PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

10.11.2015

LOTUS PASAR TIBAN



mereka lantangkan tawaran-tawaran menarik
dengan bahasa para pendatang segala umur 
di lengang jalanan kota minggu pagi. di sesak
pedagang sepanjang jalan minggu pagi

datang, belilah, harga-harga sedang miring:
gorengan, soto, sate, piranti bengkel, odong-odong,
tanaman hias hidroponik, pakaian sekolah, pakaian kerja, 
pakaian dalam, dan banyak lagi macamnya

keramaian menyalakan rupiah
keramaian menyembunyikan wajah
keramaian mengheningkan konsumerisme


2015

10.10.2015

DI PEKARANGAN RUMAH JOGLO


kutemukan kamu yang sedang minum jus alpukat
siang itu, di antara pohon-pohon mangga dan kelapa;
tapi aku sedang tak mengerti, kenapa kamu
begitu jauh dari istiadat pandanganku.

sepulang dari pulau seberang, wajahku
yang kian tirus, terus menerus ingin mengejamu;
peristiwa-peristiwa sengkarut itu telah menunjukkan
padaku segala rindu tak dapat ditipu siapapun. maka
setelah menemukanmu di perhentian kini, kuhembus
sisa cemas perjalanan--hablur ke udara

dan betapa cemas itu tak dapat kulepaskan
dari bayang-bayang yang setiap waktu bisa saja
menculik sesuatu yang telah lama kita simpan
selain obat luka kenangan

kutemukan kamu sedang duduk merenda kain perca
angin berbaur pasir dalam perlintasan getir
membuatku menerka, apa kamu lupa
atau barangkali aku yang tak percaya
rumah tua ini terpasang kerucut-kerucut
bangunan yang tak lagi sama
sebab kamu telah sedemikian berbeda
lirih dari kita yang sebenar-benar cinta



2015

10.07.2015

BAYANGAN MERAH DI TEPI SUNGAI WHITMAN


Seseorang menyuarakan nada-nada yang katanya bisa membikin pikirannya adem--ayem di alam batinnya. Tersebab ia sedang gusar sehabis mengusir babi-babi hutan dan burung-burung pemakan bangkai di bekas ladang bapaknya. Keberadaan mereka mengganggu sekali, binatang-binatang jorok, katanya dalam batin. Ini siang terik yang membuka pori-pori kulit menderaskan keringat. Ia menuju tepi sungai, (seperti cerita-cerita yang membuat pembaca rindu untuk kembali berteduh meski hanya sementara) lalu rebah di tepian. Seekor elang melintas dengan nada panggilannya yang khas. Aliran air jadi kian deras. Tapi ia mencoba tetap tenang.

Eva sangat suka yang alam-alam, yang masih murni, yang masih seperti sedia kala. Suara-suaranya, warna langitnya, udara, angin, pohonan dan tumbuh-tumbuhan lain, hewan-hewan yang bersembunyi, batu-batu di jernih sungai. Waktu itu tidak ada orang yang lalu lalang, berladang, atau mengantar ternaknya mencari rumput. Ia tampak habis dikejar sesuatu, maka seperti biasa, ia mencari tempat yang bisa digunakan untuk merebahkan tubuh dan beban yang semakin berat.

Setelah ia merasa agak tenang, ia mengucap beberapa baris di sajak Whitman: "Song of Myself". "I celebrate myself/ and sing myself/ and what assume you shall assume...."  Ia lantas memandang di seberang sungai. Ada sebuah pohon yang sangat rimbun berdiri sendirian, dan ia memandang permukaan sungai yang tidak henti-hentinya bergelombang, yang arusnya selalu menabrak batu-batu. Ia memandang jauh ke sebuah bayangan. Bayangan itu terasa tak biasa sebab belum pernah ia menjumpainya. Warnanya merah. Ia berdiri dan berusaha mendekati bayangan itu. Tapi ia sendiri takut, kalau-kalau itu mitos yang sedang diperbincangkan di kalangan orang adat di desanya.

Ya, ia melanjutkan baris-baris sajak Whitman. Waktu itu angin berhembus pelan-pelan tapi tak pernah berhenti. Ia melihat bayangan itu lagi, tapi anehnya bayangan merah itu semakin mendekat ke arahnya. Ia kembali gusar. Jam begini ia kembali tak tenang. Ia dekati bayangan itu, lalu mencucukkan jari ke permukaan sungai. Tapi tak ada apa-apa, suhu air sungai masih stabil, rasanya masih tawar. Ia bertanya-tanya, apakah mitos itu benar adanya? Kalau seseorang sendiri kemudian ada bayangan merah dari pohon yang berdiri sendirian, kemudian bayangan itu mendekat berarti bahwa ia akan memperoleh kutukan?

