PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

7.11.2010

NUBUAT ELEGI MATA

kepada agus suwito


semenjak pagi yang pejam mencuri cara dari permainan waktu
kini ada nubuat-nubuat tak biasa berusaha memindahkan arah matahari;
- nubuat itu terbaca oleh hasrat yang berlarian menuju mulut-puisi.

di sekujur purnama pertama yang sakit
indera-puisiku melihatmu sedang membenamkan potongan luka
pada segelas kopi yang segan menjadi dingin

lalu dengan segenap perasaan yang berkeping atas takdir
aku mengenal lingkar-lingkar petaka pudar di kedua bola matamu
dan garis-garis nyalawaktu berpendar seperti tangis lelampu
pada sisi-sisi trotoar manakala orang-orang duduk bersimpuh
di bawahnya

siapa tak mengenalmu, siapa tak menyangkalmu
bahkan dukamu yang liang telah ternubuatkan
oleh sisa perasaan bernama cinta;
sejatinya, ia mendiam dan berlepasan
dari ruang-raung elegi abadi
matamu
:
argghhh!


[terlahir atas ingatan pertemuan pertama dengannya]
Semarang, 2010

JALAN SAJAK - 4 -

tertanda Malioboro


*
apakah gerimis yang tiba di awal bulan juli
memperingatkan kita akan kerinduan lampau
bahwasanya ada tempat penawar kedewasaan,
bukankah di toko-toko baju itu kita temukan
siapa mengarahkan kita pada harga pengingatan

**
di sisi manakah, tubuh yang merasa sakit lalu berjejal sembuh
ketika ada deru-hujan berkecipak pada langit-langit sore
menuju simpang tiga kecil dekat kios-kios dagadu
dan para penjual pakaian batik
- kita baru saja mendapati para tukang becak dan pak kusir
sedang meramal hujan yang rupa doa atas roda-roda rupiah mereka
menggelinding di antara para pedagang kaki lima -

ketahuilah, di sini di malioboro
almanak yang sebenarnya kita peram
telah tetas
jadi obat pengabulan atas penyakit-ingatan!



Yogyakarta, 2010

JALAN SAJAK - 3 -

tertanda Jl. Ring Road Barat


*
petak-petak sawah seperti ingin mengasingkan diri
pada tubuh juli yang kini menanggalkan suara-suara
para pengendara di setiap malam menuju gerbang
:
camp-camp kerinduan

rumah-rumah yang terangkai dengan jarak sedemikian rupa
adalah perlewatan teramat kenang bagi pengingatan padam
tentang pejalan dan arahnya

di sisi-sisi pembatas jalan, roda-roda berseteru bagaimana
memainkan rerambu yang patah dan gerah untuk memenjarakan
angin-gerimis pada rerobek kertas-kertas pamflet tanpa
menyisihkan cara mengenal muasalnya

**
tiga puluh menit dua puluh delapan detik,
ternyata ada ruang jalan membisukan teduh pohon
tempat kerikil-kerikil terserak menyimpan pertanyaan
kota dan nama jalan mana yang bisa menyembunyikan
nasib

sebuah mobil diam menyuarakan kesaksian nelangsa
tulisan yang tinggal sejarah dan eja dari kitab-elegi si empunya
pada pergantian Jalan Ring Road Barat;

oleh puisi, aku membacanya!





(fenomena diabadikan dalam foto pada hari sabtu, 10 juni 2010 pukul 11.27 waktu setempat)
Yogyakarta, 2010

JALAN SAJAK - 2 -

tertanda Jl. Unta Raya


* I *
ilalang selalu saja hijau meski mengenal cuaca
yang sekarang tak pasti kapan kemarau kapan
penghujan. di sisi sisi jalan yang kerap kali air
memenuhi liang tubuhnya, rumah rumah tua
seolah ingin pergi dari nasibnya ketika waktu
menetapkan masa penggusuran, dan ilalang.
ilalang akan menjadi saksi sebuah angka
kalender yang ungu bagi setiap rumah
sepanjang jalan di mana doa setiap
pagi, tumbang.

* II *
ingatan tentang sejumlah anak di bantaran
sungai adalah ingatan bagaimana aku
mengejar layang layang kanak kanakku.
meski, aku masih lupa ke mana jalan menuju
rumahku yang dulu beralamat ganjil. sudah
semestinya aku mencari kegenapan bagi
keganjilan seperti alas kakiku yang tertinggal
untuk diketemukan pada tubuh jalanan itu
bersama sejumlah ingatan di setiap pucuk
rerumput yang hampir ikut terbakar
di samping bau timbunan sampah
dan polusi.

