1.21.2013
SEBUAH CAHAYA MESRA PADA SUATU KESEMPATAN
05.33
No comments
:kesaksian yang ingin dipuisikan
mendekatlah, mereka mendongak dan saling berpegang;
kalian belajar menerjemahkan dalam warna yang tidak
pernah aku bisa pandang sebagai cahaya seperti
orang-orang pada umumnya
di luar, riuh suara-suara anak-anak berlari
dengan percaya diri; sangat percaya diri.
sebuah lanskap di masa yang akan datang menyimpan
pelukan-pelukan dari sejumlah keterasingan. kaki-kaki itu
betapa gaduh menghulukan kesunyian yang sebenarnya
telah bersatu dengan wajah-wajah dan tangan-tangan
yang selalu ingin panjang juga meraih apa saja
mendekatlah, bukankah kita ingin mencintai mereka
secara diam-diam dan dengan cara yang belum
sempat mereka ketahui?
mataku yang telanjang ini telah berupaya tegar
melampaui peristiwa demi peristiwa,
seperti kata sabar yang berulang kali
dilafalkan oleh orang-orang dewasa
mataku yang telanjang ini adalah kabar yang jadi sangsi:
yang terbatas telah menjelma cahaya yang mahaluas,
cintaku
2013
mendekatlah, mereka mendongak dan saling berpegang;
kalian belajar menerjemahkan dalam warna yang tidak
pernah aku bisa pandang sebagai cahaya seperti
orang-orang pada umumnya
di luar, riuh suara-suara anak-anak berlari
dengan percaya diri; sangat percaya diri.
sebuah lanskap di masa yang akan datang menyimpan
pelukan-pelukan dari sejumlah keterasingan. kaki-kaki itu
betapa gaduh menghulukan kesunyian yang sebenarnya
telah bersatu dengan wajah-wajah dan tangan-tangan
yang selalu ingin panjang juga meraih apa saja
mendekatlah, bukankah kita ingin mencintai mereka
secara diam-diam dan dengan cara yang belum
sempat mereka ketahui?
mataku yang telanjang ini telah berupaya tegar
melampaui peristiwa demi peristiwa,
seperti kata sabar yang berulang kali
dilafalkan oleh orang-orang dewasa
mataku yang telanjang ini adalah kabar yang jadi sangsi:
yang terbatas telah menjelma cahaya yang mahaluas,
cintaku
2013
SEORANG ANAK PENGGANTI CAHAYA
03.26
No comments
: vero
ia senang sekali mengambil mainan berbentuk bunga
seperti jepet rambutnya. bunga berwarna ungu.
ini bunga matahari, katanya
ia senang sekali mondar-mandir, ke sana ke mari
duduk-berdiri. diam-berkata. menangis-menyanyi;
ia sering bertanya tentang siapa dan apa
sebuah buku bergambar timbul di tangannya
ia bertanya, gambar apa ini bu guru?
kupu-kupu, kata ibu gurunya
ia hanya bergumam, sebab tatapan
jari-jari adalah tatapan matanya
"kupu-kupu, kupu-kupu,
buku-buku terbang bersama bunga;
maaf, cahaya...
permisi, bu guru..."
2013
ia senang sekali mengambil mainan berbentuk bunga
seperti jepet rambutnya. bunga berwarna ungu.
ini bunga matahari, katanya
ia senang sekali mondar-mandir, ke sana ke mari
duduk-berdiri. diam-berkata. menangis-menyanyi;
ia sering bertanya tentang siapa dan apa
sebuah buku bergambar timbul di tangannya
ia bertanya, gambar apa ini bu guru?
kupu-kupu, kata ibu gurunya
ia hanya bergumam, sebab tatapan
jari-jari adalah tatapan matanya
"kupu-kupu, kupu-kupu,
buku-buku terbang bersama bunga;
maaf, cahaya...
permisi, bu guru..."
2013
1.16.2013
MEMBACA POTRET ATAS NAMA BAHASA BESERTA UPAYA-UPAYA KONVERGENSI*
19.35
No comments
Esai oleh: Ganz**
“Puisi menepuk bahu dan mencoba mengingatkan hal-hal tertentu kepada kita semua...”
