PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

9.21.2015

MELEPAS SAMANA


bagaimana ia belajar keras menjadi batu, meminjam rasa beku
meminjam rasa diam walau berwaktu-waktu kian ditirus
arus sungai. menjadi kerikil lalu damparan pasir
di tepian, menjadi debu, menjadi udara
lalu tebaran sebelum
lesap

ia belajar mengenakan biru
seolah meminjam pantulan danau
dari sepertiga langit yang tersisa,
sebab awan-awan membentuk haluan
yang sedemikian panjang
seperti pemukiman metropolitan;
menjadi warna yang tak manusiapun
mampu mengubahnya dalam bahasa,
hanya warna

ia merasa seperti bangkai lembu
sehabis diburu pemangsa
hingga tampak rangka
sepeninggal burung bangkai,
ia mati. ia hidup sebagai yang lain
lalu menjadi siklus

putaran itu membawa hujan
sebagai air yang tercipta
selalu kangen pada rekat tanah.
ia sebagai putaran itu menyuara
dalam bisik:

govinda, beranjaklah 
ini sudah selesai


2015



9.16.2015

GELOMBANG PERTANYAAN DALAM SPIRITUALITAS PERAHU


“Kita merasa sangat tidak nyaman dalam dunia yang telah terinterpretasi ini”.
(Rilke dalam Duino Elegy)


Mula-mula saya memperoleh buku ini, saya berpikir, seorang Rabu menulis tentang perahu? Adapun dugaan-dugaan interteks saya begini: apakah Rabu adalah seorang yang familiar dengan kehidupan sungai? Rabu Pagisyahbana alias Lukman Asri Alisyahbana adalah pria kelahiran Purwokerto yang kini memilih tinggal di Kota Pelajar. Dalam buku “Perahu Napas” terdapat puisi-puisinya di rentang tahun 2011-2014, yang mana cetakan buku pertama ini tercatat pada Bulan Mei 2015. Pertanyaan teknis yang muncul kemudian adalah bagaimana pemilahan teks puisi yang dilakukan Rabu? Dan, seberapa pentingkah penyair ini memandang waktu sebagai tanda proses menulis puisinya?

Oke, berlanjut pada pemilihan judul dalam buku yang mana terdapat kata “perahu” dan “napas”. Perahu (kata benda) seperti pada definisi mulanya adalah kendaraan air yang dibuat sederhana daripada kapal. Sedangkan pada kata “napas” (kata benda) yaitu proses  udara yang dihisap melalui hidung atau mulut dan dikeluarkan kembali dari paru-paru. Adapun kedua kata tersebut, “perahu” dan “napas” merupakan sama-sama kata benda. Dugaan pertama saya, penyair berupaya memberikan pengertian yang berbeda antara perahu dan napas namun mempunyai saling keterkaitan, seperti misalnya kata meja kursi. Dugaan kedua saya, perahu napas adalah perahu yang bernapas. Bernapas melalui apa, sebab perahu adalah benda mati? -- dengan kata lain penyair sedang berupaya membikin frase konotatif.

“Di Tepi Dermaga Kertas” merupakan sajian puisi pertama di buku ini. Dalam bait pertama penyair memberikan sentuhan suasana yang tidak jauh dari judul buku, berikut penggalannya:

“kau lingkari angka-angka di almanakku
saat sebagian bertelungkup di luar sana
kau malah terbangun dan berjaga, melipat
kertas-kertas putih menjadi perahu

seakan malam baginya adalah samudra
sedang mimpi seolah pulau tak berpenghuni
...”

Namun, tema besar apakah yang sedang hendak diarungi oleh penyair, yang ingin disajikan kepada para pembaca? Memandang sisi struktural yang ditunjukkan dalam puisi pertama, penyair hendak mengangkat definisi keterangan waktu dan tempat. Di puisi pertama secara utuh, menceritakan tentang malam dan dari pulau yang tak berpenghuni menjadi berpenghuni. Perahu memberikan semacam solusi yang menjadikan pulau tersebut berpenghuni: “kau bujuk angin bawa perahu/sehingga pulau pun jadi berpenghuni”. Ada imaji yang dimunculkan pada sosok “perahu”. “Perahu” menjadi semacam perantara untuk menjadikan yang kosong menjadi isi. Di sini ada semacam logika bahasa yang sedang dimainkan oleh penyair tentang pulau dan mimpi, yang barangkali sebenarnya soal “mimpi” yang menjadi hal penting untuk dimasuki oleh siapapun. Pertanyaan selanjutnya mimpi semacam apa sehingga siapapun itu bisa menjadi penghuni? Apakah mimpi yang dimaksud adalah sebentuk wadah pelarian dari realitas, malam itu sendiri (karena biasanya kata “malam” bergandengan dengan “mimpi”). Puisi ini menawarkan tentang imaji lain tentang perahu.

Mari tengok sajak lain yang berbincang soal perahu. Pada halaman 52, puisi yang berjudul “Di Sepertiga Malam” berikut:

“bulan putih di pangkuan musim
dingin kemarau hampir berakhir
saat angin menjelma perahu di ketinggian
dalam lubuk kau menjelma bintang layang-layang
dan kita berlayar ke selatan

berpeluk ombak
menempuh ujung gelap
di bawah jemari waktu
yang bangkit memainkan benang
berdua kita berenang di sepertiga malam
menyelami laguna bawah sadar
menjelma sunyi di kedalaman”

“Perahu” lagi-lagi menjadi perantara untuk menuju ke “selatan”. Lantas ada apa dengan selatan sehingga memerlukan perahu dan lewat jalur air untuk menuju ke sana? Apakah selatan adalah suatu tempat yang memberikan romantisme kebahagiaan sepasang manusia? Apakah penyair ingin memberi tanda bahasa yang lain tentang selatan? Terlepas itu, nuansa “perahu” seolah tidak terasa kental di sini, melainkan hablur, terutama ketika penyair mencoba menyajikan bahasa dalam bait kedua. Dua Bait seolah menjadi kurang sinambung. Demikian kedudukan perahu seolah menjadi hanya sebagai semacam pelengkap dalam teks puisi tersebut.