* III *
maka kenanglah

karena masa telah setia menandakanmu untuk
tak sekedar dijadikan abu bakaran atau arang
dari pohon yang telah lama merancang
segala siang.
- pada nama jalan itulah, aku memberi tanda
bukan sebagai marka melainkan pengusir
petaka masa lalu –

* IV *
pada Jalan Unta Raya yang sering kali dingin
bagi setiap malam berkunang, aku ingin
sesekali menjadi tangisan lampu yang kadang
dipadamkan oleh sebab tengadah doa
yang sekarat lalu menjadi mayat.

* V *
sepuluh tahun lalu, sorga sorga kecil ada
di sekujur jalanan itu.


Kota Semarang, 2010

7.08.2010

IBU DI CARRIKFERGUS



melaluimu,

aku mengingat masa kanak-kanak; Ibu merendanya

membuatkan susu yang masih murah waktu itu

menyalami mimpi agar tak ada yang menerkam

atau menggigit lagu-lagu pengantar tidur

bahkan memadamkan doa-lugu di bawah dengkur bantal


carrikfergus, pada seberang kaca-kaca jendela

aku meletakkan gambar Ibuku sedang menatang sore

menyimpan matahari di sakunya

hingga tiba waktu

aku bisa membacanya bersama ingatan

melelapkannya kepada kanak-kanak usia

yang hampir habis oleh mimpi-mimpi mahal

tanpa arah tanpa sorga


o, carrikfergus!

sampai ke mana aku

melaluimu


Ibu?



2010

SEDEMIKIAN RUPA


kepada nanoq da kansas



hilangmu simpanan tebusanmu

akan detak yang jantung ke atas pualam rindu

tempat engkau taruh raga-puisi

dari cinta yang sedemikian rupa

mekar di pucuk utpala

tanpa menyebut namamu



Semarang, 2010

7.01.2010

TENTANG POHON JAMBU DI TERAS RUMAH

:tertanda musim


(“aku akan tetap duduk-berada
di setiap siklus musim yang bertanah
pada akar akar tunggangmu”)


//musim kemarau//
1.
bulan bulan matahari tertanggal di kambium merah-cokelatmu;
ia akan selalu hijau walaupun daun daunmu terbakar, atau
menguning lalu berjatuhan kembali pada muasal yang menciptanya
2.
daun daun tak akan bisa jujur pada dahan dahannya
sebelum dahan dahan bersuara mengumandangkan
lagu lagu-air yang tak pernah mengecewakannya
3.
bila sebuah kemarau memuarakan bahasa yang sengat
pada sekujur tubuh-rimbunmu, maka dengan segenap
doa yang engkau pelihara berpuluh-tahun lamanya
setidaknya akar akarmu masih terjaga bersama
februari yang nisan di sisimu

//musim pancaroba//
sebenarnya pancaroba tak sudi menamakan dirinya
pada daftar daftar siklus musim yang pasti, tapi sesuatu
telah mencungkil angin muson yang garang
sesuatu itu melepasnya, menjelma
hingga akhirnya pancaroba mengetuk
daun daun keringmu

//musim penghujan//
1.
rasanya masih di musim kesekian yang sama. tapi,
engkau dengan berani memangkas batang batang setengah kering
untuk engkau tanggalkan pada punggung seorang penjual kayu bakar
supaya bisa sedikit memberi api-rindang pada nyala doanya
2.
“wah....ternyata, musim bukanlah penipu!”
suara itu melesat menuju sesuatu yang jatuh di hampir setiap malam
: engkau yang berbuah-tabah,
engkau yang tekun membaca kompas kejujuran musim
engkau yang menjadi tanah untuk setiap gugur putik bunga-jambu
3.
tersebab waktu yang tak bisa memutar balik
penghujan takkan berjanji melupakanmu, pohon jambuku
meski kini di namamu tinggal separuh batang cokelat dan akar akar tua
tinggal peribahasa penghujan yang terekam pada kobaran api tiga tahun lalu

sedang aku sudi menjadi basah bagi buah buahmu beserta akar akar tunggangmu
yang bebicara tentang banjir pencurian musim yang gagal kududukkan di tanah
redup sepuluh tahun kanak kanakku.



