PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

12.13.2011

PUISI-PUISI KECIL YANG MENULIS DIRINYA DI DESA MERAPI



MEMECAH PERSEMBUNYIAN


tak perlu kau sembunyikan dirimu ke rekat
rerumput di sisi-sisi jalan yang coba kau
tirukan bayangannya. kemarilah, duduk
bersama kami karna kami tak sedang melarikan diri
dari bungkuk pinggang atau keringat bibir,
bahkan mempercayai batang singkong yang kami
cabut akan tumbuh kembali dengan umbi paling besar
esok lusa. ladang mengisyaratkan kami gerak tunas
tembakau menyempit menujumu. barangkali, dengan
gendar dan tempe di lidah kami, siang semakin
mengetahui betapa lunaknya persembunyianmu.
atau mungkin kau sedang meniru bayangan keranjang
di samping kami?


2011



JALAN MATA ANGIN TELOMOYO

fajar ini tumbuh-tumbuhan yang memanjang
dari tanah bahasa telanjang nenek moyang
--kita memburu basah di seluruh pucuk daun kol
merekam setapak-setapak yang berdebur
mata angin jauh dekat gunung itu


2011



YANG BERJATUHAN ITU TERKELUPAS DI KAKI

angin bambu-bambu meniadakan kehilangan
ialah kesunyian di sudut mata seorang anak
sepulang sekolah bersama lekuk rerumput
yang menatapinya. lalu segalanya mengeras
menunggu kejatuhannya setelah jejak terkelupas
dari kaki menuju kaki


2011



MEMBEKUKAN API, MENIKAHI ABU

suara kita timbul dari gosokan kedua telapak tangan kita
seperti patahan kayu-kayu itu ke dalam pokok api
sebelum menikahi abu. itulah diri kita yang sangsi
seraya berharap bisa membekukan api, segigil air
bak kamar mandi, kemudian pikiran-pikiran hangat
mencoba berjoget di dalamnya


2011



MENYEMPURNAKAN ANGIN SUNYI

entah dari mana angin ini tiada memanggilmu
dari keramaian bisu bambu ataukah tanah ladang
yang saling ingin digemburkan.
demikian para petani mencerabuti sunyi
sebermula bunyi rerintik keringat cangkulnya--
sesempurna perjalanan panen ketela


2011

12.06.2011

SEBAB BARA MELEMPAR CANGKANG

mungkin tak ada keheningan lebih dari kerobekan suara tepi pantai
pun malam dan bintang-bintang dengan paruh bentang dadamu.
sekian kali, aku bermaksud menjadikan seluruh tepian ini
senja selamanya tanpa kau, juga waktu selanjutnya.
sekian kali, malam adalah putaran asing, timbul jauh dalam
kobar unggun sepanjang ia mesti dipelihara sebagai api berbentuk
kesunyian. kita telah habis mempercakapkannya: batu-batu karang
serupa gua kematian sebuah zaman. kita telah habis menggetarkannya:
melempar cangkang seisinya hidup-hidup. inilah kemerdekaan sebenarnya:
proklamasi telah kita sampaikan sampai jari-jari lepuh dan suara hening runtuh
berulangkali, seperih terang-padam naik perlahan dari ruh bara waktu itu:
mendekatlah, segalanya mencair bebas di letup inti api di sampingmu
--tak terkecuali timbunan keterasingan.


