PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

9.07.2015

NOTIFIKASI PEJALAN



memikirkanmu terlalu dalam di antara keramaian
rasanya aku ingin dibawa pada tikungan-tikungan
tanpa tanda-tanda serupa anak panah dalam lingkaran,
yang mungkin belum sungguh aku mengerti
bahasa siapa bahasa macam apa;

pada sebuah bundaran yang kita pun tahu, tempat itu
tempat orang-orang meletakkan rasa gusar untuk sementara
memeram penghiburan memotong rasa sunyi melupakan
alamat pulang. kita jadi lumrah meniadakan segala pendar
perasaan yang dipantulkan mata orang-orang.

baiklah kita seperti para pejalan, mengungsikan ingatan
menuju nama-nama tempat dan apapun yang berlalu,
memikirkanmu di antara berjejal kabar:
kerumitan yang kita pun tak bisa menolaknya,
Ping!!!


2015




9.04.2015

REPERTOAR OBROLAN 24 JAM


Malam hari di suatu Kota, seorang kawan mengajak saya berkunjung ke kediaman Pak Iman. Ke rumah kecilnya yang bermukim di antara orang-orang kos. Dekat pusat kota.Obrolan telah berlangsung ketika saya dan seorang kawan baru saja datang. Pak Iman memang sudah berumur, tapi semangatnya untuk menularkan ilmu yang ia miliki tidaklah putus. Beliau semakin dikenal sebagai seorang budayawan, sastrawan, penyair, penulis cerita anak (kalau yang satu ini saya baru tahu setelah berkunjung malam itu). Pak Iman biasa menyambut para tamu di teras kosnya. Duduk ngopi, udud bersama.

Saya tidak baru pertama kali datang ke kediaman Pak Iman. Ini kali kedua, hanya saja malam ini lebih ramai dengan orang-orang yang ingin bersua. Saya dan seorang kawan yang saya ajak kemudian turut duduk bersama di teras itu. Dan saya pun mencoba mulai mencatat dalam otak, ucapan-ucapan yang disampaikan oleh beliau.

Waktu itu pembicaraan Pak Iman seputar makna konotasi dan denotasi. Tema yang pernah diangkat di sebuah forum di PKKH UGM. Adapun konotasi semakin bertebaran di bahasa manusia sehari-hari kini, khususnya Indonesia. Kosa kata yang kerap kali dipakai dalam bahasa prokem sehari-hari setelah ditelisik lebih lanjut ternyata bukan merupakan makna yang sebenarnya (dalam arti denotasi) melainkan konotasi (makna kias). Fenomena seperti yang kemudian membuat orang-orang bahasa mesti memperhatikan lebih dalam bukan sekedar membuat revisi kamus bahasa. Tidak hanya berhenti pada bahasa sehari-hari lewat komunikasi verbal, adanya iklan di baliho yang sekarang semakin marak, juga menjadi bahan perhatian. Demikian perihal bahasa konotasi menjadi masalah yang krusial manusia sekarang. Kata semakin jauh dari makna yang sebenarnya, kata semakin kental dengan kiasannya. Seperti misalnya berdandan. Makna berdandan menjadi semakin menjauh dari makna sebenarnya, berdandan menjadi semakin bias karena perilaku orang-orang dalam berdandan yang menjurus ke idealisme boneka maniken. Orientasi-orientasi yang demikian menjadi makna semula menjauh dari kata itu sendiri. Persoalan seputar memaknai kata menjadi semakin rumit karena hampir sebagian orang berkomunikasi dengan demikian. Ya, seperti lingkaran setan. Ini baru contoh kosa kata pertama, belum yang lain. Seperti misalnya bertemu. Pertemuan menjadi makna denotasi bilamana ada tatap muka, bukan lewat perangkat media. Memang di satu sisi, saya menyetujui apa yang dikatakan beliau, namun di satu sisi bisa juga menjadi koreksi bahwasanya di pelajaran bahasa Indonesia terdapat peliyorasi dan ameliorasi. Penyempitan dan perluasan makna (dalam konteks tertentu). Kedua istilah tersebut yang kemudian bisa menjadi batas konotasi dan denotasi yang dibicarakan.

Tidak hanya melulu berbicara soal konotasi dan denotasi, pun tidak disebut Pak Iman jika tidak ada pepatah yang dilumerkan dalam obrolan. Beliau sempat mengisahkan tentang adegan ramayana. Kira-kira begini jika saya kisahkan ulang: Ketika Anoman menjaga Rahwana yang sedang dihukum. Anoman berucap kepada Rahwana, tidurlah rahwana kau tidak akan bisa lepas dari hukuman abadi ini. Selang kemudian Rahwana berucap, Anoman, Anoman, tidurlah, kau tidak akan memiliki keturunan karena kau hanya seorang diri, tapi dunia akan dipenuhi oleh rahwana-rahwana lain. Demikian kisah itu dimaksudkan untuk menggambarkan keadaan dunia sekarang. Tema tersebut kemudian mengarahkan pembicaraan menuju zaman kalathida. Beliau kemudian menceritakan tulisannya yang pernah dimuat di Suara Merdeka, terkhusus, beliau merujuk kepada warga Semarang. Tulisan tersebut menyoal rasa malu yang kini semakin tipis di dalam diri manusia. Rasa malu yang dimaksud adalah malu terhadap perilaku yang buruk. Beliau mengungkapkan bahwa lemahnya rasa malu tersebut mulai dicontohkan oleh para aparatur negara. Perilaku yang buruk itu pun kemudian dianggap biasa dan dibiarkan terus menerus muncul. Ini semua menjadi pertanyaan, kemudian kita mesti bagaimana?

