Tak perlu kita bertumpu pada tiga jarum kecil di dua belas putaran angka itu. Saat waktu mempersilakan kita untuk berburu. Dengan sandisandi apung di warna biru, kita pecahkan tekateki baru. Kita remahkan satu per satu. Meski matamata kita sampai haru. Kita membulat tekad, tanpa kelu, tanpa jemu. Demi puisi, kita memburu dan memburu.
Tak perlu kita bertumpu pada tiga jarum kecil di dua belas putaran angka itu. Saat musim kita temu. Dan petakpetak ladang kemarau kita tuju. Menyusur bersama sekantung impian lugu.
Tak perlu kita bertumpu pada tiga jarum kecil di dua belas putaran angka itu. Saat tiba kita berdahaga pada sebotol susu. Yang dulu kerap kita rindu bersama ibu.
Tak perlu kita bertumpu pada tiga jarum kecil di dua belas putaran angka itu. Saat terlalu suntuk kita memburu. Lalu kau berseru di pekat debu, “tekateki baru telah lama kita cumbu, namun jejak tak segera kita temu.” Setelah canang waktu bertalu, kita mengadu pada selembar tekateki pesan di buku puisi itu;
Dikau berkelit pada sebuah monitor. Pada segaris denyut kursor, dikau menimba harap tanpa menipu diri. Dikau berbahasa bersama dunia tanda simbol. Di peluk monitormu. Dikau bercakap bersama kotakkotak menu. Dikau menjemari bersama tutstuts hitam putih keyboard. Menunggu para abjad berjajar melengkapi deret puisimu. Dikau merekat diri pada layar berinchi itu.
Dikau berkelit pada sebuah monitor. Pada segaris denyut kursor, dikau menimba harap tanpa menipu diri. Di situ katakata tercetak. Di situ mereka berbaris rapi menghadapmu. Menghadapmu yang mereka anggap kiblat. Di situ mereka mengerek panji dan menaruh hormat. Dikaulah lambang di kibar itu.
Dikau berkelit pada sebuah monitor. Pada segaris denyut kursor, dikau menimba harap tanpa menipu diri. Gerik kursor bergegas meluncurkan suara huruf baru. Saling sahut dengan nisan detik di sudut kanan bawah pintu puisimu. Hanya demi segaris mungil kursor dikau mengadu. Bahwa dikau berjanji tak akan ada tawatawa sendu di depan atau dalam monitor. Walau selubung suara kelebat kafan ungu selalu mengikut tanpa jeda ke mana dikau di kursor puisi itu.
Musim engkau jadikan bilangan-bilangan kecil bagi huruf-huruf syairmu. Engkau mainkan bersama irama partitur-partitur itu. Engkau simpan dalam koper berbahankan kulit nada. Engkau bawa di kafe-kafe jazz tanpa nama. Engkau memperkenalkannya; “inilah hasil pecarianku selama ini, semua telah kutemu.” -Engkau lupa, ada yang hilang di genggamanmu-
Tadi malam kau berbisik-bisik kepada sebuah kompor. “dalam gigil perutku tak kunjung kenyang.” Sedang si kompor tua semakin letih menghangatkan dingin. Mata apinya semakin redup. Lantas kau membuang percuma. Mengambil setengah putung batang yang biasa kau simpan di daster lusuhmu. Dan kau sulut di atas redup api itu.
Seperti biasa pula di pekat asapmu depan si kompor yang terlalu banyak menyimpan kantuk. Kelopak matamu membasah. Membaca cergam sendu anak-anakmu. Usai sekolahnya tertindih oleh mesin-mesin pengeruk. Oleh orang-orang berseragamkan kacamata hitam. Oleh parade perkabungan papan tulis, penghapus juga kapur-kapur.
“Kapan Kami Bisa Membaca dan Menulis Lagi, Bu?” Lalu kau jadikan judul pada bait renungmu kali ini.
