PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

10.17.2009

MALAM SEHABIS PENGAJIAN


\ 1 \


Hutang melilitmu erat

Seerat bayimu pada kedua puting susumu

Sampai perutmu tak tahu apa itu lapar

Dan lapar tak peduli apa itu miskin.



\ 2 \


Malam sehabis pengajian

Tinggallah selarik harap di ujung doamu:


Aku tak ingin ucapkan selamat tidur kepada mimpi,

hanya kepada hutang aku berucap.



2009

10.13.2009

KOTA DI SKALA RITCHER


mendung pun jadi sebuah

mantera beraksara petaka

atas riak-riak kecil di

pesisir kelabu kotamu

bergoncang


:tersebab durga skala ritcher

berarak pada gerimis matamu


2009

9.30.2009

STATUS PUISI


Segudang kata ia timbun

Menjadi ikan-ikan kecil berkelayapan

Di pinggiran sungai penantian

Lalu berenang tenang, menghampiri

Kikisan bebatuan cerita


Sesampai,

Di seberang alis matanya

Ia rindukan perahu bulan

Tempat perenungan panjang:

Ikan-ikan menyelam di laut puisi


2009

9.27.2009

DUA MATA PEDANG MENOREHKAN WAJAHMU

Buat Bapak


Pak. Saya bukan dahan luka itu lagi. Tempo hari sudah saya arangkan bersama pohon-pohon kepahitan yang tumbang. Lantas, lekas menjadi abu. Setelah sebuah pedang tersepuh, arang-arang itu. Dan abu sesegera beranjak oleh arah angin ke mana. Tinggallah sebilah pedang tanpa penawar ketajaman. Pedang bermata itu bergerak lalu, di tangan seorang pembelajar sajak. Terbiaslah sinar-sinar mungilnya di sudut kata-kata pada dua sisi mata pedang, ruang saya menemukan wajahmu. Tanpa penawar ketajaman. Pak.


2009


9.23.2009

MUSIK HUJAN DI UJUNG SEPTEMBER`09

: pengamen-pengamen mungil


Hujan. Bergelimpang debur kata basah. Lantas menjadikannya bunyi-bunyian. Hingga terperangkap ia dalam sedekah getar senar. Di ruas-ruas jalan berhias rerambu. Menanti jejal pengendara pada ketukan henti.


Hujan. Bergelimpang debur syair dingin. Mengerangkan cuaca yang hampir bimbang di perhetian separuh pelangi. Terguratlah para pemantik dawai melebur di teras-teras pengungsian. Dipetiknya bimbang itu.


Hujan. Bergelimpang debur musik air. Bertamburan di kisi-kisi dedaun pisang yang kita pegang. Dan kita usir dengan gelak tawa bersama kepingan uang simpanan kita. Dua sisi. Melekatkan kita akan orkestra jiwa-jiwa kecil di bulan itu.


2009

9.15.2009

SAJAK-SAJAK CATATAN RAMADHAN

RAMADHAN DI MEJA MAKAN


Maaf, hamba tak sempat tanyakan permohonan pada pohon-pohon mangga di pekarangan masjid. Setelah ramadhan datang mendadak, menebangi mereka untuk dijadikan lahan berbuka bersama para tukang ojek yang kerap mengosongkan tangki bensin demi mengisi piring istri-anaknya. - Setidaknya, hamba dan para tukang ojek selalu mengenangnya di meja makan setelah magrib -

2009


RAMADHAN DI PEMBAKARAN LOKALISASI


Mau apa lagi. Rumah-rumah bordir berkepala seng di sudut itu, kini telah tiada. Semenjak pekat kelabu asap membumbung menguap-lenyapkan persinggahan itu. Kita tinggal diam saja, sembari melupa halaman hitam kisah klasik kita. Melupa tayangan video tentang teriak anak yatim di antara kepungan puing kemarahan memanggil mamahnya, entah ke mana. Biar saja televisi, radio, kipas angin, kasur dan selimut kita dijarah. Biar saja, sebab kita masih memiliki dompet berisi lembaran kupon masa penebusan yang tak terbawa api.

2009




RAMADHAN DI ANTREAN JIRIGEN AIR


Setiap hari, kita coba menyambung tali-tali harap pada simpul sujud di musim kerontang. Kita memanjatkan hujan di kamar-kamar guguran doa kita yang berlantaikan kemarau. Selepas sahur, kita turut mengantrekan jirigen-jirigen doa kosong kepada petugas air bersih. Meski lama menanti literan air mengisi, sama halnya menanti suara adzan magrib di bulan kita.