Semarang, 2010

TIGA PUISI UNTUK SAYA DARI TIGA PENYAIR

rupa-rupanya ada yang membuatkan puisi dan puisi tersebut didedikasikan untuk saya. hm,
mengesankan. berikut ini dua puisi yang terlahir dari permenungan tiga penyair:

PUISI I
Oleh Penyair Dimas Arika Mihardja

PECANDU KATA
: ganz

siapa melangkah tengah malam menyorotkan cahaya kata
bagi jiwa lata? sebuah tanya tak mesti berjawab, sebab perjalanan
menembus gelap menyisakan erang tertahan.

siapakah yang menawan kata di kedalaman penjara dada
lalu merajut huruf hidup dan huruf mati
yang berkelojotan di atas tikar sembahyang
sementara awan berkawan dengan hujan dan petir meledak
lalu meledek kesendirian kata?

aku mabuk, merasuk ke dalam bilik sunyi
berjalan sendiri meronce sore dan menjadikannya malam
aku tenggak lagi tuak sajak sehabis-habis gelegak :
beri aku sajak yang paling tuak!


bengkel puisi swadaya mandiri, jambi 17 juni 2010





PUISI II
Oleh Penyair Nanang Suryadi

CANDU KATA KATA

buat: ganz

adalah candu yang lebih candu: kata. yang berbahaya bagi para penguasa yang bebal
dan suka aniaya. adalah kata yang lebih candu dari candu yang menelusup ke dalam
jiwa jiwa yang merana dihina tiada habisnya. kata.

Juni 2010



PUISI III
Oleh Penyair Mutiah A. Rasta

BERJALAN DI KELOPAK MATA

-Ganz

(akan seperti apakah perut hidup yang berpuisi itu?
mungkin kataku
dan kau?)


kerikil yang menggugus di halaman telah lama menjadi dingin, saat bulan menutup
kornea malam dan membuka tubuhnya untuk dilapangkan bahwa malam adalah langit
paling ganas.

seketika orangorang dengan rangkaian bunga di telinganya mencoba terbang dengan
kaki, lalu seperti apakah mereka merajut bulu dengan jarum dari sebuah cerita ayam dan
elang.

di situlah bayangan dikukuhkan. dan ketika ia sampai pada puncak altar, seluruh tubuh
akhirnya setengah melingkar. dalam tengadah terbalik : ribuan mantra yang tersimpan di
bawah laci lidah dirapalkan

dengan sedikit kidung yang terasing, lalu hendak dipejamkan di mana mata. hendak
ditenggelamkan di mana kornea

alis yang tumbuh menanjak di setiap kening waktu: serupa kita yang hendak terbang.
mengendapkan beberapa langkah di jembatanmata. hingga menjadi dada langit yang
mengapungkan waktu. dan malam : berjalan di kelopak mata


palembang, 2009-2010

6.19.2010

SECEPAT APAKAH WAKTU DI GELAS KOPIMU


secepat apakah waktu di gelas kopimu
sehingga penungguan yang hidup sanggup
merayakan kegigilan sore

lalu,
kau memangil manggil cintaku yang endap
rinduku yang lindap

secepat apakah waktu di gelas kopimu
lihatlah! aku tak sabar menenggaknya
tanpa merasa pahit


tbrs semarang, 2010

6.18.2010

BILA LAUT TIADA


~ BILA kelak aku menjadi mayat

aku tak mau tersimpan di kota siapapun

sebab tak akan ada yang merasa kehilangan;

maka buanglah aku jauh jauh bersama tanah ombak

yang sudi mengubur siapa saja supaya tak ada nama

di nisanku


~ LAUT tempat akhir aku mengenal bahwa tak akan ada

ombak lagi di seberang jendela kamarmu yang nyala

oleh mercusuar mercusuar tua tanpa penjaga; katamu

“ kapal kapal sudah tak ingin merindukan dermaga,

kapal kapal hanya butuh nahkoda menuju kota-usia yang tenggelam”


~ TIADA sapa untuk setiap dengkuran ruang ruang gigil

ketika barat daya yang sunyi telah pergi ke tenggara; sebab

aku bersedia datang kembali bukan sebagai ramalan kematian

tetapi perancang arah matahari yang siaga

menatang pengganti bangkai bayi rembulan

supaya tak lupa arah nantinya ke mana aku harus

membangunkan kegigilanku sendiri



2010

6.06.2010

PENGHARAPAN TANYA PADA SEJUMLAH WAKTU


tertanda gelombang-jantungku: M.


“...simpanlah supaya kau ingat itu suaraku,

bukan yang lain...

(: gie)”


waktu pertama - 18:56 -

bagaimana tanya itu bisa terjadi bagaimana malam

bisa menyatukan gelombang gelombang jatuh

dari arah bulan sabit menuju jalanan genang air hujan

bagaimana nomor ponsel yang sudah teramat lama bisa

menjadi tanda awal bagi seluruh suara di ruang teramat

puisi ini,


bagaimana?

