PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

7.30.2015

BERITA ACARA PEMENANG SAYEMBARA SIWA NATARAJA AWARD I TAHUN 2015

(sumber dari facebook Siwa Nataraja pada tanggal 29 July 2015 at 01:30)


I. PEMBUKA
    Sayembara Sastra Nusantara SIWA NATARAJA merupakan program yang digelar oleh Sastra Welang Pustaka, divisi penerbitan sastra Teater Sastra Welang Bali. Sebagai program yang dirancang tahunan, Siwa Nataraja merupakan sayembara manuskrip ( kumpulan karya ) yang dibagi menjadi dua kategori yakni manuskrip puisi dan manuskrip cerpen. Berikut ini berita acara pemenang Siwa Nataraja Awards I.

    II. ISI

    2.1 SIWA CERPEN


    Untuk kategori manuskrip cerpen, tahapan yang dilalui oleh para peserta adalah sebagai berikut :
    1. Per 12 Januari 2014 Panitia Siwa Nataraja 1 menerima kiriman manuskrip melalui surat elektronik sebanyak 112 manuskrip.
    2. Dari 112 manuskrip kemudian diadakan penyeleksian oleh kurator Moch Satrio Welang yang menghasilkan 26 manuskrip cerpen yang lolos menuju Ring 2 Siwa Nataraja. Penilaian berdasar pada struktur cerita, penggunaan bahasa, pengolahan ide, teknik bercerita dan pesan yang ingin disampaikan.
    3. Panitia mengumumkan peserta yang lolos Ring 2 untuk mengirimkan manuskrip dalam bentuk hardcopy rangkap 4 untuk dewan juri Siwa Nataraja. Per 10 April 2015, dari 26 manuskrip yang lolos, panitia menerima kiriman 19 manuskrip dalam bentuk hardcopy,yang kemudian diserahkan kepada dewan juri manuskrip cerpen.
    4. Dewan Juri Manuskrip Cerpen Siwa Nataraja 1 yang terdiri dari Cok Sawitri, Damhuri Muhammad dan Moch Satrio Welang menentukan nominator dan pemenang manuskrip cerpen.


    2.1.1  CATATAN PENJURIAN MANUSKRIP CERPEN  

    Tidak gampang menentukan pemenang lomba dari sejumlah manuskrip kumpulan cerita, yang sebelumnya telah diseleksi oleh panitia Siwa Nataraja Award 2015. Dalam setiap manuskrip yang rata-rata menghimpun 3-5 cerita, bisa jadi ada 1 atau 2 cerpen yang memenuhi kualifikasi untuk terpilih sebagai pemenang, tapi sisanya bisa saja cerpen-cerpen yang bahkan untuk dipilih sebagai nominator saja hampir tidak mungkin. Oleh karena itu, sebenarnya jauh lebih gampang memilih cerpen yang berdiri sendiri ketimbang memilih draft buku antologi cerita pendek di mana mutu dan pencapaian masing-masing cerpen tidaklah bisa sama, dan tidak mungkin pula diukur secara rata-rata.

    Kesulitan semacam ini menjadi bagian penting dari kerja penjurian Siwa Nataraja kategori cerpen. Cerpen-cerpen dalam setiap manuskrip, sebagian besar memang memperlihatkan upaya-upaya eksperimental, baik secara tematik maupun dari aspek teknik penyajian cerita. Namun, hampir semuanya tidak berhasil mengeksekusi kisahnya hingga penyelesaiannya akhirnya terasa datar,  dan jauh aspek dramatik yang mengejutkan.

    Begitu pula dengan ungkapan-ungkapan prosaik yang digunakan oleh para penulis. Dalam beberapa cerpen terasa begitu menonjol, kuat, dan tajam, tapi sebagian besar cerpen terasa hambar bahkan sangat verbal. Berangkat dari kesulitan-kesulitan itu, maka kriteria atau parameter yang paling aman untuk memutuskan manuskrip kumpulan cerpen yang paling unggul adalah keterampilan berkisah.  Itupun bukan berarti semua cerpen dalam manuskrip yang terpilih sebagai pemenang, telah memenuhi kriteria tersebut. Adapun yang sungguh-sungguh memenuhi kualifikasi tersebut paling banyak hanya 3 cerpen untuk setiap manuskrip.

    Berangkat dari situlah, kami bersepakat untuk memutuskan bahwa pemenang Siwa Nataraja Award 2015 sebagai berikut :

    PEMENANG MANUSKRIP CERPEN:
    Penanggung Tiga Butir Lada Hitam di Dalam Pusar karya Niduparas Erlang.