[Suminto A Sayuti]
Bagi Ingmar Bergman, film adalah wujud dari bentuk ekspresi bahasanya terhadap peristiwa. Melalui film, bahasa peristiwa mengalami replikasi. Lain dari Ingmar Bergman, Afrizal Malna mendefinisikan apa yang dilakukannya dalam menulis adalah upaya biografi teks. Menurutnya, bahasa dan peristiwa adalah kesatuan tubuh yang sibuk. Tentu, dua orang ini berbeda dalam menyelami bidang mereka masing-masing, namun dalam benak, perkara bahasa menjadi sebuah kedigdayaan mereka dalam berproses kreatif. Bahasa menjadi perangkat yang tidak bisa dipisahkan dengan wilayah-wilayah peradaban, baik itu yang sudah disentuh manusia maupun belum. Menyimak puisi-puisi Amirudin dan Ghany, lagi-lagi saya menemukan bentuk-bentuk kebahasaan yang coba direka-ulang oleh mereka. Peradaban (dalam hal ini: lingkungan) mengantarkan jalan kreativitas mereka masing-masing. Kreativitas menjadi sebuah perangkat yang kemudian muncul untuk mengemudikan kendaraan yang dinamakan bahasa. Saya menyimak adanya kelumit-kelumit melalui tema-tema yang sedang mereka upayakan. Kreativitas bergerak di sini. Goenawan Mohamad menyatakan bahwa kreativitas memang diawali rasa gelisah mencari, kegalauan ingin menemukan, juga niat merombak. Amirudin secara tidak langsung ingin mengatakan ini lewat penggalan puisinya yang berjudul “Ku Renggut Kesucianmu sebagai Karya”, berikut ini penggalan puisinya: “..Sehingga dengan gaya bebas aku sanggup menodai kata-kata...” Amir (selanjutnya saya menyebut) seakan ingin berangkat dari persoalan-persoalan di luar dirinya untuk ditunjukkan kepada pembaca bahwa ada bagian dari kehidupan yang sedang menyalak-nyalak. Amir seperti tampak bergerak dari peradaban ke peradaban. Berikut ini adalah sebuah sajak yang mencoba menyatakan kenampakan itu:
Sebuah Jejak
Kawan, warna putih itu kini mulai merayap di lembaran rambutmu
Wajahmu semakin beda karena terkelupas oleh kisah yang tak sempat kau abaikan
Kulitmu terpangkas ditumpukan gelas yang jarang dibilas disaat pertemuan malam yang dulu kita akrabkan bersama
Sayup matamu mulai tergelincir, bahkan napasmu pun lelah menahan ribuan belah langkah penuh sepah
Seperti halnya daun yang mulai terkelupas warnanya dan ranting-ranting perlahan mentalak dan mengenalkannya dengan nikmat aroma tanah yang basah
Inilah yang membuatku semakin takut mengartikan jejak yang rebah
Aku hanya bisa memberikanmu secangkir doa dan mendengarkan uraian beban yang kau sangga
Sebagai gambaran bahwa kau masih akan tetap hidup dimasa kau harus berpindah.
Jepara, 24 Desember 2012
Pada puisi yang berjudul “Sebuah Jejak” tersebut, Amir berusaha untuk mendeskripsikan orang di luar dirinya. Terlepas dari stilistika yang masih dapat dipertanyakan, puisi ini dapat dikatakan mempunyai indikasi metafora-metafora yang masih terkesan janggal. “lembaran rambutmu”, “terkelupas oleh kisah”, “sayap matamu”, “ribuan belah langkah”, “aroma tanah”, “jejak yang rebah”, “secangkir doa”. Kejanggalan ini, dalam bahasa lain, saya menyebutnya sebuah upaya puitik yang belum tuntas. Amir masih mengalami keterjebakan dalam hal diksi. Artinya bahwa Amir memerlukan upaya lain untuk lepas dari keterjebakan jalinan bahasa-bahasa tersebut. Upaya-upaya tersebut mesti digali dan diakrabi. Hal ini penting, menyangkut Amir masih mempunyai masa yang panjang dalam melakukan proses kreatif.
Di puisi lain yang berjudul “Perapian yang Tak Henti Menyala”, saya menemukan pertautan bahasa yang real dan ideal. Pada bagian akhir tertulis demikian:
.....
Di antara Laut Tengah dan Sungai Yordan itulah
Seragam Zionisme semakin kekar
Peniadaan tumpahan darah dikhianati
Kemanusiaan terlecehkan,
Parang dan pedang ditinggalkan
Darah, peti mati dan kehancuran itulah yang tersisakan
Kawan,
Ini perapian abadi,
Ini bukan perang, ini pembunuhan massal!
Pada nukilan puisi itu, Amir tampak ingin mengikat suatu perdebatan antara “perapian abadi” dengan “pembunuhan massal”. Kedua keadaan ini tentu berbeda, tapi Amir seperti ingin memaksakan bahwa diri realnya berbicara tentang “perapian abadi” tetapi tidak diri idealnya. Bilamana saya kaitkan dengan kelimuan “Depth Psychology”, kedua jenis diri ini seringkali berkecamuk hingga pribadi (diri) menjadi benar-benar merasa nyaman. Diri Amir di sini terlihat belum nyaman ketika menyebut “perapian abadi”, maka muncul upayanya untuk membuat yang kemudian saya sebut sebagai bahasa idealnya. Secara akal sehat, lagi-lagi dua baris ini terkesan janggal. Pertama, pertaruhan antara judul dengan bahasa idealnya (“pembunuhan massal”). Bisa jadi Amir kurang telaten dalam memilah-pasangkan. Apakah “perapian abadi” ini sama dengan “pembunuhan massal” dan “pembunuhan massal” ini merupakan asosiasi dari “Perapian yang Tak Henti Menyala”? Tentu akan menjadi rumit dan secara psikologis, pembaca akan segera mengalihkan perhatiannya ke hal lain. Kedua, Amir barangkali kurang berfokus pada bahasa yang ingin diolah oleh dirinya. Sudah menjadi kejelasan ketika Amir meletakkan frase “perapian abadi”, namun frase “pembunuhan massal” seakan mematikan frase yang sedang diolahnya sejak awal penulisan puisi ini. Nah, antara idealisme dan realisme di sini menjadi sangat kentara. Amir mesti berbalik dan berusaha menelateni bahasa dalam puisi ini.