Selanjutnya keberadaan imaji perahu dapat ditemui dalam puisi “Perahu Napas” pada halaman 54:

“lelaki duduk memangku laut tiada
selain menyeberangi nasib di kejauhan
bersama angin. angin utara yang berhasil turun
membawa perasan jantung perempuan bukit
menuju arah pantai

sendiri ia berbisik
merangkum masalalu
melipat bangku kosong dan cerita hantu
sementara waktu perlahan karam
merapikan angan-angan

bersamanya perahu napas berlayar
melampaui tubuh dan pikiran
batas diam antara lubuk dan jantung laut
yang pecah membawa ia pulang
ke tugur masadepan”

Kata “perahu” yang digandengkan dengan kata “napas” ini menjadi semakin jelas bahwasanya perahu yang dimaksud adalah kata benda yang dihidupkan menjadi subjek. Pada bait yang terakhir tampak jelas penyair hendak menunjukkan bahwa perahu merupakan kendaraan hidup menuju masa depan. Pertanyaan yang lagi-lagi menggoda saya adalah kenapa penyair hendak memakai "perahu" sebagai kendaraan yang dihidupkan itu? Ya barangkali penyair ingin mengangkat spiritualitas tentang perahu. Spiritualitas yang merupakan kehidupan ruh, sesuatu yang berpikir, kata Descartes. Yakni yang meragukan, menegaskan, menolak, mengetahui sedikit hal, tidak mengetahui banyak hal, yang berkemauan, berhasrat juga berimajinasi, dan merasa. Di dalamnya ada semangat. Perahu dalam buku puisi ini menjadi simbol yang membawa spritualitas tertentu.

"Perahu" dalam buku puisi ini tidak hanya dimunculkan dalam ketiga puisi yang saya perlihatkan. Adapun penyair melesapkan subjek: perahu ke dalam bentuk-bentuk lain, selain memberi alternatif penamaan dengan kata "kapal" (hal.21 & 27). Tema-tema yang coba ditawarkan oleh penyair dalam buku ini yang saya tangkap adalah wujud pelipuran diri atas gejala keputusasaan terhadap ingatan, kenangan, kisah historis, masa lalu, masa depan, roman-roman kesunyian, dan terhadap ketidaknyamanan masa kini. Keputusasaan itu memunculkan subjek-subjek sebagai asosiasinya untuk memandang dari sisi lain, sebagaimana Sartre melalui tokohnya Orestes yang berkata kepada Zeus: kehidupan manusia dimulai pada sisi lain keputusasaan. Dalam konteks ini, gejala keputusasaan atas bentangan diri imaji yang dihadapi penyair; "dan ini nasibku biar saja, biar aku pilih jejak sendiri" (Pada Rautan Pensil, hal.36)  

Dalam catatannya di antologi "Manusia Utama", Arif Budiman mengungkapkan agaknya memang terlalu berbau heroik untuk penyair masa kini di negeri kita. Dibutuhkan perumusan yang lebih halus untuk tidak terlalu heroik, tetapi juga tidak terlalu bermartabat untuk membujuk penyair kembali menjadi saksi zamannya. Untuk ini diperlukan kepekaan sejarah yang tinggi yang menyebabkan suatu karya puisi bukan sekedar endapan pengalaman sejenak, atau bahkan seumur penyairnya, tetapi sepanjang umur tradisinya, bangsanya. Seperti yang dinyatakan kritikus pada Robert Lowell dan T.S. Elliot. Satu keterlibatan sejarah, satu pergumulan, yang bukan sekadar mampu menjadikan sejarah sebagai sumber ilham bagi sajak-sajaknya, tetapi sekaligus mampu mempengaruhi sejarah itu sendiri. 

Demikian perahu napas menjadi sebentuk hero lain yang adalah saksi peristiwa si penyair menyelami dirinya dan realitas yang diramaikan sebagian orang. Yehuda Amichai mengabarkan bahwa memang harus selalu ada yang bersedia untuk menyatakannya lagi, menyatakannya berulang-ulang, bahwa kedua kutub itu memang ada dan sama sahnya, seperti pemain bola di lapangan.

Alih-alih si penyair menyunting spiritualitas perahu pada inti kemudi seperti celupan untingan puisi berjudul "Waktu" (hal.47):
"di luar sana manusia
saling sibuk menerjemahkan waktu
hanya saja aku masih penasaran dengan batu
..."


Semarang, 2015
*Ditulis oleh Ganjar Sudibyo untuk kepentingan perayaan NgoPi komunitas LACIKATA yang ke-19.