    NOMINATOR:  Bebegig karya Langit Amaravati
                         Kisah Kusut di Kereta karya Setiyo Bardono
                         Di Angkot Mas Gondo karya Ken Hanggara

    Demikianlah berita acara ini yang dibuat atas kesepakatan dewan juri manuskrip CERPEN Siwa Nataraja 1 tahun 2015 yang dibuat tanpa ada proses surat menyurat karena itu keputusan dewan juri bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.

    Denpasar, 28 Juli 2015


    Damhuri Muhammad
    Cok Sawitri
    Moch Satrio Welang


    2.2 SIWA PUISI




    Untuk kategori manuskrip puisi, tahapan yang dilalui oleh para peserta adalah sebagai berikut :
    1. Per 12 Januari 2014 Panitia Siwa Nataraja 1 menerima kiriman manuskrip melalui surat elektronik sebanyak 165 manuskrip puisi.
    2. Dari 165 manuskrip kemudian diadakan penyeleksian oleh kurator Moch Satrio Welang yang menghasilkan 64 manuskrip puisi yang lolos menuju Ring 2 Siwa Nataraja. Penilaian berdasarkan pada kekuatan karya baik itu struktur puisi, kedalaman karya, pemilihan kata, kemurnian, sublimasi, dan pesan yang ingin disampaikan.
    3. Panitia mengumumkan peserta yang lolos Ring 2 untuk mengirimkan manuskrip dalam bentuk hardcopy rangkap 4 untuk dewan juri Siwa Nataraja. Per 10 April 2015, dari 64 manuskrip yang lolos, panitia menerima kiriman 45 manuskrip dalam bentuk hardcopy,yang kemudian diserahkan kepada dewan juri manuskrip puisi.
    4. Dewan Juri Manuskrip Puisi Siwa Nataraja 1 yang terdiri dari Joko Pinurbo, Warih Wisatsana dan Wayan Jengki Sunarta menentukan nominator dan pemenang manuskrip puisi.

    2.2.1 CATATAN PENJURIAN MANUSKRIP PUISI

    Salah satu tema yang tampak menonjol dalam manuskrip kumpulan puisi peserta lomba adalah pencarian jatidiri manusia di tengah gejolak perkembangan jaman. Tidak mengherankan jika diksi “pulang” dan “rumah”, misalnya, menjadi diksi-diksi kunci yang menjadi simpul atau benang merah yang menghubungkan satu puisi dengan lainnya. Renungan mengenai pergulatan mencari jatidiri itu bermuara antara lain pada sikap arif untuk tidak meninggalkan akar dan sumber-sumber spiritual yang membentuk pertumbuhan seorang pribadi di tengah lingkungan dan situasi jaman yang melingkupinya.

    Renungan mengenai sangkan paraning perjalanan hidup manusia itu disampaikan dalam gaya pengungkapan yang tetap berbasiskan lirik, yang dimodifikasi dengan mendayagunakan unsur-unsur narasi. Modifikasi lirik ini kemudian diperkaya dengan menggali dan mengolah unsur-unsur budaya lokal yang menjadi habitat penyair dan di sana-sini ada juga usaha untuk menampilkan objek-objek yang diambil dari dunia urban sebagai sumber penciptaan. Pada sebagian karya kreatrivitas dalam memodifikasi lirik ini mampu menghasilkan kesegaran ungkapan yang membuat kita yakin bahwa lirik masih menyediakan banyak kemungkinan untuk dibuat lebih variatif. Yang terutama masih harus ditingkatkan dan disiasati dengan lebih sungguh-sungguh adalah (1) menciptakan efisiensi berbahasa tulis dan (2) menghindari ungkapan-ungkapan klise yang bukan penyair pun bisa membuatnya.

    Jika Alusi ( Perjalanan Seratus Tahun ) dipilih sebagai yang terbaik, itu karena manuskrip ini mampu menyuguhkan refleksi dan kontemplasi mengenai pergulatan mencari jati diri dengan pengungkapan yang sublim, efisien, jernih, terang, dan tertata dengan baik atau koheren tanpa meninggalkan ketaksaan makna yang menjadi salah satu daya tarik puisi. Manuskrip ini di sana-sini juga mampu memberikan kejutan melalui perspektif atau cara pandang yang unik dan segar terhadap suatu objek atau peristiwa.  Satu hal lain yang patut dicatat dari manuskrip ini adalah kesungguhan penyairnya ini untuk berusaha menghindari susana klise dan monoton, baik melalui gaya pengungkapan maupun pilihan materinya.