Ia kembali melanjutkan baris sajak Whitman versi 1982: "...And what is reason? and what is love? and what is life?..."  Ia duduk tercenung hanya melihat bayangan itu. Bayangan merah yang tidak membawa perubahan apa-apa. Seperti hantu, ia bergerak tanpa bisa disentuh. Tak lama, ia mendengar suara orang minta tolong. Tapi ia biarkan suara itu berlalu. Tak lama juga, bayangan merah itu menghilang. Ada sesuatu yang seperti menjawil pundaknya, tapi ia tak terlalu ingin menanggapinya. Ia berhenti mengucapkan baris-baris sajak Whitman. Ia merasa tak ada kaitannya antara barisan sajak itu dengan sungai yang bernama Whitman ini. Apakah si Whitman pernah tinggal di sekitar sini, mati di sungai ini sebagai seorang penyair yang suci?

Eva sebenarnya sedang merasa gusar. Pohon-pohon besar di seberang sungai itu sudah ditebang dengan menggunakan teknologi canggih. Di seberang sungai itu tinggal satu pohon rindang saja. Pohon yang menciptakan bayangan berwarna merah. Ia terlihat tumbuh lebih subur dibandingkan dengan pohon lain. Eva pernah mendengar orang adat bercerita, konon Whitman gantung diri di pohon itu, setelah mengucapkan kata "apa itu cinta, apa itu hidup", kepada seorang petani yang sedang memperjuangkan tanah ladang miliknya. Di kisah lain, Whitman mati dibunuh di dekat pohon itu. Lehernya digorok oleh orang suruhan karena ia diduga berhasil membawa semangat pemberontakan para petani. Kata orang adat, bayangan merah itu hanya muncul ketika ada musibah yang akan terjadi. Tidak, Eva tidak memedulikan itu. Mitos hanyalah milik mitos. Kenyataan bukanlah mitos. Ia jadi teringat akan nasib bapaknya yang belum sekalipun pernah ia jumpa. "Ah sudahlah.... aku tak mau berpikir panjang tentang ini, aku hanya ingin mengendapkan gusarku" 

Beberapa hari setelahnya, matahari yang semakin terasa terik, membuat bayangan pada pohon-pohon. Tak terkecuali pohon di seberang sungai itu. Eva kembali ke sana dan menyanyi, setelah itu mengucap sajak Whitman. Seseorang berteriak kembali minta tolong. Bayangan merah berlalu cepat. Ia tidak merasa yakin dengan semua yang terjadi. Ia lalukan yang terjadi. Entah merah simbol darah, pohon simbol pengayoman, atau apalah. Ia hanya ingin berada di tepi sungai Whitman. Merayakan kegusarannya seorang diri, melepaskan pikiran yang tidak-tidak, menjauhkan diri dari rasa sakit, menyatu dengan semesta seperti putaran bandul kalung seorang peramal. Ia hanya percaya, di dunia ini, keanehan pasti terjadi beserta apapun yang belum pernah kita temui,  kita tinggal merayakannya saja karena menanggapi dengan terlalu serius adalah sebuah kesia-siaan belaka. Lalu tiupan angin kencang seolah membawa tubuh Eva pada kenyataannya sendiri.

Ia terbangun, minum anggur, menutup buku kumpulan puisi Whitman, dan menatap sebuah pohon yang sedang ditebang seorang tukang kebun. Whitman mau bilang apa di mimpi kecilku? ,ucapnya dalam batin. Lalu tiba-tiba ia mendengar suara bapaknya, menyuruh Eva supaya segera membelikan sebuah belati di pasar yang semalam terbakar.



2015 

*Lukisan berjudul Red Shadow karya Rudi Mantofani.


10.05.2015

DI BUKIT KOTBAH IA MENGUCAP OM


berkali aku membaca kepedihan itu:
setengah dari hasrat yang disinyalir sebagai jelmaan
desis ular dan rayuan siluman.
yang seperti itu mesti dibuang ke jurang bersama
babi-babi sebagaimana peristiwa di pasal sebuah kitab

sebab kepedihan mestilah kita asuh
seperti anggur-anggur di ladang perumpamaan,
seperti burung pipit dan sehelai rambut;
kepedihan perlu bahasa yang tak tampak
bahwa ia atau siapapun itu tak lekas menunjukkan
muka muram karena merasa gagal atau
karena ini bukan hitungan hari baik

bahasa sebuah bangsa telah mengambil keyakinan
yang tiap-tiap pemeluk pun tahu
kebahagiaan berkiblat pada karma itu sendiri
: nirwana beserta para makhluk yang tak pernah
merasa tunduk pada kekhawatiran

maka dengan langkah kaki yang tenang
dan perangai wajah seperti goncangan teratai
yang pertama kali jatuh pada musim gugur,
ia mengucap om...om...om...
seraya memecah-mecah kepedihan
kepada lima ribu orang