2009


RAMADHAN PADA LEMBAR TIKET KERETA


Sore semakin jingga, sementara engkau setia berkutat melengkapi syarat-syarat menuju kampungmu. Usai menyantap puasa, sajak khawatir kepada tuhanmu engkau biarkan terias di wajah-wajah loket stasiun. Di judulmu tentang selarik tanya tanpa jawab: Masih Bisakah Selembar Tiket Pulang Kutemu?



2009


RINGKASAN RAMADHAN


Secarik doa maaf mahal

kepada ayah-bunda

dan sanak saudara

tak lupa dilipat rapat untuk

engkau bacakan di hari itu.

2009



MENYANTAP SABIT DI RAMADHAN


Engkau berjabat pada potret masa lalumu

di bingkaian album bulan keramat

sembari berbuka dengan cita kecil.

- sesantap rembulan sabit, tak sadar terekam oleh pigura foto doamu -


2009


CERAMAH : TAK HARUS PULANG


Di negeri tetangga,

majikanku bertubi melepas ceramah

pada ujung purna ramadhan :

dikau tetap di sini

mengasuh perayaan maafku

supaya bertambah dewasa.

2009


REFLEKSI


Apakah saya senantiasa

bersedekah di bulan itu

atau ramadhan bersedekah

di bulan saya.

2009


DOA


Engkau semayamkan pujamu di

bulatan-bulatan tasbih mungil

berselaput tangis kecil

pada malam kerinduanmu.

2009

9.12.2009

SAJAK-SAJAK LIMA WAKTU


RITUS PAGI


Selepas subuh, kita meminta kabut kepengemisan kita untuk mengusir dingin yang sendiri. Kita melipat selimut mimpi yang berembun sisa puisi doa kita tadi malam. Kita membuka gulungan-gulungan karung goni yang lama tersimpan di masa pembantaian ladang, tempat keringat kita memekarkan ribuan bunga tidur. Kita menuju sebuah pondok wedang yang biasa kita singgahi. Dan kita berceloteh tentang kisah para gepeng yang dimabuk harta. Sekedar pembicaraan kecil sebagai tanda pagi kita bertunas harap. Kita pun meminum perlahan sembari berdahaga pada pesan iringan matahari kita.

2009




RITUS SIANG


Selepas zuhur, melodisme gitar para pengamen kita kurungkan pada sangkar belas kasihan yang sempat kita pungut di terminal bus. Lalu kita menari dengan tabuhan bait-bait mazmur sengat matahari dan denting senyum pada koin-koin angan yang kita dapat di pentas tengadah tangan-tangan, dekat rambu-rambu lalu lintas, tempat singgah angkutan dan panti penitipan doa. Di sanalah, rerintik keringat menguyupkan kita, hingga kita tak mengenal wajah-wajah kian kerontang dan tertunduk setia dari panembrama matahari kita. Di sanalah, kita menulikan diri dari bisikan jerih kita dengan tawa-tawa jelata supaya kita tak melukis garis-garis pelangi airmata di kanvas hikmah kita.

2009




RITUS SENJA


Selepas asar, kita menghitung kepingan lelah terbaring oleh telapak tangan kita. Di rerintihan jalanan setapak, pada bebatuan yang tertindih rerumput dan belukar, kita kembali di ruang persimpangan. Kita bergelut pada musik-musik senja yang menyalak. Kita senyapkan nada kelabu dan berdiri tanpa ragu pada gerimis rindu. Lalu kita sekap kebuntuan kompas kita atas waktu yang sebentar menyimpan matahari kita. Dan menyulut kata: kita bukanlah anak-anak bermata kompas, kita anak-anak bermatakan senja. Kepada senjalah kita berjabat tangan menaruh cerita, kisah berani kita tentang pelarian dari nasihat para aparat. Terendap lalu di kepekatan separuh putung rokok, gelas-gelas teh setengah isi dan kesenjaan doa-doa jingga kita.

2009




RITUS PETANG


Selepas magrib, kita sandarkan seutuhnya kepada album lantai-lantai tak bersandang di bawah lelampu remang berkerumun laron-laron lapar cahaya. Kita menyiul-nyiulkan nyanyian “habis terang terbit keredupan” pada bulatan rembulan yang sebentar tiba menyambut ritual kita. Lalu kita menagih janji, upahmu pada gemintang yang terselip di gelap, upahku pada bulan yang terbias di samar. Kita lupakan kewajiban akan apa yang menjadi milik ladang petang. Kita hanya mengingat apa yang menjadi milik pekarangan saudara-saudari kita. Trotoar-trotoar, teras ruko, pondok wedang dan jalanan setapak kita. Dengan baju dan celana petang kita busanakan mereka agar tak terlalu telanjang di perayaan keterlantaran kita.

