PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

1.19.2011

MELANKOLIA MELANKOLIA YANG KUSUSUN UNTUKMU, MI


[1]

di rinduku. kini, kau adalah hujan

dan aku detak jam yang redam

pada dadamu. tisu


[2]

kucari kau malam malam. kucari

di sebalik kertas buku harianku,

tapi kata kata telah begitu luruh

menyembunyikanmu. dan puisi

tak henti membunyikan rindu

pada setiap katanya.


[3]

aku payungmu, sayang. ucapku

suatu ketika di hadapan kaca,

matarinduku sendiri. aku paham,

percintaan ini hanya milik

sebagian mata kita saja

sebagian dari hujan.


[4]

barangkali, kaulah laut itu:

ombak. aku yang memecah

kedatanganmu berulang kali.

mengaramkan kepergian,

dengan arus di karang karang.


[5]

biar kuwarnai sketsa wajahmu dengan jingga,

hingga kau tampak begitu senja. tampak

begitu ingin mencintaiku. tanpa gambar.


[6]

bila kau tanyakan

tentang harga pertemuan,

maka takkan kau temukan

jawaban di mata uang

manapun.


[7]

wajahmu perca, perlahan

tersusun di jantungku.


[8]

kutiup harmonika dengan oktaf oktaf tinggi

sebagai bahasaku yang terlanjur kamus

di perjumpaan: kau sebagai penonton semata wayang,

dan panggung ini adalah hadiah bagimu seorang.


[9]

angin itu. angin itu adalah pemecah bisu

sewaktu kalender beramai-ramai

membuat sarang yang masai

: bibir, ibumu.


-- maka kunamakan angin itu

pulang


[10]

genapilah nas ini,

tulislah sayang tulislah ingatan

sampai habis ibubatumu


mi!



2011

1.15.2011

DI SUATU SABAT DI SUATU BAIT DI ISAK SEORANG LUMPUH


demi sabat. izinkan aku menirukan imanku, tuan. isak biji sesawi perlahan

menyemat api putih di ruas-ruas telapak kakiku. betapa ruh ini ingin mengajak

ranjang berlari mengejar babi-babi ke pelosok jurang sembari memanggil

nyanyian eksorsisme tarian yang kerap mendengung di telinga-telinga farisi

dan ahli taurat. demi sabat. maka aku akan segera menggedorkan langitkota

ke tengah orang-orang sewaktu tiba ceramah. isak ini, tuan. isak tanpa pahit

yang kau janjikan padaku untuk sebuah hari, yang kelak mengusung kalvari

bagi jalan-jalan dari semua desa di galilea, yudea, dan yerusalem. mengusung

kutukan tak terampunkan bernama takut. isak ini adalah kunci pintuku

atas kedatanganmu sebagai tabib, lebih dari rahib.


dengar,

dengarlah yang membaca ratapanku di setiap lukabait!

sebab, kalian telah berulang melihat isakku yang terbakar

oleh ibukelumpuhanku sendiri. mengangkat ranjangku yang dulu

mengembalikan surga biji sesawi di letak cinta yang tepat

jauh dari dosa yang likat dan ruh yang sesat.


demi sabat. aku berterimakasih pada segala isak

yang menyembuhkanku dan mendatangkanku pada bapa

di suatu masa.



2011


1.14.2011

PUISI YANG INGIN MENJADI BAB KATA PENGANTAR NOVEL MUSASHI


[i]

suatu pagi, mungkin akan mengingatkan deru sejarah pada seribu tujuh ratus akar

aliran pedang di buku gorin no sho. sebelum dentum perang, sebelum merayakan

pedang. kitab ini lamat lamat ingin mengantarkan petang yang datang supaya

menulis tentang zaman jepang. abad abad manusia dengan segenggam kembang

di padang sekigahara, hasrat yang tak pernah habis ditenggak sampai pulang

ke pangkuan lawan. di luar sana, api berkobar. lalu asap keluar dari segala mata.

tempat kutumpahkan pecahan kata fiksi yang terjatuh dari musim gugur pohon

sakura milik eiji yoshikawa. lalu kupilin jadi penawar yang pandai meramal sejauh

mana abad terus berkata bahwa dinasti sudah mati di tangan tokugawa. senja itu

penuh bau sakura: kepulan masa yang hilang tertusuk tusuk oleh salju. salju yang

muncul bergantian di sebalik kertas dan turun dari asapmata dari kabut paling pagi.


suatu pagi yang senja, aku tetap menulis diri dan pedang pedang yang mati,

nyanyian nyanyian mesiu dalam tinta menjelang bab berkisah tanah

para pengembara dengan kimono dan ikat rambut panjang.