Ada perihal-perihal yang kemudian diceritakan oleh Pak Iman. Beliau orangnya gampang bercerita panjang-lebar. Sampai suatu ketika saya bersama beliau hampir 12 jam. Namun, di kesempatan yang agaknya merdeka ini saya ingin mencoba 'membaca' apa yang diucapkan beliau ketika membalas sms teman Beliau. Begini kira-kira: "Belajarlah dari tumbuhan yang tabah dan tetap tumbuh ketika dipangkas, belajarlah kejujuran dari hewan, dan kecerdasan dari manusia."

Sampai jumpa di lain kesempatan, Romo.
"Ngelmu iku kelakone kanthi laku"


Yogyakarta, 2015




8.30.2015

NUKILAN MANUSKRIP "ANTOLOGI SEBELUM MENEMU RUMAHMU"



*beberapa tubuh sajak ini merupakan nukilan dari manuskrip "antologi sebelum menemu rumahmu", yang mana sempat memperoleh posisi sepuluh besar terbaik di ajang sayembara siwa nataraja award 2015 tempo lalu. publikasi ini semacam upaya penghargaan terhadap para sajak yang telah sedia mengikutsertakan dirinya:



IMPERASI DERMAGA

laut ibumu, telah lama menyusui kejatuhan cahaya
dan secara beraturan menggelindingkan pendarnya
dalam lengkung gelombang menuju pandanganku,
pandangan yang kemudian susut
terpelanting sejauh kapal-kapal angkutan
melampaui jeratan lanskap mata.

inikah namanya bagian yang tak terkatakan
atau tak tercatat sebab ia senantiasa kehilangan
tempat?

kail--yang bergerak sendiri sampai tambat pada arus ikan;
masa lalu yang berjalan tertatih, pelan-pelan jelma umpan
lalu diperas cahaya tua pada jarak tertentu
menghilang seperti ikan-ikan

waktu yang tak pernah padam, kita yang bertaruh rindu
ingat, pancingmu yang pernah bergoncang kecil
di dermaga tempat beberapa orang datang sekedar
membuang pandangan tak penting;

menjauhlah dari tipu gelombang
mendekatlah pada laut ibumu
yang kedalamannya belum benar kau kenali





CINTA PERTAMA MANUSIA DIGITAL

ular kesekian telah sengaja dicipta di alam tubuh kami
dan dunia bising membuatnya pertanda:pasangan
pertama berjenis manusia bermata cahaya
layar-layar digital. sebab kami baru saja jatuh cinta,
semoga tak ada kehidupan bunyi-bunyi monitor
untuk melarang apapun sebagai cinta pertama
yang pokok bijinya tetap sama. di firdaus baru:
lanskap jaringan sosial, tanah tempat mark zuckerberg
menggaruk-garuk kepala penciptanya





KEPILUAN PURBA

pada debu
pada sore
pada hujan
pada langit
dan segenap berita-berita di televisi
politik;
kemiskinan adalah saudara kandung kita
yang berwajah cemas

pada umat manusia
perasaan-perasaan tuhan
berjatuhan
sedalam-dalam semesta




MENYANGSIKAN YANG TAK PASTI

“but uncertainty is more beautiful still”
(wislawa szymborska)

siapa tahu angin ke mana, itu sebabnya
aku mulai tak merindukan apa-apa
selain mencari pecahan mimpi yang sirna;
pandangan kini yang condong ke utara
telah menyediakan maksud:
masa depan, kau tak perlu takut
ada sejumlah lentera yang dibikin gadis kecil
pendongeng korek api, ia bisa menyalakan
peta masa depanmu hingga kau tak merasa
terlalu sunyi di dalam pikiranmu sendiri.

masa telah menyebabkanku beriman pada angin
pada dongeng-dongeng yang gelap
sebab runtutan bencana tak tentu seperti rencana,
mereka telah sedemikian rupa membuatku
murtad terhadap diriku sendiri





HEADLINE DI BERANDA TUA

1.
sebuah pencarian tak akan lepas dari kilasan fana
pesan-pesan warisan yang tak sampai karena hidup
penuh dengan pandangan-pandangan yang ngadat
seperti tubuh prosesor tahun 90-an;
untuk sampai pada manusia utama, era hasrat nikmat
mesti dikaburkan, dilesatkan dari mata hening suryomentaram
atau jauh dari petasan nasihat derita sasrokartono.
tapi, tuan-puan, mungkinkah itu bisa dinyatakan
sebagai pengunguman penting
di antara kepadatan pasar-pasar terbuka?

2.
rupa-rupa lahir semakin tak murni,semakin tak tampak
dari jerih payah para pemahat arca-arca yang hilang
di museum, arsitektur rumah-rumah joglo yang kini
dipelihara orang asing

para pribumi yang tak mengindahkan
lengan-lengan etika para filsuf yunani
atau kaki-kaki ajaran serat-serat yang dibeli
oleh aurat para kolektor, mereka mencoba
mencari-cari semar yang terjebak
pada cahaya-cahaya kecil di lorong-lorong
cemasnya sendiri sebelum menjelma
foto-foto selfie

3.
seolah ada yang mencuri diam-diam
lalu perlahan menggali kuburan massal,
mempersiapkan monumen pahlawan kesiangan

pekik kehilangan akan indah pada waktunya,
tuan-puan!

lalu pada sebuah tatapan di headline koran
yang teramat lokal,
seorang tua tak mampu menghisap airmatanya
di beranda
:
jenazah kawannya (seorang kejawen)dilarang dikebumikan
di tempat pemakaman umum--tanahnya
sendiri



