kepada agus suwito semenjak pagi yang pejam mencuri cara dari permainan waktu kini ada nubuat-nubuat tak biasa berusaha memindahkan arah matahari; - nubuat itu terbaca oleh hasrat yang berlarian menuju mulut-puisi. di sekujur purnama pertama yang sakit indera-puisiku melihatmu sedang membenamkan potongan luka pada segelas kopi yang segan menjadi dingin lalu dengan segenap perasaan yang berkeping atas takdir aku mengenal lingkar-lingkar petaka pudar di kedua bola matamu dan garis-garis nyalawaktu berpendar seperti tangis lelampu pada sisi-sisi trotoar manakala orang-orang duduk bersimpuh di bawahnya siapa tak mengenalmu, siapa tak menyangkalmu bahkan dukamu yang liang telah ternubuatkan oleh sisa perasaan bernama cinta; sejatinya, ia mendiam dan berlepasan dari ruang-raung elegi abadi matamu : argghhh!
[terlahir atas ingatan pertemuan pertama dengannya] Semarang, 2010
tertanda Malioboro * apakah gerimis yang tiba di awal bulan juli memperingatkan kita akan kerinduan lampau bahwasanya ada tempat penawar kedewasaan, bukankah di toko-toko baju itu kita temukan siapa mengarahkan kita pada harga pengingatan ** di sisi manakah, tubuh yang merasa sakit lalu berjejal sembuh ketika ada deru-hujan berkecipak pada langit-langit sore menuju simpang tiga kecil dekat kios-kios dagadu dan para penjual pakaian batik - kita baru saja mendapati para tukang becak dan pak kusir sedang meramal hujan yang rupa doa atas roda-roda rupiah mereka menggelinding di antara para pedagang kaki lima - ketahuilah, di sini di malioboro almanak yang sebenarnya kita peram telah tetas jadi obat pengabulan atas penyakit-ingatan!
tertanda Jl. Ring Road Barat * petak-petak sawah seperti ingin mengasingkan diri pada tubuh juli yang kini menanggalkan suara-suara para pengendara di setiap malam menuju gerbang : camp-camp kerinduan rumah-rumah yang terangkai dengan jarak sedemikian rupa adalah perlewatan teramat kenang bagi pengingatan padam tentang pejalan dan arahnya di sisi-sisi pembatas jalan, roda-roda berseteru bagaimana memainkan rerambu yang patah dan gerah untuk memenjarakan angin-gerimis pada rerobek kertas-kertas pamflet tanpa menyisihkan cara mengenal muasalnya ** tiga puluh menit dua puluh delapan detik, ternyata ada ruang jalan membisukan teduh pohon tempat kerikil-kerikil terserak menyimpan pertanyaan kota dan nama jalan mana yang bisa menyembunyikan nasib sebuah mobil diam menyuarakan kesaksian nelangsa tulisan yang tinggal sejarah dan eja dari kitab-elegi si empunya pada pergantian Jalan Ring Road Barat; oleh puisi, aku membacanya!
(fenomena diabadikan dalam foto pada hari sabtu, 10 juni 2010 pukul 11.27 waktu setempat) Yogyakarta, 2010
tertanda Jl. Unta Raya * I * ilalang selalu saja hijau meski mengenal cuaca yang sekarang tak pasti kapan kemarau kapan penghujan. di sisi sisi jalan yang kerap kali air memenuhi liang tubuhnya, rumah rumah tua seolah ingin pergi dari nasibnya ketika waktu menetapkan masa penggusuran, dan ilalang. ilalang akan menjadi saksi sebuah angka kalender yang ungu bagi setiap rumah sepanjang jalan di mana doa setiap pagi, tumbang. * II * ingatan tentang sejumlah anak di bantaran sungai adalah ingatan bagaimana aku mengejar layang layang kanak kanakku. meski, aku masih lupa ke mana jalan menuju rumahku yang dulu beralamat ganjil. sudah semestinya aku mencari kegenapan bagi keganjilan seperti alas kakiku yang tertinggal untuk diketemukan pada tubuh jalanan itu bersama sejumlah ingatan di setiap pucuk rerumput yang hampir ikut terbakar di samping bau timbunan sampah dan polusi. * III * maka kenanglah karena masa telah setia menandakanmu untuk tak sekedar dijadikan abu bakaran atau arang dari pohon yang telah lama merancang segala siang. - pada nama jalan itulah, aku memberi tanda bukan sebagai marka melainkan pengusir petaka masa lalu – * IV * pada Jalan Unta Raya yang sering kali dingin bagi setiap malam berkunang, aku ingin sesekali menjadi tangisan lampu yang kadang dipadamkan oleh sebab tengadah doa yang sekarat lalu menjadi mayat. * V * sepuluh tahun lalu, sorga sorga kecil ada di sekujur jalanan itu.