2011

11.29.2011

MEMBURU PERTANDA

gerimis adalah perjalanan muda yang menerangkan
air serupa pasir-pasir yang dari jauh ke kaki
menginginkan naik ke atas kepala kita,
ombak seperti bersikeras menghabisi karang
karang di tepian, entah bagaimana kita kian
hangus saja sebagai pendatang. hangus
ditemaramkan matahari yang hampir masuk
ke laut jauh itu--tanpa percakapan dan ucapan
selamat jalan.
sungguh, kita tak tahu menahu bahwasanya
pesisir ini semakin basah menyertai tubuh kita
yang lelah. padahal di sini sebuah perahu menantikan
kelepasannya dengan gagah untuk bisa mengangkut
matahari selanjutnya. lalu dari mana kita mesti
mempertautkan isyarat dan bayangan-bayangan
yang coba dipegang oleh orang-orang, sebab
mata kita mulai sembab dan mulut kita merasa asin
tanpa perlu memasukkan bagian tubuh satu per satu
mengejar ombak terjauh.
terlalu banyak tanda asing di sini, dan tak perlulah
kita kenali satu demi satu. nyeri jari yang berdarah
setelah berulang menelusup ke celah pohon berdaun duri
serta kata-kata yang hilang beralir ke utara
adalah tanda yang utama sebab kita saling berkekasih.
cukuplah


2011

11.24.2011

KERIKIL YANG ASING

jalan raya pudak payung menuju sukun:
sepanjang jalan itu seperti mempertautkan antara yang kelak dan barangkali,

yang kelak:
seketika tujuan adalah muka yang perlu kita kembalikan
kepada nafas pengharapan pada kegelapan, baik
di atas langit, baik di dalam tanah

yang barangkali:
seketika perjalanan adalah uji coba perjalanan selanjutnya
tanpa begitu ambien dengan keramaian pun kelengangan
kedatangan-kepulangan, kecemasan-kebahagiaan

lalu kita mesti fasih meletakkan segalanya pada sebelah dada yang tepat
supaya tak menemu sesal: kita di dalamnya--sesat di antara
kerikil yang asing



2011

11.22.2011

VIGILI SEORANG WARIA TULI DI PINGGIR KALI BANJIR KANAL

yang datang atas nama luput bunyi doa panjang,
panjang sepanjang deras arus kali ini
antara geliat hunian triplek dan kayu
kerlip lelampu yang sama seksinya
dengan lelagu dangdut koplo
berjogetlah tuan!
bersama busung dada palsuku:

--terpujilah bahasa manusia yang dibungsukan
kemuliaan kepada kecemasan,
ia begitu sabar memerankan malaikat kecil
di malam sewaktu gambar bulan datang
mengambang sebagai jelangkung dengan luka jantung
pada lolong muka muka mata yang tak pernah menamakan
diri manusia


--salam ya suara suara telanjang
seperti permulaan saban orang orang pinggir
menuang airmata oplosan ke gelas bir
menenggaknya cepat sambil menahan getir
syahdu ini manja dan begitu harafiah
untuk diperdengarkan, diperdentumkan
ke gendang gendang telinga hampa udara;
o, siapa ia berkelamin hendaklah ia berjaga
di tempat yang tepat di petak umpat--
lalu sedapat dapatnya membaca-tafsirkan:
kepulangan lain tanpa bunyi, setelah tuannya
mengeramati celana dengan doa
sebelum berbuka.


2011

ATAS NAMA SAMPAN

atas nama sampan, tariklah aku ke luap sungai
ke negeri air bengawan—ke negeri
paling ngeri rakyatnya

atas nama sampan, kemudianlah kita menyatakan
bahwa air itu telah membakar rumah rumah
pinggir kali hitam. lalu aku melihat beberapa
petani mengairi hijau pepadi dengan
api hitam

atas nama sampan

dada kita telah sama sama sumpah
kepada setiap arus
untuk diangkat, diayunkan,
didorong ke pinggiran yang lebih
tenang riciknya. tak lagi jauh pasang
tak lagi berwarna api

atas nama sampan, nenek moyang kita
adalah perahu bocor



2011

KELUH KAU PASANG SORE DI JEMBATAN KARTINI

oleh karena sepanjang rumah di pinggir kali banjar timur kau panggil kematian
bertalu-talu yang berlalu lama mendiami isyarat kehilangan kota--peta yang
sebentar dilupakan orang-orang. seketika kau seolah dijatuhkan burung pelikan
sore itu ke air yang terbakar tanah. sore itu terlalu muda untuk kau maknai
sebagai angin yang lantang berlari dari selatan, dan derak jembatan akan terus
menyuarakan seberapa jauh kau mesti berkata kepada dirimu sendiri--
seberapa luas kau simpan keluh di kesesakan tanpa harus menyatakan
sesal demi sesal. sungguh kau, meski kelengangan jalan di sekujur jembatan,
sore inikah yang konon kau inginkan jatuh dari angkasa supaya bisa kembali
kau pasang bersama keluh yang berkelupas-lepas lewat celah hidumu
lalu bercerai satu satu?