8.28.2015

BEBERAPA DARI EMILY DICKINSON


Emily Dickinson (10 Desember 1830 - 15 Mei 1886), penyair Amerika pada abad kesembilan belas yang lahir di Amherst, Massachusetts di sebuah keluarga terkemuka yang dikenal sebagai supporter lembaga pendidikan lokal. Kakek Emily, Samuel Fowler Dickinson, adalah salah satu pendiri dari Perguran Tinggi Amherst, ayahnya menjabat sebagai Pengacara dan bendahara di lembaganya. Selama kebangkitan agama yang melanda Massachusetts Barat pada era 1840-1850, Dickinson menemukan panggilannya sebagai seorang penyair. Salah satu penulis biografi dirinya menyatakan bahwa Dickinson memilih untuk menjadi penyair yang menggulati Malaikat dalam Kitab Yakub. Sebagian besar karyanya tidak hanya mencerminkan saat-saat kecil tentang apa yang terjadi di sekelilingnya, tetapi juga dari tema pertempuran dan tema dari apa yang terjadi dalam masyarakat. Sebagai contoh, lebih dari setengah dari puisinya ditulis selama tahun-tahun selama Perang Saudara Amerika. Pada saat hidup, tidak lebih dari 7 puisi Dickinson yang diterbitkan di antara 1.776 puisinya. Dickinson meninggal di tempat kelahirannya di Amherst, Massachusetts. Berikut ini saya terjemahkan secara alakadarnya beberapa puisinya yang terkumpul di Coradella Collegiate Bookshelf Editions:


Kemarilah Perlahan, Eden!

Kemarilah perlahan, Eden!
Bibir yang melekat padamu,
Yang canggung, menghisap melati daripadaMu,
Sebagai lebah yang pingsan,

Menyentuh di ujung bunganya,
Memutar dengung tubuhnya,
Menghitung nektar -memasukinya,
Lesap dalam cairan!



Hidupku Terpejam Dua Kali Sebelum Dipejamkan

Hidupku terpejam dua kali sebelum dipejamkan;
Hidup yang masih juga belum bisa melihat
Bilamana Keabadian menyingkapnya
Sebuah dunia ketiga datang kepadaku

Sedemikian besar, sedemikian sia-sia dalam angan,
Karena ini kali kedua yang menimpa.
Perpisahan adalah surga yang semua kita tahu,
Dan semua yang kita butuhkan dari neraka.



Sukses adalah Hitungan Termanis

Sukses adalah hitungan termanis
Oleh mereka yang tak pernah berhasil.
Untuk mengerti sebuah kemanisan
Mengharuskan perih kebutuhan.

Tak satupun dari semua tuan kemenangan
Yang mengambil bendera hari ini
Bisa mengungkap arti itu,
Jadi jelas, kemenangan

Saat ia, sekarat, dikalahkan,
Padanya pendengaran yang terlarang
Bentangan yang jauh dari kemenangan
Mematahkan dan membersihkan yang menderita!



Jiwaku, kita akan melupakannya!

Jiwaku, kita akan melupakannya!
Kau dan aku, malam ini!
Kau barangkali lupa kehangatan yang ia curahkan,
Aku akan melupakan cahaya.

Ketika kau telah melakukannya, doa yang mengatakan padaku
Bahwa aku bersama pikiranku bisa saja redup;
Gegaslah! agar saat kau sedang di belakang
Aku mungkin saja mengingatnya!



Ini Suratku Untuk Dunia

Surat kepada dunia,
Yang pernah ditulis kepadaku, --
Kabar sederhana yang Semesta ucapkan,
Lewat kelembutan maha agung.

Pesan yang ia serahkan
Demi kedua tanganku yang tak bisa melihat;
Demi cinta kepadanya, negarawan yang jelita,
Panggil aku dengan lembut!



Silsilah Madu

Silsilah madu
Tidaklah melulu soal lebah;
Setangkai semanggi, setiap saat, padanya
Adalah kemaha-megahan






*Sumber gambar: http://fineartamerica.com/featured/emily-dickinson-watercolor-portrait-fabrizio-cassetta.html

Semarang, 2015

8.10.2015

KEMATIAN POHON 1/4 ABAD*

:ode buat umbu

bersama ini, kukembarakan barisan sajak
yang luluh lantak terhisap oleh rimbun cahaya putik
di mekaran pendar kata-katamu;

bersama ini di hadapanku;
sebuah teras rumah yang dihuni oleh sebatang pohon
meminta masa lalu dikembalikan seperti mulanya,
tapi apatah arti kenangan itu seperti yang kini mukim
di keriputmu?

pangeran berkuda sumba tanpa parang
seolah menghampiri yang sedang berlarian
dari kejauhan kota; aku mengira itu dirimu
ternyata bayangan lain pantulan kuda-kuda
tanpa otot, sepatu, dan pelana

pangeran berkuda sumba tanpa parang
yang menyimpan duka dunia, kemanusiaan itu
menyerap percik keprihatinan di tanah kandungnya
sendiri; yang kerap menepi pada busa-busa bahasa
yang tiada berumah kecuali pada rahimnya, kata

bersama ini, serangkai pertemuan tak selalu dalam sua
pada sekian abad sekian mantra; berbatang kesunyian
yang getah potongannya telah sampai pada nadi-nadiku
:reranting kering. aku lain yang haus, cita lain
yang pupus; kehidupan lain.

beri aku tunas anginmu, pangeran.
agar lirih segala masa yang lewat






















2015
 *peringatan hari panjang umurnya

7.30.2015

BERITA ACARA PEMENANG SAYEMBARA SIWA NATARAJA AWARD I TAHUN 2015

(sumber dari facebook Siwa Nataraja pada tanggal 29 July 2015 at 01:30)


I. PEMBUKA
    Sayembara Sastra Nusantara SIWA NATARAJA merupakan program yang digelar oleh Sastra Welang Pustaka, divisi penerbitan sastra Teater Sastra Welang Bali. Sebagai program yang dirancang tahunan, Siwa Nataraja merupakan sayembara manuskrip ( kumpulan karya ) yang dibagi menjadi dua kategori yakni manuskrip puisi dan manuskrip cerpen. Berikut ini berita acara pemenang Siwa Nataraja Awards I.