Terkadang (atau barangkali sering) saya merasa terpaksa untuk mengatakan bahwa puisi adalah ruang di mana segalanya yang diletakkan adalah tanda. Alih-alih sebermulanya tanda, saya merasa tidak nyaman ketika Amir menuliskan puisi yang berjudul “Pada Sebuah Jala”: “Lihat,,”/”Lihatlah,,,”, pemberian tanda pungtuasi, yaitu koma, mesti saya katakan berlebihan. Saya kembali melihat ada upaya pemindahan antara bahasa lisan ke tulisan. Antara pelafalan penulis dengan pelafalan pembaca. Bilamana berkaitan dengan pakem kebahasaan, pemberian tanda seperti adalah tidak tepat. Namun, saya ingin mengatakan bahwa ada perubahan yang harus ditekuni Amir sebagai penyair muda. Perubahan itu adalah kebusungan dada untuk memahami semiotika yang sudah diwariskan. Terlalu cepat bagi dirinya untuk memberikan jangkauan yang baru. Di sisi lain pula, fenomena ini perlu untuk dihindari dan dipertimbangkan lebih lanjut.
Lain halnya dengan puisi yang berjudul “Sajak Cermin”,
Sajak Cermin
Sampai kapanpun aku takkan segan
Kau tetaplah bukan padanan
Karena aku hanya pantulkan bayangan
Aku sekeping kaca yang menyadur dan meletakkan tubuhmu itu
Sementara kau,
Kau tetaplah dirimu dengan langkah yang kau abaikan
Tapi pernahkah kau diam, mendengarkan batin yang penuh celaanku
Ketahuilah, itulah suaraku
Dan aku akan menjerit haru jika tak lengah dengan kebisuanmu
Kenapa sekedar cakap saja yang kau nyalakan?
Mana kau mengerti kehendakku!
Apalagi memahami tabiatmu sendiri!
Jepara, 06 Agustus 2012
Bila berbicara tentang psikomimesis, maka puisi di atas dapat dikaitkan degan kritik arketipe. Puisi yang disebut sebagai sajak tersebut memberikan ruang yang luas pada peletakkan diri-penyairnya. Semacam katarsisme yang dikemas rapat-rapat. Tidak ada yang salah dengan upaya ini. Amir mencoba untuk meng-konvergensikan eksistensi bahasa diri realnya dengan diri idealnya. Kenyataan ini bisa mengarah pada percobaan-percobaan untuk menggurui dirinya sendiri. Fenomena gunung es seperti yang pernah dikemukakan oleh seorang psikoanalis menjadi barang yang biasa muncul ketika berhadapan dengan ketidaksadaran. Sajak yang sedang diupayakan oleh Amir ini barangkali dapat menjadi perhatian dalam proses kreatifnya. Dengan kata lain, Amir perlu menseriusi tahapan-tahapan dalam usaha pemaknaan dirinya sendiri. Saya rasa ini lebih relevan dengan keadaan dirinya menghadapi peraman konflik-konflik antara bahasa ideal dengan bahasa realnya.
Secara umum, Amir memiliki gagasan-gagasan dengan jangkauan-jangkauan yang masih realtif dekat di dalam dirinya, kecuali puisi yang berjudul “Bulan Al Barjanji” dan “Perapian yang Tak Henti Menyala”. Bilamana Amir ini ingin menjadi seorang eksistensialis dalam hal kepenulisan, maka dirinya harus belajar mengenai aku-lirik[i]. Bilamana Amir ingin menjadi seorang fenomenolog, maka perlulah sesering mungkin untuk menulis di luar kamar atau kosnya. Bilamana Amir tidak berpihak pada keduanya atau dapat dikatakan belum ada istilah yang dapat mewakili bahasa idealnya, maka menulis dan membacalah saja dengan lebih disiplin dan telaten. Ya, semoga keadaan sekarang ini “Sebatas Sementara”. Tiba-tiba saya jadi optimis.
Upaya-upaya konvergensi adalah suatu bentuk kemutlakan dalam kerja penulisan puisi. Teori mimesis mengarahkan pada keterpaduan antara subjektivitas yang mengalami dengan pengalaman subjek. Puisi-puisi Ghany bagi sebagian orang, barangkali adalah pengacauan bahasa tulisan. Terlepas dari anggapan seperti itu, saya merasakan bahwa ada yang sedang kejang-kejang ketika dituliskan di sana. “Tatanan simbolik, tatanan simbolik”, kata Jacques Lacan. Sebagian besar puisi Ghany memang bertendensi memiliki muatan nyleneh. Saya mencoba mencerna puisi ini:
Intermezzo
kaya dispenser dalem kamar ini,
emosiku mendidih per limabelas menit
kamu sih, nyalanya nyolok mata tau,
guling aja ngumpet dalem selimut
emangnya ga ada kerjaan lain apa,
lowongan kan banyak dimana-mana,
kataku, ngobrol sama lampu tornado.
aku kan ga pinter kaya buku-buku,
pengalaman kalah juga kalo sama radio
bisaku ya ini,
ngebantu nerangin kalo terang udah capek,
kata lampu tornado, jawab ocehanku
2012
Kebudayaan yang bersitumbuh telah memproduksi berbagai macam bentuk media penuturan. Sapardi Djoko Damono memaparkannya dalam potongan sebuah esai begini: “...Tulisan telah memungkinkan kita masuk semakin jauh ke dalam diri kita sendiri, suatu hal boleh dikatakan mustahil dilakukan ketika kita masih berada dalam tradisi lisan. Dalam hal ini, benda budaya ciptaan manusia yang utama untuk melakukan renungan adalah karya sastra, yang tentu saja tertulis atau tercetak sebab sastra berarti aksara. Saya berpandangan, dalam perkembangan teknologi secanggih apapun, aksara akan tetap bertahan. Perkembangan teknologi mutakhir seperti komputer semakin menegaskan bahwa kita ternyata tidak akan pernah kembali ke tradisi lisan seperti ketika sebelum kita dahulu mengenal aksara...”
