuh]

Seperti subuh, tabahlah AF.....atau haruskah aku mengatakannya lagi ?


Semarang, 2012

[1] Judul subbab Puisi dan Modernitas dari buku “Suara Lain” oleh Octavio Paz

*Esai ini dibuat untuk keperluan Ngopi komunitas sastra LACIKATA

GUNJINGAN SEPANJANG TAWANG

siapa yang terlebih dahulu lelah menyelesaikan
waktu yang berdiam-diam cemas pada arus-arus
kubang air; kau atau aku? waktu tak selamanya
hijau adanya seperti daun-daun angsana muda,
tak selamanya menjadi genang seperti penghujan
menautkan siapa air siapa udara. siapa.
lalu siapa yang terlebih dahulu paham bahwasanya
langit ini tak bersobek sekertas buku-buku di perpustakaan
pada dada kita; pada lelah ini yang semenjana kita taruh:

selisih mana yang terjauh menembus cahaya,
cahaya telanjang lampu-lampu tua atau pucat bulan
yang menjadikan mimpi kita bersaur-suar kelelawar
ditimpali warna kelam tebal pun bebal. katamu,
perkiraan kita kian renggang. perkiraan kita itu
adalah pertanyaan-pertanyaan, jadi semacam
selisih perasaan seorang psk dengan gaya seks
seorang pns

di udara, kata-kata brengsek kita sampirkan
sebagai suara peristiwa-peristiwa gaduh
seperti kesabaran seorang pemancing yang menunggu
air polder beriak-riak. di udara, kita lepas siapa atau mana
yang tabu terhadap bau kotoran kepala sepasang kekasih
di tepian polder. kita lepas bau penasaran kita tentang
sandiwara, sejarah perasaan, kata-kata. kita berharap
mereka mengendap bersama jawaban yang tak lekas mencair
di langit hijau beludru



2012