    Berikut ini daftar pemenang Manuskrip Puisi

    PEMENANG MANUSKRIP PUISI :  Alusi ( Perjalanan Seratus Tahun) karya Alfian Fawzi

    NOMINATOR :  Malagi karya Soetan Radjo Pamoentjak
                          Rumah, Sebuah Perjalanan Panjang untuk Pulang karya Willy E. Cahyadi

                          I Thought I Saw Your Face Today karya Marsten L. Tarigan
                          Babad Pohon karya Zen Ar


    10 BESAR  : Akar Musim  karya Muchlis Darma Putra
                         Daun - Daun Malam karya Fahmi Diannafi Abdillah
                         Sebelum Menemu Rumahmu karya Ganjar Sudibyo
                         Buku Harian Kakek  karya Kurnia Hidayati
                         Lagu cinta yang Berantakan karya Willy E Cahyadi

    Demikianlah berita acara ini yang dibuat atas kesepakatan dewan juri manuskrip PUISI Siwa Nataraja 1 tahun 2015 yang dibuat tanpa ada proses surat menyurat karena itu keputusan dewan juri bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.

    Yogyakarta – Denpasar, 28 Juli 2015


    DEWAN JURI MANUSKRIP PUISI
    Joko Pinurbo
    Warih Wisatsana
    Wayan Sunarta

     III. PENUTUP

    Demikianlah BERITA ACARA pemenang manuskrip puisi dan cerpen Siwa Nataraja 1 yang dapat kami umumkan. Selamat kepada para pemenang, yang akan melanjutkan pada tahap selanjutnya yakni pembuatan buku Siwa Nataraja 1 tahun 2015 yang akan dihubungi oleh panitia. Melaju terus Sastra Indonesia!


    Denpasar, 28 Juli 2015



    Moch Satrio Welang
    Ketua Teater Sastra Welang

    MENGGAGALKAN RENCANA


    ia yang percaya mendengar sayup
    dari dekat pandangan kirinya
    semacam orkestra tua yang sisi nada-nadanya
    berulang, bukan main, bukan secara kebetulan,
    masa lalu yang lalu lalang di antara ruko-ruko
    mereka tak pernah lengang, sekalipun
    menjauhi ke mana sisi suara-suara lainnya

    langit yang lampau mencoba menggerakkan
    yang tak kasat mata di dalam batinnya sendiri;
    selain upaya untuk kembali jatuh mencinta
    putaran perjalanan di atas kepastian
    yang dilelahkan genggaman orang-orang

    kini sebuah rencana utuh telah ia bentuk
    tapi apa daya seperti kawanan babi dikutuk
    terjerumus ke jurang, yang-lalu itu merasuk
    semacam ramalan bintang jatuh. sungguh
    ia yang paham: ada yang tak ingin
    ditinggalkan melebihi lidah kenyataan


    2015

    7.22.2015

    MADAM


    madam, terbikin dari apakah itu cinta kini;
    ahasveros lain yang tak ingin lahir di dunia
    suatu masa di antara bayang-bayang shakespeare
    atau semacam petunjuk arah kisah-kisah picisan?

    sungguh di wajahmu, kami tak mampu memandang terlalu dalam
    sebab kami tak punya cukup ketelanjangan yang layak
    untuk disimpan ke dalam bunga-bunga kotak pikiran picasso;
    ruang-ruang gelap dan dihindari orang-orang,
    nasib yang disusui kesunyian itu sendiri

    modigliani, cinta lain kami adalah sisi dari hasil
    bahwasanya percintaan tak melulu bisa diberhentikan oleh
    paras siapapun, bahwasanya ia terlahir dari rahim imaji dalam
    derit pusaran waktu, yang kami pun tak pernah tahu
    kapan jarak bisa berkabar

    hingga derita telah semestinya bekerja
    rindu tetap tak bisa berbuat apa-apa
    pada kuas yang sama: ancaman sedang dipatahkan
    oleh seorang pelukis itali
    di sudut remang himpitan sebuah galeri perkabungan



    2015


    7.17.2015

    PERIHAL YANG MENDEKAT


    seperti sophie, mencipta rasa gumun yang tak henti
    aku dan kamu yang tak pasti;
    dalam biru langit menataplah
    sebab pada mulanya cinta itu sebongkah ratap
    yang jatuh untuk dipahat

    berkali kita dihadapkan pada sesuatu
    yang sama; perasaaan, pikiran, laku;
    sesuatu-sesuatu itu membentuk kita
    membantu mencipta sophie kecil
    yang dirancang mirip bagaimana
    riuh dunia mengasuh kita

    kini sebelum ada yang perlamban mendekati
    mari kita rayakan pertemuan-pertemuan
    yang kelewat perih, mari kita rayakan kepergian,
    barangkali di sana ada seri airmata
    sebelum manusia pertama mengenal bahasa dan cinta


