PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

9.09.2010

ALEGORI PASAL-PASAL DI KITAB USIAMU


tertanda 100989



PASAL 0

bangunan lama rupanya telah mendirikan sesuatu

di hari minggu legi pagi sewaktu air ketuban melulur

dari rahim ibumu menuju tangismu. sesuatu itu

menubuatkan tentang nasihat


“kelahiran adalah ibuketiadaan.”


PASAL 1

maka terkuaklah bangunan lama

mengapa ia ada dan mencipta

riwayat di balik nama kanakmu. ketahuilah,

ia hanya terjadi karena pintu yang terbuka

setelah airmata mengetuk perlahan.


PASAL 2

ada nyanyian ninabobo, sayup

semakin kecil dan kecil

datang lewat puting susu eyangmu. nyanyian

itu menanggalkan sangkakala dari malaikat

yang mencoba menyerahkannya

kepada ibumu.


PASAL 3

apakah sakit yang kau kandung bermula

setelah bapakmu menghamili perasaan

tentang neraka. bahwa surga tak ada

di atas sana….tak ada di pikiranmu,

namun ada di perasaanmu yang sewaktu-

waktu bisa berlumur darah.


PASAL 4

siapa rumah yang merawat bayisepi

pada botol susu tawarmu saat kau teguk

di bawah pohon jambu bangkok,


nak?


PASAL 5

gigi-gigimu masih putih

berat badanmu masih normal

kulit tubuhmu masih kuning langsat

ingatanmu masih menyala

:

bau pasar yang terbakar di belakang

persinggahan simbah.

- maka berasaplah segalanya

gigi, berat badan dan kulit tubuh

bahkan ingatanmu -


PASAL 6

jangan malas menghafal siang

nanti kau tinggal tanpa mengenal

di mana bapak-ibu menghukummu

hampir setiap kali mata tak mau

pergi ke ranjang.


PASAL 7

ingatlah berapa buah jambu air

yang kau jatuhkan ke selokan

sehabis mual-mual mencium

air kencingmu.


PASAL 8

“tidurlah yang nyenyak, ya

biar cambuk di punggungmu

lekas merah.”


PASAL 9

di waktu maghrib, teras rumah

menjadi saksi nasihat bapakmu;

airmata tak mengenal waktu.


PASAL 10

sepeda baru untuk satu dekade

kaki baru untuk belajar mengayuh

menuju pengertian tentang

j a t u h.


PASAL 11

malam-malam ingin berkhianat

seperti teman sekampung

melarangmu bermain petak umpet.


PASAL 12

bagaimana penafsiran tentang kebodohan

pertanyaan yang mengakhiri jawaban

ke atas meja belajar,


“aku tak akan bertanya kepada bapak lagi?”


PASAL 13

chairil anwar sedang baca puisi

di perpustakaan sekolah!


aku

?


PASAL 14

maaf, Bunda. aku belum mengerti

sebab sepeda yang kukayuh dengan gigil

hampir setiap pagi buta

tetap saja tak meredakan hujan

di basah doaku menujuNya.


PASAL 15

barangkali atap rumah tahu

mengapa ia melarangku

menghisap rokok

dari kembang jambu. atau

penjual jajanan yang merasa getir

melihat dua anak nekat

mencoba rokok buatannya sendiri

tanpa mengenal salah.


PASAL 16

penyakitmu hampir saja matang

di tempat pengaduhan baru

kekasih yang haru;


berbahagialah kau, karena

obatrindu telah berpulang

ke tempatnya masing-masing.


PASAL 17

mari, datanglah kepadaku

sebab aku adalah bapak

bagi sejuta tisu untuk mata

yang tak pernah berhenti sembab.


PASAL 18

ternyata aku bukanlah

seorang marxist jalanan

yang bukan gandhi, che

lenin, hitler, freud

soe hok gie ataupun chairil.

ternyata aku tetaplah

seorang AKU


PASAL 19

cintailah jalan panggilanmu

sebagaimana kau mendamaikan

peziarahan atas persinggahan

orang-orang yang memakai hati.

cintailah hati, karena ia tak bisa

membusuk.


PASAL 20

ada saja yang tak sampai

mimpi-mimpi saling menandai

pada kemudian hari ketika kompas

di dadamu mulai terpahami;


ada manusia peramal isyarat

jauh di bawah sana!