9.14.2015

ULAR EDOM


mengitari tanah untuk sebuah perintah
suatu bangsa dalam karut marut, dari amsal
yang dibahasakan musim di padang gurun;
di sebuah masa ular-ular beludak muncul
sebagai golongan terpuji: menjulingkan mata
kesetiaan suatu bangsa, mendatangkan angin kencang
yang membawa bau-bau kehilangan kembali tebar
turun dari gunung hor. suatu bangsa yang tak pernah
merasa kenyang, melihat sebagian dari mereka
menganga dipagut ular-ular itu.

sebatang tongkat tegap mengikat dirinya sendiri
suatu bangsa mengarahkan padangannya pada mata
seekor ular tedung yang melilit jadi ketinggian
sebatang tongkat. langit kelabu. mereka yang berbelok
dan keluar dari jalan kepatuhan. terkubur pasir.
diracun ular-ular beludak. lalu seekor ular tedung
yang membunuh kematian itu sendiri, tak berasal
dari golongan manapun. ia membuka mata
setiap orang yang hendak lari dari luka
yang cucur di lengan seorang nabi


2015

9.10.2015

ADAWIYAH


darimana kecantikanmu berasal, puan
dari tangis yang disediakan cahaya rembulan 
atau kegembiraan yang ditawarkan suatu pagi?

sebab itu satu-satunya cintamu
telungkup di atas kemanusiaan
bukan neraka
bukan surga;

sebab itu,
bayang-bayang rupawan semesta berhasil
memantul ke arah pandanganmu


2015

9.09.2015

DI LINGKAR AMBARAWA


menghadapkan gairah ke selatan, kita seolah menjelma
pertanyaan-pertanyaan yang tak perlu dijawab
sebab tanda tanya itu telah lenyap disengat udara
di sini, perihal lanskap membuat kita jadi pandai
bernafas.

perjalanan kecil berlalu seperti mengaso di siang hari
hijaulah cemasku birulah ke dalam dada
sebelum rindu lebur ke kelok matahari


2015

SUNGAI JILID KE-12



terima kasih,
kita pernah bahagia pada perahu kecil yang sesekali kita tumpangi;
bahagia seperti menyusuri arus-arus kecil ingatan; menyerahkan
perasaan yang tumbuh tak tentu di suatu langit kelabu jingga,
supaya kemudian dibawa terbang bangau-bangau putih
ke sarang mereka, nun di sana, di pepohonan tenggara

kita pernah bahagia ketika kita berusaha sesekali menceburkan diri
mencucukkan jari-jari di arus-arus lain yang digoncangkan perahu
merasakan hawa dinginnya, masuk menghisap demam segala rindu
tapi kita tahu, batasan yang membikin kita mengambang ada dan percaya
kepada kegenapan runtutan peristiwa.

arus-arus menuntun tumbuhan hijau bertunas di permukaan air
ke arah matahari. angin ladang menginginkan mukim pada sebuah
rekaman kameramu. karamba-karamba mencuri cara bercinta
ikan-ikan air tawar. potongan-potongan gambar itu telah sekali lagi
menguatkan kita: udara singkat ini, menyimpan kekuatan sampan
yang mendorong usia perahu menuju kelebat peninggalan waktu


2015 

9.07.2015

NOTIFIKASI PEJALAN



memikirkanmu terlalu dalam di antara keramaian
rasanya aku ingin dibawa pada tikungan-tikungan
tanpa tanda-tanda serupa anak panah dalam lingkaran,
yang mungkin belum sungguh aku mengerti
bahasa siapa bahasa macam apa;

pada sebuah bundaran yang kita pun tahu, tempat itu
tempat orang-orang meletakkan rasa gusar untuk sementara
memeram penghiburan memotong rasa sunyi melupakan
alamat pulang. kita jadi lumrah meniadakan segala pendar
perasaan yang dipantulkan mata orang-orang.

baiklah kita seperti para pejalan, mengungsikan ingatan
menuju nama-nama tempat dan apapun yang berlalu,
memikirkanmu di antara berjejal kabar:
kerumitan yang kita pun tak bisa menolaknya,
Ping!!!


2015




9.04.2015

REPERTOAR OBROLAN 24 JAM


Malam hari di suatu Kota, seorang kawan mengajak saya berkunjung ke kediaman Pak Iman. Ke rumah kecilnya yang bermukim di antara orang-orang kos. Dekat pusat kota.Obrolan telah berlangsung ketika saya dan seorang kawan baru saja datang. Pak Iman memang sudah berumur, tapi semangatnya untuk menularkan ilmu yang ia miliki tidaklah putus. Beliau semakin dikenal sebagai seorang budayawan, sastrawan, penyair, penulis cerita anak (kalau yang satu ini saya baru tahu setelah berkunjung malam itu). Pak Iman biasa menyambut para tamu di teras kosnya. Duduk ngopi, udud bersama.

Saya tidak baru pertama kali datang ke kediaman Pak Iman. Ini kali kedua, hanya saja malam ini lebih ramai dengan orang-orang yang ingin bersua. Saya dan seorang kawan yang saya ajak kemudian turut duduk bersama di teras itu. Dan saya pun mencoba mulai mencatat dalam otak, ucapan-ucapan yang disampaikan oleh beliau.