Bentuk penuturan yang dicobakan oleh Ghany menjadi semacam peremajaan media kata. Penggunaan cara seperti ini bilaman digunakan melulu dalam berpuisi tentu menjadi sangat riskan. Bahasa lisan kemudian cenderung dilisankan juga dalam tulisan. Selanjutnya, kemudian akan muncul pertanyaan apakah ini tanda ketidakberdayaan penulis dalam membahasakan atau ketidakberdayaan bahasa dalam menampung perisitiwa secara utuh? Saya kemudian berhenti menulis, lalu meminum segelas air putih—“Jacques Lacan, Jacques Lacan, aduhai telanjang puisi ini.”
Mengenal sajak-sajak Ghany, saya menjadi berbinar-binar menyaksikan sajak tentang pendidikan yang dikemas menggunakan format seperti ini:
Bangku, Kuliah, Hari ini
selamat datang, bangku ini sudah kami sediakan,
saling tawar-menawar mana yang akan diduduki,
calon-calon mahasiswa kami banyak lahir dari yahoo dan google search,
mengisi kertas-kertas yang bisa absen kuliah, ijin pipis ke kantin mandi,
lalu masuk pada monolog dari dosen
selamat datang, hari ini,
bukankah kita yang penting sarjana
2012
Saya merasakan ada gagasan yang segar dari keseluruhan puisi Ghany. Betapa demikian, setelah saya pahami kemudian, ada kata-kata yang membuat saya gatal. Pada paragraf kedua, terutama. Ghany seperti belum bisa mengenal konteks atau barangkali menulis terlampau dikejar waktu. Hal ini menjadikan adanya kesalahan dalam pemasangan diksi. Kata “calon-calon mahasiswa”, akan lebih tepat bilamana diganti dengan “calon-calon sarjana”. Secara intertekstual saya menemukan adanya keasyikan Ghany mengobrol dan berceloteh tanpa memperhatikan bahwa konvergensi yang dibawakannya itu sangat sempit untuk menjadi sebuah keberlanjutan. Artinya, Ghany belum sedemikian menyadari bahwa pola-pola puisi ini (demikian juga dengan sajak-sajaknya yang lain) sebenarnya bisa dibawakan tanpa dengan cara yang ekstrem.
Satu lagi puisi Ghany yang menarik perhatian saya,
Video Games
video games, aku pamit dulu, pikirku
anak-anak sudah sukses saat ini.
kau tau, cukup tombol start menekan mereka,
dari supehero, pembalap, sampai manager
jadi petualangan dunia baru
tak ada buku yang bercerita,
tak ada pula pena yang menulis
video games, aku pamit dulu,
anak-anak sudah dewasa dalam 2 hari
2012
Puisi yang bersifat kritik sosial tersebut terasa sangat dekat dengan lingkungan yang saya lewati. Aku-lirik memiliki kekuatan posisi yang cukup baik melalui percobaan permainan repetisi. Pendekatan yang dilakukan oleh Ghany rupanya ingin lepas dari puisi-puisi lirisme yang kini banyak bermukim di sebagian besar penyair. Pendekatan seperti ini pula yang membuat saya memiliki kegairahan dalam membaca puisi Ghany. Nah, di sinilah Ghany mesti membangun proses kepenulisan dalam dirinya, tidak perlu terlalu bersusah payah untuk mencari atau memakai pola-pola lain. Demikian, Ghany memang belajar menunaikan peradaban dirinya.
Secara umum, maka dapat dinyatakan bahwa sajak-sajak Ghany ini masih mempunyai relativitas yang labil. Ghany perlu kembali merenungi bahasa perpuisiannya dan melihat bagaimana para pembaca hari ini. Puisi-puisi berjudul “Pria Masa Kini”, “Sepertimu”, “Bobo Sendiri”, “Intermezzo”, merupakan puisi-puisi yang perlu disaring dan ditata-ulang kembali tanpa adanya pencekalan makna dalam puisi-puisi tersebut.
Sekali lagi, pengacungan Ghany terhadap ideologi kelisanan bahasa, butuh untuk ditinjau ulang. Alhasil, Ghany yang konon memiliki pergaulan secara sembunyi-sembunyi ini akan segera mengerti tentang bagaimana mempercayai bahwa bahasa tidak akan bisa bersembunyi dan jauh-jauh dari peradaban. Upaya-upaya Ghany merupakan kerja kepenulisan yang memang patut mendapatkan ruang selebar-lebarnya, tetapi belum bisa diterima di arena perpuisian dengan pakem bahasa mainstream saat ini. Alangkah lebih mujur, jikalau Ghany mengeksplorasi kaitan bahasa-bahasa kebudayaan yang terlampau dilupakan.