    II. ISI

    2.1 SIWA CERPEN


    Untuk kategori manuskrip cerpen, tahapan yang dilalui oleh para peserta adalah sebagai berikut :
    1. Per 12 Januari 2014 Panitia Siwa Nataraja 1 menerima kiriman manuskrip melalui surat elektronik sebanyak 112 manuskrip.
    2. Dari 112 manuskrip kemudian diadakan penyeleksian oleh kurator Moch Satrio Welang yang menghasilkan 26 manuskrip cerpen yang lolos menuju Ring 2 Siwa Nataraja. Penilaian berdasar pada struktur cerita, penggunaan bahasa, pengolahan ide, teknik bercerita dan pesan yang ingin disampaikan.
    3. Panitia mengumumkan peserta yang lolos Ring 2 untuk mengirimkan manuskrip dalam bentuk hardcopy rangkap 4 untuk dewan juri Siwa Nataraja. Per 10 April 2015, dari 26 manuskrip yang lolos, panitia menerima kiriman 19 manuskrip dalam bentuk hardcopy,yang kemudian diserahkan kepada dewan juri manuskrip cerpen.
    4. Dewan Juri Manuskrip Cerpen Siwa Nataraja 1 yang terdiri dari Cok Sawitri, Damhuri Muhammad dan Moch Satrio Welang menentukan nominator dan pemenang manuskrip cerpen.


    2.1.1  CATATAN PENJURIAN MANUSKRIP CERPEN  

    Tidak gampang menentukan pemenang lomba dari sejumlah manuskrip kumpulan cerita, yang sebelumnya telah diseleksi oleh panitia Siwa Nataraja Award 2015. Dalam setiap manuskrip yang rata-rata menghimpun 3-5 cerita, bisa jadi ada 1 atau 2 cerpen yang memenuhi kualifikasi untuk terpilih sebagai pemenang, tapi sisanya bisa saja cerpen-cerpen yang bahkan untuk dipilih sebagai nominator saja hampir tidak mungkin. Oleh karena itu, sebenarnya jauh lebih gampang memilih cerpen yang berdiri sendiri ketimbang memilih draft buku antologi cerita pendek di mana mutu dan pencapaian masing-masing cerpen tidaklah bisa sama, dan tidak mungkin pula diukur secara rata-rata.

    Kesulitan semacam ini menjadi bagian penting dari kerja penjurian Siwa Nataraja kategori cerpen. Cerpen-cerpen dalam setiap manuskrip, sebagian besar memang memperlihatkan upaya-upaya eksperimental, baik secara tematik maupun dari aspek teknik penyajian cerita. Namun, hampir semuanya tidak berhasil mengeksekusi kisahnya hingga penyelesaiannya akhirnya terasa datar,  dan jauh aspek dramatik yang mengejutkan.

    Begitu pula dengan ungkapan-ungkapan prosaik yang digunakan oleh para penulis. Dalam beberapa cerpen terasa begitu menonjol, kuat, dan tajam, tapi sebagian besar cerpen terasa hambar bahkan sangat verbal. Berangkat dari kesulitan-kesulitan itu, maka kriteria atau parameter yang paling aman untuk memutuskan manuskrip kumpulan cerpen yang paling unggul adalah keterampilan berkisah.  Itupun bukan berarti semua cerpen dalam manuskrip yang terpilih sebagai pemenang, telah memenuhi kriteria tersebut. Adapun yang sungguh-sungguh memenuhi kualifikasi tersebut paling banyak hanya 3 cerpen untuk setiap manuskrip.

    Berangkat dari situlah, kami bersepakat untuk memutuskan bahwa pemenang Siwa Nataraja Award 2015 sebagai berikut :

    PEMENANG MANUSKRIP CERPEN:
    Penanggung Tiga Butir Lada Hitam di Dalam Pusar karya Niduparas Erlang.


    NOMINATOR:  Bebegig karya Langit Amaravati
                         Kisah Kusut di Kereta karya Setiyo Bardono
                         Di Angkot Mas Gondo karya Ken Hanggara

    Demikianlah berita acara ini yang dibuat atas kesepakatan dewan juri manuskrip CERPEN Siwa Nataraja 1 tahun 2015 yang dibuat tanpa ada proses surat menyurat karena itu keputusan dewan juri bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.

    Denpasar, 28 Juli 2015


    Damhuri Muhammad
    Cok Sawitri
    Moch Satrio Welang


    2.2 SIWA PUISI




    Untuk kategori manuskrip puisi, tahapan yang dilalui oleh para peserta adalah sebagai berikut :
    1. Per 12 Januari 2014 Panitia Siwa Nataraja 1 menerima kiriman manuskrip melalui surat elektronik sebanyak 165 manuskrip puisi.
    2. Dari 165 manuskrip kemudian diadakan penyeleksian oleh kurator Moch Satrio Welang yang menghasilkan 64 manuskrip puisi yang lolos menuju Ring 2 Siwa Nataraja. Penilaian berdasarkan pada kekuatan karya baik itu struktur puisi, kedalaman karya, pemilihan kata, kemurnian, sublimasi, dan pesan yang ingin disampaikan.
    3. Panitia mengumumkan peserta yang lolos Ring 2 untuk mengirimkan manuskrip dalam bentuk hardcopy rangkap 4 untuk dewan juri Siwa Nataraja. Per 10 April 2015, dari 64 manuskrip yang lolos, panitia menerima kiriman 45 manuskrip dalam bentuk hardcopy,yang kemudian diserahkan kepada dewan juri manuskrip puisi.
    4. Dewan Juri Manuskrip Puisi Siwa Nataraja 1 yang terdiri dari Joko Pinurbo, Warih Wisatsana dan Wayan Jengki Sunarta menentukan nominator dan pemenang manuskrip puisi.