Dalam putaran detik, terpejam si kompor mengucap salam
[2] – Keluar dari Mimpi
Tangisan mungil menyusup di rongrongan azan subuh. Menjadi alarm yang biasa mengeluarkanmu dari mimpi. Mimpi di mana cergam sendu diterjemahkan sebagai sebuah adegan film bahagia. Di mana kau, lelaki cecungukmu dan kelima anakmu bersama menyusuri kotakota tempat surgadurga bersemayam. Ya, dengan balon udara yang kau cipta. Berbarakan perkabunganmu. Dan bergelembungkan renungan-renunganmu bersama kompor.
Lalu kau redam tangisan itu. Dengan sebuah kempongan tanpa air, timangan di ayunan kecil berbahan kain dan sepenggal lagu ninabobo.
Dengan langkah buru kau tiba di tempat biasa kau menyedu. (kau lupa kompormu belum bisa keluar dari mimpinya)
[3] – Kemerduan Hari Ini Bukan Esok
Pagi itu. Usai festival raga-raga jatuh. Seorang petugas BLT terpaksa tiba dengan sebuah amplop dan potongannya. Alangkah berbinar hatimu. Kau bayar dengan sebuah kerut senyum meski dalam rasa ingin kau hujam matanya dengan pisau karatmu.
Sesegera kau bangunkan kompor itu oleh seguyur minyak. Minyak serobotan dari kereta antrean. Lalu nyala setelah tersemat. Melejit merah. Membiru lalu. Mendidihkan segala yang kau tuang.
(melodi para koki pun melenting dalam larik siul)
Hari ini. Enam penghuni rumah bambu telah bersantap bersama. (meski kenyangmu tak) Dalam alam sadar filosofimu masih terbujur di bongkah kepalamu. Lantas, kau hujankan pada tungku kompor. Hari ini
[4] -“Sesekali Inginku Bubuhkan Kata TAMAT pada Semua”
Mau kau jadikan apa aku ini? Sumbuku direbut oleh tragisnya leher yang tersangkut berat di simpulku. Dari lelakimu. Pejantan malasmu. Tertawa sajalah airmatamu.
Memang nasibmu. Nasibnya. Nasib kita. Bila aku mati di kesenjaan hari-harimu. Lantaran kuyupmu kembali lagi. Oleh matamu. Juga anak-anakmu. Oleh rembulan samar tanda basah kelopak matamu melihat anak-anakmu berperut kerontang.
“Susahku tak meringan, walau kuk yang kupanggul telah kuserahkan…” keluhmu pada kompor yang tak berapi lagi
[5] – Kesaksian di Sebuah Bab
Pada bab kelimamu kompor bersaksi;
Kau tahu jenuhmu membangun hunian labalaba di kekosongan lubanglubang sumbuku. Merenta. Di belantara kegusaran semadi kita. Di temaram kedahagaan lelap anak-anakmu.
Kau tahu kitabkitab malam kau rambatkan di kontemplasi pepohonan bodhi. Di mana kemiskinan menemakan diri tentang setiap fragmen renung kita. Di mana kau daraskan darahdarahmata. Ke atasku. Mengalir lalu. Mengarat bersama persendianku.
Kau tahu segala renungmu adalah isyarat kepunahan minyak, air, listrik, sembako. Juga macam subsidi. Bak garis sabit bulan muda mengiris langit pucat kau sebut mereka. Hanyut meluruh di rawa renungmu.
Kau tahu di sebuah cangkir retak kau tuang mereka. Merekat pada dingin endapan kopi encermu. Kau aduk lantas kau teguk. Katamu supaya lidah sampai tak mampu bicara apa itu kata. Hati tak mampu membaca apa itu rasa. Otak tak mampu menafsir apa itu pikiran.
Kau tahu niscaya ornamen-ornamen jenuhnya kitabkitab malam dalam renungmu tak melampaui padang permadani tempat kita meletakkan warnawarna doa
[6]–Firman Kom-por dan Wa-ni-ta (Kerudung); Bukan Lagi Sebuah Aku Kamu
Aku berfirman:
bukan lagi kom-por kamu. Padammu menyemayamkan pilu matamata haru. Bilamana ragamu habis dirayap kekarat dan dilumut muaian. Habis tak bersisik. Bilamana juduljudul pada babmu digelincirkan sebuah nama baru. Tabung hijau mungil menawan.