    2015
    *sumber gambar: www.milton.edu


    7.11.2015

    PERSEMBAHAN SEORANG KAWAN: AMAL BAYU RAMDANA



    PENGGOYANG LONCENG
    untuk ganjar sudibyo



    /1/
    Pertama bermula adalah malam.
    Diberkatilah, kau pendengar yang budiman.
    Sebelum itu, membran di telinga dan seluk-seluk
    jantungmu sudah kaupuasakan.
    Tanpa cemar cerita dari lahat dan pusar kota:
    Pengabar yang itu-itu juga; mencoleng akhir berita,
    nun menujumnya jadi sengketa — kau ingat,
    yang sana itu memerlukan kata-kata
    agar bisa bersiasat dalam satu upacara.
    Apalah, kau memang tidak senang bertanya.
    Yang sana itu boleh jadi butuh pengeras suara
    agar bisa turut serta dalam dunia yang digesa.
    Tak lebih, kau hanya suka memaklumi kantukmu
    sendiri, menyemai-nyemai bakal mimpi.

    Karena kau suka waktu pulang, suka jika tidak ada
    lagi yang menduga-duga-menjawab-menerjemahkan.


    /2/
    Betul, dia hanya suka membunyikannya sesekali,
    tidak ingin mengenal sebentuk hirukpikuk
    yang entah telah dinasibkan dalam arisan, layar tv,
    lampu merah, jejalan ruang ganti — tapi tidak akan
    digaduhkan nostalgianya sendiri sebab tahu betul
    kepada apa alur jalannya. Ke pintu tidur? Jangan bertanya.
    Mungkin sebab sunyi saja yang bakal menguduskannya.
    Sungguh mungkin sebabnya dia karib dengan takzimnya
    sendiri ketika loncengnya berayun pelan —
    dan sama sekali tidak mau ingkar
    menukar bunyi lonceng itu dengan bunyi peluit
    pada sebuah dermaga dalam peta, atau bunyi
    burung kukuk yang masih saja bersarang di jam dinding
    sejak hari kelahirannya. Tidak terbang, tidak ke mana.

    Dia hanya suka membunyikannya demi mengiringi
    nyanyian yang masih hidup dekat pokok lehermu:
    lagu yang tidak berhasrat memeluk lirik-lirik,
    lagu yang rindu menebus kembali bahagia asingmu
    setelah kau terlempar dari rahim atau kepul asap cerutu.
    Setelah namamu tidak mampu lagi bergoyang
    memprotes datangnya perkenalan itu.


    /3/
    Kau adalah pendengar yang budiman.
    Dan dia akan singgah mengiramakan malam-malam.












    Bekasi, September 2012
    Amal Bayu Ramdhana

    7.05.2015

    KEPADA UR


    rindu sekerat, jarak semusim
    ur yang kusebut namamu berulang;
    nama yang disucikan oleh jalan derita
    bahwasanya hidup adalah ruang belajar
    liku laku prihatin

    pada malam, orang-orang sibuk
    mengenakan busana baru, aku terantuk
    sengat cahaya-cahaya sebelum benar-benar
    keluar dari pandangan kota yang ditinggalkan
    sejarahnya sendiri

    ur, ataukah cahaya-cahaya lampu itu
    yang meniadakan rasa kasmaran kita
    kepada yang mahakuasa, sebab mulanya
    kita buta dan tak bernama ?


    2015

    6.24.2015

    HANTU DALAM DIRIMU



    seperti halnya seseorang hendak memutuskan sesuatu
    kita mesti menimbang-nimbang; ke mana arah kemudi,
    seperti halnya seseorang memandang tegap satu tujuan
    ia tak akan goyah.

    kata orang, biasanya ada takhayul yang menjangkiti
    barisan cita-cita. takhayul yang terasa diam tapi
    sebenarnya tajamnya kejam. ia menularkan sesuatu
    yang banyak tak disadari, namun bukan bernama
    kenangan.

    takhayul telah mencipta hantu-hantu kecil
    di semayam tubuhmu. bersama masa lalu, ibunya
    aku berjanji dirimu adalah kemudi
    yang ketakutannya semakin dekat kepadaku