[ii]

takezo,

aku takuan yang ditulis oleh penyair itu!


sesekali aku meneriakimu, seketika pohon liu bercabang di desa-desa para bandit.

dan kemudian tumbang pada sebilah pedang pada teriakkan yang kesekian kalinya,

teriakkan dari halaman romawi yang ingin menyatakan bahwa ada tuan penerjemah

berikthiar untuk membesarkan negaranya.

aku membacamu cermat cermat, menuliskanmu di tubuhku. o, takezo. aku ingin

merayakan upacara teh denganmu. menyarungkan perang dan saling dekap,

di bab sebelum mengantarkanmu dari petualang para samurai kepada bab paling

damai. mendentangkan bel sebelum sarung sarung pedang kembali kosong;

purnama yang luruh ke atas kriptomeria tua. aku puisi yang ingin terbang

menjelang giring giring kecil membukakan novel. menjadi kata pengantar

yang tak terjemah dan meninggal di kisah negeri samar.



2011


Keterangan:

Gorin no sho adalah buku tentang lima cincin yang berisi urain Musashi tentang permainan samurai.


1.09.2011

CORETAN KECIL PSIKOLOGI 6 (BAGIAN II--SELESAI)

CORETAN KECIL PSIKOLOGI 6 (BAGIAN II): GURINDAM HASAN ASPAHANI DALAM RANTAI STRUKTUR JIWA PENANDA-PETANDA (SEBUAH PERCOBAAN ANALISIS PSIKOLOGI SEMIOTIKA BERDASAR KONSEP SAUSSURE DAN STRAUSS)


Oleh: Ganz (A. Ganjar S.)*



Signified-Signifier

Manusia adalah homo semioticus, kata seorang ahli semiotik Art van Zoest. Yang mana menurut van Zoest jika kekeuasaan itu berdiam diri, tidak memberikan tanda, maka manusia sendiri akan memproklamasikan sesuatu, apa saja, sebagai tanda. Sebab, ini pun mampu dilakukan oleh manusia. Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari bahasa Yunani “semeion”, berarti tanda. Ferdinand de Saussure seorang linguis berkebangsaan Swiss, seorang yang direferensikan sebagai penemu semiotik berusaha mengembang-lengkapi tesis-tesis van Zoest. Saussure memurnikan ide pembagian tan da ke dalam suara dan imaji sebagai suatu menyatakan bahwa akan lebih jelas ketika merujuk konsep sebagai petanda (signified) dan suara atau imaji sebagai penanda (signifier). Puisi berisi unsur-unsur semiotik yang begitu kental. Setiap kata dan tanda baca mempunyai peran, baik sebagai sebuah petanda maupun penanda. Puisi menawarkan semacam proklamasi kekuasaan kepada pembaca bahwasanya teks tersebut diharapkan bisa membawa pembaca pada kemerdekaan interpretasi tanda dari masing-masing jiwa. Dalam bagian II ini, saya mencoba untuk mengulas kembali sajak berjudul Gurindam karya Hasan Aspahani berdasarkan kacamata psikologi semiotika[1]. (Pada bagian II hanya dibahas sajak “Gurindam Pasal yang Keempat” sebagai sampel dalam membahas tema esai ini)


Struktur Tanda: Arbitrer Jiwa “Gurindam Pasal yang Keempat”

“Jangan tanya makna sebuah puisi pada penyairnya, sia-sia. Siapa tahu penyair tadi gila, hingga makna terserah pembaca. “ Suatu ungkapan spontanitas dari seorang penulis buku Metodologi Penelitian Psikologi Sastra, Suwardi Endraswara ini cukup memberikan kisi-kisi kepada pembaca. Kisi-kisi tentang bagaimana mengungkapkan sebuah sajak yang dibaca. Hal ini juga tergantung tingkat refleksi tiap-tiap pembaca. Saussure dalam menguraikan tentang semiotika, menekankan bahwa kesemenaan tanda adalah prinsip utama. Hal inilah yang kemudian dikenal sebagai istilah “arbitrer”. Selanjutnya, arbitrer ini sendiri punya latar belakang psikologis yaitu untuk mengkatarsiskan jiwa melalui kata. Dengan kata lain, adanya penglepasan tanda-tanda makna untuk diikatkan pada mata pembaca yang muncul atas dorongan ekspresi kejiwaan si penulis puisi itu sendiri. Pun dengan puisi berikut :


Gurindam Pasal yang Keempat:

Mana Kata, Mana Makna


Kenapa kau takut hilang jejak di dalam sajak,

bukankah hakikat sajak adalah jauh melacak?