    2.2.1 CATATAN PENJURIAN MANUSKRIP PUISI

    Salah satu tema yang tampak menonjol dalam manuskrip kumpulan puisi peserta lomba adalah pencarian jatidiri manusia di tengah gejolak perkembangan jaman. Tidak mengherankan jika diksi “pulang” dan “rumah”, misalnya, menjadi diksi-diksi kunci yang menjadi simpul atau benang merah yang menghubungkan satu puisi dengan lainnya. Renungan mengenai pergulatan mencari jatidiri itu bermuara antara lain pada sikap arif untuk tidak meninggalkan akar dan sumber-sumber spiritual yang membentuk pertumbuhan seorang pribadi di tengah lingkungan dan situasi jaman yang melingkupinya.

    Renungan mengenai sangkan paraning perjalanan hidup manusia itu disampaikan dalam gaya pengungkapan yang tetap berbasiskan lirik, yang dimodifikasi dengan mendayagunakan unsur-unsur narasi. Modifikasi lirik ini kemudian diperkaya dengan menggali dan mengolah unsur-unsur budaya lokal yang menjadi habitat penyair dan di sana-sini ada juga usaha untuk menampilkan objek-objek yang diambil dari dunia urban sebagai sumber penciptaan. Pada sebagian karya kreatrivitas dalam memodifikasi lirik ini mampu menghasilkan kesegaran ungkapan yang membuat kita yakin bahwa lirik masih menyediakan banyak kemungkinan untuk dibuat lebih variatif. Yang terutama masih harus ditingkatkan dan disiasati dengan lebih sungguh-sungguh adalah (1) menciptakan efisiensi berbahasa tulis dan (2) menghindari ungkapan-ungkapan klise yang bukan penyair pun bisa membuatnya.

    Jika Alusi ( Perjalanan Seratus Tahun ) dipilih sebagai yang terbaik, itu karena manuskrip ini mampu menyuguhkan refleksi dan kontemplasi mengenai pergulatan mencari jati diri dengan pengungkapan yang sublim, efisien, jernih, terang, dan tertata dengan baik atau koheren tanpa meninggalkan ketaksaan makna yang menjadi salah satu daya tarik puisi. Manuskrip ini di sana-sini juga mampu memberikan kejutan melalui perspektif atau cara pandang yang unik dan segar terhadap suatu objek atau peristiwa.  Satu hal lain yang patut dicatat dari manuskrip ini adalah kesungguhan penyairnya ini untuk berusaha menghindari susana klise dan monoton, baik melalui gaya pengungkapan maupun pilihan materinya.

    Berikut ini daftar pemenang Manuskrip Puisi

    PEMENANG MANUSKRIP PUISI :  Alusi ( Perjalanan Seratus Tahun) karya Alfian Fawzi

    NOMINATOR :  Malagi karya Soetan Radjo Pamoentjak
                          Rumah, Sebuah Perjalanan Panjang untuk Pulang karya Willy E. Cahyadi

                          I Thought I Saw Your Face Today karya Marsten L. Tarigan
                          Babad Pohon karya Zen Ar


    10 BESAR  : Akar Musim  karya Muchlis Darma Putra
                         Daun - Daun Malam karya Fahmi Diannafi Abdillah
                         Sebelum Menemu Rumahmu karya Ganjar Sudibyo
                         Buku Harian Kakek  karya Kurnia Hidayati
                         Lagu cinta yang Berantakan karya Willy E Cahyadi

    Demikianlah berita acara ini yang dibuat atas kesepakatan dewan juri manuskrip PUISI Siwa Nataraja 1 tahun 2015 yang dibuat tanpa ada proses surat menyurat karena itu keputusan dewan juri bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.

    Yogyakarta – Denpasar, 28 Juli 2015


    DEWAN JURI MANUSKRIP PUISI
    Joko Pinurbo
    Warih Wisatsana
    Wayan Sunarta

     III. PENUTUP

    Demikianlah BERITA ACARA pemenang manuskrip puisi dan cerpen Siwa Nataraja 1 yang dapat kami umumkan. Selamat kepada para pemenang, yang akan melanjutkan pada tahap selanjutnya yakni pembuatan buku Siwa Nataraja 1 tahun 2015 yang akan dihubungi oleh panitia. Melaju terus Sastra Indonesia!