    2015

    6.01.2015

    CATATAN-CATATAN KECIL SEBELUM KOKOK SI JAGO MERAH*





    DI LANTAI SEKIAN
    Suatu siang terik ia pergi ke sebuah keramaian. Setelah meletakkan kuda besinya di luas lahan parkir yang tak seberapa, ia gegas menuju pusat keramaian itu. Berbekal pengalaman masa kanaknya, ia menelusuri jalan-jalan sempit cum sumpek yang kanan-kirinya serba padat barang-barang konsumsi -katakanlah kebutuhan sandang dan pangan-, sedangkan jalan-jalan sempit itu penuh huru-hara orang-orang lalu lalang. Tapi ada sesuatu yang menarik ketika ia naik ke tangga. Di lantai yang ia namai sekian itu. Orang-orang ramai mencari buku-buku pelajaran, ia malah ramai mendapati pelajaran mencari judul-judul buku.


    LAPAK KAYU LAPUK
    Kadang, hidup itu yang tidak realistis. Tidak hanya orang yang hanya pandai bermimpi  dan fanatik idealisme di luar realita. Ia sadar posisi dirinya, ketika ia berada di antara lapak-lapak lantai berangin terik itu. Demi menemu judul-judul buku yang sudah ada di daftar kepalanya; Ia tanya satu per satu yang ia temui. Memang waktu itu belum bisa berjodoh dengan daftar yang telah ia hafal. Satu hal, di lapak yang pembatasnya terbuat dari kayu lapuk, ia bercengkerama lama dengan harga Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi sembilan puluhan.


    LANSKAP LAWAS
    Lantaran sebuah jarak di luar menuju kota yang katanya bersejarah itu bisa ia pandang, namun di sini, pandangannya dijejali oleh bertumpuk-tumpuk kertas berwarna agak buram, dengan warna sampul bermacam.  Lantaran sebuah jarak juga ia ciptakan, di antara arsitektur karsten dan cetakan-cetakan buku kuno; sebuah lanskap telah menjadi bagian yang intim dari suatu nostalgia: potret masa kanaknya bersama buku tulis halus cap banteng.     


    NAFAS PEDAGANG TUA
    ada yang terengah-engah di sekitar perhatiannya. setelah ia sempat lewat beberapa waktu lalu. Sebab ia percaya, pekerjaan adalah soal peribadatan. Ritual  nafas yang dihembuskan demi tugas luhur seraya jujur. Orang itu temannya, yang mengenalkan udara siang di bawah asbes.


    WARISAN YANG BELUM SEMPAT
    Hal-hal dunia memang tidak serta merta bisa diduga. ia  mengerti bahwa manusia mesti siap sedia. kehilangan dan datangnya sesuatu yang sekilas asing. --menatap kobaran itu dari jauh. meratap ia pada yang belum sempat ia kenal. Kita mesti berjaga untuk apapun, katanya


    HANTU API 9 MEI
    1933 karsten mendesain dengan jeli, seluruh pondasi. Bangunan perkasa untuk ingatan masa depan.

    Jauh sebelum ia merencanakan untuk kembali mencari halaman-halaman yang hilang dilalap si jago merah dan tak berpikir tentang asuransi.

















    *tersebab terbakarnya Pasar Johar
    Semarang, 2015

    5.18.2015

    MEDIA INDONESIA, 17 MEI 2015 DAN TEKS ASLINYA


    Berikut kabar dari sebuah media massa yang memuat dua puisi saya (yang mana teks aslinya diedit secara... hmmm).



    TEKS ASLI:


    ANTOLOGI SEBELUM MENEMU RUMAHMU

    1. 
    jam begini aku masih hendak terus menemukan kamu;
    entah aku beranjak dari alamat mana
    jalan-jalan dan tikungan-tikungan yang
    bergerak melintasi tubuhku, pikiranku
    perasaanku atas kamu -- aku tak pernah
    tak berdaya. segala pencarianku bukanlah
    mudah berhenti ditentukan waktu, sebab jarak
    menguatkan otot-ototku untuk berjalan
    memandang hanya ke depan 

    2.
    nama jalan tak pernah kuhapal
    hanya nama tinggalmu kurapal;
    perjalanan teramat panjang ini
    adalah pangkal ketika diri
    dibenturkan oleh bahasa
    yang disampaikan rindu,
    melubangi dadaku yang tajamnya
    mematahkan ulangan-ulangan
    ingatan

    3.
    menuju rumahmu
    tak akan bisa ditebus
    dengan doa yang biasa-biasa
    airmata yang biasa-biasa
    atau puasa;
    sebuah usaha keras dilakukan
    seperti menaklukkan kata-kata
    sebelum dibentuk sajak
    yang matang benar
    sebuah silih mesti dirayakan
    seperti itikad seorang penyair memilih
    sendiri, sembunyi dari keramaian abad 