Kenapa kau takut sajakmu kehabisan kata-kata,

bukankah hakikat sajak adalah kata yang mencipta?


Kenapa sajak kau jejali kata, kau bebani makna?

sajak itu meleluasakan kata, meluaskan makna


Sajak mulai bicara, kau ucapkan jutaan kata,

kenapa tak sebait pun sajak ingin kau cipta?


(Sumber: 60 Puisi Indonesia Terbaik 2009)


Puisi di atas tergolong rangkaian unik sebagai bagian dari tubuh puisi yang dibentuk dalam memenuhi kebutuhan menciptakan makna lewat tanda. Di sini, tanda itu berstruktur dengan masing-masing tujuan. Yang kemudian terkait struktur mental si penulis itu sendiri. Dua bait berikut memiliki relevansi yang erat dengan bagaimana membaca strukur secara semotika dan psikologis:

Kenapa kau takut hilang jejak di dalam sajak,

bukankah hakikat sajak adalah jauh melacak?


Kenapa kau takut sajakmu kehabisan kata-kata,

bukankah hakikat sajak adalah kata yang mencipta?

Kata tanya “kenapa” menjadi dielu-elukan untuk memperkuat struktur setelahnya. Subjek (“kau”)yang kemudian tetap menyala untuk sengaja tidak dilesapkan. Ini adalah sebuah tanda lewat representasi penanda—“kata tanya”, petanda – “kenapa”. Pemunculan kata tersebut berjasa bagi penciptaan struktur yang sedemikian murni, dan bila dikaitkan dengan strukturalisme Claude Levi-Strauss (seorang psikolog struturalisme) maka ada sebuah keteraturan hubungan antara bahasa dan mitos yang lekat pada tanda-kata dalam puisi. Ada semacam muatan jiwa yang beradaptasi dengan pengkailan makna dari sisi penulis sendiri. Si penulis berusaha menguakkan makna mentah-mentah lewat pertanyaan tajam seperti “bukankah hakikat sajak adalah kata yang mencipta?” Bahwa pembaca akan membahasakan secara gamblang atau multiinterpretatif itu akan menjadi persoalan lain, yang terpenting di sini adalah “pemahaman jujur” timbul lewat ruang kecil--puisi sebagai proyeksi makna penulis untuk pembaca. Pemahaman ini selanjutnya akan terlepas dengan sendirinya seturut subjektivitas pembaca. Subjektivitas dalam kemerdekaan yang interpretatif tanpa keluar dari keberadaan struktur tanda-tanda kata dalam puisi tersebut. Dengan demikian, arbitrasi pembaca dapat terpenuhi sebagaimana bait puisi di atas berusaha menggemburkan pemikiran-pemikiran pembaca yang telah masuk dalam pengkailan makna dari penulis. Dan struktur tanda, seolah berkaitan dengan semacam gejala neurotik bagi si penulis sendiri terhadap ukuran mitos yang hidup dan berkarya dalam dunia jiwanya.


Katarsisme Mitos Strauss Mencekal Makna Puisi

Penglepasan emosi menjelang akhir sajak ini masih dan tetap bergelut tentang bagaimana gejala neurotik dan bakat si penulis mengangkat keberangkatan fakta. Fakta di tengah-tengah dasar tebaran mitos yang tersembunyikan oleh langkah arbitrasi. Mitos kearbitreran ini kemudian secara lebih jelas dapat dijumpai pada persembunyian makna di bailik tanda-baca dan kata bait berikut:

Kenapa sajak kau jejali kata, kau bebani makna?