2015


10.02.2015

KOSMOS DALAM ILUSTRASI SEORANG SALIK


Judul : Suluk Senja
Penulis : Dimas Indiana S.
Cetakan :  I, Agustus 2015
Penerbit : Pustaka Senja
Jumlah Halaman : vi + 99 halaman
ISBN : 978-979-7731-87-8






Suluk dalam definisinya secara umum merupakan jalan ke arah kesempurnaan batin. Selain itu, di lain tempat suluk mengarah pada perbaikkan akhlak, penyucian amal, dan penjernihan pengetahuan. Dengan kata lain, suluk merupakan aktivitas. Buku kumpulan puisi yang ditulis oleh Dimas Indiana ini menawarkan pada sebuah variasi pengertian yang lain tentang suluk. Sebagian besar puisi-puisi yang dihadirkan di buku ini malah tidak banyak menyoal hubungan kesempurnaan diri ke arah Sang Mahakuasa, atau suluk dalam tokoh-tokoh tasawuf. Penulis seolah sengaja ingin memberikan warna lain tentang suluk. Nah, warna inilah yang sedang dimunculkan kepada pembaca bahwasanya ada semesta lain dan itu sepantasnya laik untuk dikunjungi sejenak. Warna seorang salik senja. 

Dalam buku yang berisi 33 puisi ini, penulis tampaknya mempunyai kecenderungan untuk mengeksplorasi puisi-puisi dengan penanda nama-nama orang yang barangkali pernah dijumpainya. Entah penulis hendak berusaha mengenang deretan nama tersebut. Dengan kata lain merupakan bagian dari kehendak subjek untuk mengikutsertakan nama-nama tersebut ke dalam proses kreatif menulisnya. Di lain sisi, penulis hendak menunjukkan bahwa nama-nama tersebut adalah bagian dari upaya penulis untuk memberi tanda yang mana di sebaliknya ada pesan universal dari sebuah pertemuan. Perihal pesan universal ini salah satunya dapat ditemui dalam sajak berjudul “tentang tanah yang semestinya kita ziarahi”, berikut penggalannya: “...sebab usia tak membuatmu/lelah untuk terus menziarahi sepetak tanah di/dadamu.”  Tentu ini kemudian menjadi dugaan yang bisa berkata lain ketika dimasuki oleh masing-masing pembaca. Demikian menjadi menarik ketika mencoba untuk mengungkap bahasa penulis lewat penandaan nama-nama. Pembaca bisa belajar bahwa selain merupakan bacaan fakultatif untuk mereka yang ingin mengenang pertemuan-pertemuan --- adalah di dalam setiap pertemuan terselip suluk itu sendiri.

Hal menarik lainnya adalah usaha penulis untuk menjadikan unik tidak hanya dalam tipografi (yang tidak biasanya digunakan oleh penulis di kebiasaan menulis puisi sebelumnya) namun juga tema yang digarap. Penulis mencoba membuat paduan puisi dengan pengalaman pribadinya yang memiliki hobi sebagai biker pada puisi “verzaholic”. Selain penulis hendak memunculkan suasana sejarah seperti dua judul puisi di halaman-halaman akhir, yaitu “sangtham suksa”, dan “klana bandopati”. Tidak berhenti sampai di situ, bilamana membaca di lembar-lembar awal, maka pembaca akan diberikan sajian judul puisi yang relatif panjang. Apakah ini merupakan materi licentia poetica yang sedang diolah oleh penulis untuk memberikan daya tarik kepada pembaca? Ya, impresi pertama memang penting untuk dilakukan sebagai penulis muda yang mempunyai energi untuk terus menerus berkembang dalam ketekunan mengasah teknik menulis. Dengan begini, pembaca barangkali tidak akan bosan dalam mencerna buku kumpulan puisi yang dalam pasarannya konon memiliki stereotip melankolis liris mendayu-dayu.

Puisi-puisi yang dimunculkan dalam rentang titi mangsa 2012-2015 ini ibaratnya adalah kosmos --- semesta yang sedang diciptakan oleh penulis. Selain berisi puisi, buku ini menghadirkan ilustrasi-ilustrasi gambar yang seolah bermaksud untuk menahan mata (selain semacam jeda), memandanginya dengan tanpa memperhatikan jangka waktu. Lantas kemudian ‘senja’, tak lain adalah kosa kata puitik yang sedang diterjemahkan penulis sendiri ke dalam bahasa-bahasa yang mengerucut pada nukilan puisi berjudul “dalam dzikir senja; saat kau mengajariku cara menasbihkan cinta kepada semesta”: “Fabbi Ayyi Ala’i Rabbikuma Tukadziban....” yang artinya, nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan?

