11.09.2015

MEMANDANGMU DARI KEJAUHAN


yang berjejal dan berikat masker. hanya di rute paling hibuk
ia menggantungkan kedua lengan saat berdiri pada sebuah bus
yang berusaha memasukkan hasil pembakaran di dalam tas ransel
dan seluruh agenda halaman buku pencari kerja. di sini kota
tempat teks puisi ditenggelamkan, ujar seseorang. itu tak
lebih bernilai daripada sampah-sampah yang dianggurkan

oleh karena keringat para sopir angkot menandakannya tegar
pada getar klakson yang nyaris tak putus-putusnya; ia
hanya percaya: selain ia mesti menyimpan keringat ibukota
separuh kaum gipsi telah mengantre tinggal di dalam dadanya

di sinilah rencana-rencana ditebar dalam pandangan bising
menghindari pikiran-pikiran picing. siapa sangka suatu masa
terlahir dari rambu-rambu dan rerupa pelanggaran yang biasa.
kita tidak bisa melarikan diri dari sumbu yang telah dijadikan
para pekerja sebagai daya atas nama suaka-bahagia 

langit kini memaksa orang-orang bernapas menggunakan
internet yang sebentar menyimpan kehendak bebas. lalu kita
hanya butuh memandang sebuah surga kecil ibukota:
sekumpulan bocah yang bermain burung dara di pinggiran terminal kota

memandangmu dari yang jauh; mendengar suara-suara
yang jatuh dari atap gedung penakar ketinggian, mengingkari
penyakit-penyakit pancaroba--mengemas sembilunya
biar udara kembali pada bahasa paling lugu dari kanak-kanak
yang masih alpa memandang riuh berita dan keluh derita


2015 

0 pembaca kata berbicara:

Posting Komentar

silakan rawat benih ini