Waktu itu pembicaraan Pak Iman seputar makna konotasi dan denotasi. Tema yang pernah diangkat di sebuah forum di PKKH UGM. Adapun konotasi semakin bertebaran di bahasa manusia sehari-hari kini, khususnya Indonesia. Kosa kata yang kerap kali dipakai dalam bahasa prokem sehari-hari setelah ditelisik lebih lanjut ternyata bukan merupakan makna yang sebenarnya (dalam arti denotasi) melainkan konotasi (makna kias). Fenomena seperti yang kemudian membuat orang-orang bahasa mesti memperhatikan lebih dalam bukan sekedar membuat revisi kamus bahasa. Tidak hanya berhenti pada bahasa sehari-hari lewat komunikasi verbal, adanya iklan di baliho yang sekarang semakin marak, juga menjadi bahan perhatian. Demikian perihal bahasa konotasi menjadi masalah yang krusial manusia sekarang. Kata semakin jauh dari makna yang sebenarnya, kata semakin kental dengan kiasannya. Seperti misalnya berdandan. Makna berdandan menjadi semakin menjauh dari makna sebenarnya, berdandan menjadi semakin bias karena perilaku orang-orang dalam berdandan yang menjurus ke idealisme boneka maniken. Orientasi-orientasi yang demikian menjadi makna semula menjauh dari kata itu sendiri. Persoalan seputar memaknai kata menjadi semakin rumit karena hampir sebagian orang berkomunikasi dengan demikian. Ya, seperti lingkaran setan. Ini baru contoh kosa kata pertama, belum yang lain. Seperti misalnya bertemu. Pertemuan menjadi makna denotasi bilamana ada tatap muka, bukan lewat perangkat media. Memang di satu sisi, saya menyetujui apa yang dikatakan beliau, namun di satu sisi bisa juga menjadi koreksi bahwasanya di pelajaran bahasa Indonesia terdapat peliyorasi dan ameliorasi. Penyempitan dan perluasan makna (dalam konteks tertentu). Kedua istilah tersebut yang kemudian bisa menjadi batas konotasi dan denotasi yang dibicarakan.

Tidak hanya melulu berbicara soal konotasi dan denotasi, pun tidak disebut Pak Iman jika tidak ada pepatah yang dilumerkan dalam obrolan. Beliau sempat mengisahkan tentang adegan ramayana. Kira-kira begini jika saya kisahkan ulang: Ketika Anoman menjaga Rahwana yang sedang dihukum. Anoman berucap kepada Rahwana, tidurlah rahwana kau tidak akan bisa lepas dari hukuman abadi ini. Selang kemudian Rahwana berucap, Anoman, Anoman, tidurlah, kau tidak akan memiliki keturunan karena kau hanya seorang diri, tapi dunia akan dipenuhi oleh rahwana-rahwana lain. Demikian kisah itu dimaksudkan untuk menggambarkan keadaan dunia sekarang. Tema tersebut kemudian mengarahkan pembicaraan menuju zaman kalathida. Beliau kemudian menceritakan tulisannya yang pernah dimuat di Suara Merdeka, terkhusus, beliau merujuk kepada warga Semarang. Tulisan tersebut menyoal rasa malu yang kini semakin tipis di dalam diri manusia. Rasa malu yang dimaksud adalah malu terhadap perilaku yang buruk. Beliau mengungkapkan bahwa lemahnya rasa malu tersebut mulai dicontohkan oleh para aparatur negara. Perilaku yang buruk itu pun kemudian dianggap biasa dan dibiarkan terus menerus muncul. Ini semua menjadi pertanyaan, kemudian kita mesti bagaimana?

Ada perihal-perihal yang kemudian diceritakan oleh Pak Iman. Beliau orangnya gampang bercerita panjang-lebar. Sampai suatu ketika saya bersama beliau hampir 12 jam. Namun, di kesempatan yang agaknya merdeka ini saya ingin mencoba 'membaca' apa yang diucapkan beliau ketika membalas sms teman Beliau. Begini kira-kira: "Belajarlah dari tumbuhan yang tabah dan tetap tumbuh ketika dipangkas, belajarlah kejujuran dari hewan, dan kecerdasan dari manusia."

Sampai jumpa di lain kesempatan, Romo.
"Ngelmu iku kelakone kanthi laku"


Yogyakarta, 2015




8.30.2015

NUKILAN MANUSKRIP "ANTOLOGI SEBELUM MENEMU RUMAHMU"



*beberapa tubuh sajak ini merupakan nukilan dari manuskrip "antologi sebelum menemu rumahmu", yang mana sempat memperoleh posisi sepuluh besar terbaik di ajang sayembara siwa nataraja award 2015 tempo lalu. publikasi ini semacam upaya penghargaan terhadap para sajak yang telah sedia mengikutsertakan dirinya:



IMPERASI DERMAGA

laut ibumu, telah lama menyusui kejatuhan cahaya
dan secara beraturan menggelindingkan pendarnya
dalam lengkung gelombang menuju pandanganku,
pandangan yang kemudian susut
terpelanting sejauh kapal-kapal angkutan
melampaui jeratan lanskap mata.

inikah namanya bagian yang tak terkatakan
atau tak tercatat sebab ia senantiasa kehilangan
tempat?

kail--yang bergerak sendiri sampai tambat pada arus ikan;
masa lalu yang berjalan tertatih, pelan-pelan jelma umpan
lalu diperas cahaya tua pada jarak tertentu
menghilang seperti ikan-ikan

waktu yang tak pernah padam, kita yang bertaruh rindu
ingat, pancingmu yang pernah bergoncang kecil
di dermaga tempat beberapa orang datang sekedar
membuang pandangan tak penting;

menjauhlah dari tipu gelombang
mendekatlah pada laut ibumu
yang kedalamannya belum benar kau kenali





CINTA PERTAMA MANUSIA DIGITAL

ular kesekian telah sengaja dicipta di alam tubuh kami
dan dunia bising membuatnya pertanda:pasangan
pertama berjenis manusia bermata cahaya
layar-layar digital. sebab kami baru saja jatuh cinta,
semoga tak ada kehidupan bunyi-bunyi monitor
untuk melarang apapun sebagai cinta pertama
yang pokok bijinya tetap sama. di firdaus baru:
lanskap jaringan sosial, tanah tempat mark zuckerberg
menggaruk-garuk kepala penciptanya