PASAL 21

maka tinggallah dalam lena,

semi sakura negeri matahari

kincir-kincir angin amsterdam

nyanyian sorga caledonia

masjid dan gereja yerusalem

dari kota inilah. semarang berkabar

tentang angin ke utara dan barat

tentang tempat-tempat waktu kau

duduk menangisi sisa usia yang bahagia.

PASAL ....

ketahuilah atas kesejatian ini,

aku tak ingin hidup seribu tahun lagi

tanpa cucu yang memberi tumpangan

ke mana hayat diabadikan atas segala peristiwa.

segala peristiwa yang mengadakannya.



Semarang, 2010

BEBERAPA CATATAN KECIL YANG DITULIS MENJELANG LEBARAN


:IBU,

kucium kakimu

mekar kembang sorga


izinkanlah khilaf ini

mengirimkan maafmu

kepadaku. bu


:BAPAK,

di petuahmu yang lalu

usiaku masih menyaksikan

lebaran yang sama


di kesalahanku yang dulu

permintaanku selalu sama


tak ada oedipus kompleks

di doaku


:EYANG,

maka sudilah memaafkan

malaikat yang kau titipkan

untukku


sebelum tidur

ia seperti kehilangan sesuatu.

salam yang beterbangan

tanpa sayap


dan kini, malaikat itu bersimbah zikir

memintaku memakai sayap


:SIMBAH,

sejumlah perjumpaan kita

rasanya selalu kenang di malam takbiran


bedug-bedug yang mereka pukul

obor-obor di nyala purnama

mengirim beberapa pesan

lewat telinga kita bahwasanya

doa-doa lafaz lahir

dari batin manusia keras kepala


“kasihilah umur-amal-puasa kami”


:KEKASIH,

dirikanlah masjid yang cocok

dan cukup untuk perasaanku

tanpa menyingkirkan

bebatu yang dibuang oleh para tukang bangunan

juga cawan yang senantiasa ingat darahku


:AKU,

m a a f

sudahlah

segalanya ingin

d a m a i


:ENGKAU,

alhamdullilah…


Semarang, 2010

9.05.2010

ANAK 8 TAHUN PENIRU MICHAEL JAKCSON


: indonesia`s got talent


“tujuh tahun kau bersaksi, satu tahun kau beraksi”


kaki-kakimu sekarang sudah lihai sembunyi di topi bundar

dengan kepala tertunduk kepada lantai kepada

panggung yang menyerukan kemiripan gerakgerikmu


“satu tahun kau beraksi, tujuh tahun kau bersaksi”


lihatlah mah, audisi ini telah memilih

waktu yang tepat

tawa yang likat


- aku pun bisa berjalan mundur sepertinya -



2010


9.04.2010

COENESTHESIA WAKTU SENJA KEMARIN


mataku tak gagal merasakan hantupuisimu
dengan bentuk semacam obat tetes mata
menjangkit ke atas bolamatamu sendiri
lalu melesap seperti rasa airmata
yang pernah kau kecap
senja kemarin

mataku peninggalan ciumanmu
diam dan tiba di perasaan selanjutnya
tempat aku tak mengenal
reruntuhan ucapanmu

yang bias
jadi KAU


2010

9.03.2010

DUA MUSIM UNTUK MARET

Musim I

apa yang dapat kita artikan tentang musim dingin
yang kekal pada gigil tubuh kita, selain sebuah kalender
dengan angka-angka diam. ya, hanya diam yang enggan
bersaksi atas muka-muka kita yang semakin beku
tersebab waktu.

apa yang seharusnya kita artikan tentang musim dingin
yang tak sampai mengisi kekosongan gelas bir tempat engkau
tumpahkan ke atas didih matamu; wahai biduan lagu-lagu
gigil yang menginap di rambut-rambut kepalaku!