Akhirnya, bagi saya, Amir dan Ghany adalah dua orang yang sedang mengendarai motor lantas menghidupkan cahaya lain di tengah riuh asesoris lampu lalu lintas. Tapi, eit, mereka belum menggunakan helm SNI !
Semarang, 2013
*Tulisan ini dirancang untuk bahan pembahasan event PETIK PUITIKA edisi jalan-jalan ke kampus IKIP PGRI Semarang.
**Seorang yang masih mahasiswa, pernah berprofesi sebagai asisten dosen di sebuah mata kuliah Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro, dan seorang loyalis komunitas sastra LACIKATA. Tulisan-tulisannya (selain lolos maupun tersingkir dalam perlombaan menulis) pernah disiarkan di beberapa media cetak seperti Suara Merdeka, Bali Bicara, Sriwijaya Pos, Pontianak Pos, Sagang, Jurnal Sajak, Bali Post. Karya-karyanya (entah tulisan, gambar ilustrasi, musikalisasi, foto) sebagian tertampung di ruang pameran: ganzpecandukata.blogspot.com, sebagian lainnya sedang dalam proses pembukuan, sebagian lagi sedang dalam proses percintaan.
[i] Istilah seperti ini dapat ditemukan di esai-esai Afrizal Malna ketika mengulas perpuisian.
1.07.2013
BAYANGAN SEORANG ANAK YANG KESEPIAN DARI SEBUAH KAMAR
18.34
No comments
kitaku yang mulia,
di rumah seorang kawan--sebuah usaha sedang direncanakan
melalui buku-buku tentang sejarah, serat, dan tasawuf;
hidup ini seperti mempunyai kepastian yang hendak dipersalinkan,
tapi bukan melulu adalah kenyataan: sebuah tivi lalu menyala
di sampingnya ac padam tiba-tiba. --kami seolah membicarakan
masa lalu dan kemenangan-kemenangan terhadap kehendak,
tuanku, tuanku, seorang anak benar-benar telah muncul
diam-diam serta tak pernah gagal untuk menyatakan
kesepian.
ini kita: sepanjang bayangan bergerak dari pintu ke pintu,
perempuan-perempuan yang terlalu sempit untuk dibicarakan
sebagai sebuah langit di pagi hari;
ini kitaku: seorang anak menjadi sangat jauh dari peluk ibunya
lalu perlahan lari dari mimpi ke ribuan halaman buku, foto-foto
beserta musik-musik yang belum pernah diterjemahkan
maka, izinkanlah segalanya bertumbuh....
demikiankah?
2013
1.01.2013
MINGGU KORAN-KORAN PUISI
10.21
2 comments
tersebutlah kata-kata yang bersitumbuh
dari halaman ke halaman. kamu mengeja seluruhnya;
kepada sebuah kesempatan, kamu sempat-sempatkan
untuk mengembalikan seluruh halaman itu, meski kata-kata
terasa bersandar akan sesuatu dan tetap pada posisinya;
“penyair-penyair...mana, mana....atau mereka tiada nama,
aduhai-aduhai...nama, nama”
sesudah kamu bilang begitu, aku seperti kehilangan
sebuah kolom dan alamat-alamat email mereka
hari-hari menjadi minggu yang justru,
justru kamu membikin aku ragu-ragu memandang
semua masyarakat koran beserta harga-harganya:
inikah penyair-penyair tanpa puisi itu?
2013
12.28.2012
REKAMAN MUSIKALISASI PUISI DARI BUKU PUISI PERTAMA SAYA
16.37
No comments
Rekaman-rekaman tersebut dapat didengarkan melalui media youtube. Silakan klik di tiap judul di bawah ini untuk menyimaknya (special thanks to Lalu Arman Rozika) :
HANA
JENAR
BENTENG PORTUGIS, BAHU KITA
Atas apresiasinya saya mengucapkan terima kasih.
12.24.2012
SION
06.41
No comments
ada yang terlupa terbaca di sini;
sion...sion...malam selalu mustahil untuk mengerti
bagaimana kita mesti menerjemahkan langit
di sini orang-orang sedang senang bermadah
tapi barangkali di kotamu itu, sion
sejumlah bintang akan turun
lalu jelma menjadi seorang ibu;
sebuah malam ada yang terlahir
di antara puisi-puisi dan riuh
mimpi-mimpi para anak jalanan
siapa ibu kita sebenarnya?
tanya mereka
kota ini
adalah yang sempat kita lalukan
sion...sion
naiklah sebagai dunia
2012
12.22.2012
MEMBAYANGKAN KEMATIAN
00.00
No comments
1. kamu simpan di mana aduhku, ini siang yang lagi-lagi lupa
hujan kapan mendarat lebih cepat. kamu hapalkan bagaimana
kesepian yang sarat ini. di luar tadi aku makan di warung pecel
membayangkan kita…pahamkanlah, pahamkanlah. ada sesuatu
yang mesti kita tunda untuk dirayakan, sebelum yang kita percayai
sekarang benar-benar berbalik dan terasa serba salah
2. di sini aku tak bisa menyatakan mimpi, tempat tidur yang sempit
memaksa mataku ini berbohong. di luar hujan reda segera.
daun-daun kuyup, aku serasa menginjak tanah yang becek
sembari ingin lekas memeluk kamu;
kitaku, jujurkah kita bilamana degup kencang di dada kita
adalah tanda bahwa ada yang pulang sebentar lagi?