KEPILUAN PURBA

pada debu
pada sore
pada hujan
pada langit
dan segenap berita-berita di televisi
politik;
kemiskinan adalah saudara kandung kita
yang berwajah cemas

pada umat manusia
perasaan-perasaan tuhan
berjatuhan
sedalam-dalam semesta




MENYANGSIKAN YANG TAK PASTI

“but uncertainty is more beautiful still”
(wislawa szymborska)

siapa tahu angin ke mana, itu sebabnya
aku mulai tak merindukan apa-apa
selain mencari pecahan mimpi yang sirna;
pandangan kini yang condong ke utara
telah menyediakan maksud:
masa depan, kau tak perlu takut
ada sejumlah lentera yang dibikin gadis kecil
pendongeng korek api, ia bisa menyalakan
peta masa depanmu hingga kau tak merasa
terlalu sunyi di dalam pikiranmu sendiri.

masa telah menyebabkanku beriman pada angin
pada dongeng-dongeng yang gelap
sebab runtutan bencana tak tentu seperti rencana,
mereka telah sedemikian rupa membuatku
murtad terhadap diriku sendiri





HEADLINE DI BERANDA TUA

1.
sebuah pencarian tak akan lepas dari kilasan fana
pesan-pesan warisan yang tak sampai karena hidup
penuh dengan pandangan-pandangan yang ngadat
seperti tubuh prosesor tahun 90-an;
untuk sampai pada manusia utama, era hasrat nikmat
mesti dikaburkan, dilesatkan dari mata hening suryomentaram
atau jauh dari petasan nasihat derita sasrokartono.
tapi, tuan-puan, mungkinkah itu bisa dinyatakan
sebagai pengunguman penting
di antara kepadatan pasar-pasar terbuka?

2.
rupa-rupa lahir semakin tak murni,semakin tak tampak
dari jerih payah para pemahat arca-arca yang hilang
di museum, arsitektur rumah-rumah joglo yang kini
dipelihara orang asing

para pribumi yang tak mengindahkan
lengan-lengan etika para filsuf yunani
atau kaki-kaki ajaran serat-serat yang dibeli
oleh aurat para kolektor, mereka mencoba
mencari-cari semar yang terjebak
pada cahaya-cahaya kecil di lorong-lorong
cemasnya sendiri sebelum menjelma
foto-foto selfie

3.
seolah ada yang mencuri diam-diam
lalu perlahan menggali kuburan massal,
mempersiapkan monumen pahlawan kesiangan

pekik kehilangan akan indah pada waktunya,
tuan-puan!

lalu pada sebuah tatapan di headline koran
yang teramat lokal,
seorang tua tak mampu menghisap airmatanya
di beranda
:
jenazah kawannya (seorang kejawen)dilarang dikebumikan
di tempat pemakaman umum--tanahnya
sendiri



8.28.2015

BEBERAPA DARI EMILY DICKINSON


Emily Dickinson (10 Desember 1830 - 15 Mei 1886), penyair Amerika pada abad kesembilan belas yang lahir di Amherst, Massachusetts di sebuah keluarga terkemuka yang dikenal sebagai supporter lembaga pendidikan lokal. Kakek Emily, Samuel Fowler Dickinson, adalah salah satu pendiri dari Perguran Tinggi Amherst, ayahnya menjabat sebagai Pengacara dan bendahara di lembaganya. Selama kebangkitan agama yang melanda Massachusetts Barat pada era 1840-1850, Dickinson menemukan panggilannya sebagai seorang penyair. Salah satu penulis biografi dirinya menyatakan bahwa Dickinson memilih untuk menjadi penyair yang menggulati Malaikat dalam Kitab Yakub. Sebagian besar karyanya tidak hanya mencerminkan saat-saat kecil tentang apa yang terjadi di sekelilingnya, tetapi juga dari tema pertempuran dan tema dari apa yang terjadi dalam masyarakat. Sebagai contoh, lebih dari setengah dari puisinya ditulis selama tahun-tahun selama Perang Saudara Amerika. Pada saat hidup, tidak lebih dari 7 puisi Dickinson yang diterbitkan di antara 1.776 puisinya. Dickinson meninggal di tempat kelahirannya di Amherst, Massachusetts. Berikut ini saya terjemahkan secara alakadarnya beberapa puisinya yang terkumpul di Coradella Collegiate Bookshelf Editions:


Kemarilah Perlahan, Eden!

Kemarilah perlahan, Eden!
Bibir yang melekat padamu,
Yang canggung, menghisap melati daripadaMu,
Sebagai lebah yang pingsan,

Menyentuh di ujung bunganya,
Memutar dengung tubuhnya,
Menghitung nektar -memasukinya,
Lesap dalam cairan!



Hidupku Terpejam Dua Kali Sebelum Dipejamkan

Hidupku terpejam dua kali sebelum dipejamkan;
Hidup yang masih juga belum bisa melihat
Bilamana Keabadian menyingkapnya
Sebuah dunia ketiga datang kepadaku

Sedemikian besar, sedemikian sia-sia dalam angan,
Karena ini kali kedua yang menimpa.
Perpisahan adalah surga yang semua kita tahu,
Dan semua yang kita butuhkan dari neraka.



Sukses adalah Hitungan Termanis

Sukses adalah hitungan termanis
Oleh mereka yang tak pernah berhasil.
Untuk mengerti sebuah kemanisan
Mengharuskan perih kebutuhan.