sajak itu meleluasakan kata, meluaskan makna

Bahasa bait itu serasa ingin membunyikan aspek yang disebut Levi-Strauss sebagai langue mitos. Adanya interaksi mendalam ditunjukkan antara mitos dengan makna puisi itu sendiri. Baris pertama pada bait tersebut menuangkan transformasi fakta ke dalam makna dan bahkan pesan estafet. “...kau jejali kata”, “kau bebani makna”, kedua himpunan kata tersebut seperti membayangi pembaca akan bagaimana mengenal sebuah sajak penuh kata tapi tak selamanya memiliki ringan makna. Adanya perpaduan harmonisasi diksi juga ditunjukkan pada bait tersebut hingga bisa dikatakan emosi makna pembaca ingin diletupkan lewat sebuah katarsisme mitos si penyair. Demikian jika dikorelasikan dengan Strauss dapat dikemukakan bahwa di dalam struktur puisi dan makna yang terkandung di dalamnya terdapat struktur mitos ciptaan si penulisnya. Bagaimanakah stuktur mitos tersebut dapat dicekal? Bait itu telah berkatarsis dengan sendirinya mencekal makna: “....meluaskan makna”


Jiwa si Penyair: Embrio yang Sungguh Hidup

Sajak mulai bicara, kau ucapkan jutaan kata,

kenapa tak sebait pun sajak ingin kau cipta?

Bait keempat tersebut bertolak untuk menciptakan penanda-petanda emosi yang mengerucut pada struktur pertanyaan. Di mana ada penempatan supaya pembaca turut mengotak-atik jawaban dari teka-teki penanda yaitu “sajak” dan petanda yaitu “kata” dalam konteks puisi ini. Melalui lorong bait ini, ada percobaan pengikatan belenggu yang seakan merantai pembaca. Hingga menembus keluar lorong penciptaan interpretasi jawaban pun, struktur jiwa yang tersusun rapi dapat mengobrak-abrik kerapian itu sendiri dengan kedisiplinan penyuguhan dinamika sajak. Hal ini berangkat dari bentuk pengolahan emosi dalam mitos penulisnya dan lahir embrio hidup di pikiran pembaca untuk keluar dari rahimnya dan menamakan bayi itu sebagai refleksi atas puisi. Refleksi yang lebih hidup tanpa menjauhkan nyala semiotika petanda-penanda dengan sumbu mitos jiwa si penyair.



Salam.

Semarang, 2011


*penulis seorang penyair muda dan mahasiswa psikologi Undip Semarang



Footnote:

[1] Sebuah cabang disiplin ilmu yang coba saya adopsi, pun saya kombinasikan dari ilmu semiotik dan psikologi.




--esai ini dan bagian I, dimuat di http://poetikaonline.com/2011/01/coretan-kecil-psikologi-gurindam-hasan-aspahani/--

1.08.2011

CORETAN KECIL PSIKOLOGI 6 (BAGIAN I)

CORETAN KECIL PSIKOLOGI 6 (BAGIAN I): NIVEAU[1] DI BALIK HERMENEUO[2] PADA SEBUAH GURINDAM HASAN ASPAHANI (SEBUAH PERCOBAAN ANALISIS NIVEAU J.ELLEMA DALAM HERMENEUTIKA PUISI)


Oleh: Ganz (A. Ganjar S.)*



Tentang Niveau

Puisi-puisi yang telah ditulis dan dipublikasikan sebenarnya menawarkan berbagaiinsight kepada para pembaca, di mana dalam jiwa-wajah ekspresi puisi yang dibaca seakan ingin mengatakan sesuatu dengan lebih dalam dan tajam tentang bagaimana memandang kehidupan. Keberadaan puisi secara psikologis dipanadang menciptakan fenomena tingkatan kejiwaan yang begitu likat, kata-kata dilekak-lekukkan dengan begitu elok oleh pembuatnya yang adalah si pencipta jiwa dalam puisi tersebut. Dalam menelusuri eksistensi jiwa, ia memiliki tingkatan tersendiri yang mana berfungsi sebagai semacam “penusuk” dalam citra puisi. Puisi dan kejiwaan memang seperti koin. Oleh karena itu, saya akan mencoba menganalisis menggunakan tingkatan kejiwaan di mana tiap tingkat memiliki daya peka yang berbeda. Secara lebih terperinci, eksistensi jiwa menyimpan unsur-unsur tegangan emosi, konasi dan kognisi yang belum dapat diketahui secara pasti akan pemahaman tiap unsur pada tubuh jiwa tersebut. J.Ellema dalam Petica (Noor, 2005:45) menyatakan bahwa jiwa manusia terdiri atas lima tingkatan. Setiap karya memiliki tingkatan-tingkatan kejiwaan dengan urutan seperti niveau anorganis, niveau vegetatif, niveau animal, niveau human, niveau religius. Niveau anorganis merujuk pada kehadiran karya yang mendatangkan interpretasi lekat dengan permainan bunyi dan stilistika (cabang dalam linguistik yang mempelajari beragam bahasa). Niveau vegetatif condong pada naturalisasi ragam puisi yang mempunyai relevansi dengan usia puisi dan penulisnya. Niveau animal merupakan kondisi naluriah atau impuls-impuls penulis atas dorongan menulis. Niveau human mengandung kondisi moralitas semacam wejangan yang ditujukan kepada pembaca. Niveau religius berkenaan dengan puisi-puisi profetik atau sejauh mana puisi mendekati tintkat interpretasi kedalaman religi. Pada kesempatan ini, akan diujicobakan bagaimana genetika dalam sebuah hermeneutika puisi berjudul Gurindam karya Hasan Aspahani seorang penyair dan ahli pelekuk kata ternama. Di bagian pertama ini, saya akan membahas “Gurindam - Pasal yang Pertama”.