Semarang, 2015

  

9.29.2015

FABEL ITALO CALVINO: "THE BLACK SHEEP"




Konon ada sebuah negara di mana semua warganya adalah pencuri.

Pada malam hari semua orang akan meninggalkan rumahnya masing-masing dengan kunci pencuri khusus yang dibuat untuk membuka pintu rumah dan sebuah lentera remang lalu pergi untuk merampok rumah tetangganya. Mereka akan kembali pada waktu fajar, membawa barang curian, lalu mendapati rumah mereka sendiri yang telah dirampok.

Demikian semua orang hidup bahagia bersama, tidak ada yang merasa kehilangan, karena masing-masing mencuri dari yang lain, dan yang lainnya dari yang lain lagi, dan seterusnya dan seterusnya sampai kamu mendapati orang terakhir yang mencuri dari orang pertama. Perdagangan dalam negeri itu mau tidak mau terjerumus dalam lingkaran kecurangan antara kedua belah pihak, pembeli dan penjual. Pemerintah hanyalah sebuah organisasi kriminal yang mencuri pendapatan dari rakyatnya, dan rakyat cuma mereka yang hanya terdorong dalam usaha penipuan terhadap pemerintah mereka sendiri. Dengan demikian kehidupan berlangsung lancar, tidak ada seorangpun yang kaya dan seorang yang miskin.

Pada suatu hari, sebagaimana kita tidak tahu, ada kejadian ketika ada seorang jujur yang datang untuk tinggal di sebuah tempat. Pada malam hari, ia malah tidak ikut pergi keluar dengan membawa karung dan lentera, ia memilih tinggal di rumah untuk merokok dan membaca novel.

Kemudian seorang pencuri datang, melihat lampu menyala dan ia pun tidak jadi memasuki rumah itu.

Persitiwa tersebut berlangsung selama beberapa waktu: lalu orang-orang yang mencuri itu disuruh untuk menjelaskan kepadanya, bilamana ia hanya ingin tinggal tanpa melakukan apa-apa, maka tidak ada alasan untuk menghentikan orang-orang dalam melakukan pekerjaan mencuri. Setiap malam ia menghabiskan waktu di rumah yang berarti bahwa sebuah keluarga tidak akan memiliki apa-apa untuk makan pada hari berikutnya.

Seorang yang jujur itu hampir tidak dapat mengerti alasan tersebut. Ia memutuskan untuk pergi keluar pada malam hari dan datang kembali keesokan harinya seperti yang mereka lakukan, tapi ia tidak mencuri. Ia adalah seorang yang jujur, ia tidak dapat melakukan apa yang seperti orang-orang lakukan. Lalu ia pergi sejauh mungkin menuju sebuah jembatan dan memandangi arus air di bawahnya. Ketika ia sampai di rumah, ia mendapati barang-barang di rumahnya telah dirampok.

Dalam waktu kurang dari seminggu seorang yang jujur itu menyadari bahwa dirinya sudah tidak memiliki uang. Tidak ada yang bisa digunakan untuk makan dan tidak ada barang-barang berharga di rumahnya. Tapi keadaan ini tidak begitu bermasalah, ia sadar hal ini disebabkan oleh kesalahannya sendiri; tidak, masalahnya adalah bahwa perilakunya mengacaukan sesuatu yang lain. Tersebab ia membiarkan orang lain mencuri segala yang ia miliki tanpa ikut mencuri apa pun dari siapa pun; sehingga selalu ada seseorang yang sampai di rumah pada saat fajar, menemukan rumah mereka yang tak tersentuh: rumah yang seharusnya dirampok. Dalam setiap peristiwa setelah beberapa waktu orang-orang yang tidak dirampok tersebut menyadari bahwa diri mereka lebih kaya dari yang lain dan tidak berhasrat untuk mencuri lagi. Dalam rangka menciptakan keadaan yang malah memburuk, orang-orang yang datang untuk mencuri di rumah seorang yang jujur itu akan mendapati rumahnya selalu kosong; sehingga mereka menjadi miskin.

Sementara itu, orang-orang yang telah menjadi kaya ikut dalam kebiasaan seorang yang jujur itu. Mereka pergi ke jembatan pada malam hari untuk menikmati arus air di bawahnya. Peristiwa ini membawa kekhawatiran karena ini berarti banyak orang lain yang menjadi kaya dan banyak pula orang lain yang menjadi miskin.

Kini, orang-orang kaya memandang bahwa jika mereka pergi ke jembatan setiap malam mereka akan segera menjadi miskin. lantas mereka berpikir: “Mari kita membayar beberapa orang miskin untuk pergi dan merampok. Ini demi kepentingan kita.” Selanjutnya mereka membuat kontrak, gaji tetap, persentase pembagian: tentu saja mereka masih menjadi pencuri, dan mereka masih mencoba untuk menipu satu sama lain. Namun, betapa kecenderungan yang terjadi karenanya, orang kaya semakin kaya dan lebih kaya dan yang miskin semakin melarat dan melarat.