Bukanlah lagi kom-por kamu. Gemerontang tabung itu membising di pekuburan namamu. Seraya menyeru, “Kamu bukanlah kom-por, namamu. Nafas lendir minyakmu tak mampu bertahan di antara balada konversi gas.”
Kamu berfirman:
bukan lagi wa-ni-ta (kerudung) aku. Kerudung kusandarkan. Pada bahu yang tak sanggup memanggul. Tertujuku; mejameja tujuan bolabola billiar eliptikal. Tongkattongkat penyodok yang bermalam di ranjang mataku. Menggelindingkan bolabola mata tempat api duka tersulut.
Bukanlah lagi wa-ni-ta (kerudung) aku. Malam renung kuusaikan. Kudirikan paviliun dengan tamantaman bunga. Tempat kurentangkan sayapsayap molek. Kupanjangkan antena bersinyalkan hidung belang. Terbang melalu hinggap ke mana. Asal madu kudapat. Untuk sekedar menunda insomnia anakanakku. Seraya menyeru, “Aku bukanlah wa-ni-ta (kerudung), namaku. Kerudung telah mendingin di kehanyutan kepakku.”
Demikianlah firmanmu akan aku, firmanku akan kamu
[7] – Sandi Sandi di Prasasti Kita; Kau beserta Wanita Itu
Betapa pilu bila kita dirindu. Betapa berang bila kita dikenang. Lensa mata pun lelah mendidih. Namun di sana. Kita mencetak reliefrelief serupa prasasti. Di sana. Kita sepuhkan sandi sandi renung. Di sana. Ke atas muka batuan judul kita
Aksara gemerontang kerontang
Aksara cucuran gelasgelas dahaga
Aksara rerintik piringpiring lapar
Aksara hujan sekolah gusuran
Aksara kecipak darah tumpah
Aksara parasparas pasi
Aksara mazmur requiem
Aksara kontemplasi subsidi
Aksara cibiran zikir rezeki
Aksara litani fatamorgana
Aksara notnot sungkawa
Betapa pilu bila kita dirindu. Betapa berang bila kita dikenang. Di sana. Ke atas muka batuan judul kita
[8] – Kita Jelmaan Kalian
Di ruang kotak beratap pasi kau berlutut usai meringkas sandisandimu;
Kita telah memicingkan mata bersama. Merengek di hadapan ibu rembulan sabit. Bahkan memudarkan satu sama lain. Namun bekas tetaplah mengembun di setiap pagi. Tempat kita mendengar kalimat tanya yang sama. Makan apa kami hari ini? Menjadi desir angin di setiap malam. Tempat kita memanjatkan puja-pujian, pusaran doadoa tobat, dentingandentingan mohon. Tempat kita berpura tanpa rungu pada cerita kelu berdiskon sampai 99% dan mahalnya keserian tatapan wajahwajah. Kita adalah kalian.
Kita telah bersetubuh di tempat pasangan airmata kita berdansa. Melahirkan bayibayi miskin berbusung. Tumbuh menjadi kanakkanak gelandang. Menyamar sebagai biduan jalanan tanpa nama. Melalang buana. Setapak demi setapak. Menuju trotoar sunyi, teras toko, jembatan penyeberangan, pinggiran sungai, seberang relatau ruang berpohon. Kita adalah kalian.
Di ruang kotak beratap pasi kau berlutut mengutuki kompor juga dirimu usai meringkas sandisandimu; kita jelmaan kalian. Kalian para pengidap pukau kemiskinan
[9] – Selebrasi dalam Epilog
Ada benar. Bila seragam aduh kau himpitkan pada roda putar. Bila selubuk duka kau sangkarkan pada rembulan samar. Supaya tak cepat ia keluar.
Ada benar. Bila segala macam tangis kau pilin menjadi sumbusumbu, bagi kompor yang lama kau tanggalkan. Bila tabung baru menawan itu kau gadaikan bersama kartu tanda kemiskinanmu.