(ponselku yang diam, ternyata mengharap

rindu melalui kaca kaca jendela di belakangnya)


waktu kedua - 19:25 -

“....!”

apa kau tak peduli, sekedar membalas atau

membaca tentang bunyian kata kata yang sudah

kurancang setelah kuambil dari rusuk keadamanku

apa kau tak mau tahu dan rupanya kau hanya ingin

berteman dengan sepanjang isyarat kesementaraanmu

yang aku pikir kau bagian dari kamar yang tak perlu

orang untuk boleh masuk selain benda benda

yang kau anggap lebih dari fiksi


: kursi, meja, lampu belajar dan buku?


“...!”


waktu ketiga - 19:38 -

(tanyamu tak pernah ingin kusimpan begitu saja,

hilang bersama iringan gelombang)

aku menulis harapan palsu yang sebentar lagi mati

di samping manusia manusia yang tak butuh puisi

seperti pengkhianatan setahun lalu


: bolehkah pengkhianatan itu redam

olehmu?


waktu selanjutnya....

o, malam malam yang terbakar!

bagaimana aku melanjutkan setiap pagiku

mendadandaninya serupa mimpi

yang sehabis malam jadi abu


dan, layakkah aku mengibakan pengharapan

yang jatuh berkali kali dari arah bau bangkai bulan

hanya kepadamu?


(bersua pun kita hanya mimpi

dan pasti jadi abu-kota di pagi hari)


maka, kepada siapakah waktu

menggantimu?


- ah...barangkali, kau hanya menginginkan

sejarah auman itu -



“...jelas-jelas pintuku yang bertanda darah

sudah kubukakan...”

(:M.)”



Semarang, 2010

6.05.2010

JALAN SAJAK -1-


tertanda Jl. Gombel Lama

* I *

rumah rumah di kaki bukit tak banyak

mengungkapkan bagaimana jalanan aspal

memperkenalkan kepada setiap pengendara

garis garis marka yang luntur karena musim

si pencuri warna putih untuk dibagikan

pada ramalan awan yang merengek meminta

asap supaya tidak datang menjelma anak anak

polusi

-rumah rumah di kaki bukit ternyata sudah lama

menyimpan suara dari atap atap berlumut,

hanya saja jalanan belum mendengar:

“sebentar lagi longsor bisa saja turun”-


* II *

lapangan golf tak sekedar bangga pada warna

hijau pada telaga kecil pada telikung jalan

sempit pada mobil dan motor di depan nama

gapuranya, karena mereka sebenarnya bukanlah

mesin mesin penggusur hutan yang pernah menjadi

nenek-moyangnya seabad silam.

-lapangan golf tetap nampak anggun dengan segenap

kelengkapan permadaninya. demikian, ia tak akan pernah

menyesal pada gusuran dosa masa lampau-


* III *

adakalanya trotoar bukanlah tempat bagi

para pejalan kaki, sebab ia kadang buta; dibutakan

oleh lubang siang dari matahari yang lupa pada

apa ia membuat persembunyian bagi keyakinan

asing bahwasanya tak pernah ada jalan-sorga

untuk mengenang alamat tempat tinggal

para penyesal penghujan dan kemarau


* IV *

suatu ketika di bibir rumah tua

seorang pengendara menemu amplop lama

berisi nama jalan dan sajak kecil

:

“dua ribu sepuluh;

pada sisi sisi Jalan Gombel Lama

nafas nafas berarak rapi, merodakan

percakapan doa yang ingin sendiri”



Kota Semarang, 2010

5.25.2010

PUISI : MUSIM PADA SUATU RINGKASAN NAMA NAMA


“musim ialah bibir yang mengering, berjuang

menenggelamkannya ke air yang jatuh-pergi

dari nama nama liang mata”


~ 1/

suatu musim, kebebasan kita ialah sejauh kita dulu telah berdiskusi tentang ilmu ilmu buku,

di emper warung tengah hari itu. tentang kegagalan percobaan percobaan einstein yang tak

sama halnya dengan puisi.


puisi,


puisi-puisi kecil yang coba kita tetaskan di sarang laboratorium tua. di sanalah kita bersama

sama mengetahui bahwasanya pemahaman yang dangkal bukanlah rangkaian ilmu pasti. dan

selebihnya kita telah lama mencibirkan musim di sepanjang percobaan renta yang berhasil

mengering, kuncup pada bibir kita masing masing.