Beberapa orang kaya menjadi sedemikian kayanya sehingga mereka tidak perlu mencuri atau menyuruh orang lain untuk mencuri supaya mereka tetap kaya. Tetapi jika saja mereka berhenti mencuri maka mereka akan menjadi miskin karena orang-orang miskin pasti mencuri dari mereka. Oleh karena itu, mereka dibayar dengan upah yang terendah dari penghasilan orang-orang yang miskin demi mempertahankan barang-barang berhaga mereka. Bertahan dari orang-orang miskin lainnya. Alih-alih, sehingga perlu mendirikan lembaga kepolisian dan bangunan penjara.

Kejadian tersebut berselang hanya beberapa tahun setelah munculnya seorang yang jujur, orang-orang tidak lagi berbicara tentang merampok dan menjadi korban perampokan, namun memunculkan polemik kalangan orang kaya dan orang miskin; walaupun mereka semua masih menjadi pencuri.

Akhirnya, satu-satunya orang yang jujur itu telah menjadi pendahulu. Ia meninggal dalam masa yang tidak lama, meninggal karena kelaparan.



*Black Sheep adalah idiom dalam Bahasa Inggris yang mempunyai makna tentang anggota kelompok yang dipandang sebagai pembawa aib, sehingga sering kali dikucilkan.

**Dialihbahasakan oleh Ganjar Sudibyo setelah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh Tim Parks. Sumber cerita: Number in the Dark and Other Stories by Italo Calvino. Vintage Books, New York. Sumber gambar: www.experienceproject.com


2015

9.28.2015

FABEL AESOP #7: SERIGALA BERBUSANA DOMBA




PADA SUATU MASA, seekor serigala memutuskan untuk menyamarkan penampilannya demi kemudahan dalam mencari makanan. Mengenakan kulit domba, ia merumput dengan kawanan domba, berusaha menipu gembala dengan busana yang dipakainya. Pada sore hari ia terkunci oleh gembala di kandang domba; gerbang ditutup, dan seluruh akses masuk telah disusun seaman mungkin. Tapi gembala itu kembali ke kandang domba pada malam hari untuk mendapatkan daging sebagai persediaan makanan di hari berikutnya. Naas, ia keliru. Gembala itu terjebak dengan seekor serigala bukan seekor domba, dan kemudian membunuh gembala itu seketika.  Celaka yang mencari. Celaka pula yang menemukan.



*Dialihbahasakan oleh Ganjar Sudibyo setelah diterjemahkan ke dalam bahasa inggris oleh George Fyler Townsend. Sumber cerita: The Pennsylvania State University (for the source electronic book file version). ISBN 978-1-4340-0146-7. Sumber gambar: screenshoot youtube.com



MITOS AESOP BESERTA FABEL-FABELNYA




ALKISAH, saya sedang hendak berusaha mempunyai pikiran seperti anak-anak pada masanya. Pikiran yang selalu diawali dengan rasa ingin tahu. Saya kemudian teringat seorang tokoh psikoanalisis sosial, Erik Erikson pernah bertutur dalam bukunya "Childhood and Society", tentang ketidakmauannya untuk berhenti berpikir seperti anak-anak. Sebagian penulis pun pernah bilang demikian. Berpikir seperti anak-anak berbeda dengan berperilaku seperti anak-anak. Berpikir seperti anak-anak dimaksudkan bahwa ada sisi-sisi yang dapat diambil dari perangainya.  Selain keluguan, kejujuran, wajah-wajah yang nampak selalu menggemaskan, ada satu hal yang tak kalah pening, yaitu sisi keingintahuannya menghadapi realita. Keingintahuan bukanlah segalanya untuk mencapai segalanya, tapi keingintahuan adalah pemantik yang mujarab. Dalam komparasi yang pasaran, keingintahuan lebih baik daripada sok tahu. Nah, saya sudah lama hendak membangkitkan gairah keingintahuan itu dalam kepala saya. Setelah beberapa waktu, saya disadarkan dengan sebuah lintasan pikiran: membaca buku cerita anak. Saya berputar-putar mencari buku itu di dalam internet. Hingga kemudian saya memperoleh beberapa ebook berbahasa Yunani, eh maaf, berbahasa Inggris. Ada nama-nama pengarang seperti Hans C Andersen, Grimm bersaudara, Joseph Jacobs, Ignacz Kunos, Robert Luis Stevenson, dan masih banyak yang lainnya. Tapi saya menemukan seorang pengarang cerita anak yang namanya hampir sama seperti tokoh dalam kartun One Piece: Aesop (eh Usop maksud saya).