Tak satupun dari semua tuan kemenangan
Yang mengambil bendera hari ini
Bisa mengungkap arti itu,
Jadi jelas, kemenangan

Saat ia, sekarat, dikalahkan,
Padanya pendengaran yang terlarang
Bentangan yang jauh dari kemenangan
Mematahkan dan membersihkan yang menderita!



Jiwaku, kita akan melupakannya!

Jiwaku, kita akan melupakannya!
Kau dan aku, malam ini!
Kau barangkali lupa kehangatan yang ia curahkan,
Aku akan melupakan cahaya.

Ketika kau telah melakukannya, doa yang mengatakan padaku
Bahwa aku bersama pikiranku bisa saja redup;
Gegaslah! agar saat kau sedang di belakang
Aku mungkin saja mengingatnya!



Ini Suratku Untuk Dunia

Surat kepada dunia,
Yang pernah ditulis kepadaku, --
Kabar sederhana yang Semesta ucapkan,
Lewat kelembutan maha agung.

Pesan yang ia serahkan
Demi kedua tanganku yang tak bisa melihat;
Demi cinta kepadanya, negarawan yang jelita,
Panggil aku dengan lembut!



Silsilah Madu

Silsilah madu
Tidaklah melulu soal lebah;
Setangkai semanggi, setiap saat, padanya
Adalah kemaha-megahan






*Sumber gambar: http://fineartamerica.com/featured/emily-dickinson-watercolor-portrait-fabrizio-cassetta.html

Semarang, 2015

8.10.2015

KEMATIAN POHON 1/4 ABAD*

:ode buat umbu

bersama ini, kukembarakan barisan sajak
yang luluh lantak terhisap oleh rimbun cahaya putik
di mekaran pendar kata-katamu;

bersama ini di hadapanku;
sebuah teras rumah yang dihuni oleh sebatang pohon
meminta masa lalu dikembalikan seperti mulanya,
tapi apatah arti kenangan itu seperti yang kini mukim
di keriputmu?

pangeran berkuda sumba tanpa parang
seolah menghampiri yang sedang berlarian
dari kejauhan kota; aku mengira itu dirimu
ternyata bayangan lain pantulan kuda-kuda
tanpa otot, sepatu, dan pelana

pangeran berkuda sumba tanpa parang
yang menyimpan duka dunia, kemanusiaan itu
menyerap percik keprihatinan di tanah kandungnya
sendiri; yang kerap menepi pada busa-busa bahasa
yang tiada berumah kecuali pada rahimnya, kata

bersama ini, serangkai pertemuan tak selalu dalam sua
pada sekian abad sekian mantra; berbatang kesunyian
yang getah potongannya telah sampai pada nadi-nadiku
:reranting kering. aku lain yang haus, cita lain
yang pupus; kehidupan lain.

beri aku tunas anginmu, pangeran.
agar lirih segala masa yang lewat






















2015
 *peringatan hari panjang umurnya

7.30.2015

BERITA ACARA PEMENANG SAYEMBARA SIWA NATARAJA AWARD I TAHUN 2015

(sumber dari facebook Siwa Nataraja pada tanggal 29 July 2015 at 01:30)


I. PEMBUKA
    Sayembara Sastra Nusantara SIWA NATARAJA merupakan program yang digelar oleh Sastra Welang Pustaka, divisi penerbitan sastra Teater Sastra Welang Bali. Sebagai program yang dirancang tahunan, Siwa Nataraja merupakan sayembara manuskrip ( kumpulan karya ) yang dibagi menjadi dua kategori yakni manuskrip puisi dan manuskrip cerpen. Berikut ini berita acara pemenang Siwa Nataraja Awards I.

    II. ISI

    2.1 SIWA CERPEN


    Untuk kategori manuskrip cerpen, tahapan yang dilalui oleh para peserta adalah sebagai berikut :
    1. Per 12 Januari 2014 Panitia Siwa Nataraja 1 menerima kiriman manuskrip melalui surat elektronik sebanyak 112 manuskrip.
    2. Dari 112 manuskrip kemudian diadakan penyeleksian oleh kurator Moch Satrio Welang yang menghasilkan 26 manuskrip cerpen yang lolos menuju Ring 2 Siwa Nataraja. Penilaian berdasar pada struktur cerita, penggunaan bahasa, pengolahan ide, teknik bercerita dan pesan yang ingin disampaikan.
    3. Panitia mengumumkan peserta yang lolos Ring 2 untuk mengirimkan manuskrip dalam bentuk hardcopy rangkap 4 untuk dewan juri Siwa Nataraja. Per 10 April 2015, dari 26 manuskrip yang lolos, panitia menerima kiriman 19 manuskrip dalam bentuk hardcopy,yang kemudian diserahkan kepada dewan juri manuskrip cerpen.
    4. Dewan Juri Manuskrip Cerpen Siwa Nataraja 1 yang terdiri dari Cok Sawitri, Damhuri Muhammad dan Moch Satrio Welang menentukan nominator dan pemenang manuskrip cerpen.


    2.1.1  CATATAN PENJURIAN MANUSKRIP CERPEN  

    Tidak gampang menentukan pemenang lomba dari sejumlah manuskrip kumpulan cerita, yang sebelumnya telah diseleksi oleh panitia Siwa Nataraja Award 2015. Dalam setiap manuskrip yang rata-rata menghimpun 3-5 cerita, bisa jadi ada 1 atau 2 cerpen yang memenuhi kualifikasi untuk terpilih sebagai pemenang, tapi sisanya bisa saja cerpen-cerpen yang bahkan untuk dipilih sebagai nominator saja hampir tidak mungkin. Oleh karena itu, sebenarnya jauh lebih gampang memilih cerpen yang berdiri sendiri ketimbang memilih draft buku antologi cerita pendek di mana mutu dan pencapaian masing-masing cerpen tidaklah bisa sama, dan tidak mungkin pula diukur secara rata-rata.

