10.07.2015

BAYANGAN MERAH DI TEPI SUNGAI WHITMAN


Seseorang menyuarakan nada-nada yang katanya bisa membikin pikirannya adem--ayem di alam batinnya. Tersebab ia sedang gusar sehabis mengusir babi-babi hutan dan burung-burung pemakan bangkai di bekas ladang bapaknya. Keberadaan mereka mengganggu sekali, binatang-binatang jorok, katanya dalam batin. Ini siang terik yang membuka pori-pori kulit menderaskan keringat. Ia menuju tepi sungai, (seperti cerita-cerita yang membuat pembaca rindu untuk kembali berteduh meski hanya sementara) lalu rebah di tepian. Seekor elang melintas dengan nada panggilannya yang khas. Aliran air jadi kian deras. Tapi ia mencoba tetap tenang.

Eva sangat suka yang alam-alam, yang masih murni, yang masih seperti sedia kala. Suara-suaranya, warna langitnya, udara, angin, pohonan dan tumbuh-tumbuhan lain, hewan-hewan yang bersembunyi, batu-batu di jernih sungai. Waktu itu tidak ada orang yang lalu lalang, berladang, atau mengantar ternaknya mencari rumput. Ia tampak habis dikejar sesuatu, maka seperti biasa, ia mencari tempat yang bisa digunakan untuk merebahkan tubuh dan beban yang semakin berat.

Setelah ia merasa agak tenang, ia mengucap beberapa baris di sajak Whitman: "Song of Myself". "I celebrate myself/ and sing myself/ and what assume you shall assume...."  Ia lantas memandang di seberang sungai. Ada sebuah pohon yang sangat rimbun berdiri sendirian, dan ia memandang permukaan sungai yang tidak henti-hentinya bergelombang, yang arusnya selalu menabrak batu-batu. Ia memandang jauh ke sebuah bayangan. Bayangan itu terasa tak biasa sebab belum pernah ia menjumpainya. Warnanya merah. Ia berdiri dan berusaha mendekati bayangan itu. Tapi ia sendiri takut, kalau-kalau itu mitos yang sedang diperbincangkan di kalangan orang adat di desanya.

Ya, ia melanjutkan baris-baris sajak Whitman. Waktu itu angin berhembus pelan-pelan tapi tak pernah berhenti. Ia melihat bayangan itu lagi, tapi anehnya bayangan merah itu semakin mendekat ke arahnya. Ia kembali gusar. Jam begini ia kembali tak tenang. Ia dekati bayangan itu, lalu mencucukkan jari ke permukaan sungai. Tapi tak ada apa-apa, suhu air sungai masih stabil, rasanya masih tawar. Ia bertanya-tanya, apakah mitos itu benar adanya? Kalau seseorang sendiri kemudian ada bayangan merah dari pohon yang berdiri sendirian, kemudian bayangan itu mendekat berarti bahwa ia akan memperoleh kutukan?

Ia kembali melanjutkan baris sajak Whitman versi 1982: "...And what is reason? and what is love? and what is life?..."  Ia duduk tercenung hanya melihat bayangan itu. Bayangan merah yang tidak membawa perubahan apa-apa. Seperti hantu, ia bergerak tanpa bisa disentuh. Tak lama, ia mendengar suara orang minta tolong. Tapi ia biarkan suara itu berlalu. Tak lama juga, bayangan merah itu menghilang. Ada sesuatu yang seperti menjawil pundaknya, tapi ia tak terlalu ingin menanggapinya. Ia berhenti mengucapkan baris-baris sajak Whitman. Ia merasa tak ada kaitannya antara barisan sajak itu dengan sungai yang bernama Whitman ini. Apakah si Whitman pernah tinggal di sekitar sini, mati di sungai ini sebagai seorang penyair yang suci?

Eva sebenarnya sedang merasa gusar. Pohon-pohon besar di seberang sungai itu sudah ditebang dengan menggunakan teknologi canggih. Di seberang sungai itu tinggal satu pohon rindang saja. Pohon yang menciptakan bayangan berwarna merah. Ia terlihat tumbuh lebih subur dibandingkan dengan pohon lain. Eva pernah mendengar orang adat bercerita, konon Whitman gantung diri di pohon itu, setelah mengucapkan kata "apa itu cinta, apa itu hidup", kepada seorang petani yang sedang memperjuangkan tanah ladang miliknya. Di kisah lain, Whitman mati dibunuh di dekat pohon itu. Lehernya digorok oleh orang suruhan karena ia diduga berhasil membawa semangat pemberontakan para petani. Kata orang adat, bayangan merah itu hanya muncul ketika ada musibah yang akan terjadi. Tidak, Eva tidak memedulikan itu. Mitos hanyalah milik mitos. Kenyataan bukanlah mitos. Ia jadi teringat akan nasib bapaknya yang belum sekalipun pernah ia jumpa. "Ah sudahlah.... aku tak mau berpikir panjang tentang ini, aku hanya ingin mengendapkan gusarku" 

Beberapa hari setelahnya, matahari yang semakin terasa terik, membuat bayangan pada pohon-pohon. Tak terkecuali pohon di seberang sungai itu. Eva kembali ke sana dan menyanyi, setelah itu mengucap sajak Whitman. Seseorang berteriak kembali minta tolong. Bayangan merah berlalu cepat. Ia tidak merasa yakin dengan semua yang terjadi. Ia lalukan yang terjadi. Entah merah simbol darah, pohon simbol pengayoman, atau apalah. Ia hanya ingin berada di tepi sungai Whitman. Merayakan kegusarannya seorang diri, melepaskan pikiran yang tidak-tidak, menjauhkan diri dari rasa sakit, menyatu dengan semesta seperti putaran bandul kalung seorang peramal. Ia hanya percaya, di dunia ini, keanehan pasti terjadi beserta apapun yang belum pernah kita temui,  kita tinggal merayakannya saja karena menanggapi dengan terlalu serius adalah sebuah kesia-siaan belaka. Lalu tiupan angin kencang seolah membawa tubuh Eva pada kenyataannya sendiri.

Ia terbangun, minum anggur, menutup buku kumpulan puisi Whitman, dan menatap sebuah pohon yang sedang ditebang seorang tukang kebun. Whitman mau bilang apa di mimpi kecilku? ,ucapnya dalam batin. Lalu tiba-tiba ia mendengar suara bapaknya, menyuruh Eva supaya segera membelikan sebuah belati di pasar yang semalam terbakar.



2015 

*Lukisan berjudul Red Shadow karya Rudi Mantofani.


0 pembaca kata berbicara:

Posting Komentar

silakan rawat benih ini