(“aku akan tetap duduk-berada di setiap siklus musim yang bertanah pada akar akar tunggangmu”)
//musim kemarau// 1. bulan bulan matahari tertanggal di kambium merah-cokelatmu; ia akan selalu hijau walaupun daun daunmu terbakar, atau menguning lalu berjatuhan kembali pada muasal yang menciptanya 2. daun daun tak akan bisa jujur pada dahan dahannya sebelum dahan dahan bersuara mengumandangkan lagu lagu-air yang tak pernah mengecewakannya 3. bila sebuah kemarau memuarakan bahasa yang sengat pada sekujur tubuh-rimbunmu, maka dengan segenap doa yang engkau pelihara berpuluh-tahun lamanya setidaknya akar akarmu masih terjaga bersama februari yang nisan di sisimu
//musim pancaroba// sebenarnya pancaroba tak sudi menamakan dirinya pada daftar daftar siklus musim yang pasti, tapi sesuatu telah mencungkil angin muson yang garang sesuatu itu melepasnya, menjelma hingga akhirnya pancaroba mengetuk daun daun keringmu
//musim penghujan// 1. rasanya masih di musim kesekian yang sama. tapi, engkau dengan berani memangkas batang batang setengah kering untuk engkau tanggalkan pada punggung seorang penjual kayu bakar supaya bisa sedikit memberi api-rindang pada nyala doanya 2. “wah....ternyata, musim bukanlah penipu!” suara itu melesat menuju sesuatu yang jatuh di hampir setiap malam : engkau yang berbuah-tabah, engkau yang tekun membaca kompas kejujuran musim engkau yang menjadi tanah untuk setiap gugur putik bunga-jambu 3. tersebab waktu yang tak bisa memutar balik penghujan takkan berjanji melupakanmu, pohon jambuku meski kini di namamu tinggal separuh batang cokelat dan akar akar tua tinggal peribahasa penghujan yang terekam pada kobaran api tiga tahun lalu
sedang aku sudi menjadi basah bagi buah buahmu beserta akar akar tunggangmu yang bebicara tentang banjir pencurian musim yang gagal kududukkan di tanah redup sepuluh tahun kanak kanakku.
rupa-rupanya ada yang membuatkan puisi dan puisi tersebut didedikasikan untuk saya. hm, mengesankan. berikut ini dua puisi yang terlahir dari permenungan tiga penyair:
PUISI I Oleh Penyair Dimas Arika Mihardja
PECANDU KATA : ganz
siapa melangkah tengah malam menyorotkan cahaya kata bagi jiwa lata? sebuah tanya tak mesti berjawab, sebab perjalanan menembus gelap menyisakan erang tertahan.
siapakah yang menawan kata di kedalaman penjara dada lalu merajut huruf hidup dan huruf mati yang berkelojotan di atas tikar sembahyang sementara awan berkawan dengan hujan dan petir meledak lalu meledek kesendirian kata?
aku mabuk, merasuk ke dalam bilik sunyi berjalan sendiri meronce sore dan menjadikannya malam aku tenggak lagi tuak sajak sehabis-habis gelegak : beri aku sajak yang paling tuak!
bengkel puisi swadaya mandiri, jambi 17 juni 2010
PUISI II Oleh Penyair Nanang Suryadi
CANDU KATA KATA
buat: ganz
adalah candu yang lebih candu: kata. yang berbahaya bagi para penguasa yang bebal dan suka aniaya. adalah kata yang lebih candu dari candu yang menelusup ke dalam jiwa jiwa yang merana dihina tiada habisnya. kata.
Juni 2010
PUISI III Oleh Penyair Mutiah A. Rasta
BERJALAN DI KELOPAK MATA
-Ganz
(akan seperti apakah perut hidup yang berpuisi itu? mungkin kataku dan kau?)
kerikil yang menggugus di halaman telah lama menjadi dingin, saat bulan menutup kornea malam dan membuka tubuhnya untuk dilapangkan bahwa malam adalah langit paling ganas.
seketika orangorang dengan rangkaian bunga di telinganya mencoba terbang dengan kaki, lalu seperti apakah mereka merajut bulu dengan jarum dari sebuah cerita ayam dan elang.
di situlah bayangan dikukuhkan. dan ketika ia sampai pada puncak altar, seluruh tubuh akhirnya setengah melingkar. dalam tengadah terbalik : ribuan mantra yang tersimpan di bawah laci lidah dirapalkan
dengan sedikit kidung yang terasing, lalu hendak dipejamkan di mana mata. hendak ditenggelamkan di mana kornea
alis yang tumbuh menanjak di setiap kening waktu: serupa kita yang hendak terbang. mengendapkan beberapa langkah di jembatanmata. hingga menjadi dada langit yang mengapungkan waktu. dan malam : berjalan di kelopak mata