2011

ELEGI YANG MENULISMU KEMBALI

tertanda m.p.


"1.
ada wajah ada yang mulai
menulismu dengan hati-hati"


maka kau kembali kepada waktu yang pernah
menyempurnakan muasal rajah di tubuhmu:
o, dengan penghiburan kutulis nama
dengan kesesakan kutulis nama,
nama itu engkau yang turun menjadi
basah ke pipi. basah menjadi putih di bibirmu


karena sejatinya segala peristiwa yang demam
tak akan membuatmu pucat, atau sepasi harapan
yang suatu waktu kuletakkan di dingin telapak
tanganmu:
inilah pertemuan yang kusangsikan
inilah pengembalian yang pernah kita percintakan
tanpa perhitungan


"2.
ada puisi mati-matian merayumu
memisahkan antara kata dan cinta"


dengan apa lagi isyarat perjalanan mesti membuatmu
berpaling dari kematian yang sengaja dipisahkan
atau kau musnahkan sebagai pengasinan
--penghidupan. kata telah sedemikian iba
menemanimu di kesunyian di jalan-jalan
menuju petang sepanjang trotoar katedral.
cinta telah sedemikian terlanjur terbutakan
oleh kedua matamu yang berkilau redup-redam,
karena di mataku selamanya kita hanya alangkah


"3.
pertemuan seumpama kemabukan
kesakitan yang melengkapi bahasa lain"


tak ada penyebab yang pasti. aku cuman kehilangan
mimpimu. pesakitan yang rakus membuat kau
semakin jauh dari jejakmu sendiri. tak ada penyebab
yang pasti. kenapa mesti memabukkan percintaan
yang kembali kita tikam pelan-pelan, kekasih



2010-2011

11.04.2011

MATA PECAH MATA PEJAM

…Dan kini mataku pun bersenandung. Tatap tajam-tajam iramanya, lempar dirimu ke dalam api.”
[Octavio Paz]



-
Lelaki itu paham, ia tak sedang memelototi jendela yang sarang atas debu bertahun-tahun. Debu yang sewaktu-waktu ia pasang di mata sipitnya. Hanya di matanya yang sipit dan sayu itu, ia pernah simpan sesarang debu demi setetas nazar. Sekali lagi, ia tak sedang memelototi jendela, hanya saja entah kenapa ada yang layak ia pertahankan di lubang mata setiap menjelang pukul setengah enam sore. Pun, ia tak jarang mengaduh karena kegetirannya sendiri mendengar nanar matanya menyanyikan gaung lagu yang hampir sekarat di telinganya. Pukul setengah enam sore. Pada debu ia masih mengaduh, dan ia tak sedang memelototi pekat debu jendela di sepanjang adzan yang mulai terdengar jauh.

–-
Yang hidup di seberang jendela adalah kepulangan burung-burung menuju sarang. Tak ada badai. Taka ada mendung. Tak ada gerimis. Sarang selalu kering dan hangat untuk menetaskan mimpi-mimpi sehabis pagi. Sehabis dibawa sayap-sayap yang berarak keluar dari matanya. Sebab yang keluar pastilah kembali, meskipun kadangkala membawa sisa yang tak diharapkan. Mungkin di kepulangan lain, yang semula tegak hidup tetap tegak hidup seperti mimpi. Mimpi yang tak pernah dipecundangi walaupun dibayangi oleh usia. Dahulu dan sekarang, yang hidup di seberang jendela adalah kepulangan burung-burung menuju sarang. Dan ia masih saja menampakkan mata yang penuh kepulangan mimpi-mimpi sebelum menjadi pintu. Sebelum pagi kembali dibukakan.