2009




RITUS MALAM


Selepas isya, kita mengabarkan kesimpulan pagi, siang, senja dan petang kepada kesepian tembok-tembok terowongan. Kita mencat-tintakan banyak kata berandal, pelampiasan akan setiap sujud yang kita pikir gagal. Padahal, tak lupa kita akan rangkuman hukum perjanjian baru di kitab cinta: sayangilah para manusia jalanan, pengemis, pengamen, pemulung dan gelandangan, seperti engkau menyayangi kemiskinanmu.

Selang sebelum kita meneduhkan diri di ladang pohon bunga tidur, kita berunggun bersama. Bercengkerama pada puisi doa tanpa segenggam tanya; kenapa kita berada.


2009

9.06.2009

MEMORI KECIL DI SEPTEMBER



Bisakah kita ingat payung-payung di penghujan

Terdampar di teras kedai-kedai bir

Semenjak turnamen petaka dimulai

Oleh penyihir jelata

Menyulap segelas wiski kita menjelma darahmu



2009

9.01.2009

PUISI DI KABARET


Tarian kalian hidangkan meriah pada gemerontang mars piring-piring dan gelas-gelas lapar akan pemiliknya. Di ruang itulah aku bersulang dengan kalian, para pemabuk tradisi. Menyambut lembaran puisi yang kita adatkan semenjak sayembara kabaret tanah air dimulai.



2009

8.28.2009

MIMPI DI PONDOK LAMUN

Kesudahan hari itu membuatmu terdampar di pelosok cita. Beranjaklah kau menuju pondok lamun. Di situ kau bermimpi tanpa melerai perkelahian antara detik jam tanganmu dan detak jam kepalamu. Setidaknya mimpimu menjadi batas ruang mereka.



2009

8.20.2009

JALUR YANG BIASA



Ia masih berkutat pada jalur yang biasa. Di jalanjalan sepi. Hanya dua pengamen mampu membelah kebisuan trotoartrotoar bercat pucat. Ia berharap pada permainan sebuah gitar dan gendang milik mereka, supaya sajaknya tak lepas kendali dari jalur yang biasa.



2009

8.18.2009

SURGA, BERILAH KAMI ILMU REZEKI SETIAP HARI

: tuhan kami di dunia



Seharian kami rela berpeluh bersama. Menyeka kucuran embun keringat kami. Teras-teras toko ibunda kami, mendekap diri kami. Dari rerintik air yang menguyupkan kami. Dari petang yang tak henti mengejar kami di sisi doa-doa kepada gemintang dan rembulan. Jalanan ayahanda kami, menyiapkan diri kami. Untuk sekedar menuang uang receh di kantung-kantung kemarau kami. Untuk berguru pelajaran kasihan pada tangan-tangan setiap pengendara yang lewat di sisi lampu merah-kuning-hijau.


Seharian kami rela berpeluh bersama. Menyeka kucuran embun keringat kami. Surga bukan milik kami, juga mereka. Tapi, penciptalah. Kami pun bukan anak-anak surga. Kami hanya murid yang setiap dentang waktu belajar meneriakkan ilmu rezeki pada pelajaran surga, bahkan neraka. Meski tak banyak tahu ilmu kami. Tapi kami tahu, surga tak pilih kasih seperti tuhan kami di dunia. Hanya itu.



2009

8.16.2009

SAJAK SAJAK `45

MALAM DI KIBAR RAYU PULAU KELAPA

: 64 tahun tanah persada

Setengah abad lebih, kita duduk menenggak gelasgelas panembrama para ksatria. Bersama mereka. Rayuan belatibelati tanpa sarung di degup peluk. Rayuan pusakapusaka tanpa mantra di ujung genggam. Rayuan satuan-satuan doa tanpa takut di palung hati menuju tepian bibir. Rayuan langkah-langkah tanpa bungkuk di gelegar jalanan.


Setengah abad lebih, kita berpacu di pesisir pulau pejuang. Bersama mereka. Rayuan para pengikat kepala. Rayuan para pelempar bambubambu runcing. Rayuan para peneriak surga. Rayuan para nahkoda layarlayar samudera. Rayuan para penganyam bendera. Rayuan para pelantun pertiwi.


Setengah abad lebih, kita bermalam di gemuruh kelebat bendera tanda jasa. Bersama mereka. Kita berkibar. Pada anginangin rayu dan langitlangit perkasa. Nyiur pulau kelapa yang kita rindu dalam satu.


2009



MEMOAR UNTUK KITA

Sejak dulu, kita adalah bangsa. Kita telah meniti di garisgaris perang. Di medan tempat kita menengadahkan kepala. Tempat kita bergotong memanggul dan merakit senjatasenjata. Tempat kita menggendong para kawan yang berjatuh sakit atau menutup mereka dengan tangis.