3. oh, hai, bukankah ruang ini menampung segala sunyi bunyi
beserta ramalan-ramalan tentang kekalahan: kematian itu
telah kita bayangkan sebagai duka paling mesra. maka jarak ini
adalah perantaraan kita:
kamu bersikeras memaknai angin. aku ingin melamun saja
2012
12.09.2012
DUA PUISI DI BALI POST
00.13
No comments
Dua puisi saya ini dimuat di surat kabar Bali Post pada Hari Minggu, 9 Desember 2012:
PENGHUJAN
SEHABIS LOMBA CIPTA PUISI
12.08.2012
FOTOGRAFI KENANGAN ( I )
20.54
No comments
sebuah rumah kosong, sebuah kursi panjang di teras;
aku, lalu sebuah pohon yang sedang merayakan
buah-buah jatuh
sebuah kursi panjang di teras, sebuah rumah yang kosong;
kamu, lalu sebuah pot keramik tua yang retak
dan bunga-bunga tak ingin menamai tanah di dalamnya
sebuah alamat di sebuah gang buntu
orang-orang bersegera mematikan televisi lalu pergi
menanggalkan rumahnya
2012
11.30.2012
SEBELUM SUBUH
11.33
1 comment
suara itu seperti kidung ibu yang meninabobokan anaknya;
lalu ada seseorang yang menggambar rumah
dengan banyak pohon perdu di sekitarnya,
ada jendela dan pintu berumur seribu kesedihan,
lalu sebuah taman kecil muncul tersembunyi
di dalamnya.
tanpa dirimu lagi, dunia membikin perasaan ini kembali kesemutan,
kitaku. sebuah cahaya telah menuntunku menuju suara itu;
aku keluar kamar, menghirup udara di sekeliling asbes
yang basah, mengusir tikus-tikus, membuka kulkas,
minum coca-cola, mematikan televisi.
kini aku berdiri tanpa cahaya, tapi suara itu masih ada
bukan siapa-siapa. tapi aku seperti pernah mendengarnya
di sebuah pertunjukkan; "rumahku, cintakan aku kepada
alamatmu....rumahku, hujan tadi bukankah milik kita hanya?"
sebuah rumah menjadi dingin dan gaduh, tiba-tiba. aku tahu
itu bukan dirimu, sebab dirimu tak pernah menjelma rumah.
inilah kita, aku yang berangan diam di rumah itu
kamu yang tidak ingin kita terus-terusan begadang
atau mengobrol tak penting, seperti kata ibu
sebelum subuh, di dekat taman kecil itu
aku bersimpuh pada nyeri kata-kata:
tabahku, atas nama suara yang dipersalinkan
ajarilah kami menjangkau jarak
bayangan-bayangan seluruh diri ini kepada rumah
2012
11.27.2012
CERPEN KATHERINE ANNE PORTER
17.09
No comments
THE GRAVE
The Grandfather, dead for more than thirty years, had been twice disturbed in his long repose by the constancy and possessiveness of his widow. She removed his bones first to Louisiana and then to Texas as if she had set out to find her own burial place, knowing well she would never return to the places she had left. In texas she set up a small cemetery in a corner of his farm, and as the family connection grew, and oddments of relations came over from Kentucky to settle, it contained at last about twenty graves. After the Grandmother`s death, part of her land was to be sold for the benefit of certain of her children, and the cemetery happened to lie in the part set aside for sale. It was necessary to take up the bodies and bury them again in the family plot in the big new public cemetery, where the Grandmother had been buried. At last her husband was to lie beside her for eternity, as she had planned.
The family cemetery had been a pleasant small neglected garden of tangled rose bushes and ragged cedar trees and cypress, the simple flat stones rising out of uncropped sweet-smelling wild grass. The graves were lying open and empty one burning day when Miranda and her brother Paul, who often went together to hunt rabbits and doves, propped their twenty-two Winchester rifles carefully againts the rail fence, climbed over and explored among the graves. She was nine years old and he was twelve.
They peered into the pits all shaped alike with such purposeful accuracy, and looking at each other with pleased adventurous eyes, they said in solemn tones: “These were graves!” trying by words to shape a special, suitable emotion in their minds, but they felt nothing except an agreeable thrill of wonder: they were seeing a new sight, doing something they had not done before. In them both there was also a small disappointment at the entire commonplaceness of the actual spectacle. Even if it had once contained a coffin for years upon years, when the coffin was gone a grave was just a hole in the ground. Miranda leaped into the pit that had held her grandfather`s bones. Scratching around aimlessly and pleasurably as any young animal, she scooped up a lump of earth and weighed it in her palm. It had a pleasantly sweet, corrupt smell, being mixed with cedar needles and small leaves, and as the crumbs fell apart, she saw a silver dove no larger than a hazel nut, with spread wings and a neat fan-shaped tail. The breast had a deep round hollow in it. Turning it up to the fierce sunlight, she saw that the inside of the hollow was cut in little whorls. She scrambled out, over the pile of loose earth that had fallen back into one end of the grave, calling to Paul that she had found something, he must guess what. . . His head appeared smiling over the rim of another grave. He waved a closed hand at her . “I’ve got something too!” They ran to compare treasures, making a game of it, so many guesses each, all wrong, and a final showdown with opened palms. Paul had found a thin wide gold ring carved with intricate flowers and leaves. Miranda was smitten at sight of the ring and wished to have it. Paul seemed more impressed by the dove. They made a trade, with some little bickering. After he had got the dove in his hand, Paul said, “Don`t you know what this is? This is a screw head for a coffin! . . . I`ll bet nobody else in the world has one like this!”