    4.
    rumahmu melebihi apa yang pernah
    kutemukan di dunia;
    melebihi kepercayan-kepercayaan
    aku akan masuk surga
    jika aku rajin mengumpulkan pahala
    -- ah! surga yang mana?
    sebab mengucap sumpah adalah kamus bebal
    dari orang abad yang tak berani menepati janji
    dan demi hidup yang maha penyair,
    izinkanlah segala kelelahan ini
    jatuh mencium tanah rumahmu


    2014



    ABAD YANG SELALU BAHAGIA

    ia seka wajahnya yang terhimpit tingkap gedung-gedung
    roda-roda jalan, asap, limbah liar yang tumpah, dan jadwal
    penggusuran. perayaan-perayaan yang tumbuh meriah
    di antrean mimpi-mimpi orang yang terbukti kesejahteraannya,
    di antaranya kesakitan kiri berjejal di tubuh-tubuh kemudi
    atas rasa cemas terhadap matahari masa depan. udara abu
    menempel di pipinya saban kali ia menengok ke kanan,
    sebab di hadapannya setiap rumah menjadi tempat ibadah,
    dan batu-batu yang dibuang oleh para tukang bangunan
    menjadi hiasan sepanjang sejarah yang disembunyikan dari
    catatan rahasia sebuah rezim.

    sebuah abad yang selalu bahagia; dari orasi aristoteles sampai
    rama dalam kacamata gandhi, ketika masing-masing
    kemiskinan yang miris kembali untuk menatap matanya;
    sebab katanya, itu semua surga yang merdeka dari cinta
    luka-luka batin nenek moyangnya


    2014


    5.10.2015

    MEMBAHASAKAN CINTA LEWAT PELAJARAN ANTOLOGI PUISI plus*



    Judul : Puisi Medium Komunikasi dalam Pembelajaran
    Penulis : Wardjito Soeharso
    Cetakan : I, Desember 2014
    Penerbit : Azzagrafika
    Jumlah halaman : xii + 176 Halaman
    ISBN : 978-602-1048-02-3


    Ada yang menarik dengan antologi puisi kali ini. Berbeda dengan kilasan antologi puisi lainnya yang sedang merebak di jagad kesusastraan Indonesia, antologi puisi ini memiliki keunikan tersendiri dengan adanya catatan pengantar yang bahasanya bisa dikategorikan akademis. Jika dibaca sekilas, hampir sepertiga dari buku ini berisi pengenalan akan puisi. Lalu apa menariknya bagi pembaca? Terlebih dari itu, apa menariknya kemasan antologi semacam ini bagi nuansa atau zeitgeist kesusastraan di Indonesia sekarang ini?

    Adalah sebuah usaha yang cukup besar untuk menyelesaikan buku esai berbonus puisi ini. Pada mulanya (jika pembacaan dilakukan secara sistematis), pembaca diajak untuk mengernyitkan dahi terlebih dahulu, menatap seberapa penting puisi bersama teori-teori akademis yang menyertainya bagi khalayak.  Menyusuri esai ilmiah yang ditulis oleh penulisnya sendiri dan seorang dosen, yang mana di baliknya pembaca dibawa pada logika-logika puitika, pada konteks-konteks bahasa puitika secara akademis. Baru setelah pembaca agak mengerti, maka akan menemui berbagai tema yang disajikan lewat bahasa puisi.

    Tiga tema besar telah disusun sedemikian rupa dalam satu tema induk, yaitu Cinta. Adapun Cinta (C besar) menurut penulis buku ini diartikulasikan menjadi tiga bagian: Cinta kepada Diri, Cinta kepada Tuhan dan Cinta kepada Negeri. Tiga tema ini dijabarkan lewat pelbagai bahasa puitika yang telah disusun sedemikian rupa sehingga memudahkan pembaca untuk menangkap makna di baliknya. 

    Pembaca tidak akan banyak mengernyitkan dahi ketika membaca puisi-puisi dalam antologi ini, sebab salah satu pola tulisan dari penulis antologi ini adalah bahasanya mudah dicerna. Dengan demikian sangat wajar bilamana buku ini bisa masuk di wilayah akademis sebagai salah satu bentuk pengenalan sastra kepada para siswa (di tengah semakin redupnya upaya-upaya pihak akademisi untuk memasyarakatkan sastra). Sebagaimana judul dalam buku ini, demikian pula tujuannya terbitnya buku ini adalah baik adanya. Yaitu guna pembelajaran.