—--
Udara bersuhu selimut. Ia masih duduk, sementara di luar gaduh. Ada bulan timpang yang tiba-tiba jatuh. Orang-orang berkerumun untuk menyampaikan doa supaya suatu waktu dengan kejatuhan, adalah pertanda untuk kembali menuju keberanian. Keberanian melihat diri sendiri, seperti ia yang sedang tekun menenun matanya untuk masa depan. Kadang kala orang-orang terlalu terpaku akan kejadian di luar dirinya, sehingga lupa bahwasanya di dalam dirinya masih banyak yang timpang dan berada di ujung tanduk. Ia tak tahu kenapa ia lebih tertarik kepada mata. Setiap ia mengingat orang-orang di sekitarnya, ia pasti akan dihantui bagaimana rupa mata. Bahkan seringkali ia tahu bagaimana orang mengucap dusta lewat mata. Memergoki orang yang membodohi ketimpangannya sendiri. Udara bersuhu selimut tebal, sekarang. Ia tak melihat lagi orang-orang yang berdoa khusyuk. Yang ada hanya bulan-bulan kecil beterbangan. Bulan-bulan berwarna bola mata.

—---
Untuk kesekian kali, di matanya muncul sebuah tempat yang lama ia kunjungi. Sebuah taman bermain sepanjang usia kanak-kanak. Barangkali, ia gatal dengan masa lalunya hingga berkali-kali ia menggaruk mata yang tak lekas lelah mengatupkan keinginan-keinginannya itu. Berkali-kali ia membasahi matanya dengan percik api pesakitan di masa lalu. Ia percaya bahwa karena masa lalulah ia berada dan berhasil menamai dirinya seperti halnya ia menyebut indera yang bisa melihat adalah mata. Untuk kesekian kali, taman bermain itu seolah ingin diciptakan kembali utuh–lengkap dengan anak-anak yang sedang asyik berayunan, berkejaran, dan membunyikan lagu dolanan di negeri bulan purnama. Sesegera beberapa waktu kemudian, longsor dari arah selatan datang menimbuni seluruh tempat itu. Semua anak, semua mainan, kecuali ia yang lari menyelamatkan diri. Ia benar-benar selamat seraya merasa ada malaikat yang membawanya jauh dari tempat itu. Menuntunnya kembali ke jendela di utara, tempat ia merasa dilahirkan tanpa percakapan. Sekembalinya atas letusan lirik-lirik rap di sebuah lagu yang ia putar berulang dan berulang. Lantas, ia kucek matanya yang berdebu. Ia basahi matanya dengan obat tetes mata yang terbuat dari tangis malaikat. Sampai saatnya, ia kutuk jendela menjelma lirik-lirik pecah tentang kegagalan lenting suara manusia kepada haribaan mata yang sebentar pejam.



2011

EUROPESCHEBUURT*



karena langit terus basah

50 bangunan lupa ke mana
jalan pergi ke abadnya


kita masih menghitung lelampu yang padam
di sini dengan sekalian pencahayaan tanpa
ada banyak laron datang menyalakan kegelapan,
ruhku seolah bersegera merasuk ke perlintasan
era-era yang didirikan mengimitasi kampung asing,
padahal aku seringkali bertanya-tanya: paving-paving
inikah yang membuat kenangan melahirkan suara-suara
derap-derak orang-orang pertengahan, para pedagang,
dan runtuhan kastil--inikah jalan yang mengasingkan kotanya
sendiri, lantas kita ikut melupakan arah di mana de javanische,
de malaische, dan de chineesche kampong mempercakapkan
cuaca demi cuaca berfoto di tubuh kita melalui angin kering
yang gemetar, bergetar sampai ke ujung jari kita.
kau menanyai tentang sejarah yang tak tertuntaskan
atas segala rute jalan menuju pemukiman kolonial
bahwasanya di sinilah kesepian tetap berada di jalan
kesepian sama halnya dengan nama di balik
pendar cahaya-cahaya tua--
di sana tak ada riwayat tersembunyi
hanya saja sunyi yang terlalu basah