(“aku akan tetap duduk-berada di setiap siklus musim yang bertanah pada akar akar tunggangmu”)
//musim kemarau// 1. bulan bulan matahari tertanggal di kambium merah-cokelatmu; ia akan selalu hijau walaupun daun daunmu terbakar, atau menguning lalu berjatuhan kembali pada muasal yang menciptanya 2. daun daun tak akan bisa jujur pada dahan dahannya sebelum dahan dahan bersuara mengumandangkan lagu lagu-air yang tak pernah mengecewakannya 3. bila sebuah kemarau memuarakan bahasa yang sengat pada sekujur tubuh-rimbunmu, maka dengan segenap doa yang engkau pelihara berpuluh-tahun lamanya setidaknya akar akarmu masih terjaga bersama februari yang nisan di sisimu
//musim pancaroba// sebenarnya pancaroba tak sudi menamakan dirinya pada daftar daftar siklus musim yang pasti, tapi sesuatu telah mencungkil angin muson yang garang sesuatu itu melepasnya, menjelma hingga akhirnya pancaroba mengetuk daun daun keringmu
//musim penghujan// 1. rasanya masih di musim kesekian yang sama. tapi, engkau dengan berani memangkas batang batang setengah kering untuk engkau tanggalkan pada punggung seorang penjual kayu bakar supaya bisa sedikit memberi api-rindang pada nyala doanya 2. “wah....ternyata, musim bukanlah penipu!” suara itu melesat menuju sesuatu yang jatuh di hampir setiap malam : engkau yang berbuah-tabah, engkau yang tekun membaca kompas kejujuran musim engkau yang menjadi tanah untuk setiap gugur putik bunga-jambu 3. tersebab waktu yang tak bisa memutar balik penghujan takkan berjanji melupakanmu, pohon jambuku meski kini di namamu tinggal separuh batang cokelat dan akar akar tua tinggal peribahasa penghujan yang terekam pada kobaran api tiga tahun lalu
sedang aku sudi menjadi basah bagi buah buahmu beserta akar akar tunggangmu yang bebicara tentang banjir pencurian musim yang gagal kududukkan di tanah redup sepuluh tahun kanak kanakku.
rupa-rupanya ada yang membuatkan puisi dan puisi tersebut didedikasikan untuk saya. hm, mengesankan. berikut ini dua puisi yang terlahir dari permenungan tiga penyair:
PUISI I Oleh Penyair Dimas Arika Mihardja
PECANDU KATA : ganz
siapa melangkah tengah malam menyorotkan cahaya kata bagi jiwa lata? sebuah tanya tak mesti berjawab, sebab perjalanan menembus gelap menyisakan erang tertahan.
siapakah yang menawan kata di kedalaman penjara dada lalu merajut huruf hidup dan huruf mati yang berkelojotan di atas tikar sembahyang sementara awan berkawan dengan hujan dan petir meledak lalu meledek kesendirian kata?
aku mabuk, merasuk ke dalam bilik sunyi berjalan sendiri meronce sore dan menjadikannya malam aku tenggak lagi tuak sajak sehabis-habis gelegak : beri aku sajak yang paling tuak!
bengkel puisi swadaya mandiri, jambi 17 juni 2010
PUISI II Oleh Penyair Nanang Suryadi
CANDU KATA KATA
buat: ganz
adalah candu yang lebih candu: kata. yang berbahaya bagi para penguasa yang bebal dan suka aniaya. adalah kata yang lebih candu dari candu yang menelusup ke dalam jiwa jiwa yang merana dihina tiada habisnya. kata.
Juni 2010
PUISI III Oleh Penyair Mutiah A. Rasta
BERJALAN DI KELOPAK MATA
-Ganz
(akan seperti apakah perut hidup yang berpuisi itu? mungkin kataku dan kau?)
kerikil yang menggugus di halaman telah lama menjadi dingin, saat bulan menutup kornea malam dan membuka tubuhnya untuk dilapangkan bahwa malam adalah langit paling ganas.
seketika orangorang dengan rangkaian bunga di telinganya mencoba terbang dengan kaki, lalu seperti apakah mereka merajut bulu dengan jarum dari sebuah cerita ayam dan elang.
di situlah bayangan dikukuhkan. dan ketika ia sampai pada puncak altar, seluruh tubuh akhirnya setengah melingkar. dalam tengadah terbalik : ribuan mantra yang tersimpan di bawah laci lidah dirapalkan
dengan sedikit kidung yang terasing, lalu hendak dipejamkan di mana mata. hendak ditenggelamkan di mana kornea
alis yang tumbuh menanjak di setiap kening waktu: serupa kita yang hendak terbang. mengendapkan beberapa langkah di jembatanmata. hingga menjadi dada langit yang mengapungkan waktu. dan malam : berjalan di kelopak mata