Ada benar. Bila tetap kau cetak hurufhuruf renung di atas diskusi kompor . Di mana aneka sujudmu membait di syairsyair doa, itu. Bila tetap kau cibirkan ayatayat pengusir belatung yang memiskinkan kesalehanmu.
Ada benar. Bila di sini. Di pertiwi ini. Kau masih saja tak berbeda dengan kompor dan tak lain denganmulah ia. Masih saja menjadi sayapsayap kecil. Bukan malaikat bukan bidadari malam. Hanya sayapsayap kecil di sarang kemarau.
Ada benar. Bila serangkai paragraf identitasmu menjadi selebrasi hukum rimba. Bila kau dan kompor sesaat berpisah kesah.Dan kalian isyaratkan pesan pada sekejap tatapan, “pergilah kita diutus…”
Jejaring itu seolah memadat di sebatang candu. Merupa di wajahwajah berbingkai. Persegipanjang status. Ruang pencari nama. Petakpetak obrolan. Dan predikat online bersemayam dalam lariklarik perangkat.
Jejaring itu seolah merekat di reranting otakotak. Mendaun-daun rindang berjudul teman. Berserat sebuah sinyal rindu. Di detak kursorkursor yang siap mencipta dedaun rindu baru. Dan filosofi terbenih di tanahnya. “Di mana ada kamu, aku ada.”
Apakah buta masih saja merakitkan dirimu pada butirbutir atom? Hingga kau tergesa memasang dan salah meletakkan. Segumpal kaitan kabelkabel itu. Lantaran kau sesegera ingin menjadi sebuah album. Tempat semua sejarah takkan dilupa. Menjadikan pertanda bahwa matahari tak lagi menyarangkan arti. Pantas saja, kulihat begitu dalam telaga surga tergurat di lembaran hatimu. Hingga dunia kita leleh terendam.
Aku ingat. Di perjamuan terakhir. Kau meninggalkan kepadaku seutas ragu. Tersimpul kemudian di jemarijemariku. Lalu terbentuk masa. Bahwa hurufhuruf ini akan membumbung bersama tebaltebal asap yang kau sisakan untukku. Bahwa akan menghangus bersama barabara gedung. Mengabu kemudian.Bahwa akan menyungai bersama darahdarah di ragamu. Dan mereka. Bahwa akan menghujan bersama segala macam airmata. Bahwa akan melayang bersama arwaharwah tak kenal rumah.
Terorisku ksatriaku. Akhirnya. Sampailah kita di sepenggal masa. Tempat sebuah keranda surga telah kupasung untukmu. Dan sebuah bom waktu sebesar nuklir yang kutempel erat di telaga hatimu.
Kau ingat serenade hujan purnama sewaktu terpasung di lagu itu. Menjumpa simfoni-simfoni R n B berdeburan di bar-bar. Pesulap jalanan yang kehilangan mantra dan pemabuk-pemabuk muda berkelayapan di trotoar-trotoar. Dan kita tak takut tercekam pada fragmen-fragmen pengelana malam. Justru kita menyusupi bulir-bulir tembakau yang mereka batangkan. Terhisap lalu tersembur bersama kepulan nikotin. Menjadikan kita seolah racun yang tersamar. Lalu lenyap menghitam di lelangit remang cahaya.
Kau ingat sesaat kursi-kursi dan meja-meja bar tertegun memandang lelaki asing ini singgah di camp para pecandu insomnia sepertimu. Lalu kita membaringkan penat pada dua botol bir. Yang tak habis kau teguk. Meja bundar itu. Lalu memendamnya pada kerlipkerlap bola lampu. Dan kita berenang bersama di lautan wiski meski tak sanggup aku.
Kau ingat lilin-lilin menghanguskan gaun. Tari-tarian perempuan yang menghampiri dua lembar kertas merah. Sedang kau terhuyung-huyung meraih gemulainya. Membawanya dalam kelambu. Tak lama hingga kau akhiri. Oleh igauan-igauan dan sendawa. Kau sampaikan kepada perempuan yang tak tega kau tiduri.
Kau ingat prolog kita yang kau lupakan. Malam tempat kita menempa wajah-wajah baru kita.