    Kesulitan semacam ini menjadi bagian penting dari kerja penjurian Siwa Nataraja kategori cerpen. Cerpen-cerpen dalam setiap manuskrip, sebagian besar memang memperlihatkan upaya-upaya eksperimental, baik secara tematik maupun dari aspek teknik penyajian cerita. Namun, hampir semuanya tidak berhasil mengeksekusi kisahnya hingga penyelesaiannya akhirnya terasa datar,  dan jauh aspek dramatik yang mengejutkan.

    Begitu pula dengan ungkapan-ungkapan prosaik yang digunakan oleh para penulis. Dalam beberapa cerpen terasa begitu menonjol, kuat, dan tajam, tapi sebagian besar cerpen terasa hambar bahkan sangat verbal. Berangkat dari kesulitan-kesulitan itu, maka kriteria atau parameter yang paling aman untuk memutuskan manuskrip kumpulan cerpen yang paling unggul adalah keterampilan berkisah.  Itupun bukan berarti semua cerpen dalam manuskrip yang terpilih sebagai pemenang, telah memenuhi kriteria tersebut. Adapun yang sungguh-sungguh memenuhi kualifikasi tersebut paling banyak hanya 3 cerpen untuk setiap manuskrip.

    Berangkat dari situlah, kami bersepakat untuk memutuskan bahwa pemenang Siwa Nataraja Award 2015 sebagai berikut :

    PEMENANG MANUSKRIP CERPEN:
    Penanggung Tiga Butir Lada Hitam di Dalam Pusar karya Niduparas Erlang.


    NOMINATOR:  Bebegig karya Langit Amaravati
                         Kisah Kusut di Kereta karya Setiyo Bardono
                         Di Angkot Mas Gondo karya Ken Hanggara

    Demikianlah berita acara ini yang dibuat atas kesepakatan dewan juri manuskrip CERPEN Siwa Nataraja 1 tahun 2015 yang dibuat tanpa ada proses surat menyurat karena itu keputusan dewan juri bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.

    Denpasar, 28 Juli 2015


    Damhuri Muhammad
    Cok Sawitri
    Moch Satrio Welang


    2.2 SIWA PUISI




    Untuk kategori manuskrip puisi, tahapan yang dilalui oleh para peserta adalah sebagai berikut :
    1. Per 12 Januari 2014 Panitia Siwa Nataraja 1 menerima kiriman manuskrip melalui surat elektronik sebanyak 165 manuskrip puisi.
    2. Dari 165 manuskrip kemudian diadakan penyeleksian oleh kurator Moch Satrio Welang yang menghasilkan 64 manuskrip puisi yang lolos menuju Ring 2 Siwa Nataraja. Penilaian berdasarkan pada kekuatan karya baik itu struktur puisi, kedalaman karya, pemilihan kata, kemurnian, sublimasi, dan pesan yang ingin disampaikan.
    3. Panitia mengumumkan peserta yang lolos Ring 2 untuk mengirimkan manuskrip dalam bentuk hardcopy rangkap 4 untuk dewan juri Siwa Nataraja. Per 10 April 2015, dari 64 manuskrip yang lolos, panitia menerima kiriman 45 manuskrip dalam bentuk hardcopy,yang kemudian diserahkan kepada dewan juri manuskrip puisi.
    4. Dewan Juri Manuskrip Puisi Siwa Nataraja 1 yang terdiri dari Joko Pinurbo, Warih Wisatsana dan Wayan Jengki Sunarta menentukan nominator dan pemenang manuskrip puisi.

    2.2.1 CATATAN PENJURIAN MANUSKRIP PUISI

    Salah satu tema yang tampak menonjol dalam manuskrip kumpulan puisi peserta lomba adalah pencarian jatidiri manusia di tengah gejolak perkembangan jaman. Tidak mengherankan jika diksi “pulang” dan “rumah”, misalnya, menjadi diksi-diksi kunci yang menjadi simpul atau benang merah yang menghubungkan satu puisi dengan lainnya. Renungan mengenai pergulatan mencari jatidiri itu bermuara antara lain pada sikap arif untuk tidak meninggalkan akar dan sumber-sumber spiritual yang membentuk pertumbuhan seorang pribadi di tengah lingkungan dan situasi jaman yang melingkupinya.

    Renungan mengenai sangkan paraning perjalanan hidup manusia itu disampaikan dalam gaya pengungkapan yang tetap berbasiskan lirik, yang dimodifikasi dengan mendayagunakan unsur-unsur narasi. Modifikasi lirik ini kemudian diperkaya dengan menggali dan mengolah unsur-unsur budaya lokal yang menjadi habitat penyair dan di sana-sini ada juga usaha untuk menampilkan objek-objek yang diambil dari dunia urban sebagai sumber penciptaan. Pada sebagian karya kreatrivitas dalam memodifikasi lirik ini mampu menghasilkan kesegaran ungkapan yang membuat kita yakin bahwa lirik masih menyediakan banyak kemungkinan untuk dibuat lebih variatif. Yang terutama masih harus ditingkatkan dan disiasati dengan lebih sungguh-sungguh adalah (1) menciptakan efisiensi berbahasa tulis dan (2) menghindari ungkapan-ungkapan klise yang bukan penyair pun bisa membuatnya.