    Denpasar, 28 Juli 2015



    Moch Satrio Welang
    Ketua Teater Sastra Welang

    MENGGAGALKAN RENCANA


    ia yang percaya mendengar sayup
    dari dekat pandangan kirinya
    semacam orkestra tua yang sisi nada-nadanya
    berulang, bukan main, bukan secara kebetulan,
    masa lalu yang lalu lalang di antara ruko-ruko
    mereka tak pernah lengang, sekalipun
    menjauhi ke mana sisi suara-suara lainnya

    langit yang lampau mencoba menggerakkan
    yang tak kasat mata di dalam batinnya sendiri;
    selain upaya untuk kembali jatuh mencinta
    putaran perjalanan di atas kepastian
    yang dilelahkan genggaman orang-orang

    kini sebuah rencana utuh telah ia bentuk
    tapi apa daya seperti kawanan babi dikutuk
    terjerumus ke jurang, yang-lalu itu merasuk
    semacam ramalan bintang jatuh. sungguh
    ia yang paham: ada yang tak ingin
    ditinggalkan melebihi lidah kenyataan


    2015

    7.22.2015

    MADAM


    madam, terbikin dari apakah itu cinta kini;
    ahasveros lain yang tak ingin lahir di dunia
    suatu masa di antara bayang-bayang shakespeare
    atau semacam petunjuk arah kisah-kisah picisan?

    sungguh di wajahmu, kami tak mampu memandang terlalu dalam
    sebab kami tak punya cukup ketelanjangan yang layak
    untuk disimpan ke dalam bunga-bunga kotak pikiran picasso;
    ruang-ruang gelap dan dihindari orang-orang,
    nasib yang disusui kesunyian itu sendiri

    modigliani, cinta lain kami adalah sisi dari hasil
    bahwasanya percintaan tak melulu bisa diberhentikan oleh
    paras siapapun, bahwasanya ia terlahir dari rahim imaji dalam
    derit pusaran waktu, yang kami pun tak pernah tahu
    kapan jarak bisa berkabar

    hingga derita telah semestinya bekerja
    rindu tetap tak bisa berbuat apa-apa
    pada kuas yang sama: ancaman sedang dipatahkan
    oleh seorang pelukis itali
    di sudut remang himpitan sebuah galeri perkabungan



    2015


    7.17.2015

    PERIHAL YANG MENDEKAT


    seperti sophie, mencipta rasa gumun yang tak henti
    aku dan kamu yang tak pasti;
    dalam biru langit menataplah
    sebab pada mulanya cinta itu sebongkah ratap
    yang jatuh untuk dipahat

    berkali kita dihadapkan pada sesuatu
    yang sama; perasaaan, pikiran, laku;
    sesuatu-sesuatu itu membentuk kita
    membantu mencipta sophie kecil
    yang dirancang mirip bagaimana
    riuh dunia mengasuh kita

    kini sebelum ada yang perlamban mendekati
    mari kita rayakan pertemuan-pertemuan
    yang kelewat perih, mari kita rayakan kepergian,
    barangkali di sana ada seri airmata
    sebelum manusia pertama mengenal bahasa dan cinta


    2015
    *sumber gambar: www.milton.edu


    7.11.2015

    PERSEMBAHAN SEORANG KAWAN: AMAL BAYU RAMDANA



    PENGGOYANG LONCENG
    untuk ganjar sudibyo



    /1/
    Pertama bermula adalah malam.
    Diberkatilah, kau pendengar yang budiman.
    Sebelum itu, membran di telinga dan seluk-seluk
    jantungmu sudah kaupuasakan.
    Tanpa cemar cerita dari lahat dan pusar kota:
    Pengabar yang itu-itu juga; mencoleng akhir berita,
    nun menujumnya jadi sengketa — kau ingat,
    yang sana itu memerlukan kata-kata
    agar bisa bersiasat dalam satu upacara.
    Apalah, kau memang tidak senang bertanya.
    Yang sana itu boleh jadi butuh pengeras suara
    agar bisa turut serta dalam dunia yang digesa.
    Tak lebih, kau hanya suka memaklumi kantukmu
    sendiri, menyemai-nyemai bakal mimpi.

    Karena kau suka waktu pulang, suka jika tidak ada
    lagi yang menduga-duga-menjawab-menerjemahkan.


    /2/
    Betul, dia hanya suka membunyikannya sesekali,
    tidak ingin mengenal sebentuk hirukpikuk
    yang entah telah dinasibkan dalam arisan, layar tv,
    lampu merah, jejalan ruang ganti — tapi tidak akan
    digaduhkan nostalgianya sendiri sebab tahu betul
    kepada apa alur jalannya. Ke pintu tidur? Jangan bertanya.
    Mungkin sebab sunyi saja yang bakal menguduskannya.
    Sungguh mungkin sebabnya dia karib dengan takzimnya
    sendiri ketika loncengnya berayun pelan —
    dan sama sekali tidak mau ingkar
    menukar bunyi lonceng itu dengan bunyi peluit
    pada sebuah dermaga dalam peta, atau bunyi
    burung kukuk yang masih saja bersarang di jam dinding
    sejak hari kelahirannya. Tidak terbang, tidak ke mana.

    Dia hanya suka membunyikannya demi mengiringi
    nyanyian yang masih hidup dekat pokok lehermu:
    lagu yang tidak berhasrat memeluk lirik-lirik,
    lagu yang rindu menebus kembali bahagia asingmu
    setelah kau terlempar dari rahim atau kepul asap cerutu.
    Setelah namamu tidak mampu lagi bergoyang
    memprotes datangnya perkenalan itu.


    /3/
    Kau adalah pendengar yang budiman.
    Dan dia akan singgah mengiramakan malam-malam.












    Bekasi, September 2012
    Amal Bayu Ramdhana

    7.05.2015

    KEPADA UR


    rindu sekerat, jarak semusim
    ur yang kusebut namamu berulang;
    nama yang disucikan oleh jalan derita
    bahwasanya hidup adalah ruang belajar
    liku laku prihatin

    pada malam, orang-orang sibuk
    mengenakan busana baru, aku terantuk
    sengat cahaya-cahaya sebelum benar-benar
    keluar dari pandangan kota yang ditinggalkan
    sejarahnya sendiri

    ur, ataukah cahaya-cahaya lampu itu
    yang meniadakan rasa kasmaran kita
    kepada yang mahakuasa, sebab mulanya
    kita buta dan tak bernama ?