- aku dan engkau telah mengenal bagaimana salju juga es, kelak
memberi warna makna untuk setiap ujung rambut kita untuk
setiap musim pertama yang datang dari dua-kutub kalender kota kita -


Musim II

kawanan kerbau bertanduk yang menyeberang di bibir sungai
adalah pertanda bahwa penghujan yang tiba mengharuskan
kita menanggalkan sepasang sepi untuk dibawa pada arus sungai
dan memaksa kita menerjemahkan musim yang pindah
dari bibirku ke bibirmu

apakah tiap rerintik yang patah pada ingatan kita telah
jadi hujan yang pasti bermalam di setiap purnama yang takkan
sembunyi pada sungai kata-kata yang memusimkan sepenggal rindu
sehingga engkau lupa bagaimana kerbau di mimpi-mimpi itu bermula
tanpa tanduk-tanduk mereka

- dengarlah! penghujan banyak menciptakan ingatan bagi sebuah musim
tempat aku meletakkan bunyi puisi ini kepada setiap nama yang engkau
panggil menuju ujung musim di bibirku dari bibirmu -


2010
(sajak ini diikutkan dalam PESKSIMINAS 2010 di Pontianak setelah memperoleh peringkat V se-JATENG)

TENTANG SUARA DI TUBUH





~ 1/
Ni, aku telah duduk dan jelma waktu yang tetas di detak alat pendengar degup
jantungku sendiri. ketika kepalaku masih saja memeras keberuntungan
menemukan dirimu yang bersuara suara sayup di antara bunyian semayam
pada dada yang rasanya ingin kubelah dan kusendirikan bersama kepala
dan stetoskop.

~ 2/
bertahun tahun aku sudahi percobaan penerkaan yang karam, Ni. di lautan
tanpa suara dan arah ke mana aku harus berlayar mengembalikan ombak
yang dulu sempat tersesat di pesisir pantai yang sedang sakit karena teriak
jejak kakimu memanggil manggil perpisahan sehabis engkau peluk. bertahun
tahun aku sudahi percobaan akan pendengaran yang sebenarnya memetakan
ketulian ingatan pulau pulau senyap di kedua lubang telingaku.

~ 3/
kepada dadaku yang belum tentu bisa mengartikan ketulian suara itu sendiri.
aku berucap lewat tubuhku yang makin surut dari bisikan bayanganmu. “Ni, aku
sungguh ingin menemukan suara-alamatmu yang lama terkubur di pasir
ingatanku. aku sungguh ingin mencari dan mencari di mana engkau meletakkan
suara paling parau hingga aku bisa melupakan ketulianku sendiri dan pergi
dengan segera menuju alamat-suaramu.”

~ 4/
Ni. dan bila suara benar benar kekal

pada penemuanku yang kedua kalilah, aku berjanji bahwa akan kutulis-bacakan
suara kehilanganku atas abjad abjad kerinduan yang hampir punah dan
ingin sesekali disuarakan, dibiarkan lepas atas susunan susunan maknanya sendiri.

~ 5/
suatu waktu aku ingin tiada, Ni. dengan suaraku yang akhirnya kutemukan
bukan di dada-telingaku. melainkan di tubuh pesakitan tempat aku duduk
merenungi mu dan

suara.



2010
ilustrasi gambar oleh steven kurniawan

9.02.2010

PUISI YANG MENCOBA MENGGANTIKAN DOA


tertanda 18.00



ada sesuatu yang layak untuk dijadikan raung atas airmata;
ia berbicara kepada pencipta yang diciptakannya. ia ingin
pergantian waktu bukanlah seperti jam dinding di ruang
tempat segalanya lesap berbau asaplilin

sesuatu itu merapal. keluar dari bibir pendoa
yang sedang lupa bahwa ia telah menuju
ke mana asaplilin bermula

sesuatu itu menyebut doanya,
puisi



2010

SEJUMLAH BAHASA INTUISI YANG MENYEMBUNYIKAN SEJUMLAH PENAFSIRAN

- clairvoyance* -
semalam aku tak melihat ada kebohongan
merampok sisa-sisa bolamata di persembunyian
kejujuranmu. aku tak melihat gambaran klise
tentang ibumu yang tiba-tiba merasakan kanak-
kanakmu terjatuh dari ayunan di halaman sekolah,
membentuk takut-takutnya seperti putaran jam
yang berbalik arah menuju malam tadi. hanya saja,
aku melihatmu menggigil tanpa pakaian
sedang mencari-cari kacamatamu yang dicuri
gunung es dekat bantal ibumu.

