jika engkau menemui sukar untuk menafsirkannya
mungkin engkau perlu memunguti purnama
mengantonginya ke dalam matamu
engkau belajar menulis dengan menulis, engkau belajar membaca dengan membaca
Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)
Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)
Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez
Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca
Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho
melaluimu,
aku mengingat masa kanak-kanak; Ibu merendanya
membuatkan susu yang masih murah waktu itu
menyalami mimpi agar tak ada yang menerkam
atau menggigit lagu-lagu pengantar tidur
bahkan memadamkan doa-lugu di bawah dengkur bantal
carrikfergus, pada seberang kaca-kaca jendela
aku meletakkan gambar Ibuku sedang menatang sore
menyimpan matahari di sakunya
hingga tiba waktu
aku bisa membacanya bersama ingatan
melelapkannya kepada kanak-kanak usia
yang hampir habis oleh mimpi-mimpi mahal
tanpa arah tanpa sorga
o, carrikfergus!
sampai ke mana aku
melaluimu
Ibu?
kepada nanoq da kansas
hilangmu simpanan tebusanmu
akan detak yang jantung ke atas pualam rindu
tempat engkau taruh raga-puisi
dari cinta yang sedemikian rupa
mekar di pucuk utpala
tanpa menyebut namamu
Semarang, 2010
~ BILA kelak aku menjadi mayat
aku tak mau tersimpan di kota siapapun
sebab tak akan ada yang merasa kehilangan;
maka buanglah aku jauh jauh bersama tanah ombak
yang sudi mengubur siapa saja supaya tak ada nama
di nisanku
~ LAUT tempat akhir aku mengenal bahwa tak akan ada
ombak lagi di seberang jendela kamarmu yang nyala
oleh mercusuar mercusuar tua tanpa penjaga; katamu
“ kapal kapal sudah tak ingin merindukan dermaga,
kapal kapal hanya butuh nahkoda menuju kota-usia yang tenggelam”
~ TIADA sapa untuk setiap dengkuran ruang ruang gigil
ketika barat daya yang sunyi telah pergi ke tenggara; sebab
aku bersedia datang kembali bukan sebagai ramalan kematian
tetapi perancang arah matahari yang siaga
menatang pengganti bangkai bayi rembulan
supaya tak lupa arah nantinya ke mana aku harus
membangunkan kegigilanku sendiri
2010
tertanda gelombang-jantungku: M.
“...simpanlah supaya kau ingat itu suaraku,
bukan yang lain...
(: gie)”
waktu pertama - 18:56 -
bagaimana tanya itu bisa terjadi bagaimana malam
bisa menyatukan gelombang gelombang jatuh
dari arah bulan sabit menuju jalanan genang air hujan
bagaimana nomor ponsel yang sudah teramat lama bisa
menjadi tanda awal bagi seluruh suara di ruang teramat
puisi ini,
bagaimana?
(ponselku yang diam, ternyata mengharap
rindu melalui kaca kaca jendela di belakangnya)
waktu kedua - 19:25 -
“....!”
apa kau tak peduli, sekedar membalas atau
membaca tentang bunyian kata kata yang sudah
kurancang setelah kuambil dari rusuk keadamanku
apa kau tak mau tahu dan rupanya kau hanya ingin
berteman dengan sepanjang isyarat kesementaraanmu
yang aku pikir kau bagian dari kamar yang tak perlu
orang untuk boleh masuk selain benda benda
yang kau anggap lebih dari fiksi
: kursi, meja, lampu belajar dan buku?
“...!”
waktu ketiga - 19:38 -
(tanyamu tak pernah ingin kusimpan begitu saja,
hilang bersama iringan gelombang)
aku menulis harapan palsu yang sebentar lagi mati
di samping manusia manusia yang tak butuh puisi
seperti pengkhianatan setahun lalu
: bolehkah pengkhianatan itu redam
olehmu?
waktu selanjutnya....
o, malam malam yang terbakar!
bagaimana aku melanjutkan setiap pagiku
mendadandaninya serupa mimpi
yang sehabis malam jadi abu
dan, layakkah aku mengibakan pengharapan
yang jatuh berkali kali dari arah bau bangkai bulan
hanya kepadamu?
(bersua pun kita hanya mimpi
dan pasti jadi abu-kota di pagi hari)
maka, kepada siapakah waktu
menggantimu?
- ah...barangkali, kau hanya menginginkan
sejarah auman itu -
“...jelas-jelas pintuku yang bertanda darah
sudah kubukakan...”
(:M.)”
Semarang, 2010
* I *
rumah rumah di kaki bukit tak banyak
mengungkapkan bagaimana jalanan aspal
memperkenalkan kepada setiap pengendara
garis garis marka yang luntur karena musim
si pencuri warna putih untuk dibagikan
pada ramalan awan yang merengek meminta
asap supaya tidak datang menjelma anak anak
polusi
-rumah rumah di kaki bukit ternyata sudah lama
menyimpan suara dari atap atap berlumut,
hanya saja jalanan belum mendengar:
“sebentar lagi longsor bisa saja turun”-
* II *
lapangan golf tak sekedar bangga pada warna
hijau pada telaga kecil pada telikung jalan
sempit pada mobil dan motor di depan nama
gapuranya, karena mereka sebenarnya bukanlah
mesin mesin penggusur hutan yang pernah menjadi
nenek-moyangnya seabad silam.
-lapangan golf tetap nampak anggun dengan segenap
kelengkapan permadaninya. demikian, ia tak akan pernah
menyesal pada gusuran dosa masa lampau-
* III *
adakalanya trotoar bukanlah tempat bagi
para pejalan kaki, sebab ia kadang buta; dibutakan
oleh lubang siang dari matahari yang lupa pada
apa ia membuat persembunyian bagi keyakinan
asing bahwasanya tak pernah ada jalan-sorga
untuk mengenang alamat tempat tinggal
para penyesal penghujan dan kemarau
* IV *
suatu ketika di bibir rumah tua
seorang pengendara menemu amplop lama
berisi nama jalan dan sajak kecil
:
“dua ribu sepuluh;
pada sisi sisi Jalan Gombel Lama
nafas nafas berarak rapi, merodakan
percakapan doa yang ingin sendiri”
Kota Semarang, 2010