Miranda glanced at it without covetousness. She had the gold ring on her thumb; it fitted perfectly. “Maybe we ought to gp now,” she said, “maybe one of the niggers`ll see us and tell somebody.” They knew the land had been sold, the cemetery was no longer theirs, and they felt like trespasser. They climbed back over the fence, slung their rifles loosely under their arms—they had been shooting at targets with various kinds of firearms since they were seven years old – and set out to look for the rabbits and doves or whatever small game might happen along. On these expeditions Miranda always followed at Paul`s heels along the path, obeying instructions about handling her gun when going through fences; learning how to stand it up properly so it would not slip and fire unexpectedly; how to wait her time for a shot and not just bang away in the air without looking, spoiling shots for Paul, who really could hit things if given a chance. Now and then, in her excitement at seeing birds whizz up suddenly before her face, or a rabbit leap across her very toes, she lost her head, and almost without sighting she flung her rifle up and pulled the trigger. She hardly ever hit any sort of mark. She had no proper sense of hunying at all. Her brother would be often completely disgusted with her. “You don`t care wheter you get your bird or not,” he said. “That`s no way to hunt.” Miranda could not understand his indignation. She had seen him smash his hat and yell with fury when he had missed his aim. “What I like about shooting,” said Miranda, with exasperating incnsequence, “is pulling the trigger and hearing the noise.”
“Then, by golly,” said Paul, “whyn`t you go back to the range and shoot at bulls-eyes?”
“I`d just as soon,” said Miranda, “only like this, we walk around more.”
“Well, you just stay behind and stop spoiling my shots,” said Paul, who, when he made a kill, wanted to be certain he had made it. Miranda, who alone brought down a bird once in twenty rounds, always claimed as her own any game they got when they fired at the same moment. It was tiresome and unfair and her brother was sick of it.
“Now, the first dove we see, or the first rabbit, is mine,” he told her. “And the next will be yours. Remember that and don`t get smarty.”
“What about snakes?” asked Miranda idly. “Can I have the first snake?”
Waving her thumb gently and watching her gold ring glitter, Miranda lost interest in shooting. She was wearing her summer roughing outfit: dark blue overalls, a light blue shirt, a hired-man`s straw hat, and thick brown sandals. Her brother had the same outfit except his was a sober hickory-nut color. Ordinarily Miranda preferred her overalls to any other dress, though it was making rather a scandal in the countryside, for the year was 1903, and in the back country the law of female decorum had teeth in it. Her father had been criticized for letting his girls dress like boys and go careering around astride barebacked horses. Big sister Maria, the really independent and fearless one in spite of her rather affected ways, rode at a dead run with only a rope knotted around her horse`s nose. It was said the motherless family was running down, with the Grandmother no longer there to hold it together. It was known that she had discriminated againts her son Harry in her will, and that he was in straits about money. Some of his old neighbors reflected with vicious satisfaction that now he would probably not be so stiffnecked , nor have any more high-stepping horses either. Miranda knew this, though she could not say how. She had met along the road old women of the kind who smoked corn-cob pipes, who had treated her grandmother with most sincere respect. They slanted their gummy old eyes side-ways at the granddaughter and said, “Ain`t you ashamed of yoself, Missy? It`s agints the Scriptures to dress like that. Whut yo Pappy thinkin about?” Miranda, with her powerful social sense, which was like a fine set of antennae radiating from every pore of her skin, would feel ashamed because she knew well it was rude and ill-bred to shock anybody, even bad-tempered old crones, though she had faith in her father`s judgement and was perfectly comfortable in the clothes. Her father had said, “They`re just what you need, and they`ll save your dresses for school....” This sounded quite simple and natural to her. She had been brought up in rigorous economy. Wastefulness was vulgar. It was also a sin. These were thruths; she had heard them repeated many times and never once disputed.
Now the ring, shining with the serene purity of fine gold on her rather grubby thumb, turned her feelings against her overalls and sockless feet, toes sticking through the thick brown leather straps. She wanted to go back to the farmhouse, take a good cold bath, dust herself with plenty of Maria`s violet talcum powder—provided Maria was not present to object, of course—put on the thinnest, most becoming dress owned, with a big sash, and sit in a wicker chair under trees.... These things were not all she wanted, of course; she had vague stirrings of desire for luxury and a grand way of living which could not take precise form in her imagination but were founded on family legend of past wealth and leisure. These immediate comforts were what she could have, and she wanted them at once. She lagged rather far behind Paul, and once she thought of just turning back without a word and going home. She stopped, thinking that Paul would never do that to her, and so she would have to tell him. When a rabbit leaped, she let Paul have it without dispute. He killed it with one shot.