- clairsentience* -
biar saja berpenggal-penggal kepala merontok
bagi orang-orang yang tak mau bermimpi
tentang saraf-saraf di tubuhotaknya
ketika indera keenam menjadi binatang purba
yang berarak menuju zaman penuh magnet-magnet
digital menggantikan penantian panjangmu dari kota-kota
desa-desa di abad liang-liang kepala. namun ingat,
bapak-ibumu yang menasihatkan;

“pengasingan adalah masa terakhir
kau mengunci firasat takdirmu sebagai
penginderaan raung potongan kepala”

- clairaudience* -
ke mana telinga menyingkatkan suara kita;
mengartikan bunyi hantu-hantu gunung es
sewaktu menggentayangi perasaanmu

kau berdalih menyadarkan kekacauan intuisimu sendiri
sementara aku,
kau perdengarkan sebagai mayat yang melahirkan
telinga barumu



semarang, 2010
*) bentuk-bentuk dasar ragam intuisi

9.01.2010

CARRIKFERGUS*

oleh Jurjani Saja Cukup pada 23 Juli 2010 jam 22:00
(cerpen dari note facebook)

Kini aku melihat prempuan paling hebat di dunia. Perempuan yang begitu perkasa, perempuan tangguh, perempuan yang rela berkorban tanpa rasa pamrih dalam dirinya, karena menurutnya memberi adalah sebuah kewajiban, dan mererima adalah hak yang dianugrahkan, ketika mendapat sedikit dari jerih payah dari apa yang ia usahakan, maka itu adalah anugrah yang tak boleh dikufuri. Ah sugguh bederhana sekali pendirian itu. Bersahaja.

Dulu, ya dulu aku melihat ‘bara’ dalam matanya, bara semangat yang tak pernah padam. Aku tahu, paling tidak, aku kecil selalu terbangunkan di pertiga malam yang selalu dijaganya sejak lama, dan dia tak pernah tidur lagi setelah melakukan rutinitas itu, karena setelah subuh dan setelah melantunkan ayat-ayat suci, dia selalu sibuk menyiapkan sarapan keluarga, dan sungguh, dia tak pernah memanjakan matanya untuk tidur berleha-leha atau sekedar duduk manis di depan teve hitam putih di waktu dhuha, tidak, baginya, waktu dhuha adalah waktu untuk berangkat kerja, menenggelamkan diri dalam keagungan kerja, karena kemulyaan yang dia yakini adalah ada pada kerja keras, dan sekali lagi mata itu tak pernah terlihat sayu, oh tidak, dari dulu mata itu memang sudah sedikit sayu; sangat manis, dia tidak pernah membuka matanya dengan sangat lebar untuk menakuti anak-anaknya. lembut sekali.
Dan mata itu yang selalu membuatnya terlihat ramah dan selalu berseri. Dia selalu tersenyum untukku juga kepada orang yang dia temui. Dulu juga, aku kecil adalah anak yang nakal, sering buat ulah, tapi dia tidak pernah memarahiku di depan umum, dia selalu menjadi orang yang pertama merasa bersalah ketika aku tak sengaja menyenggol gelas di rumah tetangga, dia selalu tersenyum padaku. Ah sungguh, senyum dan mata ayu itu tak pernah lelah memancar an tak akan pernah aku lupa, terpatri erat dalam lubuk hatiku.

Bekerja di ladang dengan matahari membakar kulit, tidak kemudian ia kehilangan senyumnya dan mengutuki nasib. Hidup di perantauan memang keras, kerasa sekali, begitulah yang aku lihat pola kerja Ibu dan Bapakku, tak ada keluh kesah dan gelisah dalam menjalani hidup ini. Kau tahu kawan, tak ada adagium-adagium besar yang terpatri dan membentuk menara keyakinan mereka, sungguh aku tak pernah mendengar istilah ‘takdir terbaik manusia adalah tak pernah di lahirkan’ (mengesali takdir), yang ku tahu adalah hidup bagi mereka adalah sebuah garis ketetapan takdir dan dunia adalah kehidupan yang sangat sementara, dan salah satu garis takdir itu bernama transmigrasi. Transmigrasi merubah segalanya dalam kehidupan keluargaku dua puluh tahun silam.