Hermeneutika dalam “Pikiran Sebuah Gurindam”

Hermeneutika merupakan ekspresi pikiran-pikiran seseorang yang tersalurkan lewat kata-kata. Hermeneutika dapat juga dikatakan sebagai usaha penafsiran sebuah pemahan, sebuah pencarian insight. Mengubah sesuatu yang relatif absurd pada penjelasan yang “meng-awami”. Puisi yang berjudul Gurindam merupakan nukilan dari salah satu sub-bab yang diadakan dalam rupa pasal-pasal. Hermeneutika muncul dari cetusan pemikiran bahwa manusia tak dapat membebaskan diri dari kecenderungan dasarnya untuk memberi makna. Paul Ricoeur seorang filsuf, menyatakan bahwa hidup itu sendiri adalah sebuah interpretasi. Gurindam pasal yang pertama tersebut tampaknya relevan dengan konsep otonomi teks. Ada pikiran yang ingin diungkapakn tentang sebuah situasi kultural moderat dan pengadaan teks. Nukilan berikut ini mencoba menguak pemikiran tersebut:


“Jika kau paksa juga menulis sajak,

kata memang tiba, tapi makna jauh bertolak.


Jangan ajari sajakmu mengucap dusta,

sebab mulutmu akan dibungkam kata-kata.


Biarkan sajakmu dicela dicaci dinista,

karena maki cuma kata yang cemburu buta.


Di mana kau simpan sajak terbaik?

di hati, lalu biarkan kata mengucap tabik.”


(Sumber: 60 Puisi Indonesia Terbaik 2010, Gurindam; hal.26-27)


“Rekonstekstualisasi” terjadi ketika nukilan sewaktu nukilan dari “Gurindam - Pasal yang Pertama” meluncurkan kekuatan interpretatif yang mencoba untuk “melepaskan diri” dari cakrawala intensi pengarangnya menuju taraf kultural-sosial. “Jika kau paksa menulis sajak/kata memang tiba, tapi makna jauh bertolak.” Ada simbol-simbol yang merenungi kalimat tersebut. Bagaimana penggalian-penggalian makna ingin menjadi tekanan dalam menulis adalah salah satu upaya untuk sebagai buah interpretasi oleh para pembaca. Cakrawala intensi penyair akan kultur-sosial mulai melepaskan diri ketika berada pada bait “di mana kau simpan sajak terbaik?/di hati, lalu biarkan kata mengucap tabik.” Pembaca diajak untuk berpikir secara refleksif atas dasar yang disebut Ricoeur sebagai mode of being[3]. Hasil kata-kata ini juga merupakan perpaduan antarasifat yang menepatkan diri penyair pada sudut padang dan setting kultur-sosialnya. Di lain sisi, bisa saja sajak ini menulisakan semacam sebutan lingkaran hermeneutis yang menunjukkan sebuah dinamika kreatif dan progresif dari penafsiran pasal-pasal selanjutnya. Pendek kata pemikiran “Gurindam – Pasal yang Pertama” ini ingin agara pembaca belajar untuk berpartisipasi dalam proses kepenyairan. Tentang bagaiamana memandang kehidupan menulis sajak adalah bagian dari apa yang disebut Ricoeur dalam oelbagai macam hermeneutika dengan “perjuangan melawan distansi kultural”. Dengan arti bahwa para interpreter harus ikut mengambil jarak supaya mereka dapat membentuk interpretasinya dengan lebih mendalam dan arif tanpa mengesampingkan pesan subjektif.