2011
*) adalah nama Kota Lama di Semarang pada abad 17

11.01.2011

PAGI DAN SEGELAS SUSU INI KEKAL SEMENTARA MENJADI AIRBIRU MATAMU

seperti pagi ini yang kau panggil-panggil dari uap susu panas, lihat saja rasa ngungunku
yang terbias di percakapan warna putih tulang semakin renyai menembus alam pikir
tentang kenapa kita mesti menyeka airmata. dari es yang pagi-pagi sama-sama beruap
seumpama susu panas itu, aku tak yakin bahwa kegiatan minum-meminum
terlalu sentimentil untuk disebut ibu dari segala kepanjangan awal hari. segelas susu
waktu itu menciptakan pagi yang tak pernah fiksi. setiap hari, kasihku. dan kau pasti
mengenali upayaku menerjemahkan deru mesin yang mulai mendera kesunyian
di antara simpanan mimpi atau sejarah kenapa semut-semut berenang-renang
hanya di permukaan air, seolah menahbiskan diri sebagai pemanis buatan.
pemanis buatan yang sekedar menginapkan anyir ke lidah atau menitipkan
kesangsian hidup: agar kekal kita atas percintaan menuju suara-suara kecil.
seperti pagi ini yang kau panggil-panggil dari dasar segelas susu-- akukah
yang sementara kekal atas kepalsuan bahwasanya akulah tanda berulang
tenggelam di airbiru matamu


2011

10.18.2011

MITOS PENYESALAN

selepas tuwung kuning*


--kita tak perlu menghunus kebhakilan
sendiri, bukan?

dengan melihat mata masing-masing seutuhnya
perlahan cakar ayam keluar satu-satu untuk beradu
di semesta lain, sedang tangan-tangan kita
akan bersilih-tumbuh bulu-bulu ayam jago
lalu setiap waktu berjalan menuliskan
rasa lupa yang ditimpa berat maki lelaki
sesak. semakin sesak. seolah membelukar.
dan tangan tak juga bergerak, selain berusaha
menerima selendang tuwung kuning untuk kafan
kesendirian menjelang ayam berkokok memanggil
panggil keserakahan yang lenting mengalihkan
pandangan, menempelkan sedu muka ke tajam
mata pedang. karena kita terlalu ceriwis menenun
basah api demi sebening api, karena siapa merasa
besar kelaklah memakai mata paling banyak airnya.
alangkah suara pohon kesayangan berbau hantu
seperti membenturkan kepulangan pagi-pagi sekali,
meniadakan memar nafas yang tak sengaja terbakar
dalam sekam batang pisang kering. kita ini
yang tercinta dan mencinta, seringkali harus
membuang hunus pedang. mencacatkannya,
seperti merobek pakaian baru kita. menyemat
sesal yang was-was hingga bulu-bulu rontok
lalu kita dibawa bangga atas pengaduan
ke pengaduhan, melepas persembunyian perih
untuk mempersunting diri kandung kita,
merayakan sesal kuat-kuat tanpa sedikitpun
mengeluhkan udara yang telah berton-ton cemar.