    Jika Alusi ( Perjalanan Seratus Tahun ) dipilih sebagai yang terbaik, itu karena manuskrip ini mampu menyuguhkan refleksi dan kontemplasi mengenai pergulatan mencari jati diri dengan pengungkapan yang sublim, efisien, jernih, terang, dan tertata dengan baik atau koheren tanpa meninggalkan ketaksaan makna yang menjadi salah satu daya tarik puisi. Manuskrip ini di sana-sini juga mampu memberikan kejutan melalui perspektif atau cara pandang yang unik dan segar terhadap suatu objek atau peristiwa.  Satu hal lain yang patut dicatat dari manuskrip ini adalah kesungguhan penyairnya ini untuk berusaha menghindari susana klise dan monoton, baik melalui gaya pengungkapan maupun pilihan materinya.

    Berikut ini daftar pemenang Manuskrip Puisi

    PEMENANG MANUSKRIP PUISI :  Alusi ( Perjalanan Seratus Tahun) karya Alfian Fawzi

    NOMINATOR :  Malagi karya Soetan Radjo Pamoentjak
                          Rumah, Sebuah Perjalanan Panjang untuk Pulang karya Willy E. Cahyadi

                          I Thought I Saw Your Face Today karya Marsten L. Tarigan
                          Babad Pohon karya Zen Ar


    10 BESAR  : Akar Musim  karya Muchlis Darma Putra
                         Daun - Daun Malam karya Fahmi Diannafi Abdillah
                         Sebelum Menemu Rumahmu karya Ganjar Sudibyo
                         Buku Harian Kakek  karya Kurnia Hidayati
                         Lagu cinta yang Berantakan karya Willy E Cahyadi

    Demikianlah berita acara ini yang dibuat atas kesepakatan dewan juri manuskrip PUISI Siwa Nataraja 1 tahun 2015 yang dibuat tanpa ada proses surat menyurat karena itu keputusan dewan juri bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.

    Yogyakarta – Denpasar, 28 Juli 2015


    DEWAN JURI MANUSKRIP PUISI
    Joko Pinurbo
    Warih Wisatsana
    Wayan Sunarta

     III. PENUTUP

    Demikianlah BERITA ACARA pemenang manuskrip puisi dan cerpen Siwa Nataraja 1 yang dapat kami umumkan. Selamat kepada para pemenang, yang akan melanjutkan pada tahap selanjutnya yakni pembuatan buku Siwa Nataraja 1 tahun 2015 yang akan dihubungi oleh panitia. Melaju terus Sastra Indonesia!


    Denpasar, 28 Juli 2015



    Moch Satrio Welang
    Ketua Teater Sastra Welang

    MENGGAGALKAN RENCANA


    ia yang percaya mendengar sayup
    dari dekat pandangan kirinya
    semacam orkestra tua yang sisi nada-nadanya
    berulang, bukan main, bukan secara kebetulan,
    masa lalu yang lalu lalang di antara ruko-ruko
    mereka tak pernah lengang, sekalipun
    menjauhi ke mana sisi suara-suara lainnya

    langit yang lampau mencoba menggerakkan
    yang tak kasat mata di dalam batinnya sendiri;
    selain upaya untuk kembali jatuh mencinta
    putaran perjalanan di atas kepastian
    yang dilelahkan genggaman orang-orang

    kini sebuah rencana utuh telah ia bentuk
    tapi apa daya seperti kawanan babi dikutuk
    terjerumus ke jurang, yang-lalu itu merasuk
    semacam ramalan bintang jatuh. sungguh
    ia yang paham: ada yang tak ingin
    ditinggalkan melebihi lidah kenyataan


    2015

    7.22.2015

    MADAM


    madam, terbikin dari apakah itu cinta kini;
    ahasveros lain yang tak ingin lahir di dunia
    suatu masa di antara bayang-bayang shakespeare
    atau semacam petunjuk arah kisah-kisah picisan?

    sungguh di wajahmu, kami tak mampu memandang terlalu dalam
    sebab kami tak punya cukup ketelanjangan yang layak
    untuk disimpan ke dalam bunga-bunga kotak pikiran picasso;
    ruang-ruang gelap dan dihindari orang-orang,
    nasib yang disusui kesunyian itu sendiri

    modigliani, cinta lain kami adalah sisi dari hasil
    bahwasanya percintaan tak melulu bisa diberhentikan oleh
    paras siapapun, bahwasanya ia terlahir dari rahim imaji dalam
    derit pusaran waktu, yang kami pun tak pernah tahu
    kapan jarak bisa berkabar

    hingga derita telah semestinya bekerja
    rindu tetap tak bisa berbuat apa-apa
    pada kuas yang sama: ancaman sedang dipatahkan
    oleh seorang pelukis itali
    di sudut remang himpitan sebuah galeri perkabungan



    2015


    7.17.2015

    PERIHAL YANG MENDEKAT


    seperti sophie, mencipta rasa gumun yang tak henti
    aku dan kamu yang tak pasti;
    dalam biru langit menataplah
    sebab pada mulanya cinta itu sebongkah ratap
    yang jatuh untuk dipahat

    berkali kita dihadapkan pada sesuatu
    yang sama; perasaaan, pikiran, laku;
    sesuatu-sesuatu itu membentuk kita
    membantu mencipta sophie kecil
    yang dirancang mirip bagaimana
    riuh dunia mengasuh kita

    kini sebelum ada yang perlamban mendekati
    mari kita rayakan pertemuan-pertemuan
    yang kelewat perih, mari kita rayakan kepergian,
    barangkali di sana ada seri airmata
    sebelum manusia pertama mengenal bahasa dan cinta


    2015
    *sumber gambar: www.milton.edu