- suatu musim, pada bibir bibir kering

: pertanda waktu kita untuk saling dihayatkan oleh ratusan nyala puisi,

bukan oleh eksperimen einstein yang padam -


~ 2/

pernah pada awalnya kita elukan musim perjuangan kaum proletar dari penindasan

kapitalisme para borjuis, dengan bendera merah karl marx. alhasil? alhasil kalender agustus

telah menetapkan bangsa mana yang tiga abad lamanya. tiga abad lamanya, baru

mengatakan bahwasanya perjuangan tidak hanya satu.


lantas,


lantas separuh tahun lamanya kita tak bersua tentang buku buku filsafat. separuh tahun

lamanya kita mengubur kepala karl marx ke dalam mata kita sendiri. tanpa mengenal mata

kita yang tak semerah dulu. separuh tahun lamanya ternyata, kita baru sadar. kita tak

semestinya memperingati bendera merah yang tertancap di bibir kering. karena sebenarnya

perjuangan kita telah ada sebelum karl marx berkata. sebelum kita mengucap ikrar kosong

tentang marxisme. memusim-keringkannya ke suhu bibir.


~ 3/

kerumitan adalah kewajaran dan sepenuhnya tempat kesederhanaan itu bermula. kita bukan

berasal dari kebenaran Kata-Kata sartre

“eksistensi mendahului esensi”


dan Kata-Kata hanya semacam teori kuno bukan kitab atau kamus bahkan puisi. sebab,

kita juga pernah menulis dekat kolam ikan yang keruh. tentang kebenaran seumpama riak

riak air di kolam. bergelombang sejenak lalu tenang. bergelombang lagi, tenang lagi. begitu

seterusnya. tak pernah berhenti sebelum musim kering jatuh dan pergi dari riwayat bibir

kita sendiri.


~ 4/

manusia. manusia hakikatnya menyimpan ribuan lebih ketidaksadaran. seperti gunung es.

bertahun tahun freud menyimpan perumpamaannya sebelum ia terkenang oleh tulisan

tulisan yang mengabadikannya. dalam mimpi, kita serupa anak anak freudian. di sana kita

hanya melukis tawa tak lepas atas diri yang lupa dan baka pada gigil gigil pemukiman kemah

yang kita dirikan ke atas gunung es. lalu membicarakannya bagaimana kita mengartikan

kertak gigi setelah kita tak lagi ada dalam mimpi.


begitulah kiranya kita. manusia yang bertanya, manusia yang menjawab. bahwa pemahaman

ke mana arah tingkah laku kita tertuju pada musim yang teringkas oleh bibir kita sendiri.


~ 5/

maka di ibarat yang selanjutnya. kita adalah garam di luas lautan musim. sementara mereka

yang kita sebut hanyalah kapal kapal yang lewat sebentar. maka kita tahu, mana di antara

nama nama itu yang jatuh-pergi dari liang mata kita. bukankah di pertemuan terakhir, kita

berjanji pada suatu tanya


musim bukan lagi seperti bibir yang mengering,

einstein,

marx,

sartre,

ataupun freud?


maka ingatlah saja akan perjuangan. musim yang telah tenggelam. tenggelam ke air

yang jatuh-pergi dari nama nama liang mata. sebab dari merekalah kita mengerti

puisi mana yang paling bijak kita baca untuk suatu musim tanpa bibir bibir

yang ingin jatuh ke dasar air mata.


demikianlah. demikianlah musim mengenal bibir siapa yang sedang rajin menyulam

tekad menuju jalan-seribu tahun duka chairil, selain


puisi.



2010

5.23.2010

DI HALAMAN SERATUS TIGA PULUH ENAM



di halaman seratus tiga puluh enam

puisi telah menepikan perahu tanpa dayung

dari sepanjang sungai airmata

sebab dirinya sadar anginlah yang mengantarnya

dan sesampai pada tujuan waktu

tarian musik penyambutan telah menjabati

pembawa penyakit yang menjadikannya ada


: seorang perantau dengan segala darah di jemariMu




2010

5.17.2010

NAFAS DI RANSEL-MU


Paduka,


kepada gerimis yang kini

bersandar di kesorean yang esok

aku tak mampu menahan seribu gagapku

atas kealpaanku sendiri


jemari jemariku yang tak berkesudahan, menuliskan

menuliskan kesembuhan akan kecacatan tanpa obat.

tanpa obat


kepada gerimis yang kini

membentuk sebuah ransel untuk perjalanan jauh

dengan suara paling parau, pun

aku tak akan bisa pernah meminta

bahwa dunia tak mungkin ada bersama uban

sebab ranselMu telah membekap

penyakit abadi di dalam tubuhku

di dalam gerimis. gerimis yang jelma

nafas di ranselMu


Paduka.



2010