    Pembawaan-pembawaan bahasa puisi di buku ini ringan adanya. Pembaca tidak perlu banyak membuka kamus, sebab tidak banyak istilah asing. Hanya saja ada beberapa puisi tertentu memakai bahasa daerah (Bahasa Jawa). Tentu, pembaca perlu melakukan upaya terjemahan. Kasus-kasus yang disetuh lewat bahasa puitika di buku ini pun tidak jauh dari realita di masyarakat sekarang, tentang korupsi misalnya. Jadi, buku ini tidak mengandung banyak tuntutan kepada pembaca. Justru buku ini bisa dikatakan pantas menjadi salah satu rujukan pengenalan sastra sebagai media pembelajaran yang paling dekat dengan pembelajar. 

    Tawaran dalam buku ini tidak hanya berhenti kepada para siswa saja, tetapi para pengajar, pun sastrawan atau penulis yang sedang belajar menciptakan terobosan bahasa puitika yang notabene diarahkan pada bidang pendidikan. Oleh karena itu, seirama dengan salah satu potongan bait puisi dalam buku ini, siapapun pembacanya:  Maka teruslah iqro'/Jangan lelah, bacalah!/Alam memberimu ilmu/Ilmu menjadikanmu alim.

    Selamat membaca (belajar) !


    Semarang, 2015

    *) Resensi oleh Ganjar Sudibyo.

    5.06.2015

    LIGHTS ACROSS VIA DOLOROSA*




    LIGHTS ACROSS VIA DOLOROSA*
    by Ganjar Sudibyo

    (be working, not for those meals that eager to vanish)

    1. A handful of lights we keep guessing be always fallen
    from our hand before it opened:
    those, the lights that merged with the noise
    beyond our ears, you said. then again you say,
    those, you and all oblivions, I and all rememberances.
    A handful of lights as we are naked and dived into the embracing water:
    I said, this surface seems not like the teary eyes, the air seems not that easy
    swept on away to the deepest. It could be, we need
    to learn how to be settled as water, as air, with no doubt
    against the lights nor the noises that make us soaked again.

    my love, no matter how stirred we are in life, thousands of fortunes
    never be the boundary of our journey after maturity:
    since after all, we already agreed to put away all that oblivious,
    all that coming back until the hands of others lighten up.
    still and all, we are who believe that the streams strenghten the water
    like downhearted strenghtened a heartbeat. And every heartbeat be a home
    for the dazzling eyes over a question, “is that the lights or water
    which keep cheering up itself tiredlessly.”

    2. Tracing down our footway, is my tenacity to be relieved
    any dues without singing out any conclusive blues
    like they who are celebrating through the suffer. We are, my love,
    the winding ways that perfect our greeting poems
    while waiting for farewell and evanescence working for us,
    who is squinching each other, possessing each other: hugging,
    whiten us shivery, eternally, lovely.

    2012

    *translated into english by Pemuda J.



    CAHAYA YANG BERENANG DI VIA DOLOROSA

    (“bekerjalah, bukan untuk makanan yang akan dapat binasa”)

    1. sekepal cahaya yang sedang kita reka-reka selalu saja luruh
    sebelum salah satu tangan dari kita membuka terlebih dahulu:
    itu, cahaya yang bersitubuh dengan suara-suara risik di bawah
    telinga kita, katamu. katamu sekali lagi, itu: kamu dan segenap lupa,
    aku dan segenap kenangan. sekepal cahaya bersama kita
    yang bertelanjang menjatuhkan diri pada trenyuh air: kataku,
    permukaan ini tak seperti dalamnya airmata, udara tak begitu saja
    mudah hanyut dibawa menuju yang terdalam. mungkin kita sama-sama
    perlu belajar rela pada sebentuk air, sebentuk udara, tanpa mengabaikan
    ada cahaya pun suara-suara yang membikin kita basah kembali

    kekasih, selarut-larutnya hidup ini dalam kita, seribu kali keberuntungan
    bukanlah takaran bahwasanya perjalanan mulai menemui kedewasaan;
    sebab bagaimanapun juga, kita seia menancapkan segala yang lupa,
    segala yang kenang sampai suatu saat tercipta cahaya pada kepal
    tangan lain. bagaimanapun juga, kita tetap percaya gelombang-
    gelombang yang memerkasakan air seperti halnya menamakan
    kemasygulan pada setiap debar. setiap debar tempat sepasang
    mata kita yang bertaruh-tukar tawar: “cahaya itukah atau air
    yang tak lelah khusyuk melipur dirinya”