Ya, tepatnya dua puluh tahun silam, bapakku melakukan transmigrasi ke Sumatra. Dulu kebijakan ini sangat popular, dan itulah yang aku baca di bangku sekolah, untuk melakukan pemerataan penduduk, maka pulau-pulau ynag sudah padat harus melakukan transmigrasi. Dan pulau Jawa adalah pulau yang sangat padat penduduknya, maka para penduduk di pulau Jawa terus didorong secara moril untuk ‘melihat dan menyapa’ kehidupan yang lebih baik di tanah baru.

Bapak menerima tawaran sebongkah mimpi itu. Bapak juga tak pernah menyerah, ibu sangat mendukungnya, bahkan teramat, dia menjadi penerang dan pendorong suami. Ibu tak pernah memberika sinyal keraguan kepada bapak ketika di tanya dan diminta pendapat, dia memberikan pendapat lalu menyerahkan semuanya kembali, dan mendukung segala keputusan. Dan akhirnya kami, oh aku tidak termasuk karena kau masih snagt kecil waktu itu, tepatnya ibu dan bapakku membuka lahan di Sumatra dengan satu mimpi: better life .

Kami hidup damai, kami menaklukan cobaan demi cobaan dengan sabar dan tawakkal. Ini adalah buah yang kami semai dari kerja keras selama belasan tahun, kami bisa hidup dari perkebunan kelapa sawit yang disediakan pemerintah sebagai konpensasi atas kesediaan kami membuka lahan di Sumatra ini. Dan kami hidup bahagia, bahagia sekali kawan, bahkan aku tak bisa lagi melukiskan kebahagian ini dengan kata-kata lain lagi. Ah tidak, tidak, sekali lagi tidak, aku tak bisa mengenangnya lebih jauh, karena kini keadaannya sudah berubah. Ya keadaannya sudah benar-benar berubah, entahlah berapa derajat perubahan ini kawan. Perih sekali, kenangan itu menusuk nusuk fikiran dan hatiku.
****

“Ibu kecil adalah anak seorang petani yang sangat sederhana” Beliau memulai ceritanya malam itu.
Aku hanya tersenyum, kini, seolah Ibu sedang berbincang dengan seorang sahabat, dan aku berharap bahwa aku adalah anak dan sahabat yang baik.

“Dulu ibu sangat pendiam, mungkin karena memang tak ada yang mesti bicarakan bicarakan, Ibu tak pernah neko-neko minta ini dan itu, apalagi minta dibeliin boneka, ah, Ibu tak pernah tertarik denagn boneka entah apapun namanya, entah itu barby atau yang sejenisnya, karena Ibu sudah cukup bahagia bermain dengan teman dan bermain dengan apa yang tersedia di alam” beliau kembali menghela nafas panjang.

Lagi-lagi aku hanya tersenyum. Getir.

“Ibu tak pernah punya mimpi besar” Ia menatap langit-langit ruangan itu.

“Bahkan teramat sederhana, bahkan Ibu tak pernah berfikir ada dunia yang jauh lebih indah dan lebih maju, ya Ibu tak tak pernah punya mimpi untuk bersekolah tinggi-tinggi, seperti kamu Nak di Jakarta”
Aku makin khusus duduk di sampingnya, tentu menghadap tubuhnya.

“Ya, Ibu remaja adalah seorang rumahan, tak ada kegiatan yang menyibukan selain membantu Nenek di rumah sampai…” dia menahan nafasnya mencoba mengingat segalanya.

“Sampai Bapakmu datang mewarnai lembaran hidup yang harus terus berjalan”.

Aku hanya tersenyum, sambil mendekap tangannya erat.

“Bapakmu adalah orang yang sangat santun, dia datang kepada ibu dengan sangat unik, unik sekali, nada bicaranya sopan, dan kami saling mengenal walau tidak begitu baik, maklum, begitulah kalau beda kmapung; jarang bertemu. Yang lebih unik adalah dia datang pada keluarga Ibu setelah hanya satu bulan berkenalan, dan keluarga balik bertanya kepada Ibu, apakah Ibu bersedia menjadi istrinya, aku hanya tersenyum dan mengangguk, tak ada persyaratan apapun, karena Ibu tahu dia paham segalanya untuk membina rumah tangga, membangun istana kecil yang bernama ‘keluarga’, dan tidak lama kemudian kami menikah dan tidak beberapa lama melahirkanmu”

Aku tersipu dan aku melihat wajah Ibu berseri sambil menatapku lebih dalam; Tenggelam dalam senyumku: senyum kebanggaannya.