Eksekusi Niveau-Niveau di Pasal yang Pertama - Refleksi

Niveau anorganis berangkat dari pemikiran bahwa karya ke depan mungkin saja akan dibaca di depan panggung atau sekadar dibaca di balik kamar. Pola, bunyi, irama, baris sajak, kalimat, dan gaya bahasa tertera dalam penjelmaan sajak tersebut. Rasakan kata-kata di akhir kalimat yang berbunyi seperti “...sajak-…bertolak”, “…dusta-…kata-kata”, “…dinista-…buta”, “…terbaik-…tabik”. Perhatikan juga korelativitas kalimat dengan kalimat lainnya. Pertimbangan yang masak seperti pemilihan diksi, menjadi faktor penciptaan jiwa puisi yang lesap akan benda-benda atau struktur-struktur mati ini. Tentunya yang dianggap mati tidak akan selamanya mati dengan adanya ruh estetika dan hermeneutika sosial-kultural yang beredar di setiap pemaknaan subjektif akan tingkat empativitas para pembaca.

Niveau vegetatif dalam tingkatan yang berdiri dalam sajak ini bisa dikatakan rendah signifikansinya. Hubungan antara proses imitasi karya dengan eksistensi sajak ini dinilai relatif negatif. Hal ini dipengaruhi oleh faktor usia penyair dan menyair, bagaimana jam terbang menjadi titik tolak dalam penilaian niveau vegetatif. Dan yang terpenting adalah terlepasnya makna untuk didistorsikan dalam metafor-metafor yang jitu menguasai apa dan siapa. Lebih dari itu, keterikatan unconsciousness mind telah terhindarkan dalam proses kelahiran sajak tersebut.

“Pernahkah sajak meminta lebih darinya?

kata berkata: ah apalah, aku cuma kata…”

Lewat potongan puisi itu, saya mengakui bahwa pelekuk kata ini begitu lihai mendistrosikan sebuah kondisi naluri yang menjadi gambaran-gambaran niveau animal. Ekspresi hewani penyair sepenuhnya teredam sembunyi-sembunyi di balik sajak ini.

Ngguruni, itu salah satu image yang lesap dalam penggalan puisi berikut ini:

“Jangan ajari sajakmu mengucap dusta,

sebab mulutmu akan dibungkam kata-kata.”

Tak pelak lagi, niveau human muncul dalam katarsis serupa potongan puisi di atas. Moralitas. Perhatian dengan teknik yang “serba pisau”.

Gurindam pada sastra Melayu adalah salah satu contoh karya sastra yang mengandung kekentalan niveau religius. Namuan, apakah “Pasal yang Pertama” benar-benar tumbuh sebagai keanekaragaman definisi religus? Sepertinya ini hanya milik imanenitas dan transendenitas antara pembaca dengan Tuhannya.

Atas dasar teropong kelima niveau di atas, keberhasilan hermeneutika antara fungsi sajak tersebut dan penilaian pembaca telah tersampaikan lewat genetika interpretasi yang memadai ataupun tidak bagi masing-masing rasionalitas. Genetika itu yang kemudian perlahan berbuah tanya: sejauh mana karya ini dianggap benar-benar orisinal secara psikologis lepas dari gumpalan pengaruh di luar teks?


Salam.

Semarang, 2011


*Penulis seorang penyair muda dan mahasiswa Psikologi Undip Semarang.



Footnote:

[1] Tingkatan kejiwaan menurut J.Ellema.

[2] Bahasa latin dan kata asal dari hermeneutika.

[3] Pandangan yang mempertanyakan bagaimana cara menjadi, atau sesuatu itu berada.

TUJUH MATATUHAN


[1]

seorang ibu diamdiam

mencuri cabai di pasar murah


[2]

seorang ayah mencopet doa

dengan tasbih di lehernya


[3]

seorang anak jalanan tidur

menggenggam nyala matahari di dada


[4]

seorang kakek bersepeda ontel

menuju masjid siang hari


[5]

seorang nenek berjalan menatap ke bawah

ke depan, membawa kayu bakar pengganti elpiji


[6]

seorang ustad yang diceraikan isterinya

lalu pulang membawa isteri lain


[7]

selembar puisi, hanya berisi judul

"aku takkan kehilangan mataMu"



2011