Kita telah tersimpan. Dalam segudang buku sejarah. Dalam museum bingkaibingkai kepahlawanan. Dalam kenangan nisan liangliang kubur.


Sampai kini, kita adalah bangsa. Kita tetap meniti di garisgaris perang. Di medan tempat kita menundukkan kepala. Tempat kita bergotong memanggul balada tangis tanah kita. Tempat kita memejam mata di segala kepunahan atas penjajahan yang bisa terjadi.


2009



BETA PUNYA BENDERA

Beta punya bendera. Sewaktu tanah beta dikoyak gelegar para pendatang. Bendera beta naikkan di tiangtiang perjuangan. Bendera beta bawa lari. Di depan sana. Di kobar koar para pelawan kakikaki asing berdesing.


Beta punya bendera. Bendera beta bawa lari, ke mana beta bergema di tanah persada.


2009



KAMI GENERASI BAMBU RUNCING BARU

Kami adalah bambubambu muda. Yang dengan perkasa, meruncingkan diri lewat pisau dan belati.


Kami adalah bambubambu muda. Yang dengan gagah,

menikam tubuhtubuh bengis tanpa nama di terra kami.


Kami adalah bambubambu muda. Yang dengan perkasa, menenteng mayatmayat tak bertuan di makam kami.


Kami adalah bambubambu muda. Yang dengan gagah,

tegap menancap di gulungan reformasi.


Kami adalah bambubambu muda. Yang dengan perkasa, menyebut generasi dengan runcingruncing baru.


Kami adalah bambubambu muda. Yang dengan gagah,

memasung diri kami ke dalam tanah air bergelimpang pahlawan.


2009



SURAT KEPADA PANGERAN

Pangeran yang mulia,

Kita telah menunggangi kudakuda sejati. Memanah, menikam bersama. Kita telah setia menjaga lahanlahan para petani, rumahrumah rakyat dari gerilya musuh, juga lembaranlembaran wasiat dari bolabola api.


Kita telah memastikan. Musuh lari terbirit-birit. Melihat pasukan solid kita menggempur dalam bara dan tak mudah dibelah.


Dengan demikian selesailah pertempuran kita. Namun satu hal yang perlu engkau ingat di tempat peristirahatanmu. Kita bukanlah pahlawan tanpa tanda jasa.


Salamku,

Tanah tumpah darahmu.


2009



TANAH BERPASIR JUANG

Tanah ini bukan tanah biasa. Bukan sekedar pijakan manusia belaka. Bukan hanya pelataran tempat lahirnya gedung-gedung, kantor–kantor dan rumah-rumah bertingkat dengan kemegahan semu. Bukan.


Tanah ini bukan tanah biasa. Bukan pula tempat memendam segala yang mati atau hidup. Ini adalah tanah tanpa hiasanhiasan permadani maya lambang manusia pelupa sejarah. Ini adalah tanah beratas pasir juang. Di mana leluhur menaruh cinta pada setiap butirnya.


2009



TAHUN `45

Di tahun `45, para ibu bekerja keras menyeka jutaan airmata para suami dan anaknya. Melaparkan diri demi bulir-bulir padi dan umbi-umbi ketela milik lahan mereka. Demi susu nyanyian ronta para bayi.


Di tahun `45, para ayah bekerja keras menyeka jutaan airmata para ibu dan anaknya. Memperkasakan diri demi rumah-rumah dari para penjarah dan pemungut kedamaian. Demi kuntum-kuntum wasiat bumi.


Di tahun `45, para anak bekerja keras menyeka jutaan airmata para ibu dan ayahnya. Menggembalakan dirinya dari kawanan domba di antara raung-raung serigala kebebasan. Demi menyelamatkan yang hilang dari dirinya, juga mereka. Kemerdekaan itulah.


2009


8.14.2009

KEPADA ANANDA


Tibalah waktu guntingan-guntingan sajak engkau temu,

di sepasang alas kaki ibumu. Semenjak engkau membingkai renungan kelahiran dua sajak kembar. Merekalah wanita dan kompor.


Ananda, jangan lupa engkau rekatkan kembali dirimu pada sobekan-sobekan itu. Sesaat, engkau segera saksikan: sajakmu beranak-cucu di telapak kaki ibumu.



2009

KE MANA SEKERANJANG ITU



Aku kenyang oleh perayaan semalam. Di ranjang rembulan sabit, tempatku melahap mereka. Sepiring bunga tidur dan segelas pelangi. Hanya saja, aku bimbang; mengapa sekeranjang hati tak bersisa di talam pelaminanku.




2009