Sungguh potongan cerita ini adalah gambaran harapan. Kawan, jika engkau tengah bercerita entah kepada siapapun, terlebih kepada sobatmu sendiri, maka sesungguhnya engkau tengah menitifkan sejarah dan mimpimu di sana. Orang akan mengenangmu dengan apa yang engkau lakukan dan engkau ceritakan. Jadi berceritalah, maka ceritamu akan mengubah kehidupan orang lain di sekitarmu. Ceritamu akan jadi inspirasi orang lain untuk menjalani hidup ini lebih baik. Dan seperti biasa, aku selalu menemani Ibuku di setiap malam, ba’da magrib dan mendengar segala celotehannya, sejarah hidupnya, sejarah kebanggaannya, cita dan mimpinya yang amat sederhana; mempunyai anak yang soleh dan solehah.
Dan setelah mengakhiri ceriitanya, dia lalu tidur dalama genggaman tanganku yang belum sempat terlepas, dan aku selalu melepasnya perlahan setelah dia tertidur pulas.

Aku keluar dari ruangan yang sempit di rumah sakit itu.

Kau tahu kawan, aku sesungguhnya menangis, batinku terharu mendengar segala ceritanya, cerita itu sungguh menyiksaku, oh tidak, bukan menyiksa, tapi aku hanya tidak tahan bagaimana ia merangkai kebahagiaan dalam kondisi seperti ini. Kondisi yang amat rapuh, bahkan teramat rentan untuk tenggelam dalam kegembiraan, sedang kondisi tubuhnya akan membuang segala harapan dan kebahgiaan itu datang kembali.

Tidak, aku tak pernah membayangkan ini akan terjadi.

Ibuku terkena kanker payudara, dan memang kanker ini pernah dideritanya bertahun-tahun silam, tapi tidak separah ini, entahlah, kini ia jatuh lebih parah, dan aku tidak tahu apa yang membuatnya lumpuh setengah badan ke bawah. Dan kini ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain melakukan terapi sebulan dua kali, dan kini ia terbujur lemas di salah satu ruangan rumah sakit ini. Kini, aku tak lagi melihat tubuh perkasa itu, juga mata dan senyum manis itu, walau senyumnya masih tersungging beberapa saat dan hilang kembali berganti erangan kesakitan.

Lama aku termenung,

Aku tenggelam dalam kebingunganku sendiri, apa yang harus aku lakukan.

Aku mengutuki diriku sendiri, aku tak akan pernah lagi menyesali segala Sesuatu yang sudah terjadi, karena menyesal dan mengutuki nasib adalah bentuk lain dari ‘kekufuran’ atas nikmat yang diberikan Tuhan.

Angin malam itu berhembus, menelisik lalu masuk ke celah pori-pori badanku, dingin.

Ini tentang sukur, ya ini tentang sebuah tanggapan lain dari hidup ini. Aku sudah mngorbankan segalanya. Aku korbankan cita-citaku yang ingin bekerja di media. Aku juga meninggalkan anak-anak TPA yang aku urus, sungguh ini pilihan yang sulit, dan sungguh aku tak tega melihat air mata berjatuhan dari pengurus yayasan dan anak-anak mungil itu “Maafkan Kaka, andai pilihannya tidak sesulit ini, maka aku akan memilih untuk mengajar terus di bercanda bersama di sana, dan satu hal yang tak akan aku lupa, tak ada yang pergi dari hati” batinku berbisik lirih.

Tiga bulan, setelah dokter memponis dia lumpuh, aku tak lagi memikirkan tenagaku untuk bolak-balik Palembang-Jakarta dan Jakarta-Palembang untuk menyelesaikan study-ku. Terlebih aku tak peduli untuk ketidakhadiranmu ibu di ‘pesta kecil’ wisudaku, karena semua itu aku persembahkan buatmu ibu. Meskli engkau tak ada di foto itu, tapi toga itu milikmu Ibu. Kenangan ini benar-benar menyayat memoriku.

Di depan kantin ini aku selalu menenggelamkan diri.