    2015

    6.24.2015

    HANTU DALAM DIRIMU



    seperti halnya seseorang hendak memutuskan sesuatu
    kita mesti menimbang-nimbang; ke mana arah kemudi,
    seperti halnya seseorang memandang tegap satu tujuan
    ia tak akan goyah.

    kata orang, biasanya ada takhayul yang menjangkiti
    barisan cita-cita. takhayul yang terasa diam tapi
    sebenarnya tajamnya kejam. ia menularkan sesuatu
    yang banyak tak disadari, namun bukan bernama
    kenangan.

    takhayul telah mencipta hantu-hantu kecil
    di semayam tubuhmu. bersama masa lalu, ibunya
    aku berjanji dirimu adalah kemudi
    yang ketakutannya semakin dekat kepadaku



    2015

    6.01.2015

    CATATAN-CATATAN KECIL SEBELUM KOKOK SI JAGO MERAH*





    DI LANTAI SEKIAN
    Suatu siang terik ia pergi ke sebuah keramaian. Setelah meletakkan kuda besinya di luas lahan parkir yang tak seberapa, ia gegas menuju pusat keramaian itu. Berbekal pengalaman masa kanaknya, ia menelusuri jalan-jalan sempit cum sumpek yang kanan-kirinya serba padat barang-barang konsumsi -katakanlah kebutuhan sandang dan pangan-, sedangkan jalan-jalan sempit itu penuh huru-hara orang-orang lalu lalang. Tapi ada sesuatu yang menarik ketika ia naik ke tangga. Di lantai yang ia namai sekian itu. Orang-orang ramai mencari buku-buku pelajaran, ia malah ramai mendapati pelajaran mencari judul-judul buku.


    LAPAK KAYU LAPUK
    Kadang, hidup itu yang tidak realistis. Tidak hanya orang yang hanya pandai bermimpi  dan fanatik idealisme di luar realita. Ia sadar posisi dirinya, ketika ia berada di antara lapak-lapak lantai berangin terik itu. Demi menemu judul-judul buku yang sudah ada di daftar kepalanya; Ia tanya satu per satu yang ia temui. Memang waktu itu belum bisa berjodoh dengan daftar yang telah ia hafal. Satu hal, di lapak yang pembatasnya terbuat dari kayu lapuk, ia bercengkerama lama dengan harga Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi sembilan puluhan.


    LANSKAP LAWAS
    Lantaran sebuah jarak di luar menuju kota yang katanya bersejarah itu bisa ia pandang, namun di sini, pandangannya dijejali oleh bertumpuk-tumpuk kertas berwarna agak buram, dengan warna sampul bermacam.  Lantaran sebuah jarak juga ia ciptakan, di antara arsitektur karsten dan cetakan-cetakan buku kuno; sebuah lanskap telah menjadi bagian yang intim dari suatu nostalgia: potret masa kanaknya bersama buku tulis halus cap banteng.     


    NAFAS PEDAGANG TUA
    ada yang terengah-engah di sekitar perhatiannya. setelah ia sempat lewat beberapa waktu lalu. Sebab ia percaya, pekerjaan adalah soal peribadatan. Ritual  nafas yang dihembuskan demi tugas luhur seraya jujur. Orang itu temannya, yang mengenalkan udara siang di bawah asbes.


    WARISAN YANG BELUM SEMPAT
    Hal-hal dunia memang tidak serta merta bisa diduga. ia  mengerti bahwa manusia mesti siap sedia. kehilangan dan datangnya sesuatu yang sekilas asing. --menatap kobaran itu dari jauh. meratap ia pada yang belum sempat ia kenal. Kita mesti berjaga untuk apapun, katanya


    HANTU API 9 MEI
    1933 karsten mendesain dengan jeli, seluruh pondasi. Bangunan perkasa untuk ingatan masa depan.

    Jauh sebelum ia merencanakan untuk kembali mencari halaman-halaman yang hilang dilalap si jago merah dan tak berpikir tentang asuransi.

















    *tersebab terbakarnya Pasar Johar
    Semarang, 2015

    5.18.2015

    MEDIA INDONESIA, 17 MEI 2015 DAN TEKS ASLINYA


    Berikut kabar dari sebuah media massa yang memuat dua puisi saya (yang mana teks aslinya diedit secara... hmmm).



    TEKS ASLI:


    ANTOLOGI SEBELUM MENEMU RUMAHMU

    1. 
    jam begini aku masih hendak terus menemukan kamu;
    entah aku beranjak dari alamat mana
    jalan-jalan dan tikungan-tikungan yang
    bergerak melintasi tubuhku, pikiranku
    perasaanku atas kamu -- aku tak pernah
    tak berdaya. segala pencarianku bukanlah
    mudah berhenti ditentukan waktu, sebab jarak
    menguatkan otot-ototku untuk berjalan
    memandang hanya ke depan 

    2.
    nama jalan tak pernah kuhapal
    hanya nama tinggalmu kurapal;
    perjalanan teramat panjang ini
    adalah pangkal ketika diri
    dibenturkan oleh bahasa
    yang disampaikan rindu,
    melubangi dadaku yang tajamnya
    mematahkan ulangan-ulangan
    ingatan

    3.
    menuju rumahmu
    tak akan bisa ditebus
    dengan doa yang biasa-biasa
    airmata yang biasa-biasa
    atau puasa;
    sebuah usaha keras dilakukan
    seperti menaklukkan kata-kata
    sebelum dibentuk sajak
    yang matang benar
    sebuah silih mesti dirayakan
    seperti itikad seorang penyair memilih
    sendiri, sembunyi dari keramaian abad 