Waktu itu saya putuskan untuk pergi ke rumah kawan yang akan belajar bahasa asing di pulau seberang. Dia mencetak banyak ebook dalam bentuk fotokopian atau stensilan. Di situ saya menemukan beberapa pengarang cerita anak. Kemudian kawan saya itu menyodorkan satu buku kumpulan cerita anak hasil unduhan di situs sebuah perguruan tinggi di Amerika. Singkat cerita, Aesop menjadi nama pengarang yang hendak saya telusuri kitab cerita anak yang telah ditulisnya. Selang beberapa waktu, saya mendapatkan ebook classics yang berisi kumpulan berbagai cerita anak milik Aesop. Saya langsung membuang waktu yang tersedia untuk membacanya. Dan, mencoba mengalihbahasakannya ke dalam Bahasa Indonesia. Tak lama, saya menerjemahkan 7 judul cerita anak karya Aesop.

Aesop menurut berbagai sumber pustaka, konon lahir di Asia kemudian menjadi budak di Yunani. Ada yang mengatakan 550 Sebelum Masehi. Yang lain mengatakan 650 Sebelum Masehi. Tapi saya tidak ingin dibikin bingung oleh almanak kelahirannya. Aesop berwajah degil, dan adalah seorang budak. Ya, budak. Budak yang cerdas dalam menangkap suatu perisitiwa yang kemudian dibahasakan melalui cerita-cerita. Ketekunannya, kejeliannya, ketajamannya dalam melihat sesuatu, terutama tingkah polah manusia menjadi modal ketika menuliskan ke dalam bentuk asosiasi manusia dengan binatang. Maka, tak jarang cerita-ceritanya mengandung amanah moral yang luar biasa kuat dan melampaui zaman. Beberapa sumber pustaka bahkan menyebutkan bahwa kisah-kisah cerita anak yang ditulis Aesop telah diterjemahkan ke berbagai bahasa seperti Arab dan juga Bahasa Indonesia. Ya meskipun sudah ada banyak kisah Aesop yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, saya pribadi malah merasa ingin-tahu bagaimana proses penerjemahan kisah-kisah cerita anak yang ditulis oleh Aesop. Toh, ini baru kali pertama saya menerjemahkan cerita anak. 7 judul cerita anak karya Aesop yang coba saya terjemahkan bukan serta merta saya ingin memunculkan tendensi sesuatu bahwa cerita ini lebih penting dari cerita-cerita lainnya. Tidak. Saya hanya ingin menerjemahkan saja, maksud saya mengalihbahasakan.

Saya punya kepercayaan bahwasanya Aesop pernah lahir, hidup, dan menulis kisah-kisah anak itu. Meskipun beberapa sumber pustaka juga menyebutkan bahwa Aesop hanyalah pengganti nama anonim. Dia tidak pernah lahir, hidup, dan menulis. Dia hanya mitos. Mitos yang kemudian digunakan untuk menutupi mitos-mitos kecil di dalam judul-judul cerita anak. Terlepas dari risalah fabel-fabel yang tentu sarat dengan fantasi dan imaji, dengan membaca fabel-fabel tersebut saya menjadi semakin yakin saya bisa mencapai kebangkitan atas pikiran anak-anak lagi. Merasakan bahwa binatang bisa berbicara, bertingkah, berperasaan, berbahasa dengan karakter manusia. Merasakan bahwa tumbuhan dan benda-benda bisa bergerak dan tertawa, mengajarkan perilaku-perilaku tercela atau sebaliknya, berbisik di telinga anak-anak posmo bahwa suatu waktu mereka pernah Ada!


2015
Sumber gambar: www.jssgallery.com

FABEL AESOP #6: PENCURI DAN IBUNYA




SEORANG ANAK LAKI-LAKI suatu ketika mencuri sebuah buku pelajaran milik salah seorang teman sekolahnya lalu membawa buku itu pulang untuk ditunjukkan kepada ibunya. Ibunya tidak pernah kemudian memukulinya, tetapi malah mengajurkan anaknya untuk mencuri. Di kemudian hari, anak laki-laki itu mencuri sebuah jubah dan membawa jubah itu kepada ibunya, namun ibunya malah memuji apa yang diperbuat anak laki-lakinya.