2011

MITOS KEHENDAK

selepas datu untal*


“barangsiapa menentukan nasib terlebih
dulu, kemudahan akan menunjukkan taring
yang luhur yang bukan lahir dari mulut buaya.”

sebab katamu mengucap lafaz tak henti
luas menyeberang dari gili ke gili
menghindari pasir yang menyerpihkan
kaki menjadikannya gaib dan begitu
nyeri seperti ditumbuhi sisik-sisik
barisan taring-taring yang berhunusan
dari buaya muara. berenang menjauh
lekas supaya tak merasa hidup ini
fiksi atas kesepian demi kesepian sebab
keterasingan yang kerap menganga
seolah ingin melempar kehidupan lain
atau sekedar menitipkan rintih kutuk
sebagai langkah membuat sungai seabadi
mungkin, seumpama nama. melafalkan
maklumat kesadaran kalau dunia
ini bukan angkasa tak terpetakan,
kalau dunia ini tempat tinggal roh-roh
duduk bersebelahan, terkadang menyapa:
“puan-tuan, kita sedemikian dekat
hanya saja kalian tak kunjung melek
menjaga diri baik-baik adanya.”
maka perlahan,
tubuh ini akan tertinggal khusyuk sendirian
tanpa kerangka karena manusia kini seperti
tersandung lebih dari satu abad lamanya
membuka mulut dan tak ada yang keluar
membaca mantera dan tak ada yang jelma
mengusiri nenek moyang di tanah sendiri
melupakan muasal detak-detik kecil. berdenyut
seakan mendebar-debarkan pelarian panjang
yang sesat dan tak tahu ke mana langkah
sebenarnya berlamat-lamat berat, berat
nampak selamat atau tamat.


2011

MITOS KETAATAN

selepas ni timun mas*


sepanjang tak lupa mencintai diri
berterimakasihlah karena ni timun mas
yang kepadanya pintu telah ditetapkan
sebagai ruang diri untuk tumbuh bergantian
menjagai dengan penuh kehati-hatian
bahwasanya setiap orang mesti tahu
ke mana berbuat kelu atas nasibnya
memperbaikki kedunguan yang tak
berkunci pada kedangkalan di bawah
telapak kaki wanita. demikian selebihnya
orang bertembang seperti nyai timun mas,
layaknya ibu yang menghaturkan mantera
ke atas tidur anaknya di samping puting
memercikkinya dengan doa sepanjang
mungkin. hingga kelak datang pencobaan
yang seringkali muncul wanita-wanita palsu
--ibu bersuara lain. berterimakasihlah akan
masa depan yang senantiasa menampakkan
pembebasan raksasa i lantang hidung. sebab
diri tak seharusnya begitu saja mempercayai
mitos tikus, kucing, ular, anjing. mitos diri,
sebelum mempelajari siapa diri telanjangnya
di antara yang lahir. inilah bab kesekian
tentang bagaimana tak mengingkari
yang hidup yang tak setimpal atas tumbal
yang menjadikan pelanggaran
menuliskan kenapa kini banyak
berhala palsu silih bergentayangan
mengetuk-ketuk pintu orang dengan
bersenandung nafsu lagu-lagu mesin
serupa seorang ibu merindukan kepulangan.



2011

10.02.2011

DI TELAPAK TANGAN - OKTOBER, HUJAN YANG AKAN DATANG

mari belajar meramu-ramal dengan telapak tangan yang ada
:tengadahkan telapak tangan kiri, mari belajar meraba
garis-garis sayatan lahir yang kian tebal dengan mozaik
seperti sulaman sutera. ingatlah tiga garis utama: kesehatan,
keuangan, relasi. masukilah satu per satu, ikuti jalan garis
itu masing-masing. hingga merasakan bagaimana
cintanya diri ini kepada tubuh dan jiwa seperti tusukan
rimbaud di telapak tangan verlaine. maka sepanjang
diri mengenal siapa yang ada di diri, ialah yang sekarang
--oktober yang belum banyak bisa ditebak. hanya jika
perjalanan adalah kepastian, itu mungkin berada
di antara ribuan takhayul. kenanglah oktober
yang tetap menjadi bagian dari telapak tangan
dan tafsiran-tafsiran masa depan serta segaris
kekinian. sebab siapapun akan kembali pada
timbunan titik yang menyatakan ia ada-tiada.
ketahuilah akan hujan yang kerap kali diperkarakan
orang, ia akan segera memataairkan langit, seperti
keringat dingin berembun di telapak tangan.


2011