Di depan kantin ini aku selalu merenungi cobaan ini, sungguh teringiang di fikiranku, dialog keluarga kemaren setelah makan malam itu “Sudahlah A, di sini banyak saudara, pergilah ke jakarta, kau memang tidak akan terbiasa hidup si sini, kota telah membentukmu menjadi lelaki yang tabah dan kuat, dan aku juga tahu kau sangat ulat dan rajin, dan aku sangat bangga melihatmu tumbuh selama ini, ibu tidak apa-apa, dan semua akan baik-baik saja” Ibu berkata dengan lembut, lembut sekali.

Tidak, semuanya tidak baik-baik saja. Bagaimana mungkin semuanya baik-baik saja, jika ibu masih berbaring dan masih berjalan memakai roda. Tidak, dialah separuh hidupku.

Sungguh aku tak berani menjawab walau hanya menggelengkan kepala tanda ketidak setujuan, aku sungguh sangat takut melukai hati dan perasaannya. Biarlah, aku sudah melupakan mimpi itu, aku seudah melupan mimpi alam kota yang bising, dengan segala kemegahan yang menjanjikan hidup lebih berkilau.

Kini gilranku menjagamu, setelah adik perempuanku dan suaminya yang tabah telah memulai hidup baru di lampung, karena merekalah yang selalu menjagamu selama dua bulan pertama setelah kau jatuh sakit dan mulai berjalan dengan roda.. Biarlah mereka yang selama ini menjagamu mencari kehidupan yang lebih baik, menjalani takdir-Nya: berbakti kepada suami, dan kini aku telah ada di sampingmu ibu.

Satu lagi, aku jadi tak terlalu peduli tentang wanita yang aku impikan yang sering aku ceritaklan kepadamu ibu. Dulu aku bermimpi tentang wanita yang berkerudung lebar, selalu memakai rok tentunya, memakai shoking yang selalu menutupi kakinya, selalu menjaga pandangannya dan mendapatkan tarbiyah paling tidak dari liqo yang selalu diadakan di kampus, tapi, kini aku menyerahakn segalanya kepada Tuhan yang maha tahu apa yang terbaik buat hambanya.

Demi mata ayu itu, demi bara semangat yang masih memancar dalam jiwanya, dan demi senyum yang selalu tersungging di wajahnya. Aku memutuskan untuk tinggal di sampingmu selamanya Ibu, sampai kau pulih seperti sediakala. Sungguh tak ada satu halpun yang aku korbankan, cita-cita itu, ah, apalah artinya tanpamu Ibu, karena engkaulah ‘tempat mimpi pengaharpan itu’ atau orang biasa melambangkannya dengan “carrikfergus”.

Ibu di carrikfergus**

melaluimu,
aku mengingat masa kanak-kanak; ibu merendanya
membuatkan susu yang masih murah waktu itu
menyalami mimpi supaya tak ada sesuatu yang menerkam
bahkan menggigit lagu-lagu pengantar tidur
atau memadamkan doa-lugu di bawah bantal

carrikfergus, pada seberang kaca-kaca jendela
aku meletakkan gambar ibuku sedang menatang sore
dan menyimpan matahari di sakunya
hingga sampai suatu ketika
aku bisa membacanya bersama ingatan
untuk dilelapkan kepada kanak-kanak usia
yang hampir saja habis oleh mimpi-mimpi mahal
tanpa arah tanpa sorga

o, carrikfergus!
sampai ke mana aku
melaluimu

ibu?


2010



(untuk seorang teman dan cerpen ini terinspirasi dari kisahnya juga puisi A. Ganjar Sudibyo)
* potongan judul puisi A Ganjar Sudibyo
** puisi lengkap A Ganjar Sudibyo

TUHAN, KE MANA PONSELMU SEMALAM


?


2010

8.31.2010

PUISI-PUISI SAYA DI HARIAN SEMARANG, SABTU 28 AGUSTUS 2010



KEPADA INDONESIA, TERSEBAB INDONESIA

bisa dibaca di alamat;
http://ganzpecandukata.blogspot.com/2010/08/kepada-indonesia-tersebab-indonesia.html


BILA LAUT TIADA

bisa dibaca di alamat;
http://ganzpecandukata.blogspot.com/2010/06/bila-laut-tiada.html