Anak laki-laki itu menjadi pemuda dan kemudian beranjak dewasa, ia bertambah banyak mencuri barang-barang dengan nilai yang lebih besar. Pada akhirnya ia tertangkap ketika perbuatannya yang kelewat tercela diketahui orang-orang. Setelah tangannya diikat di belakangnya, ia diantar menuju tempat eksekusi umum. Sang ibu mengikutinya dalam kerumunan dan dengan jantung berdebar keras dadanya larut dalam penyesalan. Di sela waktu anak laki-laki itu berkata, "Saya ingin mengucapkan sesuatu di telinga ibu saya." Ibunya datang mendekatinya dan ia dengan cepat meraih telinganya dengan giginya lalu menggigitnya. Sang ibu mencelanya sebagai anak yang kurang waras, sebab itu anaknya membalas, "Ah! Jika ibu memukuliku ketika aku pertama kali mencuri sebuah buku pelajaran yang kutunjukkan kepada ibu, aku tidak seharusnya berada di sini. Perbuatan ini membawaku pada kematian yang penuh aib."




*Dialihbahasakan oleh Ganjar Sudibyo setelah diterjemahkan ke dalam bahasa inggris oleh George Fyler Townsend. Sumber cerita: The Pennsylvania State University (for the source electronic book file version). ISBN 978-1-4340-0146-7. Sumber gambar: propelsteps.wordpress.com




FABEL AESOP #5: DUA TRAVELER DAN SEEKOR BERUANG




DIKISAHKAN dalam suatu cerita, ada dua orang lelaki bepergian bersama-sama. Di tengah perjalanan tiba-tiba mereka bertemu dengan seekor beruang. Lalu seorang dari antara mereka naik dengan tergesa menuju pohon dan berusaha menyembunyikan diri di antara dahan-dahannya. Seorang yang lain, memandang bahwa ia mesti akan diserang oleh beruang itu. Tahu demikian, ia kemudian menjatuhkan diri di permukaan tanah. Ketika beruang datang, beruang itu mencium seorang lelaki itu dengan moncong hidungnya, dan membau seluruh tubuhnya, ia hanya menahan napas, dan sebisa mungkin berpura-pura berlagak seperti orang mati. Waktu berselang, beruang itu pun bergegas meninggalkannya, sebab beruang tidak akan menyentuh mayat. Ketika beruang itu pergi cukup jauh, seorang lelaki yang lain turun dari pohon. Dengan bercanda ia bertanya kepada temannya tentang apa yang beruang itu telah bisikkan di telinganya. "Dia memberiku nasihat begini," jawab temannya. "Jangan pernah melakukan perjalanan dengan seorang kawan yang meninggalkanmu ketika berada dekat dalam marabahaya." Demikian kemalangan menguji ketulusan hati dari seorang kawan itu.



*Dialihbahasakan oleh Ganjar Sudibyo setelah diterjemahkan ke dalam bahasa inggris oleh George Fyler Townsend. Sumber cerita: The Pennsylvania State University (for the source electronic book file version). ISBN 978-1-4340-0146-7. Sumber gambar: watchongadget.net





FABEL AESOP #4: ANJING DAN BAYANGAN



SEEKOR ANJING melintasi sebuah jembatan di atas arus sungai deras dengan sepotong daging segar di dalam mulutnya. Ia kemudian menengok ke bawah, melihat bayangannya sendiri di permukaan air sungai tersebut. Ia berusaha mengambil sepotong daging Anjing lain itu yang ukurannya dua kali lipat dari daging yang dibawanya. Lalu ia segera membuang potongan daging yang di dalam mulutnya, dan dengan hantaman keras menyerang Anjing di dalam sungai itu untuk memperoleh potongan daging yang lebih besar dari potongan dagingnya. Demikian ia malah terjerumus kehilangan kedua potongan daging tersebut: karena ia yang menggenggam potongan daging di dalam air adalah sebuah bayangan; dan bayangan itu miliknya sendiri, dan tentu karena deras arus sungai, ia terseret entah ke mana.



*Dialihbahasakan oleh Ganjar Sudibyo setelah diterjemahkan ke dalam bahasa inggris oleh George Fyler Townsend. Sumber cerita: The Pennsylvania State University (for the source electronic book file version). ISBN 978-1-4340-0146-7. Sumber gambar: www.tx.english-ch.com



FABEL AESOP #3: SANG KEMATIAN DAN SEORANG LELAKI TUA




SEORANG LELAKI TUA dipekerjakan untuk memotong kayu di dalam hutan. Ketika ia menjalankan pekerjaannya memanggul kayu bakar ke kota untuk dijual hari itu juga, ia menjadi sangat letih dengan perjalanan panjang yang ia tempuh. Oleh karena itu, ia duduk di pinggir jalan, lalu meletakkan bebannya. Ia memohon kepada "Sang Kematian" supaya lekas datang. "Sang Kematian" segera muncul sebagai pemenuhan jawaban atas panggilan dan meminta penjelasan kepadanya alasan kenapa ia memanggilnya. Seorang lelaki tua itu terburu menjawab, "Kayu-kayu bakar itu, angkatlah beban itu, Engkau barangkali dapat meletakkan kembali pada kedua bahuku ini."