When she came upwith him, he was already kneeling, examining the wound, the rabbit trailing from his hands. “Right through the head, “ he said complacently, as if he had aimed for it. He took out his sharp, competent bowie knife and started to skin the body. He did it very cleanly and quickly. Uncle Jimbilly knew how to prepare the skins so that Miranda always had fur coats for her dolls, for though she never cared much for her dolls she liked seeing them in fur coats. The children knelt facing each other over the dead animal. Miranda watched admiringly while her brother stripped the skin away as if he were taking off a glove. The flayed flesh emerged dark scarlet, sleek, firm; Miranda with thumb and finger felt the long fine muscles with the silvery flat strips binding them to the joints. Brother lifted the oddly bloated belly. “Look.” He said, in a low amazed voice. “It was going to have young ones.”
Very carefully he slit the thin flesh from teh center ribs to the flanks, and a scarlet bag appeared. He slit again and pulled the bag open, and there lay a bundle of tiny rabbits, each wrapped in a thin scarlet veil. The brother pulled tehse off and there they were, dark gray, their sleek wet down lying in minute even ripples, like a baby`s head just washed, their unbelievably small delicate ears folded close, their little blind faces almost featureless.
Miranda said, “Oh, I want to see,” under her breath. She looked adn looked—excited but not frightened, for she was accustomed to the sight of animals killed in hunting—filled with pity and astonishment and a kind of shocked delight in the wonderful little creatures for their own sakes, they were so pretty. She touched one of them ever so carefully. “Ah, there`s blood running over them,” she said and began to tremble without knowing why. Yet she wanted most deeply to see and to know. Having seen, she felt at once as if she had known all along. They very memory of her former ignorance faded, she had always known just this. No one had ever told her anything outright, she had been rather unobservant of the animal life around her because she was so accustomed to animals. They seemed simply disorderly and unaccountably rude in their habits, but together natural and not very interesting. Her brother had spoken as if had known about everything all along. He may have seen all this before. He had never said a word to her, but she knew now a part at least of what he knew. She understood a little of the secret, formless intuitions in her own mind and body, which had been clearing up, taking form, so gradually and so steadily she had not realized that she was learning what she had to know. Paul said cautiously, as if he were talking aboout something forbidden: “They were just about ready to be born.” His voice dropped on the last word. “I know,” said Miranda, “like kittens. I know, like babies.” She was quitely and terribly agitated, standing again with her rifle under her arm, looking down at the bloody heap. “I don`t want the skin,” she said, “I won`t have it.” Paul buried the young rabbits again in their mother`s body, wrapped the skin around her, carried her to a clump of sage bushes, and hid her away. He came out again at once and said to Miranda, with an eager friendliness,, a confidential tone quite unsual in him, as if he were taking her into an important secret on equal terms: “Listen now. Now you listen to me, and don`t ever forget. Don`t you ever tell Dad because I`ll get into trouble. He`ll say I`m leading you into things you ought not to do. He`s always saying that. So now don`t you go and forget and blab out sometime the way you`re always doing. . . . Now, that`s a secret. Don`t you tell.”
Miranda never told, she did not even wish to tell anybody. She thought about the whole worrisome affair with confused unhappiness for a few days. Then it sank quitely into her mind and was heaped over by accumulated thousands of impressions, for nearly twenty years. One day she was picking her path among the puddles and crushed refuse of a market street in a strange city of a strange country, when without warning, plain and clear in its true colors as if she looked through a frame upon a scene that had not stirred nor change since the moment it happened, the episode of that far-off day leaped from its burial place before her mind`s eye. She was so reasonlessly horrified she halted suddenly staring, the scene before her eyes dimmed by the vision back of them. An Indian vendor had held up before her a tray of dyed sugar sweets, in the shapes of all kinds of small creatures: b irds, baby chicks, baby rabbits, lambs, baby pigs. They were in gay colors and smelled of vanilla, maybe. . . . it was a very hot day and the smell in the market, with its piles of raw flesh and wilting flowers, was like the mingled sweetness and corruption she had smelled hat other day in the empty cemetery at home: the day she had remembered always until now vaguely as the time she and her brother had found treasure in the opened graves. Instantly upon this thought the dreadful vision faded, and she saw clearly her brother, whose childhood face she had forgotten, standing again in the blazing sunshine, again twelve years old, a pleased sober smile in his eyes, turning the silver dove over and over in his hands.
*) cerpen ini saya ketik ulang
MENERKAMU
16.12
No comments
pagi-pagi ini aku ingin seaku kamu
kita lupakan sudah waktu, tapi dengan cara
seperti cahaya menumbuhkan biji kacang ijo
di atas kapas. betapa sulit bukan?
ah....kekasih, kekasih,
panjangkanlah lenganmu, aku ingin
mencintaimu. lebih tepatnya memelukmu,
bersama penantian akhir tahun kita putar
jam dinding sebalik-baliknya, secepat-cepatnya.
kita tempelkan foto-foto di dinding kamar
serapat-rapatnya;
tapi sebenarnya aku ingin cium pipimu
dengan degup cepat jantung ini
ya, agar kita tahu lagi. siapa yang berulang tahun
hari ini atau berapa lama sudah aku-kamu
menjadi kalender berangka merah
oh, hai, kamu belum bangun ya jam segini
2012
11.23.2012
DUA SAJAK DI JURNAL SAJAK 4
06.46
3 comments
Dua sajak saya yang kebetulan dimuat di JURNAL SAJAK edisi 4 ini antara lain:
PENANGGALAN KALENDER DI BULAN MARET
PUISI TENTANG ANAK-ANAK BULAN