    2. menelusuri kita, adalah sekerat ketekunanku menerima setiap
    kejadian tanpa memberi kesimpulan-kesimpulan yang asin
    seperti halnya perayaan orang-orang mengenai ketabahan. kita, kekasih,
    ialah kelindan-kelindan yang menyempurnakan sajak-sajak pertemuan
    seraya menunggu perpisahan dan kesementaraan bekerja untuk saling picing
    saling masuk: memeluk kita, jadi putih getar, putih abadi, putih kekasih


    2012

    5.05.2015

    MEMAHAMI LAGU KERJA



    siapa sangka kita terjebak di sini;
    kelindan waktu;
    orang-orang yang hanya memandang bulan
    dan tak sanggup menyimpan pendar cahayanya
    dalam kantung-kantung keindahan
    di tengah pandangan cinta yang bosan.

    kerja menjadi suatu kepastian
    bahwa perjalanan kita benar-benar masih menyala
    bahwa rupa-rupa picisan seperti wajah perpisahan kita
    adalah perihal yang sebenarnya biasa berjumpa,

    lalu kerja menjadi suatu kematian
    bagi kepastian itu sendiri

    maka tersebutlah kita dalam peradaban
    yang tangan-tangannya mudah terkilir
    yang kaki-kakinya mudah tergelincir
    yang lidah-lidahnya mudah satir

    o para pekerja malam
    tubuh digital yang terjerumus terang
    penuh koreng: tanda ketiadaan
    mahakuasa,
    siapa sangka kita terbelah di sini


    2015

    5.01.2015

    AHASVEROS




    sekarang ia benar-benar pergi dari rumahnya--dalam sebuah
    jarak berisikan kepulangan yang tiada lelah menjelma
    hantu-hantu baru; sebab barangkali ia tak juga sadar
    akan ketakutan panjang, sebab bahasa di dadanya tumbuh
    membikin raung-ruang: ini sesungguhnya kecamuk
    perasaan yang dijauhkan dari tuannya

    sekarang ia benar-benar sepi seperti seorang istri
    yang tak terbiasa sendiri dari suaminya atau seperti sebuah istana
    dengan ratu yang kepayang ditinggal raja bersama para pengawalnya
    setelah pembantaian di medan perang

    lalu sekarang ia seorang pengembara dengan setengah pesakitan
    tanpa pelipur atau pereda rasa ngilu
    sebab itu katanya sekali lagi, 
    kita mesti merawat masa lalu sekaligus merdeka
    di dalamnya. demikian yang kini tak sekedar terjadi
    lewat begitu saja, bahkan semata kebetulan


    2015



    4.18.2015

    ELEGI KAMU



    menyangsikan yang tak pasti, udara yang sesak
    mengembun dingin-dingin di dada yang rusak;
    sebelum menemukan kamu pada wajah-wajah
    yang sepertinya pernah kukenal dalam umur ingatan

    siapa yang lalu memerangkap kita dalam peristiwa
    yang aku, yang kamu pun menolak untuk berada.
    sesuatu telah diciptakan tetapi bukan ratap
    atau kehilangan, sebab itu, tanah, sekembalinya kita
    adalah kesia-siaan yang menganga
    yang menerima ketiadaan dan segala-galanya

    hingga selanjutnya, kamu bertanya darimana asal mula 
    kepedihan itu; apakah ia ditangiskan,
    semenjak tuhan mengusir manusia dari tamannya
    atau semenjak adam terpaksa menerima kuldi dari hawa



    2015
    *Gambar diambil dari upload.wikimedia.org

    4.14.2015

    LAWATAN FB #2

    beberapa jam setelah paus memberikan indulgensi penuh setelah sekian periode...lalu tengah malam sepulang dari stasiun. di sana saya dipertemukan dengan sebuah peristiwa; dua anak laki-laki di dekat lampu lalu lintas, yang satu sedang menawarkan koran, satunya sedang menghitung sisa koran. masih 40 katanya. tengah malam begini, mereka seolah tidak terpikirkan besok hari senin. sekolah. upacara. bla bla bla. dalam benak, peristiwa itu mengingatkan saya akan kerja institusi pendidikan yang saya pahami saat ini atau sebenarnya saya tidak perlu mengingatnya sebab seringkali sebuah peristiwa mampir untuk memposting suatu pesan: betapa bebal tawaran hidup. ...ah....ini angin malam seringkali membuat dada saya sesak. membuat saya menunduk, dalam nama kemiskinan ampunilah pikiran dan ingatan buruk saya.

    6 April at 01:11