    4.
    rumahmu melebihi apa yang pernah
    kutemukan di dunia;
    melebihi kepercayan-kepercayaan
    aku akan masuk surga
    jika aku rajin mengumpulkan pahala
    -- ah! surga yang mana?
    sebab mengucap sumpah adalah kamus bebal
    dari orang abad yang tak berani menepati janji
    dan demi hidup yang maha penyair,
    izinkanlah segala kelelahan ini
    jatuh mencium tanah rumahmu


    2014



    ABAD YANG SELALU BAHAGIA

    ia seka wajahnya yang terhimpit tingkap gedung-gedung
    roda-roda jalan, asap, limbah liar yang tumpah, dan jadwal
    penggusuran. perayaan-perayaan yang tumbuh meriah
    di antrean mimpi-mimpi orang yang terbukti kesejahteraannya,
    di antaranya kesakitan kiri berjejal di tubuh-tubuh kemudi
    atas rasa cemas terhadap matahari masa depan. udara abu
    menempel di pipinya saban kali ia menengok ke kanan,
    sebab di hadapannya setiap rumah menjadi tempat ibadah,
    dan batu-batu yang dibuang oleh para tukang bangunan
    menjadi hiasan sepanjang sejarah yang disembunyikan dari
    catatan rahasia sebuah rezim.

    sebuah abad yang selalu bahagia; dari orasi aristoteles sampai
    rama dalam kacamata gandhi, ketika masing-masing
    kemiskinan yang miris kembali untuk menatap matanya;
    sebab katanya, itu semua surga yang merdeka dari cinta
    luka-luka batin nenek moyangnya


    2014


    5.10.2015

    MEMBAHASAKAN CINTA LEWAT PELAJARAN ANTOLOGI PUISI plus*



    Judul : Puisi Medium Komunikasi dalam Pembelajaran
    Penulis : Wardjito Soeharso
    Cetakan : I, Desember 2014
    Penerbit : Azzagrafika
    Jumlah halaman : xii + 176 Halaman
    ISBN : 978-602-1048-02-3


    Ada yang menarik dengan antologi puisi kali ini. Berbeda dengan kilasan antologi puisi lainnya yang sedang merebak di jagad kesusastraan Indonesia, antologi puisi ini memiliki keunikan tersendiri dengan adanya catatan pengantar yang bahasanya bisa dikategorikan akademis. Jika dibaca sekilas, hampir sepertiga dari buku ini berisi pengenalan akan puisi. Lalu apa menariknya bagi pembaca? Terlebih dari itu, apa menariknya kemasan antologi semacam ini bagi nuansa atau zeitgeist kesusastraan di Indonesia sekarang ini?

    Adalah sebuah usaha yang cukup besar untuk menyelesaikan buku esai berbonus puisi ini. Pada mulanya (jika pembacaan dilakukan secara sistematis), pembaca diajak untuk mengernyitkan dahi terlebih dahulu, menatap seberapa penting puisi bersama teori-teori akademis yang menyertainya bagi khalayak.  Menyusuri esai ilmiah yang ditulis oleh penulisnya sendiri dan seorang dosen, yang mana di baliknya pembaca dibawa pada logika-logika puitika, pada konteks-konteks bahasa puitika secara akademis. Baru setelah pembaca agak mengerti, maka akan menemui berbagai tema yang disajikan lewat bahasa puisi.

    Tiga tema besar telah disusun sedemikian rupa dalam satu tema induk, yaitu Cinta. Adapun Cinta (C besar) menurut penulis buku ini diartikulasikan menjadi tiga bagian: Cinta kepada Diri, Cinta kepada Tuhan dan Cinta kepada Negeri. Tiga tema ini dijabarkan lewat pelbagai bahasa puitika yang telah disusun sedemikian rupa sehingga memudahkan pembaca untuk menangkap makna di baliknya. 

    Pembaca tidak akan banyak mengernyitkan dahi ketika membaca puisi-puisi dalam antologi ini, sebab salah satu pola tulisan dari penulis antologi ini adalah bahasanya mudah dicerna. Dengan demikian sangat wajar bilamana buku ini bisa masuk di wilayah akademis sebagai salah satu bentuk pengenalan sastra kepada para siswa (di tengah semakin redupnya upaya-upaya pihak akademisi untuk memasyarakatkan sastra). Sebagaimana judul dalam buku ini, demikian pula tujuannya terbitnya buku ini adalah baik adanya. Yaitu guna pembelajaran.

    Pembawaan-pembawaan bahasa puisi di buku ini ringan adanya. Pembaca tidak perlu banyak membuka kamus, sebab tidak banyak istilah asing. Hanya saja ada beberapa puisi tertentu memakai bahasa daerah (Bahasa Jawa). Tentu, pembaca perlu melakukan upaya terjemahan. Kasus-kasus yang disetuh lewat bahasa puitika di buku ini pun tidak jauh dari realita di masyarakat sekarang, tentang korupsi misalnya. Jadi, buku ini tidak mengandung banyak tuntutan kepada pembaca. Justru buku ini bisa dikatakan pantas menjadi salah satu rujukan pengenalan sastra sebagai media pembelajaran yang paling dekat dengan pembelajar. 

    Tawaran dalam buku ini tidak hanya berhenti kepada para siswa saja, tetapi para pengajar, pun sastrawan atau penulis yang sedang belajar menciptakan terobosan bahasa puitika yang notabene diarahkan pada bidang pendidikan. Oleh karena itu, seirama dengan salah satu potongan bait puisi dalam buku ini, siapapun pembacanya:  Maka teruslah iqro'/Jangan lelah, bacalah!/Alam memberimu ilmu/Ilmu menjadikanmu alim.

    Selamat membaca (belajar) !


    Semarang, 2015

    *) Resensi oleh Ganjar Sudibyo.