*Dialihbahasakan oleh Ganjar Sudibyo setelah diterjemahkan ke dalam bahasa inggris oleh George Fyler Townsend. Sumber cerita: The Pennsylvania State University (for the source electronic book file version). ISBN 978-1-4340-0146-7. Sumber gambar: evanira.deviantart.com



FABEL AESOP #2: GEMBALA DAN DOMBA-DOMBA



SEORANG GEMBALA mengarahkan domba-dombanya menuju sebuah hutan kayu, ia menjumpai sebuah Pohon Ek dengan ukuran yang tidak biasa, yang lebat dengan biji-bijnya, lalu ia menghamparkan jubahnya di bawah cabang-cabang pohon itu, ia memanjat pohon itu dan menggoncangkan dahan-dahan yang menumbuhkan banyak biji. Domba-dombanya memakan biji-biji yang berjatuhan dengan berebut yang kemudian tidak sengaja mengoyak jubah gembala itu hingga koyak. Ketika sang gembala turun dan melihat apa yang diperbuat domba-dombanya, ia pun berucap, "O Hai makhluk-makhluk yang paling tidak tahu berterima kasih! Kalian menyediakan wol demi dijadikan pakaian bagi seluruh manusia, tetapi kalian menghancurkan pakaian seseorang yang memberi kalian makan."



*Dialihbahasakan oleh Ganjar Sudibyo setelah diterjemahkan ke dalam bahasa inggris oleh George Fyler Townsend. Sumber cerita: The Pennsylvania State University (for the source electronic book file version). ISBN 978-1-4340-0146-7. Sumber gambar: www.mainlesson.com




FABEL AESOP #1: SEEKOR SINGA DAN SEEKOR TIKUS




SEEKOR SINGA tiba-tiba bangun dari tidurnya tersebab seekor tikus sedang berlari cepat di atas wajahnya. Bangun dengan rasa marah, ia lekas menangkapnya dan hendak membunuh tikus itu. Seketika itu pula, si tikus dengan muka melas memohon kepada singa itu, mengatakan: "Jika engkau bersedia menyelamatkan hidupku, aku pasti akan membalas kebaikanmu". Singa itu menertawakannya dan membiarkan tikus itu pergi. Tak lama berselang setelah kejadian pembebasan si tikus, Singa tersebut tertangkap oleh beberapa pemburu, ia diikat dengan tali di atas tanah. Si tikus mengenal suara auman singa itu, lalu ia datang menggerogoti tali dengan giginya, lalu melepaskannya dari ikatan itu, lantas berseru, "Engkau pernah menyepelekan janjiku yang semestinya bisa membantumu, mengharap kembali untuk menerima setiap pembalasan dariku atas kebaikan hatimu. Sekarang engkau tahu, bahwa meskipun aku seekor tikus bisa saja aku menipu pada seekor singa, sepertimu. "



*Dialihbahasakan oleh Ganjar Sudibyo setelah diterjemahkan ke dalam bahasa inggris oleh George Fyler Townsend. Sumber cerita: The Pennsylvania State University (for the source electronic book file version). ISBN 978-1-4340-0146-7. Sumber gambar: www.blandspace.com


9.27.2015

PEREMPUAN KANAAN YANG PERCAYA

: kamala

ia mencintai seluruh ketelanjangannya;
wajah yang diciptakan karena hasrat,
polesan make up di pipi, di bibir, di alis,
di dahi, di rambut, di jari-jari, di dada,
di pergelangan tangan, di tato-tatonya
merah pada mulutnya, cokelat pada kulitnya
ia paham, apa yang lelaki butuhkan.
lalu hanya seorang datang, menjadikannya
bunga; jenis yang seperti pernah diberikan
kepada buddha di kedalaman hutan itu.

ia mencintai seluruh ketelanjangannya;
seperti menanggalkan semua pakaian
kepada lelaki samana, yang hanya
membawa sebait puisi dalam sebuah
latihan bercinta. dengan suara-suara
yang bercahaya ia masuk ke serpihan
mata lelaki itu. ia membenamkan
jantungnya ke dasar bahasa
yang ia pun masih meraba
cinta tercipta atas apa

ia mencintai seluruh pertemuannya;
sekalipun pertemuan adalah perpisahan itu
sendiri. mengekalkan dalam api ingatannya
menaburkan sedikit demam pada perjalanan
di sekian waktu. menorehkan warna-warna gigil
di telapak kaki kepedihan seorang musafir.

ia mencintai seluruh pertemuannya;
bayang-bayang yang kemudian terbang
di kepak burung-burung sungai, jatuh ke
dahan-dahan, kembali ke tanah,
dicicipi seorang pengkotbah sebelum
ruhnya benar-benar pergi dibawa angin.
ia, telah melihat dan percaya bahwasanya
kedamaian tak jauh dari rasa sakit


2015